Kolonialisme

pembuatan dan pemeliharaan koloni oleh orang dari wilayah lain

Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistim ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan.

Advokasi dari kolonialisme berpendapat bahwa hukum kolonial menguntungkan negara yang dikolonikan dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan untuk pemodernisasian dan demokrasi. Mereka menunjuk ke bekas koloni seperti AS, Australia, Selandia Baru, Hong Kong dan Singapura sebagai contoh sukses pasca-kolonialisme.

Peneori ketergantungan seperti Andre Gunder Frank, berpendapat bahwa kolonialisme sebenarnya menuju ke pemindahan kekayaan dari daerah yang dikolonisasi ke daerah pengkolonisasi, dan menghambat kesuksesan pengembangan ekonomi.

Pengkritik post-kolonialisme seperti Franz Fanon berpendapat bahwa kolonialisme meruak politik, psikologi, dan moral negara terkolonisasi.

Penulis dan politikus India Arundhati Roy berkata bahwa perdebatan antara pro dan kontra dari kolonialisme/imperialisme adalah seperti "mendebatkan pro dan kontra pemerkosaan".

Lihat juga neokolonialisme sebagai kelanjutan dari dominasi dan eksploitasi dari negara yang sama dengan cara yang berbeda (dan sering kali dengan tujuan yang sama).


Topik yang berhubungan



“KOLONIALISME BELUM MATI!”


Memperbarui Semangat Bandung 1955: Menggalang Persatuan Rakyat untuk Melawan dan Menelanjangi Imperialisme Amerika Serikat dan Kaki Tangannya di berbagai Negeri


Draft Pandangan Politik

ALIANSI GERAKAN REFORMA AGRARIA

Menyambut Peringatan Emas 50 tahun Konferensi Bandung 1955


PENGANTAR

Pada saat ini, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Afrika Selatan tengah bersiap untuk melaksanakan Konferensi II Bangsa-Bangsa Asia dan Afrika. Konferensi ini direncanakan akan dilaksanakan bertepatan dengan momentum 50 tahun Konferensi Asia-Afrika Bandung pada 18-24 April 2005 yang akan datang. Persiapan ini dikabarkan telah memasuki masa-masa akhir menjelang pelaksanaan konferensi. Kurang lebih 50 negara—dari 200 negara yang diundang—telah menyatakan kesediaannya untuk hadir dalam konferensi.

Peringatan serupa sebenarnya bukan hanya milik Pemerintah RI atau Pemerintah Afrika Selatan. Momentum Konferensi Asia-Afrika sesungguhnya adalah momentum seluruh Rakyat dari seluruh dunia, terutama dari Negara-negara yang saat ini berada secara langsung maupun tidak langsung dalam dominasi imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat (AS). Tidak heran bila saat ini, terutama di Indonesia, berbagai kalangan masyarakat sipil, baik organisasi massa maupun organisasi sosial non-pemerintah, juga turut menyibukan diri untuk melaksanakan peringatan emas 50 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA).

Kembali ke pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika II yang diselenggarakan secara bersama antara Pemerintah RI dengan Afrika Selatan. Pertemuan puncak dari Konferensi tersebut menurut rencana akan dilaksanakan pada tanggal 22-23 April 2005 di ibukota Jakarta, tepatnya di Gedung Jakarta Convention Centre (JCC). Pertemuan itu berupa Konferensi Tingkat Tinggi yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin negara yang turut serta dalam Konferensi Asia-Afrika II. Melalui KTT tersebut, rencananya akan dicetuskan “Deklarasi Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (New Asian-African Strategic Partnership/NAASP)”.

Dalam wacana pemerintah, deklarasi ini akan memfokuskan kerjasama Asia-Afrika secara konkret dan komplementer demi tercapainya perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kedua benua. Gagasan NAASP pertama kali dicetuskan pada pertemuan Asian-African Sub Regional Organization Conference (AASROC) I di Bandung 29-30 Juli 2003. Berdasarkan NAASP, kemitraan Asia-Afrika akan didasarkan pada tiga pilar kemitraan yaitu antarpemerintah, antarorganisasi sub-regional dan antarkelompok masyarakat yang terdiri atas (pelaku bisnis, akademisi dan masyarakat madani).

Kemitraan strategis yang baru ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan di kawasan Asia-Afrika yang mengarah pada upaya-upaya meningkatkan sejumlah mekanisme yang sudah ada, seperti NEPAD (New Partnership for African Development), TICAD (Tokyo International Conference on African Development), China-Africa Cooperation Conference Forum, India NEPAD Fund, dan lain-lain. (Sinar Harapan, 6/3).

Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) memandang, pemilihan tema di atas, selain sangat abstrak juga menunjukkan adanya perubahan makna dan kesadaran inti yang mengilhami pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung sebagaimana yang diselenggarakan 50 tahun silam. Gagasan-gagasan pokok yang digali dari kontradiksi-kontradiksi yang dialami Rakyat dan Bangsa dari kawasan Asia-Afrika tidak tergali dengan sempurna. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kemiskinan, keterbelakangan, dan penderitaan-penderitaan Rakyat dan Bangsa-Bangsa dari kawasan Asia-Afrika tidak dijawab dengan lugas. Sudah bisa diduga, konferensi yang kelak akan dilaksanakan di Jakarta dan Bandung itu, akan justru berada pada aras yang berbeda dengan momentum sejarah yang melatarinya.

Untuk itu, usaha keras dari segenap Rakyat, terutama kalangan demokratik yang anti-imperialisme, untuk meluruskan kembali Semangat Bandung 1955, memperbaruinya dengan bersandar pada kondisi ekonomi-politik kontemporer, sekaligus mengaitkannya dengan perjuangan Rakyat, khususnya Rakyat yang anti-imperialisme baik di Indonesia maupun di kawasan lain yang saat ini berada dalam dominasi imperialisme, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk demokrasi, perdamaian, kemanusiaan, dan kemerdekaan sejati.

Menyambut peringatan emas 50 tahun KAA, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) beserta segenap elemen massa demokratik dari dalam dan luar negeri bersiap untuk menyelenggarakan serangkaian acara dengan tajuk “Kolonialisme Belum Mati, Memperbarui Semangat Bandung 1955 dengan Menggalang Persatuan Rakyat Melawan Imperialisme dan Kaki Tangannya di Berbagai Negeri”. Peringatan ini bukan merupakan reaksi dari tidak selarasnya gagasan KAA 2005 dengan semangat KAA 1955, melainkan sebagai wujud partisipasi demokratik dari seluruh elemen Rakyat, khususnya dari Indonesia, atas momentum bersejarah yang paling visioner bagi Rakyat dan Bangsa-bangsa Asia-Afrika yang menjadi salah satu warisan abad ke-20 bagi majunya kemanusiaan dan keadilan tanpa penjajahan di muka bumi.


KONFERENSI BANDUNG 1955, PERJUANGAN KEMERDEKAAN DI TENGAH PERANG DINGIN

Konferensi Asia-Afrika yang dikenal dengan sebutan “Konferensi Bandung” diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi ini digagas bersama oleh Indonesia, Burma, Srilangka, India, dan Pakistan. Hadir dalam konferensi itu 29 pemimpin Negara, 23 di antaranya dari kawasan Asia dan 6 dari kawasan Afrika. Pemimpin-pemimpin besar dunia, seperti Soekarno dari Indonesia, Chou Enlai dari Republik Rakyat Tiongkok, Perdana Menteri Jawaharal Nehru dari India, Mohamad Ali dari Pakistan, U Nu dari Burma, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, tercatat sebagai hadirin yang mengikuti konferensi tersebut.

Konferensi dilaksanakan dalam situasi ketika dunia terbelah ke dalam dua blok kekuatan adidaya dunia yang saling berseteru dalam perang dingin, yakni “Blok Barat” yang dipimpin Amerika Serikat dan “Blok Timur” yang dipimpin oleh Uni Soviet. Blok-blok kekuatan adalah buah dari tidak terselesaikannya kontradiksi dalam panggung politik dunia antara kekuatan imperialis Barat dengan kekuatan negara-negara Sosialis yang pada saat berlangsungnya perang imperialis, bersekutu menumbangkan blok kekuatan fasisme yang terdiri dari Jerman, Italia, dan Jepang.

Selain melahirkan dua blok kekuatan adidaya tersebut, perang imperialis dunia II juga diwarnai oleh bangkitnya gerakan pembebasan nasional dari berbagai belahan dunia, khususnya dari kawasan Asia dan Afrika. Rakyat dan Bangsa dari kawasan Asia dan Afrika berhasil mengusir kekuasaan kolonial barat dan mendirikan negara-negara baru. Tidak kurang setengah dari populasi dunia terlibat dalam gerakan pembebasan tersebut.

Meningkatnya suhu politik dalam situasi perang dingin itu tak pelak berdampak pada negara-negara yang baru berdiri tersebut. Di Indonesia misalnya, dampak dari perang dingin sudah dirasakan sejak pertama kali kekuatan imperialis pimpinan Amerika Serikat mengonsolidasikan diri—dengan membentuk Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF)—pada tahun 1948. Peristiwa Provokasi yang dilancarkan Rejim Boneka Imperialis Mohamad Hatta-Sjahrir, berusaha membelah persatuan rakyat, dengan menyingkirkan kalangan Komunis pimpinan PKI-Musso melalui sebuah peristiwa berdarah.

Pasca peristiwa provokatif tersebut, imperialisme melalui Muhamad Hatta-Sjahrir, memiliki keleluasaan untuk merestorasi kekuasaan imperialisme di Indonesia. Hatta-Sjahrir juga secara kasar “merendahkan” semangat perjuangan anti-imperialisme dari Rakyat Indonesia melalui serangkaian perundingan yang berujung pada Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi itu sendiri tidak menghasilkan kemajuan berarti bagi Rakyat Indonesia. Pembentukan Uni Indonesia-Belanda secara jelas mengembalikan Indonesia ke bawah kekuasaan Ratu Belanda. Dengan begitu, Hatta-Sjahrir secara terang-terangan mengkhianati Rakyat dan memberikan keuntungan yang luas pada imperialisme. Fakta ini menegaskan semangat anti-imperialisme dan kolonialisme dalam Konferensi Asia-Afrika relevan dan terkait erat dengan kepentingan Rakyat Indonesia.

Relevansi antara kepentingan Rakyat Indonesia dalam hal perjuangan melawan imperialisme dinyatakan secara tegas oleh Soekarno. Presiden sekaligus negarawan yang dilahirkan oleh revolusi Agustus 1945 itu menyampaikan sebuah pidato yang fenomenal. Pidatonya berjudul “Let the New Asian and African Born (Biarkan Asia Baru dan Afrika Baru Lahir)”. Pidato bersemangat dari Soekarno itu meletakkan garis yang signifikan dalam Konferensi Asia-Afrika 1955. Berikut ini petikan pidato bersejarah yang diucapkan Soekarno dalam Konferensi Asia Afrika 1955;

We are often told "Colonialism is dead." Let us not be deceived or even soothed by that. I say to you, colonialism is not yet dead. How can we say it is dead, so long as vast areas of Asia and Africa are unfree. (Kita seringkali mendengar “Kolonialisme telah Mati.” Jangan sampai kita terpengaruh atau terperangah oleh pernyataan itu. Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Mana mungkin kita katakan kolonialisme telah mati pada saat berbagai kawasan di Asia dan Afrika belum terbebaskan.)

And, I beg of you do not think of colonialism only in the classic form which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and Africa, knew. Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, and actual physical control by a small but alien community within a nation. It is a skilful and determined enemy, and it appears in many guises. It does not give up its loot easily. Wherever, whenever and however it appears, colonialism is an evil thing, and one which must be eradicated from the earth. . . . (Dan, saya meminta kepada anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh itu lebih licin namun bisa menjadi elemen yang paling menentukan dan mampu mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk. Mereka tidak mudah menyerah. Dimanapun, kapanpun, dan dengan cara apapun mereka akan muncul, kolonialisme adalah jahanam dan karenanya harus dienyahkan dari muka bumi...)

Melalui pidato itu, tersurat dengan lugas oleh Soekarno sebuah pesan bagi bangsa Indonesia khususnya dan bangsa-bangsa Asia-Afrika pada umumnya untuk senantiasa mawas imperialisme dan berjuang terus-menerus untuk mengenyahkannya dari muka bumi. Pesan itu, ternyata tidak hanya mengacu pada kondisi konkret Indonesia, melainkan mencerminkan kenyataan di sejumlah kawasan Asia dan Afrika.

Dorongan bangsa-bangsa dari negara-negara Asia dan Afrika yang baru memerdekakan diri secara lugas tertuang dalam setiap sesi konferensi. Negara-negara peserta konferensi menyatakan keinginannya untuk memaksa negara-negara imperialis agar menghormati kedaulatan dan tidak memaksakan pelebaran wabah perang dingin ke kawasan Asia-Afrika. Selain itu, sebagai respon atas meningkatnya ketegangan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat, peserta konferensi memberikan penghargaan pada usaha gigih dari Rakyat Tiongkok untuk membebaskan diri dari imperialisme dan meminta Amerika Serikat untuk menghormatinya.

Konferensi menggariskan perlawanan yang tegas terhadap kolonialisme, secara khusus terhadap kolonialisme Perancis di kawasan Afrika Utara yakni menuntut penghapusan kekuasaan Kolonial Perancis di Aljazair. Sementara Indonesia mengusung perjuangan pembebasan Irian Barat yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kolonial Belanda.

Perdebatan utama dalam konferensi tersebut berkisar pada pandangan-pandangan terhadap kebijakan-kebijakan politik Uni Soviet di Eropa Timur dan Asia Tengah. Forum berpendapat bahwa politik tersebut harus dipadankan dengan kolonialisme negara-negara Barat. Konferensi pada akhirnya menyepakati sebuah konsensus yang menyatakan penolakan terhadap segala bentuk kolonialisme. Secara implisit, penolakan tersebut juga berlaku bagi Uni Soviet, sebagaimana juga terhadap negara-negara kolonial Barat.

Sebagian peserta konferensi menyoroti keterlibatan Tiongkok dalam konferensi tersebut. Kekhawatiran yang berkembang terhadap peran serta Tiongkok terutama dari utusan-utusan yang anti-komunis, mengingat secara ideologi, Republik Rakyat Tiongkok secara jelas menggariskan komunisme sebagai ideologi. Menyadari hal ini, Perdana Menteri RRT Chou En-lai, dibantu oleh dengan bantuan yang signifikan dari Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru memainkan peranan penting dalam mencairkan suasana. Chou En-lai secara elegan menampilkan diri sebagai moderator sekaligus konsiliator yang mampu menepis kekhawatiran tersebut. Sementara Perdana Menteri Nehru menyampaikan sebuah pidato bersejarah yang kemudian diadaptasi menjadi prinsip-prinsip dasar dalam resolusi-resolusi akhir konferensi.

Konferensi itu menghasilkan sepuluh resolusi yang kita kenal dengan sebutan “Dasasila Bandung”. Resolusi-resolusi itu sepadan dengan prinsip-prinsip dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan “Prinsip-Prinsip Jawaharlal Nehru”. Poin-poin dalam Dasasila Bandung adalah sebagai berikut.

1. Menghargai prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan Piagam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Menghormati kedaulatan dan kesatuan territorial dari semua bangsa 3. Mengakui kesetaraan atas semua ras dan kesetaraan antar bangsa-bangsa besar maupun kecil. 4. Menghindari segala bentuk campur tangan dalam urusan dalam negeri Negara lain. 5. Menghargai hak dari setiap bangsa untuk mempertahankan diri dengan sendirinya maupun secara kolektif dari dengan bersandarkan pada Piagam PBB. 6. (a) Tidak mengadakan kerjasama pertahanan bersama yang secara khusus melayani kepentingan Negara-negara adidaya. (b) menghindari penggunaan tekanan terhadap sebuah Negara oleh Negara manapun. 7. menahan diri untuk tidak melakukan tindakan atau ancaman yang dapat mengganggu keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik sebuah Negara. 8. Menyelesaikan segala bentuk perselisihan/sengketa internasional dengan cara damai melalui negosiasi/perundingan, konsiliasi, arbitrasi atau penyelesaian perselisihan secara hukum sebagaimana bentuk-bentuk cara penyelesaian damai lain yang didasarkan pada pilihan masing-masing dengan tetap berpegang pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 9. Mempromosikan kepentingan bersama dan kerjasama. 10. Menghormati keadilan dan tanggungjawab internasional.

Di dalam komunike akhir konferensi itu, digarisbawahi kebutuhan untuk membangun kerjasama yang saling menguntungkan antar negara-negara Asia-Afrika dalam hal pembangunan ekonomi untuk melepaskan diri dari ketergantungan melalui industrialisasi. Kerjasama ini dilaksanakan dengan membangun komitmen penyediaan asistensi teknis dalam proyek-proyek pembangunan, selain pertukaran teknologi, pengetahuan, dan pembangunan pelatihan regional dan lembaga-lembaga penelitian.

Konferensi Asia-Afrika memberikan tulang-punggung yang kokoh bagi pembangunan Gerakan Non-Blok (Nonaligned Movement). Gerakan Non-Blok adalah sebuah organisasi internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara yang berasal dari negara-negara yang secara tidak formal tergabung dalam blok-blok adidaya yang berseteru atau negara-negara yang menolak untuk bergabung dalam blok-blok tersebut. Gerakan ini mewakili lebih dari 55 persen penduduk bumi dan mendekati dua-pertiga keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pembangunan Gerakan Non-blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri 25 negara dari Asia, Afrika, Eropa, dan Latin Amerika diselenggarakan di Biograd (Belgrade), Yugoslavia pada tahun 1961. Pemimpin kharismatik dari Yugoslavia, Presiden Broz Tito, menjadi pemimpin pertama dalam Gerakan Non-Blok. Sejak pertemuan Belgrade tahun 1961, serangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok telah diselenggarakan di Kairo, Mesir (1964) diikuti oleh 46 negara dengan anggota yang hadir kebanyakan dari negara-negara Afrika yang baru meraih kemerdekaan, kemudian Lusaka, Zambia (1969), Alzier, Aljazair (1973) saat terjadinya krisis minyak dunia, Srilangka (1977), Cuba (1981), India (1985), Zimbabwe (1989), Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan, dan terakhir di Malaysia pada tahun 2003.

Penggunaan istilah “Non-Alignment” (Tidak Memihak) pertama kali dilontarkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya di Srilangka tahun 1954. Dalam pidato ini, Perdana Menteri Nehru menjelaskan lima pilar prinsipil, empat pilar diantaranya disampaikan oleh Petinggi Tiongkok Chou En-lai, yang dijadikan pedoman bagi hubungan antara Tiongkok dengan India. Lima prinsip itu disebut dengan “Panchshell”, yang kemudian menjadi basis dari Gerakan Non-Blok. Kelima prinsip tersebut adalah:

1. Saling menghormati kedaulatan teritorial 2. Saling tidak melakukan agresi 3. Saling tidak mencampuri urusan dalam negeri 4. Setara dan saling menguntungkan, serta 5. Berdampingan dengan Damai

Melihat kenyataan di atas, keberadaan Gerakan Negara-Negara Non-Blok secara tegas mengacu pada hasil-hasil kesepakatan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955. Penggunaan istilah bangsa-bangsa non-blok atau “tidak memihak” adalah pernyataan bersama untuk menolak melibatkan diri dalam konfrontasi ideologis antara Barat-Timur dalam suasana Perang Dingin. Lebih lanjut, bangsa-bangsa yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok lebih memfokuskan diri pada upaya perjuangan pembebasan nasional, menghapuskan kemiskinan, dan mengatasi keterbelakangan di berbagai bidang. Dengan demikian, jelas terang bagi kita besarnya kontribusi Konferensi Bandung bagi perkembangan Gerakan Non-Blok sebagai gerakan politik dari negara-negara yang menentang perang dingin.

Saat ini, pembicaraan mengenai urgensi Gerakan Non-blok pasca perang dingin mulai mengemuka, terutama dalam pertemuan terakhir di Kualalumpur, Malaysia Februari 2003. Sebagian kalangan memandang, relevansi Gerakan Non-blok dan khususnya Semangat Bandung 1955 sudah tidak konkret lagi. Dunia saat ini sudah tidak lagi terbelah dalam dua blok besar yang saling bertentangan. Simbol-simbol kedigdayaan Blok Timur pimpinan Uni Soviet telah mengalami kehancuran seiring dengan runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet.

Tepat-tidaknya pandangan tersebut tentunya terkait dengan titik pijak tempat kita berdiri meneropong kondisi ekonomi-politik kontemporer, baik dalam maupun luar negeri. Memang benar, roda politik dunia bergerak dengan cepat, terutama pasca perang dingin. Sebagian wilayah dunia yang sebelum tertutup kabut pertentangan ideologis, kini mulai terbuka.

Akan tetapi, dunia tokh tidak berkembang menjadi lebih baik. Kemerdekaan dan kedaulatan ternyata masih saja menjadi barang mahal yang tidak mudah didapat. Kemiskinan, keterbelakangan, kelaparan, kerusakan lingkungan dan turunnya daya dukung alam, serta ancaman wabah penyakit yang tiada henti masih menjadi ancaman yang mendera negara-negara di kawasan Selatan. Peperangan dan penghinaan martabat suatu bangsa oleh bangsa lain—sebagaimana yang dialami Irak dan Afganistan, Palestina, Haiti, dan berbagai belahan dunia lain masih kerap mewarnai pemberitaan politik internasional saat ini.

Dalam dua dekade terakhir sejak bubarnya blok timur dan berakhirnya perang dingin, kita justru menjadi saksi dari krisis keuangan yang jauh lebih hebat dibanding krisis Malaise yang terjadi pada tahun 1930-an sebelum Perang Imperialis Kedua. Semuanya terjadi ketika dunia mengalami perkembangan industri yang luar biasa cepat, yang dilesakkan melalui kemajuan teknologi informasi dan sistem lalu-lintas perdagangan uang dan barang yang semakin canggih.

Satu kesimpulan yang bisa kita ambil dari kenyataan hari ini adalah dunia pasca perang dingin ternyata tidak lebih baik, malah semakin memburuk. Tentu saja, kenyataan ini menantang kita semua, untuk memberikan pandangan yang jauh lebih jernih dan lebih ilmiah, guna membawa dunia dan umat manusia keluar dari ancaman-ancaman yang datang silih berganti. Sekali lagi, demi kemanusiaan, keadilan, demokrasi, dan kemerdekaan sejati.


IMPERIALISME AMERIKA SERIKAT, ANCAMAN TERBESAR BAGI PERDAMAIAN DUNIA DAN KELANGSUNGAN HIDUP UMAT MANUSIA DARI SELURUH BANGSA

Pada tanggal 20 Maret 2005 ini genap dua tahun sudah agresi militer Sekutu pimpinan Imperialisme Amerika Serikat dan Inggris ke Irak. Invasi yang dinyatakan Amerika Serikat sebagai bagian dari perang global melawan terorisme dan fundamentalisme itu itu adalah tindakan biadab yang tidak bisa termaafkan. Ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Irak yang tidak berdosa tewas, sebagian lainnya terpaksa menjadi pengungsi, dan sebagian besar terpaksa hidup di dalam negeri Irak dan dipaksa untuk menerima kekerasan, kesengsaraan, dan kematian-kematian sebagai kenyataan sehari-hari yang dengan pahit harus diterima.

Kenyataan itu adalah fakta yang sebenarnya sudah bisa dengan mudah diprediksi. Tanggal 15 Februari 2003, rakyat dari berbagai belahan dunia, dari seluruh benua, melaksanakan aksi massa besar-besaran yang tercatat sebagai aksi terbesar yang dilakukan rakyat dunia yang pada saat itu dilaksanakan sebagai penentangan “ala” Rakyat atas rencana perang imperialis Amerika Serikat dan Inggris ke Irak. Aksi serentak dari berbagai belahan dunia ini dilakukan pada saat prinsip-prinsip hubungan internasional yang didasarkan pada penghormatan atas kedaulatan, saling-hubungan non-agresi, prinsip tidak mencampuri permasalahan domestik suatu negara, kesetaraan dan kerjasama yang menguntungkan, dan prinsip membangun perdamaian, telah dilanggar secara kasar oleh Amerika Serikat.

Tentu saja, Rakyat Irak sebuah bangsa yang dikenal memiliki peradaban maju, tidak bisa dengan mudah ditundukkan oleh rayuan atau desingan peluru militer AS. Bangsa yang tangguh itu, sampai sekarang masih memberikan perlawanan dan membangun persatuan untuk mengenyahkan imperialisme Amerika Serikat di tanah airnya, meski harus dibayar dengan darah dan air mata. Aksi-aksi bersenjata dan sabotase terhadap militer Amerika Serikat masih kerap terjadi, bahkan hampir bisa dikatakan mewarnai pemberitaan media massa di seluruh dunia. Bangsa Irak telah memberikan pelajaran berharga kepada dunia tentang buruknya watak dan karakter imperialisme Amerika Serikat, sebagai klik imperialis yang paling reaksioner, paling biadab, paling tidak menghargai prinsip-prinsip kedaulatan, dan paling merendahnya kemanusiaan.

Tidak disangkal lagi, senjata di tangan para pejuang Rakyat Irak adalah juru-bicara yang paling lugas dan tepat sebagai gambaran keinginan luhur bangsa Irak untuk menegakkan martabat bangsa dari kangkangan Imperialisme AS. Melalui setiap peluru yang dimuntahkan pejuang-pejuang Irak terhadap tentara Amerika Serikat dan Sekutunya, Bangsa Irak mengumumkan kepada dunia tentang apa yang semestinya dilakukan untuk untuk melawan kesombongan Imperialisme Amerika Serikat.

Tingginya semangat perlawanan rakyat Irak melawan imperialisme adalah setinggi semangat juang “Daud melawan Goliath”. Hingga saat ini, tidak ada yang meragukan kesungguhan dan kesetiaan pada perjuangan, serta kerelaan berkorban Rakyat Irak dalam berjuang melawan imperialisme Amerika Serikat. Semangat yang supertinggi dari Rakyat Irak telah menggerogoti keangkuhan Amerika Serikat. Negeri imperialis yang paling serakah dari seluruh dunia ini tidak bisa lagi menjadikan besarnya kekuatan militer, canggihnya teknologi, kuatnya pengaruh politik, dan kekayaan ekonomi, untuk membungkam keberanian Rakyat Irak.

Sebaliknya, di samping menghadapi gugatan di dalam negeri oleh sekelompok Rakyat Amerika Serikat yang anti-imperialis, yang tergabung dalam A.N.S.W.E.R (Act Now Stop War and Racism), imperialisme AS juga menghadapi permasalahan internal lain yakni melorotnya semangat perang tentara-tentara yang mereka boyong ke Irak. Demoralisasi yang disusul berbagai tindakan blunder telah turut memperburuk situasi dan mempertahankan situasi kekerasan pada level yang tinggi.

Serangan pasukan sekutu imperialis pimpinan AS ke Irak semakin menunjukkan bahwa hingga saat ini imperialisme AS adalah menjadi ancaman terbesar bagi perdamaian dunia. Kenyataan ini menggenapkan catatan sejarah Imperialisme AS sebagai satu-satunya kekuatan imperialis yang menggunakan senjata nuklir untuk menghancurkan masyarakat sipil. Imperialisme AS juga merupakan satu-satunya kekuatan yang dalam tiap dekade senantiasa terlibat dalam berbagai aksi petualangan militer, kekerasan, dan berbagai pelanggaran terhadap berbagai konvensi internasional.

Jauh-jauh hari sebelum terjadinya serangan ke Irak, imperialisme AS berani mengambil berbagai resiko untuk memprovokasi terjadinya perang, misalnya dengan meledakkan Kapal Perang Maine dan membunuh tidak kurang 300 tentara angkatan laut AS untuk sebagai usaha mendorong terjadinya perang Spanyol-Amerika sebagai jalan bagi imperialisme AS untuk menguasai wilayah-wilayah koloni Spanyol seperti Kuba, Puerto Rico, dan Filipina. Oleh karenanya, Rakyat dapat pula menduga imperialisme AS sesungguhnya berada di belakang peristiwa 11 September 2001 yang menewaskan tidak kurang 3000 jiwa. Pandangan tersebut semakin kuat. Terlebih setelah gagalnya usaha AS membongkar dalang di belakang peristiwa dan terbongkarnya beberapa konspirasi yang salah satunya adalah diabaikannya peringatan dari dinas intelijen AS (CIA) tentang adanya rencana serangan “teroris” oleh pejabat pertahanan AS.

Imperialis AS menggunakan peristiwa 11 September sebagai jalan masuk untuk mempromosikan perang global melawan “terorisme”. Perang melawan “siluman” yang bertajuk “Permanent and Borderless War on Terorism (Perang Permanen dan Tanpa Batas Melawan Terorisme)” ini mengalami perubahan secara konotasi. Dengan menggunakan doktrin “pre-emptive strike (serangan pencegahan)”, imperialisme AS melakukan berbagai tindakan ofensif untuk memperluas zona dominasinya ke berbagai penjuru dunia.

Pasca peristiwa 11 September, imperialisme AS bertindak jauh lebih agresif. Di kawasan Asia Tengah dan Selatan yang memungkinkannya menanamkan investasi kurang lebih 20 juta dollar AS untuk pembangunan pipa yang menghubungkan Samudera Hindia dengan wilayah penghasil minyak dan gas terbesar dunia di Laut Kaspi dan Asia Tengah. Pembangunan jalur itu diselubungi oleh operasi militer untuk mengejar Usamah Bin Ladin dan menghangcurkan gerilyawan Al Qaeda di Afganistan.

Setelah sukses memasang pemerintahan Boneka baru di Afganistan—meskipun gagal menghancurkan Usamah bin Ladin—imperialisme AS melanjutkan tindakan ofensifnya ke Irak, mempertinggi ketegangan di Eropa Timur untuk menyingkirkan pengaruh militer Russia, mengancam Republik Demokrasi Rakyat Korea dan Iran dengan tuduhan menyimpan senjata pemusnah massal, serta dengan tajuk melawan perompakan di Selat Malaka, imperialisme AS dengan menggunakan pemerintah boneka di Singapura berusaha membangun pangkalan militer di kawasan Selat Malaka sebagai usaha untuk mempertinggi pengaruhnya di kawasan yang disebut-sebut sebagai front kedua perang melawan terorisme (the Second Front Against Terorism).

Melalui agresi yang dilancarkannya ke Irak, imperialisme AS bernafsu untuk melakukan rekolonisasi atas wilayah yang kaya dengan kandungan alam “emas hitam” ituyang memang menjanjikan. Saat ini, perut bumi Irak terkandung kurang lebih 112 miliar barrel minyak mentah. Diperkirakan, masih ada sekitar 250 miliar barrel potensi minyak mentah dan gas yang belum terjamah. Dengan demikian, dengan menguasai Irak, imperialisme AS dapat secara sempurna mendominasi organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Dengan begitu, kontrol atas pasar minyak dunia pun menjadi lebih kuat.

Agresi yang dilancarkan imperialisme AS ke Irak tidak terlepas dari motivasi para “war-profiters” (petualang perang) yang berada dijajaran birokrasi pusat pemerintahan AS. Beberapa perusahaan yang dikenal dekat dengan pejabat tinggi pemerintahan Bush dikabarkan menjadi pihak yang menangguk keuntungan dari berbagai proyek pembangunan dan eksplorasi minyak Irak. Sebut saja kelompok bisnis Carlyle Group dan Enron yang dekat dengan keluarga George W. Bush, Halliburton yang dekat dengan wakil presiden Dick Cheney, Chevron yang dekat dengan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice, Donald Rumsfeld dengan beberapa perusahaan AS yang bergerak di bidang produksi persenjataan dan instalasi militer, dan lain-lain.

Beberapa perusahaan kapital monopoli AS—perusahaan-perusahaan transnasional—yang berbasis di Amerika Serikat menangguk keuntungan miliaran dollar AS yang berasal dari kontrak-kontrak militer dengan pemerintah AS untuk kepentingan perang. Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam kategori war-profiters itu, di antaranya adalah Boeing, Lockhead Martin, Northrop Grumman, Generals Dinamics, Raytheon, United Technologies, Halliburton, General Electric, Science Aplication International Corporation (SAIC), CSC/Dyn Corp, dan lain-lain. Dikabarkan, kontrak militer miliaran dollar AS sudah mengalir ke kantung pemilik perusahaan-perusahaan tersebut. Kontrak-kontrak itu adalah imbalan atas dukungan dana yang diberikan kepada partai Republik yang menunjang kemenangan George W. Bush Jr dalam Pemilu Presiden AS tahun 2004 yang lalu.

Keterlibatan Inggris dalam agresi yang dirancang Gedung Putih Washington DC itu juga tidak terlepas dari proposal yang diajukan American Oil Company (AMOCO) terhadap perusahaan eksplorasi minyak ternama dari Inggris, British Petroleum (BP). Proposal tersebut sudah masuk dalam meja pembahasan sejak tahun 2000. Ketika organisasi negara-negara produsen minyak hendak mengubah mata uang perdagangan minyak dari dollar AS ke euro pada bulan November 2000.

Pada saat rencana agresi itu disusun, Irak sudah menandatangani konsesi perjanjian eksplorasi minyak dengan Perancis, Russia, dan China. Selain dengan tiga negara tersebut, Irak juga menandatangani perjanjian dengan Jerman dalam hal pemasokan instalasi industri dan infrastruktur. Konsesi perjanjian ini didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian mengeluarkan sebuah program kemanusiaan yang disebut “Oil for Food” (Minyak untuk Pangan). Program ini dilancarkan setelah dilakukan peninjauan atas dampak pemberlakuan embargo ekonomi terhadap Irak sejak tahun 1991.

Serangan agresi AS ke Irak pada akhirnya membuka suatu kontradiksi baru, kontradiksi diantara negara-negara imperialis (Inter-imperialist contradictions). Kontradiksi ini terlihat manakala Perancis, Jerman, China, dan Russia secara terbuka menyatakan menolak keinginan AS. Penolakan negara-negara tersebut tentu saja menyulitkan jalan bagi imperialisme AS untuk melancarkan perang dengan mekanisme resmi lembaga multilateral. Meskipun Partai Buruh yang berkuasa di Inggris tetap mendukung rencana tersebut, namun mengingat Perancis, Cina, dan Russia adalah negara yang memegang hak veto dalam Dewan Keamanan PBB, AS tidak bisa lagi menggunakan lembaga tersebut untuk melampiaskan nafsunya.

Kontradiksi antar negara-negara imperialis bisa mengalami penajaman bukan hanya karena keserakahan dari negara-negara tersebut untuk merebut wilayah-wilayah ekspansinya. Kontradiksi ini dapat pula menajam apabila negara-negara dunia ketiga yang menjadi target ekspansi mampu memainkan peranan untuk mengambil keuntungan dari kontradiksi-kontradiksi tersebut dengan cara membangun aliansi taktis dengan suatu negara imperialis untuk mengucilkan imperialis lainnya.

Kontradiksi antar imperialis memaksa AS cenderung menggunakan mekanisme unilateral guna memperoleh dukungan atas keinginan-keinginannya. Hal ini dilakukan dengan cara membangun perjanjian bilateral dengan negara-negara yang berada di bawah dominasinya untuk bergabung “menggarap” suatu proyek bersama yang mereka berinama “Perang melawan Terorisme”. Saking aktifnya, sampai-sampai hampir semua forum yang didominasi AS, senantiasa terselip agenda pembahasan mengenai “keamanan global” dan “perang melawan terorisme”.

Siapa pun tahu, hakikat dibalik isu “keamanan global” dan “perang melawan terorisme” adalah masalah keuntungan ekonomi. Hal inilah yang sebenarnya memiliki daya pikat yang jauh lebih manjur dibandingkan memenuhi nafsu imperialis AS yang tidak ada habisnya. Inilah yang menyebabkan beberapa negara, khususnya negara-negara yang dipimpin oleh klik konservatif, seperti Perdana Menteri Silvio Berlusconi dari Italia, Perdana Menteri Jose Maria Aznar dari Spanyol, Perdana Menteri John Howard, Roh Mo-hyun dari Korea Selatan, Perdana Menteri Koizumi dari Jepang, Perdana Menteri Thaksin Sinavatra dari Thailand, Presiden Arroyo dari Filipina, dan beberapa negara Eropa Timur dan Asia Tengah bekas kekuasaan Uni Soviet yang tergiur mencicipi manisnya minyak Irak.

Akan tetapi, aliansi tersebut ternyata tidak bisa bertahan lama. Spanyol dan Filipina sudah menarik pasukannya dari Irak. Sementara Italia, akibat skandal penembakan wartawan Italia yang menewaskan seorang petugas intelijen Italia oleh Pasukan AS, kini dipaksa untuk meninggalkan aliansi dan pulang ke Italia. Sementara Jepang dan Korea Selatan dipaksa berurusan dengan Rakyat di negerinya masing-masing akibat meluasnya dampak perang yang menyebabkan korban sipil di kalangan rakyat dua negara tersebut. Pemerintahan Blair dari Inggris, Bush Jr dari AS, dan John Howard dari Australia sendiri tidak bisa bernafas lega karena Rakyat di ketiga negara tersebut juga kerap melakukan aksi-aksi yang menentang perang invasi. Terakhir diberitakan 700 kota di seluruh dunia dilanda aksi massa yang menentang perang agresi imperialisme AS ke Irak.

Perang agresi melawan terorisme telah menjadi sumbu yang mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Amerika Serikat dan kakitangannya di berbagai negeri. Aksi-aksi teror meluas bukan hanya di wilayah Arab melainkan menyebar ke berbagai penjuru, terutama di kawasan Asia dan Afrika. Meski meluas, aksi-aksi tersebut sesungguhnya mengerucut pada usaha untuk menghancurkan kepentingan imperialisme AS, sekutunya serta kakitangannya. Satu hal lagi bisa kita simpulkan, perang absurd dan miskin moral melawan “terorisme” justru semakin memperluas menyebarkan terorisme baru diberbagai penjuru.

Pangkalnya adalah masalah Irak—dipadankan dengan permasalahan di Afganistan, Palestina, dan berbagai belahan dunia lainnya—memang dengan mudah menyulut sentimen anti-imperialisme Amerika Serikat dalam berbagai perspektif. Imperialisme AS tidak bisa bersembunyi di balik perjuangan kemanusiaan menumbangkan demokrasi, karena cara-cara yang dipilihnya sudah jelas-jelas tidak demokratis. Imperialisme AS juga tidak bisa bersembunyi dibalik propaganda tentang kemanusiaan karena perang tersebut adalah bentuk terburuk pelanggaran kemanusiaan.

Sentimen ini tidak hanya berasal dari kalangan yang saat ini dijejali dengan prasangka busuk berupa tuduhan-tuduhan “fundamentalisme”, melainkan juga dari kalangan Rakyat yang saat ini berjuang keras merebut kemerdekaan sejati dari tangan imperialisme AS. Rakyat yang anti-imperialisme di berbagai penjuru semakin mengerucut pada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya imperialisme AS lah teroris nomor 1, yang tidak hanya absurd, melainkan juga mengancam kedaulatan suatu bangsa dan kelangsungan hidup rakyat dan umat manusia dari seluruh negeri.


MEMPERBARUI “SEMANGAT BANDUNG 1955”

Di tengah hujan deras caci-maki Rakyat dunia terhadap tindak-tanduk imperialisme AS, sebuah rencana baru untuk memperluas imperium AS disebarluaskan ke seluruh dunia. Melalui lawatan diplomatik yang dilakukan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice, imperialisme AS berusaha untuk kembali menggunakan mekanisme multilateral untuk mendukungperluasan zona perang dengan menjadikan Iran sebagai wilayah sasaran perang berikutnya. Imperialisme AS kembali menggunakan isu senjata pemusnah massa sebagai jurus untuk menggalang kekuatan besar menumbangkan kedaulatan Bangsa Iran.

Rencana ofensif tersebut sesungguhnya tidak hanya ditujukan ke Iran. Republik Demokrasi Rakyat Korea (Korea Utara) juga masuk dalam daftar negara yang akan dibidik. Sekali lagi, propaganda yang disebarkan untuk mengucilkan Korea Utara dari kancah pergaulan politik internasional adalah masalah persenjataan pemusnah massal. Sebelumnya, imperialisme AS telah menyebarkan propaganda sesat terhadap Iran dan Korea Utara, sebagaimana terhadap Irak dan Afganistan, yang disebutnya sebagai “poros Setan” (the axis of evil) karena dipandang berada dibalik aksi-aksi terorisme di dunia. Semuanya memperjelas kehendak dibalik perang global melawan imperialisme sebagai selubung untuk menutupi keserakahan imperialisme AS untuk menancapkan kuku-kuku imperiumnya lebih dalam dari sebelumnya.

Perlu diketahui, sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001 (9/11), AS telah menjadi satu-satunya negeri yang menggunakan serangan dengan senjata nuklir terhadap kalangan sipil. Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 telah membunuh lebih dari 250.000 rakyat Jepang hanya dalam hitungan detik. Sebelum peristiwa 11 September 2001, AS adalah satu-satunya negeri yang tidak pernah dilanda serangan militer di wilayahnya. Akan tetapi, negara itu berkali-kali mengancam bangsa lain dengan perang dan saat ini menjadikan perang sebagai jalan untuk mengukuhkan kehendak imperialnya. Hampir setiap dekade sejak perang imperialis dunia II, AS kerap terlibat dalam petualangan militer dan kekerasan di berbagai negeri. Saat ini AS menjadi negara yang memiliki cadangan persenjataan pemusnah massa yang paling besar di dunia. Dengan fakta tersebut, sebenarnya imperialisme AS lah yang sebenarnya harus diawasi sebab secara historis terbukti.

Kenyataan itu menegaskan bahwa meskipun terjadi pergeseran-pergeseran dalam tata-politik internasional, namun secara substantif belum ada perubahan yang kualitatif. Berakhirnya perang dingin memang tidak identik dengan membaiknya kondisi dunia. Kenyataan dunia hari ini tidak hanya bisa dilihat dari gejala yang tampak. Kenyataan harus dirangkum dari berbagai gejala, berbagai kekhususan, dan dikaji saling hubungannya secara dialektis agar dihasilkan suatu analisis rasional, analisis yang material dan berbasis historis.

Praktik imperialisme hari ini memang menunjukkan adanya beberapa perbedaan dari praktik di masa kolonialisme maupun pada masa perang dingin. Imperialisme hari ini tidak lagi menggenapkan kekuasaannya dengan cara kolonisasi atau pendudukan secara langsung atas wilayah-wilayah koloni. Imperialisme hari ini adalah imperialisme yang dibangun atas dasar persekutuan antar kekuatan-kekuatan imperialis dengan klas-klas reaksioner yang menjadi kakitangannya di dalam negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Fenomena inilah yang dinyatakan Bung Karno sebagai actual physical control by a small but alien community within a nation.

Meski secara praktik terdapat perbedaan-perbedaan, namun basis teoretis yang menjadi sandaran praktik imperialisme masih tetap sama. Ciri-ciri pokok imperialisme semakin tampak telanjang dan tidak bisa dibantahkan. Imperialisme, khususnya imperialisme AS menjadi elemen yang memaksakan terus persaingan dalam penguasaan dan kepemilikan kapital dan produksi. Usaha tersebut ditempuh dengan menggunakan berbagai cara, mulai dari cara-cara legal maupun dengan cara ilegal, seperti melalui perang atau melakukan tindakan dumping. Kapital monopoli multinasional memegang peranan yang semakin menentukan dalam kehidupan sosial dan politik di berbagai negeri.

Persaingan tersebut diwadahi oleh kekuasaan rejim monetaris internasional yang menggabungkan kapital uang dengan kapital industri di bawah kekuasaan oligarkis kapital keuangan. Lalu lintas perdagangan atau ekspor kapital baik dalam bentuk uang maupun barang berkembang semakin cepat, dimana arus laba bergerak semakin memusat ke negeri-negeri imperialis. Hal ini dijamin oleh kekuasaan lembaga-lembaga keuangan multilateral—seperti IMF, bank Dunia, dan WTO—yang sesungguhnya bekerja sepenuhnya untuk melayani kepentingan-kepentingan imperialisme. Gejala ini melahirkan terjadinya tingkat perkembangan yang berbeda (uneven development) antar negeri-negeri di dunia, terutama antar negeri-negeri imperialis dengan negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan.

Kesenjangan penghasilan antar negeri-negeri imperialis dengan negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan bergerak semakin lebar. Dua puluh persen orang-orang kaya di dunia saat ini menguasai 85 persen pendapatan rakyat di seluruh dunia. Tiga orang terkaya didunia memiliki kekayaan lebih besar dibanding pendapatan nasional bruto dari 48 negara miskin yang memiliki penduduk lebih dari 600 juta. Mayoritas rakyat berpenghasilan di bawah 2 dollar AS perhari dan seperempat dari 1,2 miliar penduduk dunia berpenghasilan di bawah 1 dollar AS perhari.

Imperialisme atau kapitalisme monopoli semakin membuktikan dirinya sebagai tahapan tertinggi, terbusuk, dan terburuk dalam perkembangan kapitalisme. Krisis yang kronis dalam tubuh monopoli kapitalisme, yang dihasilkan oleh adanya eksploitasi terhadap kalangan rakyat pekerja oleh pemilik-pemilik kapital kini mulai semakin telanjang. Adopsi teknologi tinggi untuk kepentingan-kepentingan komersial telah mempercepat akumulasi produksi dan kapital uang yang secara bersamaan memperkecil tingkat pendapatan dari kalangan rakyat pekerja.

Sebagai akibat, kapitalisme monopoli dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya senantiasa berurusan dengan masalah krisis. Secara fundamental, krisis dalam tubuh kapitalisme monopoli adalah situasi yang tidak terhindarkan akibat adanya penguasaan monopoli atas hasil kerja kolektif klas dan rakyat pekerja. Krisis ini memaksa kapitalisme monopoli untuk senantiasa mendorong akumulasi, memperluas ekspansi, dan mempertinggi eksploitasi. Dengan cara ini, krisis sesungguhnya tidak bisa dihindari dan sebaliknya bergerak semakin meninggi. Krisis adalah kenyataan yang tidak terpisahkan dari kapitalisme monopoli.

Salah satu bentuk krisis yang sempat terjadi adalah krisis keuangan yang terjadi di kawasan Asia Pasifik pada tahun 1997 lalu. Krisis ini sesungguhnya merupakan krisis terburuk yang disebabkan oleh menurunnya kemampuan negeri-negeri imperialis dan kakitangannya untuk mengendalikan perputaran uang dalam pasar internasional. Salah satu fenomena krisis yang sesungguhnya sangat mungkin terjadi dalam tubuh kapitalisme monopoli adalah kebangkrutan industri akibat percepatan perputaran uang di pasar modal, seperti yang melanda Amerika Serikat tahun 2000 lalu. Perusahaan-perusahaan transnasional, seperti Enron, WorldCom, Global Crossing, Lucent, Adelphia, Xerox, dan K-Mart, dikabarkan telah melakukan kejahatan keuangan berupa penipuan akuntansi akibat ketidakmampuannya menyeimbangkan arus perdagangan saham dengan pergerakan industri akibat overproduksi.

Selain itu, PHK yang diderita klas buruh menjadi salah satu ciri khas dari krisis imperialisme. PHK disebabkan oleh bangkrutnya perusahaan-perusahaan industri akibat menajamnya kontradiksi di pasar komoditas internasional. Laju PHK yang semakin meninggi, bisa disimpulkan sebagai bencana kemanusiaan yang paling besar dalam konteks imperialisme.

Krisis yang melanda berbagai negeri telah menyebabkan merosotnya kemampuan (kekuatan) produktif Rakyat negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan di seluruh dunia. Kemerosotan ini sesungguhnya merupakan bagian dari siasat imperialisme untuk mempertahankan kedudukan dan hegemoninya. Secara teoretis, penghancuran kekuatan produktif adalah satu-satunya cara yang tersisa untuk menghindarkan diri dari dampak akibat meningginya kontradiksi yang dapat mengakibatkan perubahan pada hubungan produksi dan menghancurkan dominasi imperialisme.

Kelaparan dan memburuknya kualitas gizi, mewabahnya penyakit, rusaknya lingkungan dan meningginya kualitas bencana, meningkatnya kekerasan dan kejahatan, melebarnya jurang kaya dan miskin, diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, serta menurunnya kemampuan rakyat di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan untuk keluar dari jeratan utang dan kemiskinan adalah gejala-gejala menurunnya kekuatan produktif akibat krisis imperialisme. Kenyataan ini dipertahankan oleh rejim utang luar negeri yang mendominasi tata-ekonomi politik internasional.

Selain di wilayah makro dan mikro ekonomi, ciri pokok imperialisme juga masih sangat kentara dalam hal politik militer dan kebudayaan. Imperialisme telah membagi kekuasaan ekonomi, politik, budaya, dan militer atas dunia menurut kekuatan dan seleranya masing-masing. Pembagian ini didasarkan pada konsesi-konsesi politik yang sama sekali tidak melibatkan apalagi mengindahkan kepentingan rakyat dari negeri-negeri terjajah dan setengah terjajah. Akibat adanya pembagian ini, keputusan-keputusan politik yang diambil secara demokratis dan hanya menjadikan rakyat di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan sebagai wayang.

Perang dan kontradiksi antar imperialis—sebagaimana terjadi dalam kasus Irak—menjadi fenomena yang paling sering terjadi. Fenomena ini semakin mengeras manakala pembagian wilayah dunia sudah memasuki fase akhir di mana tidak ada lagi wilayah yang sepenuhnya terbebas dari dominasi imperialisme. Mengerasnya krisis dan meningginya desakan untuk melakukan ekspansi adalah motivasi yang paling mendasar dibalik fenomena-fenomena seperti perang. Untuk melakukan itu, imperialisme tidak sungkan menggunakan tangan-tangan rejim bonekanya untuk melampiaskan kepentingan-kepentingannya.

Hal inilah yang sementara ini terjadi di kawasan Ambalat yang memicu pertentangan antara Pemerintah RI Boneka Imperialisme SBY-Kalla dengan Pemerintah Boneka Malaysia pimpinan Abdullah Ahmad Badawi. Ketegangan ini adalah kreasi yang dikemas dengan sedemikian rupa dengan mengambil bentuk pertentangan antar dua rejim boneka—Pemerintah Malaysia dengan Pemerintah Indonesia—sebagai cara untuk memenangkan mengakhiri pertentangan antar negeri-negeri imperialis melalui perusahaan-perusahaan kapitalis-monopoli, seperti ENI (Italia), Royal Oil/Shell (Belanda dan Inggris), serta UNOCAL (Amerika Serikat). Pertentangan-pertentangan dalam memperebutkan wilayah koloni sesungguhnya lebih merupakan pertentangan-pertentangan untuk memperebutkan penguasaan dan kepemilikan atas tanah dan sumber-sumber agraria yang terkandung di dalamnya.

Memang di kawasan Asia Tenggara, Pemerintah Boneka imperialisme di Malaysia—dan khususnya Singapura—adalah rejim yang memiliki karakter ekspansionis yang membawa kepentingan imperialisme AS dan Inggris untuk menancapkan dominasinya di kawasan Asia Tenggara. Karakter ini terbentuk akibat adanya perkembangan yang tidak seimbang di antara negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Ketidakseimbangan ini sengaja diciptakan imperialisme untuk sebagai usaha untuk meredam bangkitnya kekuatan produktif dari negara-negara setengah-jajahan dan jajahannya.

Imperialisme AS membiarkan terjadinya kemajuan kekuatan produktif pada negeri-negeri yang mana kekuasaannya bisa berjalan efektif di semua lapangan, baik ekonomi, politik, maupun militer. Fenomena inilah yang dibangun di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Sementara kekuatan produktif di wilayah-wilayah lain—seperti Indonesia, Filipina, Thailand, Kamboja, Vietnam, Nepal, dll, yang terutama wilayah menjadi basis pemasok bahan mentah dan baku, tenaga kerja, dan sumber energi, ditekan pada tingkat yang sangat rendah. Fenomena ini diciptakan untuk memudahkan kontrol dan penguasaan atas kekuatan produktif, baik barang, uang, atau tenaga kerja.

Bisa kita lihat, Malaysia, Singapura, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, dan Jepang di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, menjadi pusat gravitasi kekuatan produktif. Sementara negeri-negeri seperti Indonesia, Filipina, Vietnam, Kamboja, Thailand, Laos, Nepal, Myanmar, Srilangka, India, Pakistan, dan lain-lain, menjadi wilayah-wilayah pemasok kekuatan produktif. Kontradiksi-kontradiksi di region Asia Tenggara, misalnya antara Indonesia dengan Malaysia dalam hal pengaturan pekerja migran, illegal logging (pembalakan hutan), termasuk kontradiksi dalam penguasaan blok penghasil minyak di Kepulauan Ambalat di Laut adalah salah satu bentuk kontradiksi yang diciptakan imperialisme.

Khususnya dalam hal krisis di Ambalat, imperialisme berusaha memecah-belah dan membangun mutasi kontradiksi di kalangan rakyat dari dua negara boneka Amerika Serikat—Malaysia dan Indonesia—untuk saling bersitegang dan saling berlawan. Khususnya di Indonesia, propaganda mengenai pertentangan blok Ambalat telah juga dieksploitasi oleh rejim boneka SBY-Kalla untuk memecah-belah persatuan rakyat yang saat ini berjuang keras menentang politik anti-rakyat, kenaikan harga BBM yang diumumkan awal Maret 2005 yang lalu.

Dengan berdasarkan pada pandangan-pandangan di atas, Aliansi Gerakan Reforma Agraria menyimpulkan bahwa kontradiksi pokok yang memegang peranan memimpin dan menentukan kontradiksi-kontradiksi lain pada tataran ekonomi-politik internasional adalah kontradiksi antara rakyat dari seluruh negeri, khususnya negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan melawan imperialisme dan klas-klas reaksioner kakitangannya di berbagai negeri. Dalam hal ini, semangat perlawanan anti-imperialisme dan neo-kolonialisme sebagaimana diusung dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 adalah nilai-nilai yang tidak hanya relevan, melainkan juga ilmiah, sebagai ide yang memandu perjuangan rakyat melawan imperialisme.

Di dalam kontradiksi tersebut, Rakyat memegang peranan sebagai segi yang berhari-depan dan memegang peranan pokok sebagai tulang punggung gerakan perlawanan terhadap imperialisme. Untuk itu, persatuan dari seluruh Rakyat untuk mengusung perjuangan internasional melawan imperialisme adalah prasyarat mutlak yang tidak bisa ditawar. Di antara Rakyat yang anti-imperialisme di seluruh penjuru dunia, persatuan Rakyat anti-imperialisme dari negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan adalah memegang peranan yang paling menentukan. Persatuan ini tidak hanya sebatas antara Rakyat dari kawasan Asia dan Afrika, melainkan harus diperluas untuk mampu merangkul rakyat dari negeri-negeri terjajah dan setengah-terjajah lainnya di kawasan Amerika Latin dan Eropa Timur.

Di sadari, meskipun era perang dingin sudah usai, namun tidak berarti menegasikan atau menihilkan persatuan antar Rakyat. Persatuan itu adalah pilar pokok yang harus tegak dengan kuat dalam setiap usaha dan gerakan perlawanan terhadap imperialisme. Usainya perang dingin sesungguhnya membuka arena baru pertentangan antara Rakyat melawan imperialisme. Harus disadari bahwa perjuangan panjang melawan imperialisme membutuhkan rentang waktu yang panjang dimana kesabaran dan keteguhan memegang prinsip menduduki yang paling ideologis.

Di dalam pertentangan tersebut terselip pertentangan antar negeri-negeri imperialis, pertentangan antara negeri imperialis dengan negeri terjajah dan setengah-jajahan, serta pertentangan antar negeri-negeri terjajah dan setengah jajahan. Pertentangan-pertentangan di atas sesungguhnya merupakan pertentangan antar klas-klas reaksioner yang berkuasa yang tidak mewakili kepentingan Rakyat. Menghadapi pertentangan itu, persatuan rakyat anti-imperialisme harus bisa menarik keuntungan sebesar-besarnya bagi kehidupan Rakyat.

Namun harus disadari sejak dini, pertentangan tersebut bukanlah pertentangan yang bersifat permanen (tetap) tidak pula menduduki peranan sebagai pertentangan dasar. Pertentangan itu menduduki peranan sebagai pertentangan pokok pada situasi dengan syarat taktis tertentu. Namun pertentangan itu bisa dengan mudah berubah manakala syarat-syarat taktisnya hilang. Memaksimalkan usaha menjadikan pertentangan antar klas-klas reaksioner sebagai jalan untuk melakukan perubahan adalah tindakan avontur “kiri” maupun kanan yang sesungguhnya membahayakan bagi kemajuan gerakan rakyat.

Untuk itu, Dasasila Bandung 1955, dapat menjadi rujukan sekaligus modal historis untuk melakukan penggalangan persatuan Rakyat Asia, Afrika, dan seluruh bangsa terjajah dan setengah-terjajah lainnya di berbagai penjuru dunia. Di dalam Dasasila Bandung 1955, dijelaskan bahwa kontradiksi antar negeri-negeri adidaya, bukanlah kontradiksi pokok bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Kontradiksi tersebut didudukan di bawah kontradiksi yang lekat dengan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, untuk meraih kemerdekaan sejati, mengatasi keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan, serta menegakkan perdamaian.


RAKYAT INDONESIA MELAWAN IMPERIALISME AMERIKA SERIKAT

Perjuangan melawan imperialisme adalah frasa yang sebenarnya sudah lekat dalam ingatan historis Rakyat Indonesia. Frasa inilah yang sesungguhnya semakin akrab di pikiran dan perasaan massa Rakyat Indonesia hari ini. Bangsa Indonesia, dengan 220 juta populasi dan kekayaan alam yang melimpah, selama ini dipaksa tunduk melayani kepentingan dan nafsu bejat imperialisme. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengakhiri keadaan, namun lemahnya kepemimpinan gerakan dan program perjuangan menyebabkan imperialisme tetap berdominasi hingga saat ini.

Sejak masa kekuasaan kolonial VOC (Vereenigde Oost Indische-Compagnie) sampai saat ini, Rakyat Indonesia sesungguhnya sudah mengenal dari dekat tindak-tanduk dan tingkah polah imperialisme yang senantiasa mendudukkan klas-klas reaksioner—yakni klas tuan-tanah feodal dan komprador—dalam negeri sebagai ujung tombak sekaligus basis kekuasaannya. Dalam suatu kondisi, klas-klas tersebut bisa sangat heroik memimpin perjuangan Rakyat melawan imperialisme. Namun dari berbagai peristiwa perlawanan besar melawan imperialisme yang terjadi di dalam negeri, klas-klas tersebut terbukti tidak memiliki daya tahan untuk tetap melawan dalam garis perjuangan Rakyat. Sebaliknya, manakala klas-klas itu bersekutu, penindasan yang dilakukan terhadap Rakyat justru jauh lebih kasar dan lebih brutal dibanding imperialis yang menjadi majikannya.

Gerakan Rakyat Indonesia melawan imperialisme pernah mencapai fase puncak pada tahun 1945. ketika itu, Rakyat Indonesia, baik tua maupun muda, perempuan maupun laki-laki, klas buruh, kaum tani, santri maupun kalangan ningrat yang berpandangan maju, intelektual, seniman, pekerja merdeka, dan kalangan borjuasi kecil lainnya, serta beberapa elemen borjuasi menengah dalam negeri, bahu-membahu mengisi ruang-ruang perjuangan, dan dihembus oleh tingginya semangat patriotisme melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Akan tetapi, gerakan tersebut tidak mampu bertahan lama karena pengkhianatan borjuasi komprador Hatta dan Syahrir serta karena lemahnya kepemimpinan dan garis perjuangan dalam melawan imperialisme.

Perlawanan Rakyat yang penuh dengan darah dan pengorbanan dianulir secara semena-mena oleh Hatta-Syahrir melalui Perundingan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi tersebut tidak hanya menganulir kemerdekaan politik yang diraih melalui revolusi Agustus 1945, melainkan merestorasi kekuasaan imperialisme Belanda di Indonesia melalui pembentukan Uni Indonesia-Belanda pimpinan Ratu Belanda. “Kemenangan” imperialisme yang dihasilkan dari kerjasama dengan klik Hatta-Syahrir mengembalikan Indonesia pada imperialisme, sekaligus mengukuhkan kekuasaan feodalisme.

Imperialisme dan feodalisme yang berdominasi di Indonesia memang mengalami perubahan. Akan tetapi, perubahan-perubahan yang terjadi bukanlah perubahan yang kualitatif. Imperialisme tidak berkuasa secara langsung, melainkan sepenuhnya menggunakan klas-klas reaksioner lokal untuk melancarkan dominasinya. Dengan kondisi ini, Indonesia pasca KMB adalah negeri setengah-jajahan. Demikian pula dengan feodalisme. Kekuasaan feodalisme yang saat ini berkuasa di Indonesia bukanlah feodalisme ala kerajaan-kerajaan tempo dulu. Feodalisme hari ini hadir dari luasnya praktik-praktik sisa feodal yang busuk di berbagai penjuru negeri. Feodalisme hari ini adalah feodalisme yang sudah semakin membusuk—karenanya disebut setengah-feodal—yang berada di bawah dominasi imperialisme.

Namun Rakyat kembali memberikan teladan dengan merebut kembali kemerdekaan yang dicomot oleh rejim Hatta-Syahrir. Uni Indonesia-Belanda dibubarkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia pun ditegakkan dengan susah payah. Usaha ini tidak mudah. Imperialisme AS yang menyusup melalui Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berkali-kali berusaha untuk menggagalkan kebangkitan gerakan massa Rakyat Indonesia untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan imperialisme AS, Inggris, dan Belanda. Rangkaian provokasi yang dilakukan imperialisme pimpinan AS itu berusaha dengan segala cara mendirikan rejim boneka di dalam negeri. Usaha-usaha itu berpuncak pada peristiwa berdarah tahun 1965/1966.

Jutaan nyawa Rakyat klas buruh, kaum tani, intelektual dan pekerja merdeka, borjuasi nasional patriotis, dan elemen-elemen patriotik, progresif, dan demokratik, dikorbankan sebagai jalan menuju pendirian pemerintahan Orde Baru Jenderal kanan Soeharto sebagai boneka imperialisme AS. Pada masa kekuasaannya, seluruh hak-hak demokratik Rakyat dilanggar dengan semena-mena. Kebebasan politik, berserikat, dan berpendapat dibatasi. Parlemen dimandulkan. Kepentingan-kepentingan imperialisme yang menghisap diberi keleluasaan dan kemerdekaan.

Pada masa itu, Rejim Orde Baru Indonesia menjadi kekuatan ekspansionis, dengan merebut kemerdekaan politik Rakyat Timor Leste. Rejim ini juga menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya kapitalisme birokrasi, yang memanfaatkan sentimen naiknya harga minyak dunia untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Korupsi merajalela sampai pada tingkat yang paling rendah. Klas-klas reaksioner lokal, yakni klas tuan-tanah dan kapitalis komprador, hidup saling bersandingan, menindas dan menghisap rakyat.

Setelah dipaksa mengikuti regulasi-regulasi dalam tata ekonomi internasional baru, Rejim yang telah berkuasa selama 32 tahun harus menghadapi kenyataan pahit, ditinggalkan sekutu-sekutunya, dan terpaksa menanggalkan kekuasaan dengan meninggalkan jejak-jejak darah yang sulit dihapus dari memori Rakyat. Tidak hanya itu, rejim ini juga meninggalkan setumpuk beban utang luar negeri yang beratnya diatas daya panggul Rakyat.

Melalui sisa-sisa kekuatan yang saat ini telah kembali merebut kekuasaan politik, yakni rejim yang bersendikan persekutuan klas Kapitalis Komprador, Tuan-tanah, dan Kapitalis Birokrat kembali mengerek Rakyat untuk bekerja lebih keras dengan imbalan yang jauh lebih kecil untuk kepentingan imperialisme. Satu persatu hak-hak demokratik rakyat yang pernah direbut melalui perjuangan reformasi 1998 dipreteli. Kebebasan politik kembali dibatasi, kehidupan sosial ekonomi dan kebudayaan Rakyat pun semakin memburuk.

Kehidupan klas buruh, sebagai klas termaju dalam masyarakat tidak mengalami perubahan yang berarti. Meski setiap tahun senantiasa ada keputusan politik berupa kenaikan upah minimum, namun kebijakan yang saat ini didesentralisasikan ke pemerintah kota dan kabupaten menyebabkan kebijakan pengupahan pun berbeda-beda, sesuai selera dari penguasa lokal. Meski secara angka mengalami peningkatan, namun secara riil upah tersebut tidak mengalami kenaikan, bahkan lebih banyak mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari prosentase kenaikan upah yang selalu di bawah prosentase inflasi tahunan. Pemerintahan boneka berpandangan, kebijakan pengupahan di atas adalah usaha untuk mengendalikan inflasi akibat meningkatnya peredaran uang. Namun inflasi yang ditakutkan itu sesungguhnya tidak berasal dari upah, melainkan dari faktor-faktor lain, seperti ekonomi biaya tinggi sebagai akibat dari maraknya praktik korupsi di jajaran birokrasi.

Selain didera oleh politik upah rendah, klas buruh di Indonesia juga dihadapkan pada rejim hubungan industrial yang liberal. Rejim ini dikenal dengan sebutan “Labor Market Flexibility” atau “Pasar Tenaga Kerja Fleksibel”. Rejim ini berintikan pada hubungan industrial yang didasarkan pada asumsi yang mereduksi kekuatan klas buruh dengan hanya menghargai tenaga kerjanya. Aktivitas kehidupan lain—seperti aktivitas sosial dan kebudayaan—di luar kegiatan industrial sama sekali tidak diberi tempat. Kapitalis hanya memberikan sejumlah penghargaan sebagai ongkos “ganti keringat” yang dikeluarkan dan bukan sebagai imbalan atas hasil kerja yang diproduksi oleh klas buruh.

Dalam kerangka liberalisasi hubungan industrial, pemerintah boneka imperialisme di Indonesia telah memberlakukan beberapa peraturan perundang-undangan yang memberi kemudahan bagi kapitalis untuk menyewa atau memecat buruh, tanpa harus beban apapun. Peraturan-peraturan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang nomor 2 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Kedua perundang-undangan itu, ditambah dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000, adalah hasil konsesi antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang dituangkan dalam Letter of Intent. Melalui peraturan-peraturan itu, klas buruh Indonesia dipaksa bekerja lebih keras dengan upah yang lebih kecil dan jaminan kerja yang semakin memudar.

Kaum tani Indonesia juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Saat ini, 70 persen populasi Rakyat Indonesia adalah kaum tani yang bekerja di pedesaan-pedesaan di berbagai pelosok negeri. Menurut sensus pertanian yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, sekitar 56,52 rumah tangga kaum tani Indonesia adalah rumah tangga tani gurem yang hanya mengolah tanah kurang dari 0,4 hektar untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan prosentase ini, berarti telah jumlah tani gurem di Indonesia mengalami peningkatan pertahun sebesar 2,6 persen pertahun dalam satu dekade sejak 1993 yang saat itu sudah mencapai 52,7 persen.

Menurut data BPS, persentase petani gurem di Jawa adalah 69,8 persen pada 1993, namun angka ini melaju cepat menjadi 74,9 persen atau bertambah sebanyak 1.922.000 rumah tangga. Di luar Jawa, ST93 persentasenya sebesar 30,6 persen, sedangkan ST03 mencatat 33,9 persen ekuivalen dengan 937.000 rumah tangga. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan rumah tangga petani gurem di Jawa lebih cepat dari pada di luar Jawa. Sebenarnya komposisi banyak rumah tangga pertanian di Jawa dan luar Jawa tidak berubah dalam sepuluh tahun ini. Apabila ST93 mencatat 56,1 persen sementara menurut ST03 komposisinya 54,9 persen di Jawa dan 45,1 persen di luar Jawa. Artinya, dalam 10 tahun ini yang terjadi adalah proses pemiskinan kehidupan petani. Petani semakin terpuruk bukan semakin baik.

Meningkatnya jumlah tani gurem ternyata seiring dengan adanya proses pemusatan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria di segelintir orang. Orang-orang itu mempraktikan sistem tuan-tanah setengah feodal yang sesungguhnya semakin memperburuk kehidupan mayoritas kaum tani. Bentuk-bentuk praktik produksi sisa-feodal yang saat ini marak di pedesaan di Indonesia adalah praktik sewa tanah dan sistem bagi hasil yang tidak menguntungkan buruh tani, tani miskin, dan tani sedang-bawah. Tuan tanah berperan sebagai klas yang sama sekali tidak berpartisipasi dalam kegiatan produksi namun menguasai mayoritas hasil produksi.

Selain praktik sewa tanah dan sistem bagi hasil, praktik penindasan lain yang dialami kaum tani—khususnya tani miskin, buruh tani, dan tani sedang-bawah—adalah penghisapan yang dilakukan tengkulak besar, rentenir, dan klas-klas parasit dan klas kapitalis birokrat desa. Klas-klas ini memanfaatkan keterbelakangan ekonomi dan akses politik kaum tani untuk menancapkan penindasan dan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dari hasil kerja dan keringat kaum tani yang sesungguhnya tidak seberapa.

Keterbatasan kebudayaan di kalangan kaum tani akibat dominasi praktik sisa-feodal telah mengekang produktivitas pertanian Indonesia. Dewasa ini, Indonesia tergolong sebagai negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Ironis, di negeri yang subur dan kaya sumber alamnya, kaum tani Indonesia justru merupakan kaum yang kerap dilanda masalah-masalah sosial seperti kelaparan dan berbagai jenis penyakit akibat rendahnya gizi dan mutu nutrisi.

Selain masalah itu, persoalan lain yang dialami kaum tani Indonesia adalah pembatasan hak politik dalam hal berdemokrasi dan beroganisasi. Rejim reaksioner yang berkuasa di Indonesia secara berlapis menerapkan berbagai tindakan politik yang intinya mengekang kebebasan dan hak demokratik kaum tani untuk berpolitik dalam konteks perjuangan kepentingan reformnya.

Inti dari hak demokratis kaum tani adalah hak untuk memiliki dan menguasai tanah yang cukup untuk kehidupannya. Hak ini dijamin oleh Undang-Undang Pokok Agraria 1960 dan UU Pokok Bagi Hasil 1960. Akan tetapi, rejim boneka imperialisme tidak pernah melirik dan berniat memberlakukan UU secara konsekuen. Pengkhianatan-pengkhianatan terhadap UUPA dan UUPBH dilakuka berkali-kali. Saat ini, pemerintah boneka imperialisme di Indonesia tengah berupaya merevisi UUPA untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan imperialisme ke dalam undang-undang yang memayungi masalah-masalah keagrariaan itu.

Tidak sedikit, jalan kekerasan sebagai yang ditempuh rejim yang berkuasa untuk mengekang kebangkitan kesadaran di kalangan kaum tani. Tidak heran bila sampai sekarang, kaum tani adalah kaum yang paling sering dihantam oleh berbagai aksi kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat pemerintah reaksioner. Situasi inilah yang mengobarkan gejolak di kalangan kaum tani, menuntut dipenuhinya seluruh hak-hak demokratis yang intinya bermuara pada desakan dijalankannya land-reform dan ditegakkannya keadilan.

Dalam bentuk pertentangan yang lain, kaum tani Indonesia sesungguhnya berhadapan dengan imperialisme AS, baik secara langsung maupun tidak. Membanjirnya peraturan-peraturan hukum agraria pro-imperialis yang dikeluarkan oleh rejim boneka dalam negeri serta konflik-konflik langsung dalam hal penguasaan dan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria antara kaum tani dengan kekuatan-kekuatan kapital monopoli internasional, seperti Freeport di sektor pertambangan emas, Golden Missisippy dalam hal eksplorasi air, Newmont di sektor pertambangan, Monsanto sektor agrobioteknologi dan pupuk, Caltex sektor pertambangan minyak, Exxonmobile Oil di sektor pertambangan minyak, London-Sumatera di sektor agrobisnis, Phillip Morris dan British American Tobbaco sektor agribisnis (tembakau), dan lain-lain yang umumnya bergerak di sektor pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria adalah bentuk-bentuk kontradiksi yang dialami kaum tani Indonesia berhadapan dengan imperialisme Amerika Serikat.

Bagi pemuda dan pelajar/mahasiswa, kehidupan sosial dan politik saat ini juga jauh dari harapan. Tingginya biaya pendidikan yang membatasi akses terhadap sarana-sarana pengembangan kebudayaan telah menyebabkan kaum muda Indonesia tidak memiliki kemampuan yang signifikan untuk menghadapi tuntutan obyektif. Akibatnya jumlah kaum muda yang tersingkir—menjadi pengangguran—secara ekonomi, politik, dan kebudayaan, makin lama semakin besar. Saat ini diperkirakan 40 juta rakyat Indonesia yang didominasi kaum muda harus menganggur karena berbagai keterbatasan. Sekitar 10 juta di antaranya tergolong sebagai penganggur terbuka.

Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Kaum muda adalah kaum yang memiliki potensi daya produksi yang tinggi. Potensi ini apabila tidak diwadahi akan memunculkan banyak gejolak yang tidak semuanya menguntungkan dan memajukan kehidupan masyarakat. Kita melihat, meskipun di mana-mana lahir kaum muda yang progresif dan militan, namun tidak sedikit kaum muda Indonesia yang justru terjerumus dalam ruang-ruang sesat, terilusi dalam kemewahan duniawi, terjebak dalam peredaran obat-obatan, atau justru menjadi lumpen dan sampah masyarakat.

Kaum muda adalah pemanggul masa depan bangsa. Kaum muda yang terdidik dan terpelajar adalah bakal calon pemimpin yang mampu memberi inspirasi bagi kemajuan Rakyat. Oleh karenanya, kaum muda harus diselamatkan dari segala ilusi duniawi dan dipimpin untuk menjadi tulangpunggung gerakan Rakyat dalam kerangka perjuangan demokratis dan pembebasan nasional.

Kaum perempuan di Indonesia adalah kaum yang mengalami pengucilan (domestifikasi) di desa namun dieksploitasi di kota. Diskriminasi dan ketidakadilan atas dasar perbedaan jender sebagai bentuk konkret dominasi feodalisme dan patriarki adalah wacana yang lekat dengan kehidupan kaum perempuan Indonesia. Gugatan-gugatan yang diajukan perempuan terhadap berbagai bentuk diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan jender yang diajukan perempuan senantiasa dibenturkan dengan tafsir-tafsir sempit atas dalil-dalil agama. Hal ini mempertahankan patriarkisme dan menciptakan kebimbangan di kalangan perempuan yang umumnya memiliki taraf pendidikan dan pergaulan sosial yang lebih rendah dibanding laki-laki.

Dipertahankannya diskriminasi dan ketidakadilan atas dasar jender sesungguhnya menguntungkan imperialisme. Saat ini perempuan-perempuan, terutama yang berusia muda, menjadi tulang-punggung aktivitas industri dan perdagangan uang dan barang. Tenaga perempuan lebih banyak digunakan karena upah perempuan lebih murah dibanding laki-laki. Kondisi ini hanya bisa dipertahankan apabila diskriminasi dan keterbelakangan pendidikan terhadap perempuan tetap dipertahankan.

Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah konflik yang manifes. Bentuk-bentuk lain dari diskriminasi dan kekerasan juga terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Salah satu dari sekian banyak kasus yang saat ini paling banyak diderita oleh perempuan adalah perdagangan perempuan dan buruh migran. Media massa mencatat saat ini sekitar 30 perempuan Indonesia diperjual-belikan setiap bulan. Pada tahun 2001, Koalisi Perempuan Indonesia memperkirakan 300.000 anak Indonesia diperdagangkan ke Hongkong, Malaysia, Jepang, dan Taiwan, dengan melalui proses resmi dengan izin sebagai duta wisata, bekerja di bidang jasa hiburan, maupun bekerja di restoran.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia ternyata sangat berperan meningkatkan jumlah perempuan yang diperdagangkan dan diperangkap masuk dalam industri prostitusi. Saat ini paling sedikit ada 650.000 perempuan yang terperangkap dalam industri hitam itu, 30 persen di antaranya adalah anak-anak. Data resmi dari pemerintah memang hanya menyebutkan angka 150.000 pada tahun 1998, dan 72.000 pada tahun 1994. Namun, angka resmi memang biasanya jauh lebih kecil ketimbang kenyataan di lapangan, belum lagi akibat samping dari krisis ekonomi. Tekanan akibat krisis ekonomi ini makin menambah besar masalah perdagangan perempuan dan prostitusi.

Daerah-daerah seperti Surabaya-Makassar-Nunukan-Tawau, saat ini menjadi Jalur "Gemuk" Perdagangan Perempuan Belia. Selain itu, Jawa Barat menduduki peringkat teratas kasus perdagangan perempuan, selain itu propinsi Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur juga termasuk penyumbang terbesar kasus perdagangan perempuan. Bentuk-bentuk lain perdagangan perempuan bisa ditemukan di Kalimantan Barat dalam bentuk membeli perempuan—umumnya beretnis Tionghoa—untuk dikawini.

Masalah ini memang pelik. Pemerintah hanya mampu bertindak pasif dengan menangkap pelaku-pelaku trafficing, itu pun tidak banyak dan belum mampu membongkar sindikat besarnya. Pemerintah masih belum mampu membongkar akar relasi yang menyuburkan praktik-praktik anti kemanusiaan ini.

Akar dari segala kekerasan dan diskriminasi yang dialami perempuan di Indonesia adalah kemiskinan. Bentuk-bentuk yang melanggengkan kemiskinan di kalangan perempuan (feminization of poverty) pada umumnya disebabkan oleh diskriminasi politik, ekonomi, dan kebudayaan telah menyebabkan perempuan terpuruk dalam situasi tawar yang sangat rendah. Meskipun dari jumlah populasi perempuan yang mencapai 50,3 persen dari total penduduk, 60 Persen perempuan hidupi diri sendiri dan Keluarga, baik yang berstatus lajang, janda, maupun menikah, menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Sementara suaminya migrasi ke kota atau tidak bekerja.

Kenyataan ini memang telah mendorong munculnya banyak aksi-aksi yang dilakukan untuk memberdayakan perempuan. Lembaga-lembaga yang memfokuskan pembelaan terhadap perempuan bermunculan di mana-mana. Forum-forum kajian mengenai masalah-masalah perempuan pun sudah muncul seperti jamur. Bukan hanya itu, Pemerintah Indonesia juga menjadikan isu perempuan sebagai salah satu pekerjaan pokoknya. Dalam bentuk perundang-undangan, terakhir DPR telah menyepakati pembentukan Undang-Undang Anti-Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan saat ini telah membahas Undang-Undang Anti-Perdagangan Manusia. Jauh sebelumnya sudah muncul Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 yang merupakan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Against Woman/CEDAW).

Akan tetapi secara kualitatif, belum ada kemajuan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena usaha yang dilakukan belum banyak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Emansipasi kaum perempuan sebagai syarat untuk mendorong perubahan masih dalam kadar yang rendah. Bahkan bukan tidak mungkin, cepatnya polemik mengenai permasalahan perempuan di tingkat media massa, tidak berjalan selaras dengan meningkatnya kesadaran di kalangan perempuan itu sendiri. Barikade politik, ekonomi, dan budaya masih memblokade perempuan dari hak-haknya untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan.

Kekhususan-kekhususan kontradiksi di atas mengerucut pada satu kontradiksi umum yakni penindasan imperialisme yang berbasis sosial pada hubungan produksi feodalisme. Penindasan ini sudah berlangsung selama proses sejarah, terutama sejak gagalnya revolusi burjuis Agustus 1945. Pada saat ini, dominasi imperialisme bertumpu pada kaki-kaki tangannya, yakni burjuis komprador, tuan tanah, dan kapitalis birokrat. Demokrasi baru adalah demokrasi yang dimiliki dan dianut oleh seluruh rakyat, terutama kelas buruh dan kaum tani.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, baik kelas buruh maupun kaum tani tidak bisa melakukannya sendiri, melainkan harus menjalin kerjasama dengan elemen-elemen yang patriotis dan pro-demokrasi di dalam dan di luar negeri dan suatu front patriotik dan demokratik, baik di dalam maupun luar negeri.

Hal terpenting yang harus dilakukan di dalam negeri adalah melakukan mobilisasi massa dalam jumlah besar untuk bergabung dan front demokratik yang berhaluan patriotik, yakni front anti-feodalisme dan anti-imperialisme. Front ini bersifat luas dengan melibatkan elemen kelas-kelas progresif dan dipimpin oleh persekutuan kelas paling progresif yakni kelas buruh dan kaum tani. Kelas buruh dan kaum tani merupakan sandaran pokok dalam kerjasama tersebut, yang menjadi segi yang memimpin dan menentukan arah gerak perjuangan.

Kepemimpinan kelas buruh dan kaum tani ini harus sebisa mungkin menghindarkan diri dari kecenderungan-kecenderungan petualanganisme atau avonturisme politik yang memaksakan kepatuhan dari kelas-kelas lain yang digalang dalam kerjasama front tersebut.

Tujuan jangka pendek dari penggalangan front ini adalah untuk memencilkan klik paling reaksioner, yakni klik tuan-tanah, komprador, dan kapitalis birokrat yang tengah berkuasa dan menjadi boneka atau kepanjangan tangan imperialisme AS. Tujuan jangka panjangnya adalah melaksanakan demokratisasi dan menancapkan pilar-pilar melakukan pembebasan nasional guna mengakhiri dominasi imperialisme atau kapitalisme monopoli.

Tugas mendesak keluar adalah bersolidaritas dan bersatu dengan gerakan rakyat yang anti-imperialisme di tingkat internasional untuk mengucilkan klik imperialisme AS. Bangkitnya gerakan rakyat dalam skala internasional yang merespon isu-isu globalisasi dan perang menjadi indikasi akan menajamnya kontradiksi antara rakyat di berbagai negara, khususnya di negara-negara jajahan dan semi jajahan dengan imperialisme, khususnya imperialisme AS.

Situasi ini memungkinkan diadakannya kerjasama dalam front luas dalam skala internasional untuk mengusung isu perlawanan terhadap imperialisme. Karenanya menjadi salah satu kewajiban gerakan rakyat di dalam negeri untuk bekerjasama dan menjalin aksi-aksi dalam skala internasional untuk klik imperialis paling reaksioner, yakni imperialis AS dan sekutu terdekatnya untuk dikucilkan dalam pergaulan internasional.


SBY-KALLA REJIM YANG INGKAR JANJI

Imperialisme adalah tahapan tertinggi dan terbusuk dalam perkembangan kapitalisme. Imperialisme adalah penyakit yang menggerogoti kelangsungan hidup manusia dan kemanusiaan. Imperialisme juga merupakan kekuatan jahanam yang menjadi sumber segala kontradiksi yang dialami Rakyat diberbagai negeri. Perjuangan melawan imperialisme bukanlah perjuangan antar suatu negeri melawan negeri lainnya. Perjuangan melawan imperialisme adalah perjuangan di dalam negeri yang dilakukan oleh Rakyat—terutama rakyat dari negeri terjajah dan setengah terjajah—melawan klas-klas reaksioner lokal yang selama ini menjadi tulang-punggung dan basis dominasinya.

Hakikat dari perjuangan melawan imperialisme adalah gerakan patriotis yang memiliki watak demokratis. Sebagai gerakan demokratis, gerakan ini mensyaratkan adanya partisipasi massa Rakyat yang mampu berkembang seiring setingkat demi setingkat hingga sampai pada tuntutan maksimum, yakni pembebasan nasional. Gerakan ini dilakukan dengan mengusung tuntutan-tuntutan yang bersifat reform yang sesuai dengan keadaan dan tingkat kesadaran Rakyat sebagai jalan untuk merajut persatuan luas di kalangan massa Rakyat. Aksi-aksi reform yang dilakukan setahap demi setahap adalah syarat praktik yang melatih kesiapan massa Rakyat untuk memasuki jenjang perjuangan pada level atau kualitas yang lebih tinggi. Massa Rakyat adalah sumber kekuatan, sumber pengetahuan dan inspirasi, sekaligus tulang-punggung gerakan yang secara historis teruji sebagai pendorong atau pendobrak perubahan.

Saat ini, klik yang berkuasa di panggung politik Indonesia adalah klik Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla. Klik ini memenangkan pemilu 2004 dengan memanfaatkan histeria massa yang kecewa dengan klik Megawati Soekarno Putri. Massa pemilih yang umumnya masih terbelakang secara politik tergiur oleh sensasi yang muncul dari uraian program-program yang ditawarkan dalam kampanye pemilihan Presiden. Program-program tersebut secara sensasi dianggap mewakili keinginan ratusan juta Rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan dan demokratisasi.

Namun harapan yang dimandatkan kepada klik yang sesungguhnya tetap mewakili kepentingan klas tuan-tanah, kapitalis komprador, dan kapitalis-birokrat ini sudah pasti tidak akan pernah menjadi kenyataan. Belum genap setahun kekuasaannya, kebijakan-kebijakan anti-rakyat sudah menyebar di berbagai bidang. Perubahan yang dijanjikan ternyata bukan perubahan untuk perbaikan, melainkan perubahan yang semakin membusuk.

Benang merah dari Perang Irak dan masalah yang melanda blok Ambalat akibat dorongan Imperialisme Amerika Serikat, kini secara jelas dirasakan oleh Rakyat Indonesia. Betapa tidak, Perang Irak dan Krisis di Blok Ambalat adalah kenyataan atas semakin tingginya suhu pertentangan di lapangan ekonomi, politik, dan kemiliteran negara-negara di dunia akibat mengerasnya krisis ekonomi imperialisme yang salah satunya disebabkan oleh berkurangnya pasokan bahan energi. Perang Irak serta ketegangan di Palestina yang memperluas wabah ketegangan politik di kawasan Timur tengah, telah memicu naiknya harga minyak dunia hingga menembus level di atas US$ 50/barrel.

Tingginya harga minyak mentah dunia ternyata tidak bisa sepenuhnya dinikmati oleh Rakyat Indonesia. Keserakahan penguasa reaksioner pro-imperialis pada masa rejim kanan Soeharto telah menguras habis cadangan minyak dalam perut bumi Indonesia tanpa menyisakan manfaat yang nyata bagi Rakyat. Dewasa ini, produksi minyak mentah Indonesia hanya berkisar sekitar satu juta barrel perhari (bph), padahal konsumsi minyak Indonesia diperkirakan mencapai 1,3 juta bph.

Indonesia memang masih memiliki kemampuan mengekspor minyak mentah meskipun dibawah kuota yang ditetapkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Kisarannya sekitar 0,3 juta bph yang sesungguhnya bukan milik Indonesia, baik pertamina maupun pemerintah, melainkan milik perusahaan-perusahaan kapital-monopoli internasional yang menangguk manisnya “emas hitam” Indonesia itu. Kenyataan ini menuntut Indonesia untuk melakukan impor minyak, tentu saja dengan harga pasar yang sangat tinggi.

Dengan alasan membebani anggaran, rejim boneka SBY-Kalla, secara sepihak—tanpa persetujuan politik dari DPR—mengeluarkan politik penaikan harga Bahan-Bakar Minyak dengan rata-rata kenaikan sekitar 29 persen. Kenaikan ini adalah kenaikan yang paling besar sepanjang sejarah Indonesia. Rejim boneka SBY-Kalla berdalih, kenaikan ini ditujukan untuk mengurangi subsidi anggaran atas migas yang mencapai angka Rp 75 triliun.

Dengan bantuan intelektual-intelektual komprador anti rakyat dari sebuah perguruan tinggi ternama Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Moneter UI (LPEM UI) dan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Jakarta, Freedom Institute, rejim boneka SBY-Kalla berusaha membuai Rakyat dengan berbagai program dana kompensasi sebesar Rp 17 triliun yang dijanjikannya sebagai upaya talangan atas dampak kenaikan harga BBM.

Namun propaganda licik yang bermutu rendah dan jauh dari prinsip-prinsip keilmiahan itu, kini menuai tantangan besar dari Rakyat. Kenaikan BBM di tengah melorotnya daya beli Rakyat adalah “petaka tambahan” yang dijlentrehkan penguasa Indonesia kepada Rakyatnya. Petaka ini semakin menyakitkan rakyat manakala mengetahui bahwa beratnya beban anggaran, sesungguhnya bukan disebabkan oleh tingginya subsidi, melainkan oleh adanya utang—yang tahun ini mencapai total Rp 71 triliun—telah menggerogoti kemampuan ekonomi Indonesia.

Naiknya BBM jelas menjadi sumbu yang menyulut amarah kaum tani. Kenaikan ini bukan hanya memicu naiknya harga-harga kebutuhan pokok, melainkan juga sampai melambungkan biaya produksi sampai jauh di atas kemampuan mayoritas kaum tani. Naiknya pupuk yang kerap diselingi dengan kelangkaan di pasar, telah mencekik kaum tani hingga sulit untuk bernafas.

Pelajaran berharga dari kasus kenaikan BBM adalah penegasan mengenai watak dan rejim SBY-Kalla serta aparatusnya sebagai boneka dan antek imperialisme. Rejim ini lebih cenderung mengedepankan kepentingan imperialisme di atas kepentingan Rakyat. Hal ini terlihat dari politik SBY-Kalla yang memilih menaikan harga BBM daripada mengemplang utang luar negeri menjelaskan watak dan hakikat rejim yang saat ini berkuasa di Indonesia sebagai boneka dan kepanjangan kepentingan imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat.


BEBERAPA SIMPULAN POKOK

Konferensi Asia Afrika II yang diselenggarakan pemerintah Indonesia dan Afrika Selatan sesungguhnya telah mengalami pembiasan yang terlihat dari pilihan tema yang menunjukkan adanya perbedaan aras yang menjadi sasaran dengan momentum sejarah Konferensi Asia-Afrika yang melatarinya. Perbedaan tersebut bukan semata perbedaan harfiah yang disebabkan oleh perbedaan diksi. Perbedaan itu justru menunjukkan adanya perbedaan makna yang di mana gagasan yang saat ini mengemuka cenderung bertolak-belakang dengan semangat KAA 1955.

Gagasan-gagasan pokok yang digali dari kontradiksi-kontradiksi yang dialami Rakyat dan Bangsa dari kawasan Asia-Afrika tidak tergali dengan sempurna. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kemiskinan, keterbelakangan, dan penderitaan-penderitaan Rakyat dan Bangsa-Bangsa dari kawasan Asia-Afrika tidak dijawab dengan lugas.

Untuk itu, usaha keras dari segenap Rakyat, terutama kalangan demokratik yang anti-imperialisme, untuk meluruskan kembali Semangat Bandung 1955, memperbaruinya dengan bersandar pada kondisi ekonomi-politik kontemporer, sekaligus mengaitkannya dengan perjuangan Rakyat, khususnya Rakyat yang anti-imperialisme baik di Indonesia maupun di kawasan lain yang saat ini berada dalam dominasi imperialisme, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk demokrasi, perdamaian, kemanusiaan, dan kemerdekaan sejati.

Berbasis pada kenyataan obyektif dalam panggung perjuangan Rakyat menentang imperialisme pada masa sekarang, semangat dasar yang tersurat dan tersirat dalam Dasasila Bandung 1955 masih sangat relevan meski perlu penyesuaian-penyesuaian pada sasaran aksi yang hendak dituju dalam aksi-aksi Rakyat menentang imperialisme. Secara khusus terjadi beberapa perubahan akibat adanya pergeseran dalam kontradiksi-kontradiksi di dunia, namun basis atau fondasi dari kontradiksi tersebut masih tetap sama, yakni kontradiksi yang diakibatkan adanya monopoli individualis atas hasil kerja kolektif klas pekerja.

Dalam kenyataan politik internasional hari ini, kontradiksi pokok yang memimpin dan menentukan kontradiksi-kontradiksi lain adalah kontradiksi antara Rakyat yang anti-imperialisme—terutama dari negeri-negeri jajahan dan setengah terjajah—melawan imperialisme, khususnya imperialisme pimpinan Amerika Serikat. Kontradiksi ini mensyaratkan adanya gerakan pembebasan nasional dari seluruh negeri sebagai satu-satunya jalan untuk mengubur imperialisme.

Pada perkembangan hari ini, persatuan rakyat dari seluruh dunia menduduki peranan sebagai salah satu prasyarat pokok dalam perjuangan melawan imperialisme. Persatuan ini dibangun untuk menjalin ikatan solidaritas rakyat guna mengucilkan dan mempertinggi intensitas kuantitatif perlawanan terhadap imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat. Persatuan ini harus secara jeli memanfaatkan kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di antara kubu atau klik imperialis maupun kontradiksi-kontradiksi lain yang dilakukan oleh klas-klas reaksioner dengan tetap berpijak pada garis massa agar tidak tergelincir pada segala bentuk praktik avonturisme.

Hakikat dari perjuangan melawan imperialisme adalah perjuangan demokratis yang dilakukan Rakyat dari berbagai negeri—khususnya di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan—untuk merebut dan mempertahankan hak-hak reform Rakyat. Dalam usaha ini, tenaga dan kekuatan massa diarahkan untuk menelanjangi, mengucilkan, dan mengembangkan politik oposisi Rakyat terhadap berbagai kebijakan imperialisme yang dititipkan kepada klas-klas reaksioner lokal yang menjadi boneka dan kakitangannya di dalam negeri. Dengan memaksimalkan tuntutan-tuntutan reform, Rakyat diajak untuk bersatu menantang rejim boneka imperialisme untuk melawan kepentingan dari kekuatan yang selama ini menjadi “majikannya”.

Untuk melaksanakan hal itu, pembangunan gerakan yang dimulai dari basis terendah menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas partisipasi massa dalam perjuangan demokratis sekaligus mendorong dan melatih massa untuk bersiap-siap memasuki perjuangan pada level atau kualitas yang lebih tinggi.

Dalam konteks Indonesia, perjuangan pembebasan nasional melawan imperialisme juga memiliki makna sebagai perjuangan demokratis melawan feodalisme. Oleh karena, selama ini imperialisme membasiskan kekuasaannya pada feodalisme, bersekutu dengan klas-klas reaksioner lokal, yakni tuan tanah, kapitalis komprador, dan kapitalis birokrat, menindas dan menghisap Rakyat. Menghancurkan feodalisme sama dengan membumihanguskan imperialisme dari bumi Indonesia.

Oleh karenanya, bentuk yang paling ilmiah untuk memperingati 50 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) dan “Semangat Bandung 1955” bagi Rakyat Indonesia adalah dengan cara mempertinggi perjuangan demokratis melawan feodalisme dan klas-klas reaksioner lokal, sebagai jalan untuk meraih demokrasi dan kemerdekaan sejati untuk seluruh Rakyat Indonesia. Dengan demikian, Rakyat Indonesia dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kemajuan gerakan melawan imperialisme di seluruh penjuru dunia.#

Tidak ada demokrasi tanpa land reform!