Perang Bubat

artikel daftar Wikimedia

Perang Bubat ᮕᮨᮛᮍ᮪ ᮘᮥᮘᮒ᮪ adalah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu pada masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Kerajaan Sunda. Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Perang Bubat
sunda:(ᮕᮨᮛᮍ᮪ ᮘᮥᮘᮒ᮪)
Jawa:(ꦥꦼꦫꦁꦧꦸꦧꦠ꧀)
Tanggal1357
LokasiAlun-alun Bubat, Majapahit, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur
Hasil
  • Kemenangan Majapahit
  • kematian seluruh rombongan kerajaan Sunda
  • Rusaknya hubungan antara Majapahit dan Sunda
Pihak terlibat
MajapahitKerajaan Majapahit Kerajaan Sunda
Tokoh dan pemimpin
MajapahitPatih Gajah Mada Raja Linggabuana 
Kekuatan
Pasukan Bhayangkara, jumlah pastinya tidak diketahui Pasukan Balapati, Rombongan Kerajaan Sunda, jumlah pasti tidak diketahui
Setidaknya 2200 kapal dan perahu
Korban
Tidak diketahui Hampir semua pihak Sunda tewas, termasuk Raja Sunda dan Putri Dyah Pitaloka

Latar Belakang

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda.

Kitab Pararaton menyebut "...Bhre Prabhu ayun ing Putri ring Suṇḍa. Patih Maḍu ingutus anguṇḍangeng wong Suṇḍa, ahiděp wong Suṇḍa yan awawarangana ..." yang menyatakan bahwa saat itu Hayam Wuruk berkeinginan untuk menikahi Puteri Sunda dengan mengutus Patih Madhu.

Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya sebuah lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara[butuh rujukan].

Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 [butuh rujukan]. Merujuk kepada Pustaka Rajyarajya yang berasal dari Cirebon & merupakan bagian dari Naskah Wangsakerta yang tersimpan di Museum Sejarah Sunda "Sri Baduga" di Bandung. Dengan adanya kedekatan darah antara Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka, dari adanya pernikahan Rakyan Jayadarma dengan Dyah Lembu Tal, Raja Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki. Menurut kitab Negarakretagama rekaman sejarah yang dibuat oleh Mpu Prapanca, Dyah Lembu Tal ini merupakan Putra Narasingamurthi dan seorang perwira yuda gagah berani . [1]

Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka Citraresmi dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda.[2] Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu,[butuh rujukan] tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan[butuh rujukan] bahwa hal tersebut adalah cara diplomatik agar wilayah barat Majapahit menjadi aman, karena pada saat itu Majapahit sedang melebarkan kekuasaannya ke arah timur, untuk menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Penyebab Perang

Versi Kidung Sunda

Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dengan diiringi prajurit menggunakan dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000-an kapal datang ke Kerajaan Majapahit sebagaimana diceritakan dalam Kidung Sunda. Namun dengan adanya perintah dari Ayahanda Hayam Wuruk yaitu Krtawarddhana kepada Gajah Mada untuk membatalkan pernikahan karena telah dijodohkannya Hayam Wuruk dengan calon permaisuri, Indudewi, putri dari Rajadewi Maharajasa (adik Tribhuwana Tunggadewi) yang bekedudukan di Daha (Kediri) menurut tafsir kisah Panji Angreni oleh Sejarawan Agus Aris Munandar[3], maka Gajah Mada menyarankan Hayam Wuruk untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan. Hal ini membuat Raja Sunda, Linggabuana, yang sudah datang ke Majapahit merasa dipermalukan, hingga pada akhirnya memilih berperang melawan Majapahit demi menjaga kehormatan kerajaan Sunda.

Versi Kidung Sundayana

Menurut Kidung Sundayana,[butuh rujukan] timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak[butuh rujukan] Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka Citraresmi bukan sebagai permaisuri atau calon istri, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang[butuh rujukan] atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Peperangan dan tewasnya seluruh rombongan Sunda

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap pada pendiriannya.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai Raja Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam rombongan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta seluruh keluarga kerajaan Sunda. Raja Sunda dan keluarganya beserta pejabat kerajaan Sunda datang di Majapahit dan binasa di lapangan Bubat.[4]

Tradisi menyebutkan, sang Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri, untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya.[5] Tindakan ini mungkin diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Akibat

Tradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka Citraresmi. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan kemudian mengirimkan utusan (darmadyaksa) asal Bali - (yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi) - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Indudewi (Paduka Sori).

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Maharaja, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di timur Majapahit, yaitu di Madakaripura (kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini tampak sebagai penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai diasingkan secara halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sediakala.[2] Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya di antaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka Citraresmi untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

Hal yang menarik antara lain, meskipun Bali sering kali dianggap sebagai pewaris kebudayaan Majapahit, masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak kepada kerajaan Sunda dalam hal ini, seperti terbukti dalam naskah Bali Kidung Sunda. Penghormatan dan kekaguman pihak Bali atas tindakan keluarga kerajaan Sunda yang dengan gagah berani menghadapi kematian, sangat mungkin karena kesesuaiannya dengan ajaran Hindu mengenai tata perilaku dan nilai-nilai kehormatan kasta ksatriya, bahwa kematian yang utama dan sempurna bagi seorang ksatriya adalah di ujung pedang di tengah medan laga. Nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian ini mendapatkan sandingannya dalam kebudayaan Bali, yakni tradisi puputan, pertempuran hingga mati yang dilakukan kaum prianya, disusul ritual bunuh diri yang dilakukan kaum wanitanya. Mereka memilih mati mulia daripada menyerah, tetap hidup, tetapi menanggung malu, kehinaan dan kekalahan.

Rekonsiliasi

‎Karena pertempuran tragis ini menjadi keluhan sejarah-budaya yang menegangkan hubungan antar-etnis antara orang ‎‎Jawa‎‎ dan ‎‎Sunda‎‎ - dua kelompok etnis terbesar ‎‎di Indonesia‎‎ selama berabad-abad, ada upaya bersama untuk mendamaikan hubungan, antara lain dengan mengganti nama jalan-jalan kota. Pada 6 Maret 2018, Gubernur Jawa Timur, ‎‎Soekarwo,‎‎bersama Gubernur Jawa Barat, ‎‎Ahmad Heryawan‎‎ (Aher), dan Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan ‎‎Hamengkubuwono X,‎‎menggelar Rekonsiliasi Budaya Kerukunan Budaya Sunda-Jawa di Hotel Bumi Surabaya, Selasa, 6 Maret 2018. Mereka sepakat untuk mengakhiri masalah pasca-Bubat dengan mengganti nama jalan arteri di Surabaya, Yogyakarta dan Bandung. ‎[6]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Dyah Lembu Tal". p2k.unkris.ac.id. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  2. ^ a b Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 279. ISBN 9814155675. 
  3. ^ "Drama Bubat dan Panas-Dingin Hubungan Majapahit-Sunda". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2015-05-22. Diakses tanggal 2021-12-25. 
  4. ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72. 
  5. ^ Y. Achadiati S, Soeroso M.P., (1988). Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit. Jakarta: PT Gita Karya. hlm. 13. 
  6. ^ "Peristiwa | 3 Gubernur Rekonsiliasi 661 Tahun Masalah…". web.archive.org. 2018-05-06. Diakses tanggal 2021-12-09. 

Bacaan lanjutan

  • Yoseph Iskandar, "Perang Bubat", Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.