Tionghoa Padang

orang Indonesia keturunan Tionghoa di Padang

Tionghoa Padang atau Cina Padang adalah masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di Kota Padang, Sumatra Barat, Indonesia. Tionghoa Padang merupakan salah satu dari berbagai etnis yang menghuni Padang selain orang Minangkabau, Jawa, Batak, Nias, Melayu, Sunda, dan Mentawai.[1] Mereka setidaknya telah tinggal selama delapan generasi di Padang.[3] Kebanyakan mereka bekerja sebagai pedagang. Permukiman orang Tionghoa Padang terkonsentrasi di daerah Pondok dan sekitarnya di wilayah Kecamatan Padang Selatan yang dikenal sebagai Kampuang Cino (bahasa Indonesia: Kampung Cina).[4][5]

Tionghoa Padang
Cina Padang
Jumlah populasi
9.498 (Sensus 2010)[1]
±12.000 (2016)[2]
Daerah dengan populasi signifikan
Kecamatan Padang Selatan
Bahasa
Bahasa Minang Pondok
Agama
Agama tradisional Tionghoa, Kristen, Islam

Tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba ke Padang. Diperkirakan orang Tionghoa mulai datang sejak perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad ke-17.[6][7] Pada tahun 2000, populasi orang Tionghoa Padang pernah menjadi nomor tiga terbesar sesudah Minang dan Jawa dengan presentasi 1,90% dari populasi kota. Namun, sesudah gempa bumi pada 2009, banyak dari mereka yang meninggalkan Padang dan pindah ke luar wilayah Sumatra Barat.[8] Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, persentasi orang Tionghoa Padang tinggal 1,1% dari populasi kota atau sebanyak 9.498 jiwa, nomor empat sesudah Minang, Jawa, dan Batak.[1] Pada 2016, populasi Tionghoa Padang berjumlah sekitar 12.000 orang.[2]

Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan budaya Minangkabau. Bahkan, generasi orang Tionghoa Padang kini banyak yang tidak bisa bercakap dalam rumpun bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau. Bahasa yang mereka pertuturkan dikenal sebagai bahasa Minang Pondok.[9] Meskipun demikian, mereka tidak meninggalkan adat dan tradisi mereka. Lewat perkumpulan sosial, budaya, dan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT) yang sudah berdiri sejak abad ke-19, eksistensi adat dan tradisi orang Tionghoa tetap terjaga di tengah masyarakat Kota Padang hingga kini.[10][11][12]

Sejarah

Kedatangan awal

Seperti di daerah lainnya di Nusantara, keberadaan orang Tionghoa di Padang tidak lepas dari fenomena diaspora atau keluarnya orang Tionghoa dari tanah kelahiran mereka untuk tujuan perdagangan. Walaupun tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba di Padang, mereka diperkirakan telah tiba di pantai barat Sumatra pada abad ke-17, mendahului kedatangan bangsa Belanda dan Inggris. Mereka datang dari Banten, yang kala itu menjadi pusat perdagangan di Nusantara.[13] Pada tahun 1630-an, diketahui telah banyak bersandar kapal-kapal Tionghoa di sekitar perairan pantai barat Sumatra. Di antara kota yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal Tionghoa adalah Pariaman. Di daerah tersebut, orang Tionghoa menjual kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama garam. Namun, kebanyakan mereka hanyalah agen dari pedagang Tionghoa yang ada di Banten.[14] Pada tahun 1633, dilaporkan telah ada orang Tionghoa yang menetap di Pariaman.[15]

Pada tahun 1664, Belanda melalui VOC menjadikan Padang sebagai markas besar mereka untuk wilayah pantai barat Sumatera yang ditandai dengan didirikannya sebuah benteng.[16] Belanda mencoba mengalihkan aktivitas perdagangan dari Pariaman ke Padang. Melihat kondisi tersebut, orang Tionghoa mulai berdatangan dan menetap di Padang untuk dapat ikut serta dalam aktivitas perdagangan.[17]

Orang Tionghoa di Padang diperkirakan merupakan mereka yang sebelumnya menetap di Pariaman. Pada tahun 1673, ada laporan tentang "Nahkoda Banten" Tionghoa yang memiliki rumah di Padang bersama beberapa orang Tionghoa lainnya.[7] Rumah yang mereka punya lebih bagus dibandingkan dengan rumah penduduk setempat.[18] Permukiman mereka mengelompok di kawasan di sekitar pinggir Batang Arau. Mereka dapat membeli tanah dari penguasa lokal yang bergelar "panglima raja". Pada tahun 1682, seiring banyaknya jumlah orang Tionghoa di Padang, seorang "Letnan Cina" diangkat untuk mengatur dan mengontrol sesama orang Tionghoa.[19]

Menjadi mitra datang Belanda

 
Sejak kedatangan Belanda di bawah bendera VOC, Padang makin berkembang menjadi pelabuhan yang ramai.

Seiring waktu, orang Tionghoa mulai memegang pengaruh dalam perniagaan di Padang. Mereka menjalin hubungan kerja sama dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda. Hubungan mereka kian lama kian erat karena adonya keuntuangan yang sama-sama diperoleh. VOC yang tidak memiliki banyak pegawai di Padang memberi hak kepada pihak swasta untuk memungut pajak impor dan ekspor. Banyak di antara pihak swasta yang mendapat hak ini adalah orang Tionghoa. Pada tahun 1785, seorang Kapitan Cina bernama Lau Ch'uan-ko memegang hak memungut pajak di Padang.[20] Ketika perniagaan emas di Minangkabau makin merosot, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1790 menyatujui untuk menerimo mata uang orang Tionghoa sebagai pembayar persentase tertentu (dalam hal penjualan kain) untuk Belando. Sementara itu, orang Minangkabau masih bergantung pada emas sebagai alat tukar. Diterimanya mata uang Tionghoa sabagai alat tukar membuat orang Tionghoa makin diuntungkan.[21]

Pada awal abad ke-19, orang Tionghoa di Padang telah melibatkan diri dalam perniagaan luar negeri, terutama dengan kawasan selat seperti Penang, Malaka, dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Gubernur Pantai Barat Sumatera Andreas Victor Michiels nan mendorong orang asing untuk lebih banyak tiba ke Padang dengan tujuan meningkatkan persaingan. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan kepada para pedagang Tionghoa yang dianggap mampu memajukan perekonomian.[22] Salah satunya adolah pinjaman uang untuk modal dari Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), yang menggantikan fungsi VOC yang bangkrut pada 1799.[23][24] Dengan dukungan modal serta jaringan regional dan internasional, pedagang Tionghoa dapat menjadi agen bagi perniagaan barang-barang impor, seperti kain dan porselen.[25] Akibatnya, banyak pedagang Minangkabau bergantung ke pedagang Tionghoa .[26] Pada tahun 1829, disebutkan ada empat orang pialang Tionghoa terkenal, yaitu Lie Heng (atau Lie Gieng), Lie Ma-ch’ao (Lie Matjiaw), Lie Sing, jo Hu A-chiao (Hoi Atjouw).[27] Pada tahun 1833, ada sekitar 700 orang Tionghoa di Padang, kebanyakan mereka adalah "orang kaya".[28]

Tidak hanya menguasai perniagaan barang impor yang dibutuhkan oleh masyarakat Minangkabau di darek, pedagang Tionghoa mulai menggarap perniagaan komoditas ekspor yang berasal dari kawasan darek atau pedalaman Minangkabau. Pada tahun 1847, seorang Tionghoa bernama Lie Saay mendapat kontrak pemerintah kolonial Belanda untuk mengangkut kopi, komoditas ekspor Minangkabau yang terkenal masa itu. Lie Saay melalui perusahaan ekspedisi yang ia punya mengangkut kopi dari Padang Panjang ke Kayu Tanam serta mengangkut garam dan barang-barang lainnya dalam perjalanan pulang.[29] Waktu itu, sarana transportasi hanya didukung oleh jalan setapak yang menghubungkan kampung-kampung darek ke pesisir barat dan ke sungai-sungai yang mengalir ke timur ke Selat Malaka.[30] Angkutan transportasi yang digunakan Lie Saay berupa pedati yang ditarik oleh kuda. Dalam perjalanan, Lie Saay didampingi kakaknya, Lie Maa Toon yang ahli bela diri kungfu sebagai pengawal. Sesudah sarana transportasi seperti jalan darat dan jalur kereta api dibangun, Lie Saay pindah ke Padang dan diangkat menjadi Kapitan Cino pada tahun 1860.[31][32]

Akhir pemerintahan kolonial Belanda

 
Kemajuan Padang yang semula hanya kampung nelayan menjadi pusat perniagaan dan pemerintahan di Sumatra menyebabkan daerah ini rami dikunjungi para pandatang, termasuk orang Tionghoa.

Pada tahun 1865, jumlah orang Tionghoa di Padang adalah 2.973 orang. Pada tahun 1874, 10% dari populasi penduduk Padang yang ketika itu berjumlah sekitar 25.000 orang adalah orang Tionghoa.[16] Pada tahun 1878, jumlah orang Tionghoa di Padang adalah 2.640 orang. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 1865. Pada tahun 1880, jumlah orang Tionghoa di Padang kembali meningkat menjadi 3.468 urang.[33][34]

Melihat jumlah orang Tionghoa di Padang yang cenderung bertambah, pemerintahan kolonial Belanda mengambil kebijakan untuk menata permukiman di Padang. Penataan ini mengikui kebijakan Besluit No. 758 yang ditandatangani oleh Gubernur Pantai Barat Sumatra tanggal 30 Oktober 1884 tentang Penetapan Wilayah untuk Orang Tionghoa di Kota Padang. Lantaran populasi orang Tionghoa terus meningkat, begitu pula orang asiang lainnya, peraturan tahun 1884 ini diperbarui dengan Beslit No. 34 tanggal 3 Februari 1891. Dalam peraturan baru, wilayah orang Tionghoa diperluas sampai memasuki daerah Balakang Tangsi.[35][36][37] Di sini, seorang pedagang Cino bernamo Gho Lam San membuka sebuah pasar berseberangan dengan bekas pasar milik perusahaan orang Minangkabau Badu Ata & Co. yang terbakar pada tahun 1882.[38][39]

Pada tahun 1900, pemerintahan kolonial Belanda melonggarkan izin masuk orang Tionghoa di Hindia Balando. Kebijakan ini berpengaruh terhadap jumlah orang Tionghoa di Padang.[40][41] Jumlah orang Tionghoa pada tahun 1905 adalah sebanyak 5.000 orang, lalu meningkat menjadi 6.765 orang pada tahun 1920, dan meningkat lagi menjadi 8.516 orang pada tahun 1930.[33][34][42] Peningkatan jumlah orang Tionghoa Padang antara tahun 1905 sampai 1930 sejalan dengan gelombang migrasi massal yang dilakukan oleh orang Tionghoa.[43]

Hubungan antaretnis

 
Suasana perayaan Imlek pada 2018 di Padang yang turut dihadiri Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah
 
Atraksi barongsai di Padang

Ketika terjadinya kerusuhan Mei 1998, tidak pernah ada laporan mengenai tindak kekerasan dan kriminal di Padang yang menjadikan orang Tionghoa sebagai sasaran.[44] Pemerintah Kota Padang tidak memberi pembatasan dan pelarangan bagi orang Tionghoa Padang untuk melaksanakan kegiatan mereka baik itu bersifat keagamaan maupun tradisi. Sampai sekarang, Pemerintah Kota Padang terus melibatkan orang Tionghoa Padang untuk ikut serta dalam setiap perayaan ulang tahun kota. Bahkan, atraksi yang ditampilkan oleh orang Tionghoa seperti barongsai dan sipasan menjadi salah satu daya tarik wisata di Kota Padang.[45][46]

Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan masyarakat lokal tempat mereka berada, salah satunya ditandai dengan penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini berbeda dengan, sebagai contoh, orang Tionghoa di pantai Timur Sumatra.[47] Bahkan, mayoritas orang Tionghoa Padang tidak dapat lagi bercakap dalam bahasa asal mereka.[48] Bahasa Minang yang dipertuturkan oleh orang Tionghoa Padang dikenal sebagai bahasa Pondok atau bahasa Minang dialek Pondok, hasil percampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang tapi memakai logat Mandarin.[9] Bahasa tersebut membuat mereka bisa berbaur dengan masyarakat Minangkabau.[49]

Pemerintah Kota Padang secara rutin mendukung kegiatan yang menampilkan budaya Tionghoa Padang dan pembaurannya. Dalam setiap perayaan Imlek, ditampilkan atraksi budaya yang ada dari berbagai etnis yang menghuni Kota Padang. Di antara atraksi yang ditampilan oleh orang Tionghoa Padang adalah barongsai, arak-arakan kio, dan sipasan.[50] Pada 2013, atraksi sipasan yang dibawakan oleh perkumpulan HTT mencatat rekor dunia di Guinness World Records sebagai atraksi mengarak tandu terpanjang, yakni dengan panjang arak-arakan 243 meter dan jarak tempuh 1,9 km. Pencapaian ini mengalahan rekor sebelumnya untuk atraksi serupa yang ditampilkan di Kinmen, Taiwan.[51][52] Sejak 2018, perayaan Imlek telah masuk menjadi kalender wisata Kota Padang yang dikemas dalam Festival Multikultural.[53][54]

Pada 2019, untuk kali pertama diadakan Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo. Dalam kegiatan ini, sebanyak 10.000 bakcang ayam dan lamang baluo dibagikan kepada masyarakat secara gratis. Kedua kuliner tersebut memiliki kesamaan dalam bahan yang digunakan dan pembuatannya, yakni ketan dengan isian dan dibungkus dengan daun.[55] Selain pembagian makanan, Festival Bakcang Ayam dan Lamang Balio dimeriahkan pulo dengan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa Padang dan Minang.[56]

Sejak 1966 sampai sekarang

 
Makam korban gempa 2009 dari orang Tionghoa Padang di Bungus

Pada tahun 1966, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 yang isinya mengharuskan orang Tionghoa di Indonesia mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Di Padang, hampir 8.000 orang Tionghoa melakukannya.[57] Kebijakan khusus untuk orang Tionghoa di Indonesia dibuat pula oleh rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang dikenal dengan kebijakan asimilasi. Pada tahun 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang isinya membatasi aktivitas agama, adat, dan tradisi Tionghoa di muka umum. Orang Tionghoa Padang menuruti kebijakan tersebut. Namun begitu, pemerintah dan masyarakat Kota Padang memberi kelonggaran terhadap mereka.[58] Mereka tetap dapat melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka di bawah pengeolaan perhimpunan keluarga (marga) maupun perkumpulan sosial, budaya, dan kematian.[59]

Ketika terjadinya kerusuhan Mei 1998, saat orang Tionghoa di banyak tempart di Indonesia mendapat perlakukan tidak baik, tidak pernah ada laporan adonya tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan Orang Tionghoa sebagai sasaran di Padang.[44] Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Sejak itu, orang Tionghoa Padang dapat bebas kembali melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka.[60]

Sesudah terjadinya gempa bumi yang mengguncang Sumatra Barat pada 30 September 2009, banyak orang Tionghoa Padang yang mengungsi keluar kota. Hal tersebut berakibat pada menurunnya populasi orang Tionghoa Padang. Hingga kini, belum semua orang Tionghoa yang meninggalkan Padang kembali, walaupun kondisi kota telah pulih. Mengingat Padang merupakan daerah rawan tsunami, orang Tionghoa banyak yang memutuskan pindah keluar kota, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jambi.[8][56] Ketika dilakukan Sensus Penduduk pada tahun 2010, persentase orang Tionghoa Padang hanya tinggal 1,1% dari populasi kota atau berjumlah 9.498 jiwa.[1]

Dampak paling terasa dari gampa bumi 2009 adalah runtuhnya Kelenteng Se Hien Kiong. Akibatnya, aktivitas ritual orang Tionghoa Padang sempat terhambat. Selama beberapa waktu, orang Tionghoa Padang menyelanggarakan ibadahnya di bangunan sederhana yang bersifat sementara di depan bangunan kelenteng.[61][62] Pada Desember 2010, masyarakat Tionghoa Padang sepakat untuk mendirikan kelenteng baru. Rancangan bangunannya tidak jauh berbeda dengan kelenteng lama, tapi dengan lokasi baru. Kelenteng baru diresmikan pada Maret 2013. Pembangunannya menelan biaya sekitar Rp5 miliar.[63]

Sosial dan kemasyarakatan

Orang Tionghoa Padang berasal dari berbagai marga. Sistem marga dalam keluarga etnis Tionghoa didasarkan pada asal keturunan dari leluhur yang sama. Keberadaan sebuah marga biasanya ditandai dengan rumah marga. Aktivitas utama rumah marga adalah menyelenggarakan sembayang kepada leluhur dan dewa yang mereka diyakini. Selain itu, anggota rumah marga saling membantu dan memperhatikan antarsesama.[64] Namun, karena beberapa marga jumlahnya tidak banyak, hanya ada tujuh marga di Padang yang memiliki rumah marga sendiri, yakni marga Tan, marga Oei, marga Ong, marga Choa, marga Lie & Kwee, marga Gho, dan marga Lim.[65]

Kampung Cina

 
Kampuang[pranala nonaktif permanen] Cina Padang pada masa kolonial Belanda.

Orang Tionghoa di Padang tinggal mengelompok dan membentuk permukiman yang dikenal sebagai Kampung Cina.[4] Letak kawasan tersebut berada di sisi utara dekat muara Batang Arau, Kecamatan Padang Selatan. Dulunya, orang Tionghoa memilih tinggal dekat muara karena dekat dengan akses transportasi laut yang kala tu merupakan sarana utama dalam perdagangan ekspor dan impor. Mengelompoknya tempat tinggal orang Tionghoa tidak lepas pula dari adanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem sentralisasi permukiman pada satu kawasan bagi penduduk pendatang. Oleh Belanda, permukiman orang Tionghoa Padang dikonsentrasikan pada satu kawasan, yakni di daerah Pondok dan sekitarnya sehingga lama-kelamaan daerah itu menjadi permanen sebagai permukiman orang Tionghoa Padang sampai saat ini.[5]

Di Kampung Cina, terdapat sebuah kelenteng yang bernama Kelenteng See Hien Kiong. Letaknya berada dekat tepi Batang Arau, menghadap ke Bukit Gado-Gado di Subarang Palinggam. Meskipun tahun pambangunannya tidak diketahui pasti, kelenteng ini diperkirakan berdiri pada sekitar pertangahan abad ke-19, berdasarkan tinggalan berupa lonceng (genta) yang ada di dalam kelenteng yang bertarikh tahun 1841.[61] Kelenteng See Hien Kiong menjadi tempat sembahyang orang Tionghoa terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah. Peruntukan kelenteng ini adalah untuk orang Tionghoa di Padang pada umumnya. Keberadaan kelenteng di Kampung Cina yang hanya satu menunjukkan bahwa mayoritas orang Tionghoa Padang mempunyai leluhur yang sama. Hal ini membuatnya berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya orang Tionghoa di Jakarta dan Semarang yang punya banyak kelenteng masing-masing berdasarkan leluhur dan dewa yang disembah.[66] Kelenteng See Hien Kiong bahkan menjadi kelenteng satu-satunya di Sumatra Barat.[67]

Agama

Agama orang Tionghoa Padang meliputi agama tradisional Tionghoa, Katolik, Protestan, dan Islam. Saat ini, mayoritas orang Tionghoa Padang menganut Katolik. Hal ini disebabkan banyaknya anak-anak Tionghoa yang belajar di sekolah yang didirikan oleh misionaris Katolik pada masa kolonial Belanda di Padang.[2]

Pada 1978, pemerintah Soeharto menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Akibatnya, penganut agama Konghucu dan Tao banyak yang pindah ke agama Buddha, Katolik, Protestan, bahkan Islam.[68]

Pada 1993, Muslim Tionghoa Padang membentuk cabang Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).[69] Pada 2016, terdapat sekitar 300 Muslim Tionghoa di Padang, tetapi mereka sulit diidentifikasi karena cenderung menyembunyikan status mualaf mereka dari keluarga dan kerabat. Muslim Tionghoa biasanya mendapatkan diskriminasi atau dikucilkan dari lingkungan keluarga dan kerabatnya.[70][2]

Catatan kaki

Rujukan

  1. ^ a b c d Riniwaty Makmur (2018), hlm. 16.
  2. ^ a b c d Rusli & Rois 2020.
  3. ^ Rahmat Irfan Denas 11 Februari 2021.
  4. ^ a b Mardanas Safwan (1987), hlm. 15.
  5. ^ a b Riniwaty Makmur, dkk (2018), hlm. 135.
  6. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 55a: "Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post."
  7. ^ a b Christine Dobbin (2016), hlm. 135a: "Almost immediately after the establishment of the Dutch factory at Padang some Chinese must have settled there as agents for Batavian Chinese, possibly moving south from Pariaman. In 1673 there are reports of a Chinese 'Nakoda Banten' living at Padang in his own house, and other Chinese were also settled there performing services for company officials as they did at Batavia."
  8. ^ a b Rahmi Surya Dewi (2018), hlm. 28.
  9. ^ a b Riniwaty Makmur, dkk (2018), hlm. 138-139.
  10. ^ Erniwati (2007), hlm. 190: "Kedua perkumpulan ini berperan besar dalam menjaga budaya dan adat istiadat leluhur meskipun untuk saat ini genrasi muda kehilangan maknanya. Namun keberadaan kedua perkumpulan ini juga seakan-akan membagi etnis Cina Padang atas dua kelompok."
  11. ^ Riniwaty Makmur (2018), hlm. 56.
  12. ^ Kompas.com (5 Februari 2008).
  13. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "Before the Dutch and the English came to Sumatra for pepper, Chinese pepper traders had been visiting west Sumatra from their commercial base at Banten."
  14. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 134–135: "Very few of these Chinese traded with their own capital, and they had meagre capital resources; they were generally agents for Banten Chinese, who in turn operated a commenda trade using money and goods supplied by merchants in China and, later on, by Europeans in Banten."
  15. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "In the 1630s their vessels were reported to be swarming to the coast in search of pepper, and it seems likely that there were Chinese settled at Pariaman to act as agents for their compatriots; certainly they were reported to be established there in 1663."
  16. ^ a b Freek Colombijn (1994), hlm. 134: "In 1666 the Dutch made Padang their headquarters on Sumatra's west coast and built a fortress."
  17. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 55: "Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post."
  18. ^ Steven Adriaan Buddingh (1861), hlm. 161.
  19. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 135b: "In that year several Chinese bought land from the panglima raja to establish a brickworks, and by 1682 there were so meny Chinese at the entrepôt that a Lieuteyangt Chinese had to be appointed to regulate matters concerning them."
  20. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 136a: "In 1785 the farm for collecting import and export duties at Padang was sold to the Captain Chinese, Lau Ch'uan-ko."
  21. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 136b: "With the decline of the gold trade, it was agreed by the Batavia government in 1790 to accept specie for a certain percentage of the company's cloth sales at Padang, so that the cloth trade would not be totally paralysed by the absence of gold. This too benefited the Padang Chinese, who were the only group at the port with access to specie, and enabled them now to act as brokers in the company's cloth trade, bypassing the Minangkabau brokerage system which relied on exchanging gold for cloth."
  22. ^ Erniwati (2007), hlm. 46a: "Gubernur Michiels mendorong orang asing untuk lebih banyak datang ke Padang dengan tujuan meningkatkan persaingan, sehingga Padang menjadi pelabuhan yang ramai dan dinamis. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan kepada para pendatang, terutama kepada pedagang Cina yang dianggap mampu memajukan perekonomian."
  23. ^ Gusti Asnan (2003), hlm. 59.
  24. ^ Erniwati (2007), hlm. 79: "Bahkan NHM memberikan uang muka kepada pialang Tionghoa sebagai modal untuk mengumpulkan hasil produksi dari daerah pedalaman."
  25. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 158: "They imported Chinese goods such as cloth and porcelain for domestic use from Batavia, Penang and later Singapore,..."
  26. ^ Erniwati (2007), hlm. 67: "Orang Cina yang waktu itu memiliki mata uang akhirnya menduduki posisi penting, bahkan mereka berhasil menjadi pialang dan mampu menggeser kelompok pialang tradisional Minangkabau hingga memasuki daerah pedalaman. Akibatnya orang Minangkabau sangat tergantung terhadap barang-barang pokok yang diperoleh melalui pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional, sedangkan pedagang pengecer juga tergantung kepada pedagang monopoli Belanda dan Cina."
  27. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 159: "The four leading Chinese brokers in Padang in 1829, just as the American coffee boom was passing, were Li Heng, Li Ma-ch'iao, Li Sing and Hu A-chiao."
  28. ^ Millies 1850, hlm. 35.
  29. ^ Erniwati (2007), hlm. 46b: "'Untuk pertama kalinya pada tahun 1847 Lie Saay berhasil membuat kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda untuk mengangkut kopi dari Padang Panjang ke Kayutanam dan mengangkut garam dan barang-barang lainnya dalam perjalanan baliknya. ."
  30. ^ Jeffrey Hadler 2010, hlm. 40-41.
  31. ^ Erniwati (2007), hlm. 46c: "Perusahaan ekspedisi Lie Saay membawa hasil bumi mengunakan pedati (gerobak) kuda melewati lereng Lembah Anai di bawah pengawalan kakaknya Lie Maa Toon yang bisa bela diri kungfu. Perusahaan ekspedisi ini berkembang hingga dibangun jalan darat dan jalur kereta api."
  32. ^ Rusli Amran (1988), hlm. 31.
  33. ^ a b Elizabeth E. Graves (2007), hlm. 92-93.
  34. ^ a b Erniwati (2007), hlm. 38.
  35. ^ Erniwati (2007), hlm. 68: "Lama-kelamaan lokasi perkampungan Tionghoa semakin berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah orang Tionghoa yang bermukim. Di Padang, perluasan permukiman Tionghoa ini sampai ke daerah Belakang Tangsi..."
  36. ^ Padangkita.com (23 Oktober 2017).
  37. ^ Mardanas Safwan (1987), hlm. 101.
  38. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 235: "Badu Ata & Co. started their second market-place in the Belakang Tangsi area, further north. It was successful until destroyed by fire in 1882. Immediately afterwards the Chinese Gho Lam San opened a new market next to the charred remains of Badu Ata & Co."
  39. ^ Rusli Amran (1988), hlm. 23.
  40. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 55b: "Chinese have come to Indonesia in several waves of migration, the last one after the Dutch government's relaxation on Chinese entry after 1900."
  41. ^ Erniwati (2007), hlm. 62: "Imigran Cina yang datang menjelang akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 (1930-an) merupakan migrasi yang dilakukan secara massal."
  42. ^ http://repository.unp.ac.id/1227/1/MESTIKA%20ZED_213_11.pdf
  43. ^ Erniwati (2007), hlm. 40: "Pada tahun 1930 ditemukan 51% perantauan Cina berasal dari keturunan ke tiga yang terdiri dari 80% Hokkian, 15% Kwongfu, 2% Hakka, dan 3% dari suku lainnya. Dari perkiraan penduduk tahun 1930 terlihat bahwa penduduk Cina Padang mayoritas berasal dari kelompok bahasa Hokkian yang tergolong ke dalam pedagang yang berasal dari Amoy."
  44. ^ a b Erniwati (2007), hlm. 7a: "Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tidak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang." Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "FOOTNOTEErniwati20077a" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  45. ^ Nerosti (2002), hlm. 73.
  46. ^ Republika.co.id (10 Januari 2020).
  47. ^ Kantor Waligereja Indonesia 1974, hlm. 118.
  48. ^ Rahmi Surya Dewi (2018), hlm. 29.
  49. ^ Riniwaty Makmur (2018), hlm. 277.
  50. ^ Kompas.com (10 Pebruari 2009).
  51. ^ Tempo.co (25 Agustus 2013).
  52. ^ Taiwan Today (16 Mei 2011).
  53. ^ Harian Haluan (10 Pebruari 2020).
  54. ^ Posmetro Padang (7 Pebruari 2019).
  55. ^ Antara (6 Juni 2019).
  56. ^ a b Kompas.id (8 Juni 2019).
  57. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 135a: "The presidential decree No. 127 of 1966 compelled them to change their names to autochthonous ones; nearly eight thousand Chinese in Padang did so."
  58. ^ Erniwati (2007), hlm. 4-5: "Kelonggaran ini tidak saja diberikan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat kota Padang. Bahkan di saat perayaan ulang tahun kota Padang, pemerintah juga mengundang barongsai dan sipasan untuk beratraksi melalui dua perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman dan Himpunan Bersatu Teguh."
  59. ^ Erniwati (2007), hlm. 4: "Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Cina Padang tetap bisa melaksanakan budaya dan adat istiadat leluhur di bawah pengelolaan perhimpunan keluarga (marga) dan perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT), serta Himpunan Bersatu Teguh (HBT)."
  60. ^ Erniwati (2007), hlm. 3-4: "Perubahan terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres no 6/2000 untuk mencabut Inpres no.14/1967 dan membebaskan etnis Cina untuk merayakan hari besar dan adat istiadat serta tradisi mereka."
  61. ^ a b Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat (8 Juni 2017).
  62. ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat (2018), hlm. 13.
  63. ^ Padang.go.id (23 September 2018).
  64. ^ Erniwati (2007), hlm. 63: "Rumah marga atau yang disebut kongsi oleh Cina Padang mengayomi etnis Cina berdasarkan suku yang sama, sehingga aktivitas utama rumah marga adalah membantu sesama anggota, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung. Selain itu, rumah marga juga berperan dalam melestarikan kebudayaan dan tradisi leluhur, termasuk menyelenggarakan upacara-upacara yang bersifat kekeluargaan, seperti pesta perkawiyang, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung, serta prosesi pemakaman secara tradisional."
  65. ^ Riniwaty Makmur (2018), hlm. 147.
  66. ^ Erniwati (2007), hlm. 53: "Klenteng See Hien Kiong merupakan tempat untuk melakukan sembahyang terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah menunjukkan bahwa mayoritas etnis Cina Padang memiliki leluhur yang sama. Berbeda halnya dengan etnis Cina yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya di Jakarta dan Semarang ditemukan banyak klenteng yang masing-masing memiliki spesifik tersendiri dengan leluhur dan dewa yang berbeda pula."
  67. ^ Erniwati (2007), hlm. 52: "Klenteng See Hien Kiong merupakan satu-satunya yang terdapat di Sumatera Barat."
  68. ^ Erniwati & Hardi, Etmi. (2018). Kelenteng See Hin Kiong: Perubahan Fungsi Pada Masa Orde Baru. 73-88. 10.24036/diakronika/vol0-iss0/39.
  69. ^ Doni & Arki 2019.
  70. ^ Nunu & Dodi 2020.

Daftar pustaka