Bissu

Rohaniawan agama Tolotang, Agama asli Suku Bugis, Indonesia

Bissu adalah kaum pendeta yang gendernya dipandang sebagai campuran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan, Indonesia. Golongan Bissu juga mengambil peran gender laki-laki dan perempuan dan dilihat sebagai separuh manusia dan separuh dewa, bertindak sebagai penghubung antara kedua alam manusia dan alam dewata.[1] Salah satu sumber menyebutkan kata bissu berasal dari kata Bessi (Bugis) yang berarti "bersih". Bissu dianggap bersih karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), berpayudara, dan tidak haid. B.F Matthes menyebut Bissu sebagai priesters en priesteresse, yaitu pendeta-pendeta pria-wanita yang oleh masyarakat Bugis disebut dengan Calabai. Alasan tersebut dikarenakan posisi Bissu yang suci harus mennyatukan kerakter maskulin dan feminim ketika berkomiunikasi dengan dewata sebab ia telah ditakdirkan sebagai pasangan dewa di bumi melalui upacara irebba. Atas hal tersebut sehingga Bissu dari dulu hingga kini secara umum dijumpai berasal dari laki-laki yang berkarakter feminim. Beberapa kasus lain menceritakan posisi Bissu yang berasal dari golongan wanita yang sudah tua dari kalangan bangsawan tinggi. Bissu ini yang dikenal dengan istilah core-core. Mereka terlebih dahulu berperan sebagai sanro (dukun). [2] Masyarakat Bugis di masa lampau, ketika ingin melakukan pemujaan, mereka biasanya melalui peran Bissu. Bissu adalah rohaniawan dalam ajaran atturiolong sebagai kepercayaan tradisional pra-Islam yang sangat dihormati. Para Bissu dianggap sebagai medium yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia dewata secara transendental. Dalam naskah La Galigo diungkapkan bahwa keberadaan bissu dalam budaya Bugis dianggap sebagai pendamping dan pelengkap kedatangan para tokoh Manurung dari langit. Seiring dengan pandangan religi tersebut, segala urusan spritual manusia terhadap dewa diserahkan melalui Bissu. Para Bissu lalu mengkultuskan dewa-dewa melalui ritus-ritus terhadap arajang. Pada masa kerajaan, bissu mendapat perlakuan khusus oleh pihak istana dan diagungkan sebagai posisi istimewa yang amat diperhitungkan. Bissu diberikan penghidupan yang layak oleh kerajaan. Mereka diberikan tana akkinanreng (ladang bercocok tanam) dan bola pajung (hunian di kompleks istana). Bissu mempunyai tugas memelihara berbagai benda pusaka dan tradisi. Menurut Sharyn Graham, seorang peneliti di University of Western Australia di Perth, Australia, seorang Bissu tidak dapat dianggap sebagai banci atau waria, karena mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apa pun namun setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka.[1] Menurut Sharyn Graham, dalam kepercayaan tradisional Bugis, tidak terdapat hanya dua jenis kelamin seperti yang kita kenal, tetapi empat (atau lima bila golongan Bissu juga dihitung), yaitu: "Oroane" (laki-laki); "Makunrai" (perempuan); "Calalai" (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki); "Calabai" (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan); dan golongan Bissu, di mana masyarakat kepercayaan tradisional menganggap seorang Bissu sebagai kombinasi dari semua jenis kelamin tersebut. Dalam satu kelompok bissu biasanya berjumlah 40 orang yang dikenal dengan nama Bissu Patappuloé (bissu empat puluh), yang terdiri dari: • Puang/Pua' Matowa (Pemimpin Bissu) • Puang Lolo (Wakil Puang Matoa) • Bissu • Inang Bissu / Bissu Mamata (Anggota Bissu atau Bissu pemula) • Bissu Lolo (Bissu remaja) • Mujangka (Bissu yang memiliki pasangan namun berperilaku seperti orang yang transgender) • Core-core (Bissu perempuan) Adapun kostum yang digunakan dalam tari Bissu di antaranya; Passapu (destar), Baju Soso' (Baju Bella Dada), Keris/tali bénnang, Sinto, Lawolo, Celana, dan Lipa Makkawiring/Toboro. [3][4]

Bissu Puang Matoa Saidi, salah seorang dari sedikit golongan Bissu Bugis yang tersisa

Latar belakang

Para Bissu tidak jarang digambarkan dan dianggap sebagai waria, hal ini disebabkan oleh kesalahpahaman masyarakat awam dalam banyak sejarah dan peran mereka dalam masyarakat. Untuk menjadi Bissu, seseorang harus memadukan semua aspek gender. Dalam banyak contoh ini berarti mereka harus dilahirkan dengan kondisi interseks. Akan tetapi orang noninterseks dapat pula menjadi Bissu.[1]

Peran interseksual seorang Bissu yang tidak biasa dalam masyarakat Bugis tradisional tidak secara eksklusif berhubungan dengan anatomi tubuh mereka, tetapi peran mereka dalam kebudayaan Bugis. Identitas ketiadaan gender mereka (atau kemencakupan tentang segala jenis kelamin) dan karakter berbagai jenis yang tidak dapat dialokasikan secara akurat kepada jenis kelamin apa pun.

Hal ini terbukti dalam cara berpakaian para Bissu. Para Bissu mengenakan sejenis gaun dan pakaian yang tidak dikenakan oleh jenis kelamin lain, namun juga memasukkan elemen dan karakter pakaian "pria" dan "perempuan", yang menjelaskan mengapa golongan Bissu tidak dapat disebut sebagai waria, karena mereka hanya diizinkan untuk memakai pakaian yang sesuai untuk kasta gender mereka.

Peran dalam budaya Bugis

 
Bissu sedang melakukan ritual sembahyang

Peran Bissu pada masa kerajaan-kerajaan Bugis kuno sangat besar. Bissu pada masa itu masuk dalam lingkaran birokrasi kerajaan. Para Bissu ini diberi jabatan sebagai penasihat spiritual raja. Bahkan para Bissu diberi kewenangan untuk menobatkan raja. Masyarakat percaya bahwa doa yang dilakukan Bissu sangat berpengaruh pada kewibawaan raja. Selain itu para Bissu juga diberi tugas sebagai pemuka adat dan sebagai pimpinan kepercayaan Bugis pra Islam. Semua kebijakan dan keputusan raja saat itu didasari oleh persetujuan dan pertimbangan dari Bissu, misalnya ketika raja akan melakukan perang dengan kerajaan lain, raja berkonsultasi terlebih dahulu dengan Bissu. Bissu juga memiliki kewenangan untuk menentukan hari-hari baik untuk memulai pekerjaan-pekerjaan besar dan penting, misalnya untuk pembangunan rumah atau rumah ibadah, perjalanan-perjalanan penting, memulai pekerjaan di sawah dan lain sebagainya. Bissu juga memimpin upacara-upacara adat seperti upacara pernikahan, kehamilan, kelahiran, kematian, persembahan, tolak bala, nazar dan lain sebagainya. Selain itu para Bissu juga mendapat tugas untuk merawat dan menjaga pusaka kerajaan, yang disebut arajang. Masyarakat Bugis memercayai bahwa arajang adalah benda-benda pusaka yang diturunkan dewata dari langit. Arajang sering kali juga disebut sebagai alameng atau palakka. Arti kata arajang dalam bahasa Bugis adalah keagungan, kemuliaan dan kebesaran. Karena dianggap benda yang sangat suci dan bertuah, yang menjadi simbol kekuatan supranatural, maka arajang diberi nama kehormatan seperti nama manusia terhormat. Ada arajang yang diberi nama Puang Bekeru, Bakaka, Pongoroe, Sapadilae, dan Cakkuridi. Benda-benda arajang yang menjadi pusat penghormatan dalam acara-acara yang dipimpin Bissu bentuknya bermacam-macam, seperti keris, tombak, bajak sawah (rakkala) dan lain sebagainya.[5]

Relasi dengan budaya Islam lokal di Sulawesi

Walaupun tradisi Bissu dalam memanggil jin adalah tidak sesuai dengan tradisi Islam lokal di Sulawesi, tradisi ini telah dipertahankan oleh komunitas Muslim regional di Sulawesi, dengan syarat bahwa Bissu dan tradisi mereka tidak menunjukkan atau terdiri dari tindakan yang jelas bertentangan dengan syariah Islam. Dalam kasus yang tidak biasa untuk kerasnya tradisi Islam ini, itu berarti bahwa kekuatan seorang Bissu dan jin yang mereka kuasai tidak boleh diukur dengan cara apapun sebagai otonom (berdiri sendiri) dari kekuasaan Allah, karena di dalam sistem Islam, Allah adalah satu-satunya yang harus dihormati.[butuh rujukan]

Kehidupan sehari-hari

Dalam kehidupan sosial sehari-hari, golongan Bissu bersama dengan golongan Calabai ("bukan perempuan") dan Calalai ("bukan laki-laki"), diberi kewenangan penuh dan tidak ada larangan untuk memasuki bagian tempat tinggal perempuan maupun laki-laki di desa-desa.[butuh rujukan]

Bissu Dalam Prosesi Ritual Pencucian Pusaka Kerajaan Bone

Dalam kegiatan pencucian pusaka atau yang dikenal dengan Mattompang Arajang, terdapat beberapa rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Bissu dan perangkat Adat. Bissu mula-mula melakukan ritual dihadapan sajian pada waktu dini hari, siang hari, petang dan malam hari yang dikenal dengan istilah Maddenniari, Mattengngatikka, Mallabukesso dan Mattengngabenni. Tujuan dari kegiatan ini sebagai ungkapan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kegiatan tersebut senantiasa diberkahi dan diberikan kelancaran. Mallekke Wae adalah prosesi pengambilan air yang nantinya dipakai sebagai bahan mencuci pusaka yang diambil daari 7 sumur kerajaan (Bubung Arajang) di masa lampau. Ketujuh sumur antara lain Bubung Laccokkong, Bubung Tello, Bubung Manurungnge, Bubung Lagaroang, Bubung Bissu, Bubung Parani dan Bubung Manurungnge ri Matajang. Sebelum pengambilan air dari ketujuh sumur tersebut, Para Bissu terlebih dahulu memohon ijin dan pamit kepada Bupati Bone beserta jajaran dengan mempersembahkan setalam sirih berikat kepada Bupati sebagai permohonan restu. Setelah prosesi massimang dilakukan para Bissu kemudian mendatangi ketujuh tempat tersebut. Selama prosesi Mallekke Wae berlangsung,turut disertai dengan iringan alat musik yakni gendang, pui-pui, ana beccing dan kancing. Tidak ketinggalan benda-benda kebesaran lainnya yakni Lelluq, tombak dan sajian yang berisi kelapa dan pisang yang dibawa saat prosesi ini.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c Graham, Sharyn (2002). "Sex, Gender, and Priests in South Sulawesi, Indonesia" (PDF). The Newsletter. No. 29. International Institute for Asian Studies. hlm. 27. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-10-23. 
  2. ^ Yusran (2018). ""Bissu" Bukan Waria (Studi Atas Hadis-Hadis Tentang Khuntsa)". Sosisoreligius. 3 (1): 68. ISSN 2476-8847. 
  3. ^ Graham, Sharyn (2001). "Sulawesi's fifth gender". Inside Indonesia. No. 66. Indonesian Resources and Information Program. ISSN 0814-1185. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-14. Diakses tanggal 2017-01-31. 
  4. ^ Pelras, C. 2006. "Manusia Bugis". Penerjemah: Abdul Rahman Abu, Hasriadi, Nurhady Sirimorok ; penyunting terjemahan, Nirwan Ahmad Arsuka, Ade Pristie Wahyo, J.B.Kristanto ; pengantar, Nirwan Ahmad Arsuka. Penerbit Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, École Française d'Extrême-Orient. ISBN: 979993950X
  5. ^ Titiek Suliyati (2018). "Bissu: Keistimewaan Gender dalam Tradisi Bugis". Endogami:Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi. 2 (1): 56-57. ISSN 2599-1078. 

Pranala luar