Mapanji Garasakan

Revisi sejak 1 April 2022 20.53 oleh Ibuku (bicara | kontrib)

Sri Maharaja Mapanji Garasakan adalah raja pertama Kerajaan Janggala yang memerintah tahun 1042-1052.

Pembagian Kerajaan oleh Airlangga

Menurut Serat Calon Arang, pada akhir pemerintahannya, Airlangga dihadapkan pada persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Wilayah kerajaan terpaksa dibelah menjadi dua. Bagian barat disebut Kerajaan Kadiri, sedangkan bagian timur disebut Kerajaan Janggala. Peristiwa ini terjadi pada akhir November 1042 (prasasti Pamwatan dan prasasti Gandhakuti).

Berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044) diketahui raja pertama Janggala bernama Mapanji Garasakan.

Perang Saudara

Pembelahan kerajaan sepeninggal Airlangga tidak membuahkan hasil. Perang saudara tetap terjadi antara Garasakan raja Janggala melawan Sri Samarawijaya raja Kadiri. Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala. Dalam Prasasti Malenga, pada tahun 1044 Garasakan menetapkan desa Malenga atau Turun Hyang sebagai sima swatantra atau perdikan, karena para pemuka desa tersebut setia membantu Janggala melawan Kadiri.

Dalam Prasasti Kambang Putih tersebutlah, Raja Sri Mapanji Garasakan menceritakan tentang kejadian Kambang Putih yang menyerang Istana Kerajaan Janggala. Kambang Putih merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Panjalu yang berperang dengan Kerajaan Janggala.

Pada tahun 1052 Garasakan memberi anugerah untuk desa Malenga karena membantu Janggala mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Linggajaya ini merupakan raja bawahan Kadiri. Piagam yang berkenaan dengan peristiwa tersebut terkenal dengan nama prasasti Malenga.

Kematian Garasakan

Prasasti selanjutnya bernama Prasasti Banjaran (1052) yang mengisahkan tentang putra mahkota Janggala bernama Alanjung Ahyes yang melarikan diri ke hutan Marsma, karena ibu kota Janggala, yaitu Kahuripan diserang musuh. Alanjung Ahyes kemudian berhasil merebut kembali takhta Janggala berkat bantuan para pemuka desa Banjaran.

Dari berita tersebut dapat diperkirakan bahwa Garasakan tewas tahun 1052 akibat serangan musuh tersebut. Dan, musuh Janggala yang paling kuat saat itu tentu saja Kerajaan Kadiri. Namun tidak diketahui dengan pasti apakah raja Kadiri saat itu masih Sri Samarawijaya atau bukan.

Kepustakaan

  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara