Prasasti Sri Ranapati

Prasasti Śṛī Rānāpati adalah prasasti peninggalan yang berasal dari era kerajaan Medang, ditemukan pada tahun 2017 di dusun Nglarung, desa Kataan, kecamatan Ngadirejo, kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti ini berbentuk batu berukuran 65 x 47 cm, ditulis oleh seseorang bernama "Sang Wayur Saprācarla" menggunakan aksara Kawi dan bahasa Jawa Kuno dengan angka tahun 13 April 787 M.

Fisik

Prasasti terbuat dari batu andesit berukuran kira-kira 65 x 47 cm. Suratan pada prasasti diketahui menggunakan aksara Kawi dan berbahasa Jawa Kuno (dengan campuran kata Melayu Kuno). Aksara tertulis cenderung bulat dan agak condong (italic) ke kanan. Ukuran aksara sekitar 1 cm, tetapi beberapa aksaranya kurang dari itu.

Penemuan

Prasasti Sri Ranapati ditemukan pada tahun 2017 oleh Bapak Wardi yang sehari-hari bekerja sebagai pencari batu. Ia menemukan batu tersebut pada sepetak sawah tidak jauh dari tempat keberadaan arca Ganesha di Dusun Nglarug, Desa Kataan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung.

Isi

Prasasti ini dapat diartikan sebagai salah satu artefak berbentuk keputusan resmi yang dikeluarkan oleh penguasa atau raja yang berisi pengumuman, peraturan dan perintah.

Teks prasasti

Alih aksara[1]

  1. bhagawanta tā
  2. karayān kasyāpa ... nama
  3. swasti śaka wa(r)ṣatita
  4. 709 caitra māsa ṣaṣṭi kṛṣṇapakṣa
  5. śukra wāra wurukuŋ pon tatkāla ḍaŋ karayān
  6. (pahatan hilang) śṛī rānāpati mamulaŋnakan sīma di wunwa i
  7. ḍisuruḥ ḍaŋ karayān hamaṇdraŋ ḍapunta tis mahālaka ḍisu
  8. ruḥ ḍaŋ karayān wakka saŋ ḍanu°i, ḍisuruḥ ḍapunta maŋṅulu ...
  9. ḍapunta tira ḍisuruḥ ḍaŋ tirru°an nagalahasaŋ ...
  10. ḍisuruḥ ḍapunta rāja laŋligwaraḥ
  11. saŋ wayur sapracarla nama
  12. manurat

Alih bahasa[1]

  1. (kepada yang terhormat) bhagawanta
  2. (yang bernama) karayān kasyāpa ...
  3. Selamat(lah) tahun śaka yang telah berlalu (selama)
  4. 709, pada bulan caitra, tanggal enam parogelap
  5. (di) hari jumat, wurukuŋ pon ketika (itu) ḍaŋ karayān (pemimpin)
  6. (batu pecah)(yang bernama) śṛī rānāpati me(nata) ulang (aturan) sīma di desa di
  7. (yang) diminta/diperintah (adalah) ḍaŋ karayān hamaṇdraŋ ḍapunta (yang bernama) tis mahālaka, (yang) di
  8. minta/diperintah (adalah) ḍaŋ karayān wakka saŋ (yang bernama) ḍanu°i, (yang) diminta/diperintah (adalah) ḍapunta maŋṅulu (yang bernama) ...
  9. ḍapunta tira (yang) diminta/diperintah (adalah) ḍaŋ tirru°an (yang bernama) nagalaha saŋ ...
  10. (yang) diminta/diperintah (adalah) ḍapunta rāja (yang bernama) laŋligwaraḥ
  11. saŋ wayur sapracarla (adalah) nama
  12. yang menulis (di batu ini)

Penafsiran prasasti

Secara ringkas dapat diceritakan bahwa pada tanggal 13 April 787 Masehi seorang pemimpin (ḍaŋ karayān) yang bernama śṛī rānāpati, menata ulang aturan sebuah sīma yang berada di sebuah desa.

Nama pejabat yang diminta/diperintahkan untuk usaha menata ulang sīma tersebut berturut turut adalah ḍaŋ karayān hamaṇdraŋ ; ḍapunta tis mahālaka; ḍaŋ karayān wakka saŋ ḍanu°i ; ḍapunta maŋṅulu; ḍapunta tira; ḍaŋ tirru°an nagalaha saŋ dan ḍapunta rāja laŋligwaraḥ. Nama penulis prasasti ini adalah saŋ wayur sapācarla.

Puja puji pada dewa, raja atau orang yang dihormati biasa terdapat pada bagian manggala suatu prasasti. Manggala prasasti-prasasti sebelum era Kadiri, biasanya pendek pendek dan biasanya ditujukan kepada para dewa. Misalnya “Om namaśśiwaya namo buddaya” (Prasasti Taji Gunung 832 Ś).[2]

Penyebutan nama bhagawan Kasyapa di awal prasasti menarik untuk dicermati lebih lanjut. Diketahui bhagawan Kasyapa adalah cucu Brahma ayah dari segala mahluk bumi. Salah satu diantaranya adalah garuda tunggangan dewa Wisnu dan para Naga. Kisah ini terdapat dapat salah satu bagian Adiparwa dalam kitab Mahabharata (Juynboll, 1906;29). Meskipun masih perlu penelitian lebih lanjut namun untuk sementara dapat dikatakan bahwa prasasti ini bersifat Hindu.

Pembacaan angka tahun pada prasasti Śṛī Rānāpati adalah 709 Ś (śaka wa(r)ṣatita 709). Prasasti Wanua Tṅah III memberi berita bahwa Rakai Panaraban naik tahta pada tahun 706 Ś – 725 Ś. Merujuk pada hal ini maka dapat dikatakan bahwa prasasti Śṛī Rānāpati, dibuat pada masa pemerintahan Rakai Panaraban menjadi raja di Medang. Selain prasasti Wanua Tṅah III, belum ditemukan lagi sebuah berita tentang Rakai Panaraban.[3]

Penataan ulang atau penetapan ulang sebuah sīma adalah hal yang biasa terjadi pada masa masa kemudian karena banyak hal. Penataan ulang disini diartikan sebagai usaha untuk memurnikan kembali aturan/hak sebuah sīma seperti posisi semula ketika ditetapkan pada suatu masa. Meskipun ‘seharusnya” sīma umumnya berlaku untuk selamanya karena adanya kalimat “mne hlěm tka ri dlaha ning dlaha ; sejak sekarang hingga selama lamanya”, akan tetapi dapat pula keputusan untuk selama lamanya itu dicabut. Hal ini pernah terjadi pada sīma sawah di Wanua tṅah. Ketetapan atas sīma pernah dicabut dua kali oleh dua orang raja. Hal ini menunjukkan bahwa pernah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan ketetapan.[2]

Banyak nama dan jabatan yang disebut dalam prasasti ini. Selain nama bhagawan Kasyapa, sebagai tokoh yang dihormati, tokoh utama pembuatan prasasti ini adalah ḍaŋ karayān śṛī rānāpati. Setelah itu berturut turut muncul nama dan jabatan seperti; ḍaŋ karayān, ḍapunta maŋṅulu ḍaŋ tirru°an dll. Serta diakhiri dengan nama sang penulis prasasti. Nama nama itu diselingi dengan kata “ḍisuruḥ” yang mungkin sekali adalah serapan dari kata bahasa Melayu Kuno. Tidak ada keterangan lain tentang hal ini. Kata “ḍisuruḥ” dapat merujuk pada susunan birokrasi yang ada di bawah ḍaŋ karayān śṛī rānāpati, orang per orang berurutan sampai jabatan paling bawah. Akan tetapi dapat pula kata itu merujuk pada sebuah kelompok pejabat yang mendapat perintah dari ḍaŋ karayān śṛī rānāpati.

Referensi

  1. ^ a b Agoeng Sambodo, Goenawan, Kajian Singkat Prasasti Śṛī Rānāpati (PDF), diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-06-07, diakses tanggal 2020-06-07 
  2. ^ a b Riboet, Darmosoetopo (1997), Sima dan bangunan keagamaan di Jawa abad IX-X, Yogyakarta: Prana Pena 
  3. ^ Kusen (1988). Prasasti Wanua Tengah III, 830 Saka; studi tentang latar belakang perubahan status sawah di wanua tengah sejak rake Panangkaran sampai rake Watukura dyah Balitung”. Yogyakarta: Kegiatan Ilmiah Arkeologi, IAAI Komisariat Yogyakarta, Jawa Tengah. 

Lihat pula