Pattimura

pahlawan nasional Indonesia

Thomas Matulessy 8 Juni 1783 – 16 Desember 1817, juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, atau Pattimura adalah pahlawan nasional Indonesia dari hualoy Maluku

Thomas Matulessy
Kapitan Pattimura diabadikan sebagai salah satu perangko
JulukanKapitan Pattimura
Lahir(1783-06-08)8 Juni 1783
Hualoy,seram selatan
Meninggal16 Desember 1817(1817-12-16) (umur 34)
Victoria, Ambon, Kepulauan Maluku, Hindia Belanda
PengabdianBritania Raya Maluku Britania
Dinas/cabang Angkatan Darat Kerajaan
PangkatSersan Mayor
Perang/pertempuranPerang Pattimura
PenghargaanPahlawan Nasional Indonesia
(diterima 6 November 1973)

Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M. Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram)". Ayahnya yang bernama Antoni Matulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram.

Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura, Kodam XVI/Pattimura dan Bandar Udara Internasional Pattimura di Ambon.

Biografi

Pattimura lahir sebagai Thomas Matulessy pada 8 Juni 1783 di Saparua, Maluku; nama Pattimura adalah nama samarannya.[1][2]Thomas adalah seorang yang beragama Nasrani. Orang tuanya adalah Frans Matulessia dan Fransina Tilahoi, dan dia memiliki seorang adik laki-laki bernama Yohanis.[3] Pada tahun 1810, kepulauan Maluku diambil alih dari penjajahan Belanda oleh Inggris.[4] Mattulessi menerima pelatihan militer dari tentara mereka dan mencapai pangkat sersan mayor.[1]

Setelah penandatanganan Perjanjian Anglo Belanda pada 13 Agustus 1814 pada tahun 1816 kepulauan Maluku dikembalikan kepada Belanda; Pattimura menghadiri upacara tersebut. Setelah itu, dengan melanggar perjanjian, dia dan rekan-rekan prajuritnya dipulangkan ke kampung halaman mereka.[2][4] Namun, Pattimura menolak untuk menerima pemulihan kekuasaan Belanda. Ia merasa bahwa mereka akan berhenti membayar guru-guru Agama Kristen pribumi, seperti yang telah mereka lakukan pada tahun 1810, dan khawatir bahwa usulan peralihan ke mata uang kertas akan membuat orang Maluku tidak dapat memberi derma— hanya koin yang dianggap sah — dan dengan demikian menyebabkan gereja tidak dapat membantu orang miskin.[5]

Pemberontakan Ambon tahun 1817

 
Benteng Duurstede, Saparua, Indonesia

Ia ditunjuk sebagai Kapitan oleh rakyat Saparua untuk memberontak melawan Belanda pada 14 Mei 1817.[1] Serangan dimulai pada tanggal 15, dengan Pattimura dan para letnannya Said Perintah, Anthony Reebhok , Paulus Tiahahu dan putri Tiahahu Martha Christina Tiahahu memimpin.[6] Pada 16 Mei 1817, mereka merebut Benteng Duurstede dan membunuh 19 tentara Belanda, Residen Johannes Rudolph van den Berg (yang baru tiba dua bulan sebelumnya), istrinya, tiga anaknya dan pengasuh mereka.[7][1][6] Satu-satunya Belanda yang selamat adalah putra Van den Berg yang berusia lima tahun, Jean Lubbert.[6] Setelah perebutan, pasukan Pattimura mempertahankan benteng dan pada 20 Mei mengalahkan Mayor Beetjes, Letnan Dua ES de Haas, dan 200 tentara, hanya menyisakan 30 yang selamat.[7] Pada tanggal 29 Mei, Pattimura dan para pemimpin Maluku lainnya membuat Proklamasi Haria, yang menguraikan keluhan mereka terhadap pemerintah Belanda dan menyatakan Pattimura sebagai pemimpin rakyat Maluku.[8] Sebagai tanggapan, Gubernur Jenderal Van der Capallen segera memecat Gubernur Ambon, Jacobus A. van Middelkoop, dan tangan kanannya, Nicolaus Engelhard, karena pelanggaran mereka terhadap masyarakat setempat.[9]

Pada 1 Juni, Pattimura memimpin serangan yang gagal ke Benteng Zeelandia di Haruku.[8] Dua bulan kemudian, pada tanggal 3 Agustus, Benteng Duurstede akhirnya direbut kembali oleh Belanda, tetapi pemberontakan telah menyebar dan tidak dapat ditundukkan selama beberapa bulan lagi.[7]

Karena pengkhianatan dari raja Booi, Pati Akoon, dan Tuwanakotta, Pattimura ditangkap pada 11 November 1817 ketika ia berada di Siri Sori. Dia dan rekan-rekannya dijatuhi hukuman mati. Pada 16 Desember 1817, Pattimura bersama Anthony Reebhok, Philip Latumahina, dan Said Parintah digantung di depan Benteng Nieuw Victoria [nl] di Ambon.[10][11]

Perjuangan

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan militer Inggris.[12]

Pada tahun 1816, pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongitochten), serta mengabaikan Traktat London I, antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan.[13]

Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura[14] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, tua-tua adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir raja-raja patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para raja patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinasi Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebook, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede di Saparua, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jazirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Referensi

  1. ^ a b c d Ajisaka & Damayanti 2010, hlm. 9
  2. ^ a b Poesponegoro & Notosusanto 1992, hlm. 183
  3. ^ Sudarmanto 2007, hlm. 198
  4. ^ a b Sudarmanto 2007, hlm. 199
  5. ^ Aritonang & Steenbrink 2008, hlm. 385
  6. ^ a b c Kusumaputra, Adhi (9 November 2009). "Pattimura, Pahlawan asal Maluku yang Dihukum Mati Belanda" [Pattimura, the Hero from Maluku who was Executed by the Dutch]. Kompas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 January 2012. Diakses tanggal 15 January 2012. 
  7. ^ a b c Peter van Zonneveld (1995)Pattimura en het kind van Saparua. De Molukken-opstand van 1817 in de Indisch-Nederlandse literatuur, Indische Letteren, 10:41-54.
  8. ^ a b Sudarmanto 2007, hlm. 200
  9. ^ Thomas Matulessy, Kapitan Pattimura Muda
  10. ^ Ajisaka & Damayanti 2010, hlm. 10
  11. ^ Sudarmanto 2007, hlm. 201
  12. ^ Pahlawan Nasional dari Maluku Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. dalam www.tokohindonesia.com
  13. ^ J B Soedarmanta, Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia, Grasindo, 2007, halaman 199, ISBN 979-759-716-4 ISBN 978-979-759-716-0
  14. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Sejarah Maluku

Pranala luar