Jam Gadang

monumen di Indonesia

0°18′19″S 100°22′10″E / 0.305210°S 100.3694°E / -0.305210; 100.3694

Jam Gadang
Jam Gadang dilihat dari arah Pasar Atas
PerancangYazid Rajo Mangkuto
TipeMenara jam
Tinggi26 meter
Didedikasikan kepadaSekretaris Fort de Kock (sekarang kota Bukittinggi)
Biaya pembangunan21.000 Gulden

Jam Gadang adalah menara jam yang menjadi penanda Kota Bukittinggi, Sumatra Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".

Jam Gadang menjadi lokasi peristiwa penting pada masa sekitar kemerdekaan Indonesia, seperti pengibaran bendera merah putih (1945), Demonstrasi Nasi Bungkus (1950), dan pembunuhan 187 orang oleh militer Indonesia atas tuduhan pemberontak (1959).[1][2]

Jam Gadang telah dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitarnya. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik pada hari kerja maupun pada hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sini.

Struktur

Ukuran dasar bangunan Jam Gadang yaitu 6,5 x 6,5 meter, ditambah dengan ukuran dasar tangga selebar 4 meter, sehingga ukuran dasar bangunan keseluruhan 6,5 x 10,5 meter.[3] Bagian dalam menara jam terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.

Terdapat empat jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut digerakkan secara mekanik oleh mesin yang didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.

Sejarah

 
Jam Gadang terlihat dari kejauhan di salah satu sudut Kota Bukittinggi sekitar tahun 1933

Jam Gadang dibangun pada 1926–1927[4] atas inisiatif Hendrik Roelof Rookmaaker, controleur atau sekretaris kota Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda.[5][6] Jamnya merupakan hadiah dari Ratu Belanda Wilhelmina. Seorang arsitek asal Koto Gadang, Yazid Rajo Mangkuto bertindak sebagai penanggung jawab pembangunan,[7] sementara pelaksana pembangunan ditangani oleh Haji Moran dengan mandornya St. Gigi Ameh.[6][8]

Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan oleh putra pertama Rookmaker yang pada saat itu masih berusia enam tahun. Pembangunannya menghabiskan biaya sekitar 15.000 Gulden di luar biaya upah pekerja sebesar 6.000 Gulden.[9] Biaya itu bersumber dari Pasar Fonds, badan pengelola dan pengumpul pajak atas pasar-pasar di Bukittinggi. Pada Februari 1927, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Andries Cornelies Dirk de Graeff meninjau pembangunan Jam Gadang dalam kunjungannya ke Fort de Kock .

Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Bentuk ini sebagai sindiran agar orang Kurai, Banuhampu, sampai Sungai Puar bangun pagi apabila ayam sudah berkokok.[10]

Pada masa pendudukan Jepang, bentuk atap diubah menyerupai Kuil Shinto. Pada 1953, setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Kronik

Atap Jam Gadang mengikuti zaman pemerintahannya.

Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Bukittinggi, bendera merah putih untuk pertama kalinya dikibarkan di puncak Jam Gadang, setelah melalui pertentangan dengan pucuk pimpinan tentara Jepang.[11][12][13][14][15][16] Pemuda yang memimpin massa untuk menaikkan pertama kali Sang Saka Merah Putih di puncak Jam Gadang bernama Mara Karma.[17]

Pada masa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (1958–1961), terjadi pertempuran antara Tentara Indonesia (ketika itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia atau APRI) dengan pasukan PRRI. Di bawah Jam Gadang, APRI pada 1959 membunuh sekitar 187 orang dengan cara ditembak. Hanya 17 orang dari jumlah tersebut yang merupakan tentara PRRI, sedangkan selebihnya merupakan rakyat sipil.[1] Para mayat lalu dijejer di halaman Jam Gadang.[2]

Setelah operasi penumpasan PRRI, APRI membangun Tugu Pembebasan di sekitar Jam Gadang untuk memperingati kemenangan mereka. Relief di tugu melukiskan ninik mamak sedang "bersujud di bawah telapak kaki tentara yang berdiri dengan angkuhnya". Tugu tersebut dihancurkan pada masa pemerintahan Gubernur Sumatra Barat Harun Zain.[18][19]

Kondisi saat ini

Jam Gadang sempat ditutup dengan dibalut kain marawa pada malam pergantian tahun 2008 ke 2009 oleh Wali Kota Bukittinggi Djufri. Alasan penutupan untuk mengurangi kerumunan pengunjung di pelataran Jam Gadang yang berpotensi menimbulkan tindak kriminal dan korban jiwa.[20]

Jam Gadang dilaporkan mengalami kerusakan dan miring di beberapa lantai pasca-gempa bumi Sumatra Barat 2009 dan 2007. Kerusakan meliputi struktur utama, retakan di simpul atau tumpuan bangunan pada tiga lantai serta retakan horizontal di sekeliling dinding bangunan pada ketinggian sekitar 1,5 meter dari lantai pertama.[21][22] Pada 2010, upaya penguatan bangunan dilakukan oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah Kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta dengan menyuntikkan cairan kimia khusus. Pengerjaannya diresmikan pada ulang tahun Kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.[23]

Pada Juli 2018, kawasan Jam Gadang direvitalisasi oleh pemerintah. Pengerjaannya memakan biaya Rp18 miliar dan rampung pada Februari 2019.[24]

Jelang pergantian tahun 2021, Jam Gadang kembali ditutup dengan kain putih untuk mencegah kerumunan warga di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.[25]

Galeri

Referensi

  1. ^ a b Syamdani (2009). PRRI, pemberontakan atau bukan?. Media Pressindo. ISBN 978-979-788-032-3. 
  2. ^ a b Ilyas, Abraham. Syair Kisah Perjuangan Anak Nagari 1958-1961: Kalah di Ujung Bedil Menang dengan Silat. Lembaga Kekerabatan Datuk Soda. ISBN 978-602-71254-1-4. 
  3. ^ Edinal Agung (24 Februari 2017). Kajian Bentuk Jam Gadang di Bukittinggi (Tesis). Universitas Sumatra Utara. 
  4. ^ Bukittinggi 1968-1971. 
  5. ^ MededeelIngen van den Dienst der Volksgezondheid in Nederlandsch-Indië - Dutch East Indies. Dienst der volksgezondheid - Google Books
  6. ^ a b Ensiklopedi Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. 2005. ISBN 978-979-3797-23-6. 
  7. ^ "Jam Gadang: Hadiah Ratu Wilhelmina dan Peran Arsitek asal Koto Gadang". Suluah.com. 2021-05-28. Diakses tanggal 2021-05-28. 
  8. ^ Femina: gaya hidup masa kini. P.T. Gaya Favorit Press. 1992. 
  9. ^ H.Julius Dt. Malaka Nan Putiah (1947). Sejarah Nagari Kurai V Jorong serta Pemerintahannya: Pasar dan Kota Bukittinggi. Bukittinggi: Tsamaratoel Ichwan. hlm. 51.
  10. ^ Sejarah sosial daerah Sumatra Barat (PDF). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek-Proyek [i.e. Proyek Inventarisasi] dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1983. 
  11. ^ Penerangan, Indonesia Departemen (1954). Lukisan revolusi, 1945-1950: dari negara kesatuan ke negara kesatuan. Kementerian Penerangan. 
  12. ^ Raliby, Osman (1953). Documenta historica: sedjarah dokumenter dari pertumbuhan dan perdjuangan negara Republik Indonesia (dalam bahasa Melayu). Bulan-Bintang. 
  13. ^ Daerah, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan (1977). Sejarah daerah Sumatera Barat. Proyek. 
  14. ^ Sejarah daerah ...: Sumatra Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. 1978. 
  15. ^ Wild, Colin (1986). Gelora api revolusi: sebuah antologi sejarah. Diterbitkan atas kerja sama BBC Seksi Indonesia dan Penerbit PT Gramedia. 
  16. ^ Lintasan perjalanan Kepolisian RI sejak proklamasi-1950. Gadhessa Pura Mas. 1985. 
  17. ^ Mintaraga, Mulyadi (1986). Api perjuangan kemerdekaan di kota Padang. Songo Abadi Inti. 
  18. ^ Pandoe, Marthias Dusky (2010). Jernih melihat cermat mencatat: antologi karya jurnalistik wartawan senior Kompas. Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-487-4. 
  19. ^ "Taman Wirasakti Gambarkan Keangkuhan Tentara Pusat". Harian Singgalang. 29 Januari 2000. 
  20. ^ Antiokhia (YAPAMA), Yayasan Pelayanan Media (2010-01-01). Tabloid Reformata Edisi 122, January 2010. Yayasan Pelayanan Media Antiokhia (YAPAMA). 
  21. ^ Media, Kompas Cyber (2010-03-10). "Wah... Bangunan Jam Gadang Miring". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2022-04-12. 
  22. ^ "Digoyang Gempa, Jam Gadang Masih Tegak". detiknews. Diakses tanggal 2022-04-12. 
  23. ^ http://www.republika.co.id Renovasi Jam Gadang.
  24. ^ Taman Jam Gadang Diresmikan 17 Februari, Telan Dana Rp18 Miliar | VALORA NEWS SUMBAR
  25. ^ "Jam Gadang Ditutup Kain Putih, Pemko Bukittinggi Tegaskan Tak Ada Perayaan Tahun Baru". Padangkita.com. 2020-12-31. Diakses tanggal 2020-12-31. 

Pranala luar