Ludwig Ingwer Nommensen

misionaris Jerman, Ephorus Huria Kristen Batak Protestan ke-1

Ludwig Ingwer Nommensen (di daerah Batak dikenal sebagai Ingwer Ludwig Nommensen atau I.L. Nommensen; 6 Februari 1834 – 23 Mei 1918) adalah seorang penyebar agama Kristen Protestan yang beraliran asas Lutheran di antara suku Batak, Sumatra Utara.[1] yang berasal dari Jerman, tetapi lebih dikenal di Indonesia.[1] Hasil dari pekerjaannya ialah berdirinya sebuah Gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).[1]

Ompu i
Dr. (H.C.) Ludwig Ingwer Nommensen
Ephorus (Emeritus)
Pendeta
Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918)
Lahir(1834-02-06)6 Februari 1834
Nordstrand, Kadipaten Schleswig
Meninggal23 Mei 1918(1918-05-23) (umur 84)
Belanda Sigumpar, Toba, Sumatra Utara, Hindia Belanda
MakamBelanda Sigumpar, Toba, Sumatra Utara, Hindia Belanda
OrganisasiHKBP
JabatanEphorus HKBP Pertama
Masa jabatan1881–1918
PenggantiPdt. Valentin Kessel

Biografi sebagai penginjil

Masa kecil Ludwig Ingwer Nommensen

 
Kartu Pegawai Nommensen

Nommensen berasal dari Pulau Nordstrand di Schleswig, yang pada waktu itu merupakan wilayah Denmark (kini Jerman).[1] Keluarganya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, sehingga sejak kecil, Nommensen terbiasa hidup dalam kondisi yang demikian.[1][2][3] Maka dari itu, sejak kecil, ia sudah mencari nafkah untuk membantu orangtuanya.[1][2] Ketika berumur 7 tahun, Nommensen memilih menggembalakan angsa daripada duduk di bangku sekolah.[4] Pada umur 8 tahun, ia mulai mencari nafkah untuk membantu orang tuanya dengan cara menggembalakan domba.[1][4] Pada usia 9 tahun, ia belajar menjadi tukang atap.[1][4] Lalu, pada usia 10 tahun, ia bekerja pada seorang petani yang kaya sambil belajar mengerjakan tanah.[3] Ia juga bekerja menuntun kuda yang menarik bajak untuk membajak tanah petani kaya tersebut.[3]

Pada tahun 1846, saat berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan.[1][3] Sewaktu ia bermain kejar-kejaran dengan temannya, ia ditabrak kereta kuda yang menggilas kakinya sampai patah dan keadaan yang demikian memaksanya berbaring di tempat tidur berbulan-bulan lamanya.[1] Waktu itu, dalam doanya, Nommensen meminta kesembuhan dan berjanji, jika ia disembuhkan, maka ia akan memberitakan injil kepada orang kafir.[1][5] Setelah kakinya sembuh, Nommensen kembali menjadi buruh tani untuk membantu keluarganya setelah kematian ayahnya.[6]

Pendidikan dan misi

Pada usia 20 tahun, Nommensen berangkat ke Barmen (sekarang Wuppertal) untuk melamar menjadi penginjil.[1][5] Selama empat tahun ia belajar di seminari zending Lutheran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG).[1][5] Sesudah lulus, ia kemudian ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1861.[1] Ia ditugaskan oleh RMG ke Sumatra dan tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang.[1] Ia memulai misinya di Barus dengan harapan akan mendapatkan izin untuk menetap di daerah Toba.[5] Namun, pemerintah kolonial tidak mengizinkan dengan alasan keamanan.[7] Oleh sebab itu, ia bergabung dengan penginjil-penginjil lain yaitu misionaris Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer yang telah berada di daerah Sipirok yang setelah Perang Padri dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda.[7] Di situ, sebagian dari penduduk sudah memeluk agama Islam sehingga kemajuannya lambat.[7] Setelah berdiskusi dengan kedua misionaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nommensen akan bekerja di Silindung.

Kunjungan pertama ke Tarutung dilakukan pada 11 November 1863. Pada kunjungan pertama ini, Nommensen diterima oleh Ompu Pasang (Ompu Tunggul) kemudian tinggal di rumahnya yang daerahnya masuk dalam kekuasaan Raja Pontas Lumban Tobing. Dari sini Nommensen kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam pelayanannya.

Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nommensen dengan membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung pada tanggal 7 Mei 1864. Nommensen kembali ke rumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul), tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung di bawah sebatang pohon beringin (hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat. Nommensen lalu pergi ke desa lain dan sampai ke di desa Raja Amandari Sabungan Lumban Tobing. Nommensen berharap Raja Amandari Sabungan Lumbantobing dapat mengizinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi Raja Amandari Sabungan Lumbantobing sedang pergi ke desa lain membawa isterinya yang sedang sakit keras. Melalui seorang utusan, Nommensen menyampaikan niatnya ini kepada Raja Amandari Sabungan Lumbantobing, akan tetapi Raja Amandari Sabungan Lumbantobing menolak. Nommensen kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Amandari Sabungan Lumbantobing untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Amandari Sabungan Lumbantobing ke desanya, penyakit istrinya akan hilang”. Raja Amandari Sabungan Lumbantobing kemudian berkata, apabila perkataan Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nomensen tinggal di rumahnya. Penyakit istri Raja Amandari Sabungan Lumbantobing sembuh. Raja Amandari Sabungan Lumbantobing kemudian mengizinkan Nommensen tinggal di rumahnya.

Akan tetapi, pada mulanya Raja Pontas Lumban Tobing tidak mau menerima Nommensen. Dia berusaha memengaruhi Raja-Raja di Silindung supaya menolak Nommensen. Sebaliknya, Raja Amandari Sabungan Lumban Tobing, juga berusaha mempengaruhi Raja-Raja di Silindung untuk menerimanya. Sehingga masyarakat di sekitar Silindung terbagi dua dalam hal penerimaan terhadap Nommensen. Walaupun masyarakat Silindung terbagi dua (ada yang menerima dan ada yang menolak Nommensen), Nommensen tetap berada di Tarutung dan memulai pelayanannya mengabarkan Injil.

Satu tahun kemudian, 27 Agustus 1865, Nommensen dapat melakukan pembaptisan pertama kepada satu orang Batak. Bahkan di kemudian hari, Raja Pontas Lumban Tobing yang dulunya menolak Nommensen, meminta supaya dia dan keluarganya dibaptis. Pada saat itu juga Raja Pontas meminta supaya Nommensen pindah dari Huta Dame ke Pearaja. Setelah Raja Pontas dan keluarganya masuk Kristen, masyarakat Silindung makin banyak masuk Kristen.

Sejalan dengan pertumbuhan Gereja di Silindung, Nommensen membuka Sekolah Guru di Pansur Napitu. Lulusan sekolah ini dijadikan menjadi guru Injil dan Guru Sekolah. Di kemudian hari, sekolah ini dipindahkan ke Sipaholon. Kemudian, Nommensen membuka pos Penginjilan baru di Sigumpar. Dari sanalah dia menyebarkan Injil bersama para pembantunya ke seluruh Toba Holbung dan Samosir.

Ketika diberi izin oleh pemerintah kolonial, maka RMG menunjuk Nommensen untuk membuka pos zending baru di Silindung.[7] Kehadiran zending ditantang oleh sebagian raja dan juga oleh sebagian besar penduduk karena mereka takut akan terkena bencana jika menyambut seorang asing yang tidak memelihara adat.[5] Selain itu, sikap menolak para raja disebabkan pula oleh kekhawatiran bahwa dengan kedatangan orang-orang kulit putih ini menjadi perintis jalan bagi pemerintahan Belanda yang berkuasa pada waktu itu.[5] Sekalipun demikian, Nommensen berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di Huta Dame (terjemahan dari Yerusalem - Kampung Damai).[1] Pada tahun 1873, ia mendirikan gedung gereja, sekolah, dan rumahnya di Pearaja dan hingga kini, Pearaja tetap menjadi pusat Gereja HKBP.[1]

Berkas:Raja-raja.jpg
Para Raja di Tanah Batak, 1890

Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja XII, maka pada bulan Januari 1878, Sisingamangaraja sebagai raja yang, menurut pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas Silindung, memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung.[4] Pada akhir Januari, Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka.[4] Pada awal tahun 1878, pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevell menuju Pearaja dan disambut oleh Nommensen. Antara Februari hingga Maret, 380 pasukan tambahan dan 100 narapidana didatangkan dari Sibolga. Februari 1878, ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Sisingamangaraja dimulai.[8] Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda selama ekspedisi militer yang dikenal sebagai Perang Toba I.[8] Keduanya menjadi penunjuk jalan dan penerjemah, serta malah dianggap ikut berperan dalam menentukan kampung-kampung mana yang akan dibakar. Sesudah ekspedisi militer berakhir, puluhan kampung, termasuk markas Sisingamangaraja di Bangkara dibumihanguskan. Atas jasa membantu pemerintah Belanda, pada 27 Desember 1878, Nommensen dan Simoneit menerima surat penghargaan dari pemerintah Belanda, ditambah uang tunai sebanyak 1000 gulden.[4]

Setelah Silindung dan Toba ditaklukkan dalam Perang Toba I, Batakmission (zending Batak) mengalami kemajuan dengan pesat, khususnya di daerah Utara.[4] Nommensen berhasil meyakinkan ratusan raja untuk berhenti mengadakan perlawanan.[4] Tentunya, hal ini dapat terjadi setelah Nomensen meyakinkan kembali masyarakat bahwa ia bukan kaki tangan Belanda dan kedatangannya untuk membawa kebaikan.[7] Hal ini tampak dalam tindakan keseharian Nommensen bagi orang-orang Batak waktu itu.[7] Contoh beberapa raja yang akhirnya bersikap positif ialah Raja Pontas Lumbantobing (Sipahutar), Ompu Hatobung (di Pansur Napitu), Kali Bonar (di Pahae), Ompu Batu Tahan (di Balige), dan lainnya.[7] Pada tahun 1881, Nommensen memindahkan tempat tinggalnya ke kampung Sigumpar, dan ia tinggal di sana sampai akhir hayatnya.[9] Pada tahun kematiannya, Batakmission (cikal bakal Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) mencatat jumlah orang Batak yang dibaptis telah mencapai 180.000 orang.[4]

Berkas:Bangunan zending.jpg
kompleks zending di Pearaja beserta dengan sekolah, gereja, dan rumah sakit

Untuk menjaga tatanan hidup dari ribuan orang yang baru masuk menjadi Kristen, Nommensen menyediakan bagi mereka suatu tatanan yang baru.[5] Pada tahun 1866, ditetapkanlah sebuah Aturan Jemaat.[5] Aturan itu meliputi kehidupan orang Kristen di dalam jemaat maupun dalam lingkungan keluarga menyangkut ibadah, perkawinan, hukum, dan pejabat gerejawi.[5] Di samping itu, Nommensen menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak.[1] Ia menerbitkan cerita-cerita Batak dan menerbitkan cerita-cerita PL.[1][9] Ia juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan, meminjamkan modal, dan menebus hamba-hamba dari tuannya.[1] Jasa Nommensen juga dikenang oleh orang Batak antara lain karena usahanya di bidang pendidikan dengan membuka sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak pribumi.[1] Demikian juga untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah, RMG bersama Nommensen membuka pendidikan guru.[1]

Karena kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan, maka pimpinan RMG, pada tahun 1881,mengangkat Nommensen sebagai Ephorus.[5] Jabatan ini diembannya sampai akhir hidupnya.[1][5] Pada hari ulang tahunnya yang ke-70, Nommensen mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Bonn.[1][4] Pada tahun 1911, ia memperoleh penghargaan Kerajaan Belanda dengan diangkat sebagai Officier in de Orde van Oranje-Nassau.[4] Ia pun akhirnya mendapat gelar sebagai Rasul Orang Batak.[1]

Kematian

Nommensen meninggal pada tanggal 23 Mei 1918, pada umur 84 tahun.[1] Nommensen kemudian dimakamkan di Sigumpar, di tengah-tengah suku Batak, setelah bekerja demi suku ini selama 57 tahun lamanya.[1]

Strategi penginjilan di Tanah Batak

Strategi misi yang dikembangkan Nommensen ialah mengubah strategi penginjilan awal yang menekankan konversi perorangan dengan mengembangkan strategi yang menekankan konversi kelompok baik keluarga (mencakup keseluruhan anggota keluarga sebagai satu kesatuan) maupun keseluruhan komunitas kepada iman Kristen.[2] Untuk mewujudkan hal itu, Nommensen membuka pos penginjilan (Missionsstation) baru (termasuk sekolah) dengan tujuan menjalin hubungan baik dengan pemuka raja-raja setempat.[7] Para raja inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya usaha misi karena mereka merupakan tokoh yang sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakatnya.[7]

Pranala luar

Bibliografi

  • 1877, The Gospel according to Saint John: Translated out of the Original Greek into Batta (Toba), the Language of the Batta in the Island of Sumatra. Elberfeld: Friderichs & Comp.
  • 1877, Tobasch Spelboekje, Batavia: 's Landsdrukkerij.
  • 1878, The New Testament of our Lord and Saviour Jesus Christ: Translated out of the original Greek into Batta (Toba), the language of the Batta in the island of Sumatra. Elberfeld: R. L. Friderichs & Comp,
  • 1885, Tobasch Spelboekje, Elberfeld: R.L. Friderichs & Comp.
  • 1886, Djamita sian Hata ni Debata na di Padan na Robi, Elberfeld: R.L. Friderichs & Comp.
  • 1908, Jamita sian hata ni Debata na di padan na robi, Elberfeld: R.L. Friderichs & Comp.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia)F.D. Willem. 1987. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 198, 199.
  2. ^ a b c (Inggris)Jan Sihar Aritonang, Karel Steenbrink. 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill. Hlm. 535.
  3. ^ a b c d (Indonesia)J.T. Nommensen. 1974. Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 9.
  4. ^ a b c d e f g h i j k (Indonesia)Uli Kozok. 2010. Utusan Damai di Kemelut Perang: Perang Zending dalam Perang Toba. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hlm. 35,38,92,123.
  5. ^ a b c d e f g h i j k (Indonesia)Th. van den End. 1993. Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 175,177.
  6. ^ Schreiner, Lothar "Nommensen in Selbstzeugnissen: unveröffentlichte Aufsätze, Entwürfe, und Dokumente eingeleitet, erklärt, und herausgegeben von Lothar Schreiner". Verlag an der Lottbek in Ammersbek. 1996. ISBN 3-86130-041-9
  7. ^ a b c d e f g h i (Indonesia)Jan S. Aritonang. 1988. Sejarah Pendidikan Kristen Di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 148,149,150, 157.
  8. ^ a b http://ulikozok.wordpress.com/peran-zending-dalam-perang-toba/. Diakses pada Jumat 15 April 2011. Pk. 19.55 WIB
  9. ^ a b (Indonesia)Muller Kruger. Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 218.

Lihat pula