Pertempuran Mu'tah

artikel daftar Wikimedia

Pertempuran Mu'tah (bahasa Arab: مَعْرَكَة مُؤْتَة Maʿrakah Muʿtah, atau bahasa Arab: غَزْوَة مُؤْتَة Ghazwah Muʿtah) adalah pertempuran yang terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal 8 Hijriah[5]), dekat kampung yang bernama Mu'tah, disebelah timur Sungai Yordan dan Al-Karak, antara pasukan Muslim yang dikirim oleh Nabi Muhammad dan pasukan (Bizantium).

Pertempuran Mu'tah
غزوة مؤتة
Bagian dari Perang Arab-Bizantium
Tanggal629
LokasiDekat Karak, Yordania
Hasil Kemenangan Muslim (menurut Ibnu Katsir), kemenangan Bizantium[1]
atau imbang[2][3]
Pihak terlibat
Arab Muslim Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium)
Arab Kristen
Tokoh dan pemimpin
Zaid bin Haritsah ,
Ja'far bin Abi Thalib ,
Abdullah bin Rawahah , Khalid ibn Walid
Heraclius,
Theodorus,
Syurahbil bin Amr al-Ghassani,
Malik bin Zafilah
Kekuatan
3,000 (Ibnu Qayyim dan Ibnu Hajar)[4][5][5][6]

100.000(lowest)

200,000(Highest) (sumber Muslim)[3]
Korban
12 (sumber Muslim, mungkin lebih)[5] 20,000 (sumber Muslim, mungkin lebih) [5]

Latar belakang

Setelah Perjanjian Hudaibiyyah disepakati, Rasullulah mengirimkan surat-surat dakwah sekaligus berdiplomasi kepada para penguasa negeri yang berbatasan dengan Jazirah Arab, termasuk kepada Heraklius. Pada tahun 7 hijriah atau 628 M, Rasulullah menugaskan al-Harits bin Umair untuk mengirimkan surat dakwah kepada Gubernur Syam (Suriah) bernama Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yang baru diangkat oleh Kekaisaran Romawi. Dalam perjalanan, di daerah sekitar Mu'tah, al-Harits bin Umair dicegat dan dibunuh oleh penguasa setempat bernama Syurahbil bin Amr al-Ghassani pemimpin dari suku Ghassaniyah (Pada waktu itu yang berkuasa di wilayah Palestina dan sekitarnya).[7][8][9][10] Dan pada tahun yang sama utusan Rasulullah pada Banu Sulayman dan Dhat al Talh daerah di sekitar negeri Syam juga dibunuh oleh penguasa sekitar.[11] Sebelumnya, tidak pernah seorang utusan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibunuh dalam misinya.

Sedangkan menurut sumber-sumber Barat modern, pertempuran ini adalah upaya penaklukan yang gagal terhadap bangsa Arab di sebelah timur Sungai Jordan.[12] Tentunya hal ini dikritisi sebab tidak mampu menjelaskan secara logis latar belakang pertempuran, antara pasukan muslim yang bahkan belum mempersatukan Jazirah Arab dan belum menguasai Makkah yang berani menentang kekuasaan bangsa adidaya Romawi di daerah utara yang sangat jauh dari Madinah.

Pertempuran

Sebelum pasukan Islam berangkat untuk menegakkan panji La ilaha Illallah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah menunjuk tiga orang sahabat sekaligus mengemban amanah komandan secara bergantian bila komandan sebelumnya gugur dalam tugas di medan peperangan hingga mengakibatkan tidak dapat meneruskan kepemimpinan. Sebuah keputusan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Mereka itu adalah Ja'far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah (berasal dari kaum muhajirin) dan seorang sahabat dari Anshar, Abdullah bin Rawahah, penyair Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.[13]

Singkatnya, pasukan islam yang berjumlah 3000 personel diberangkatkan. Ketika mereka sampai di daerah Ma’an, terdengar berita bahwa Heraklius mempersiapkan 100 ribu pasukannya. Selain itu, kaum Nasrani dari beberapa suku Arab pun telah siap dengan jumlah yang sama. Mendengar kabar yang demikian, sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum mengusulkan supaya meminta bantuan pasukan kepada Rasulullah atau dia memutuskan suatu perintah.

‘Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu lantas mengobarkan semangat juang para sahabat radhiyallahu ‘anhum pada waktu itu dengan perkataannya, “Demi Allah, sesungguhnya perkata yang kalian tidak sukai ini adalah perkata yang kamu keluar mencarinya, yaitu syahadah (gugur dimedan perang dijalan Allah Azza wa Jalla). Kita itu tidak berjuang karena karena jumlah pasukan atau kekuatan. Kita berjuang untuk agama ini yang Allah Azza wa Jalla telah memuliakan kita dengannya. Bergeraklah. Hanya ada salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau gugur (syahid) di medan perang.”

Orang-orang menanggapi dengan berkata, “ Demi Allah, Ibnu Rawahah berkata benar”.

Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan dengan sengit. Komandan pertama ini menebasi anak panah-anak panah pasukan musuh sampai akhirnya tewas terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla.

Bendera pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sepupu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ini berperang sampai tangan kanannya putus. Bendera dia pegangi dengan tangan kiri, dan akhirnya putus juga oleh tangan musuh. Dalam kondisi demikian, semangat dia tak mengenal surut, saat tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai dia gugur oleh senjata lawan. Berdasarkan keterangan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, salah seorang saksi mata yang ikut serta dalam perang itu, terdapat tidak kurang 90 luka di bagian tubuh depan dia baik akibat tusukan pedang dan maupun anak panah.[14]

Giliran ‘Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu pun datang. Setelah menerjang musuh, ajal pun menjemput dia di medan peperangan.

Tsabit bin Arqam radhiyallahu ‘anhu mengambil bendera yang telah tak bertuan itu dan berteriak memanggil para Sahabat Nabi agar menentukan pengganti yang memimpin kaum muslimin. Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan siasat dan strategi – setelah taufik dari Allah Azza wa Jalla – kaum muslimin berhasil memukul Romawi hingga mengalami kerugian yang banyak.

Pasca pertempuran

Menyaksikan peperangan yang tidak seimbang antara kaum muslimin dengan kaum kuffar, yang merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara Romawi dan Nashara Arab, secara logis, kekalahan bakal di alami oleh para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah Azza wa Jalla melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata: “Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama pasukan yang berjuang dijalan Allah Azza wa Jalla, dengan kekuatan 3000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin. Padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak”.[15]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

Orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah 2:249)

Para ulama sejarah tidak bersepakat pada satu kata mengenai jumlah syuhada Mu’tah. Namun, yang jelas jumlah mereka tidak banyak. Hanya berkisar pada angka belasan, menurut hitungan yang terbanyak. Padahal, peperangan Mu’tah sangat sengit. Ini dapat dibuktikan bahwa Khalid bin Walid rahimahullah menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Hanya satu pedang yang tersisa, hasil buatan Yaman.

Khalid rahimahullah berkata, “Telah patah Sembilan pedang ditanganku, tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman.[16]

Menurut Imam Ibnu Ishaq seorang Imam dalam ilmu sejarah Islam, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8 Sahabat saja. Secara terperinci yaitu Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam Zaid bin Haritsah al-Kalbi, Mas’ud bin al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah al-‘Adawi, Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh radhiyallahu ‘anhum.

Sementara dari kalangan kaum anshar, ‘Abdullah bin Rawahah, ‘Abbad bin Qais al-Khozarjayyan, al-Harits bin an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-Najjari, Suraqah bin ‘Amr bin Athiyyah bin Khansa al-Mazini radhiyallahu ‘anhum.

Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam rahimahullah dengan berlandaskan keterangan az-Zuhri rahimahullah, menambahkan empat nama dalam deretan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, Abu Kulaib dan Jabir. Dua orang ini saudara sekandung. Ditambah ‘Amr bin ‘Amir putra Sa’d bin Tsa’labah bin Malik bin Afsha. Mereka juga berasal dari kaum anshar. Dengan ini, jumlah syuhada bertambah menjadi 12 jiwa.[17]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ F. Donner, The Early Islamic Conquests, p.105
  2. ^ Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam melaporkan imbang untuk kedua belah pihak, baik Muslim maupun Romawi. Sedangkan Ibnu Katsir melaporkan kemenangan Muslim.
  3. ^ a b Muhammad Husayn Haykal, The Life of Muhammad (Allah's peace and blessing be upon him), Diterjemahkan oleh Isma'il Razi A. al-Faruqi, 1976, American Trust Publications ISBN 0-89259-002-5
  4. ^ Ibn Qayyim Al-Jawziyya. Zad al-Ma'ad 2/155.
  5. ^ a b c d e Saif-ur-Rahman Mubarakpuri, ar-Raheeq al-Makhtoom, "The Sealed Nectar", Islamic University of Medina, Dar-us-Salam publishers ISBN 1-59144-071-8
  6. ^ Ibnu Hajar. Fath al-Bari 7/511.
  7. ^ http://www.dakwatuna.com/2008/peperangan-di-masa-rasulullah-bagian-4/
  8. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-11-27. Diakses tanggal 2010-11-07. 
  9. ^ Kelengkapan Tarikh Edisi Lux Jilid 2 Oleh Moenawar Chalil, K.H. hal 483
  10. ^ Fathul Baari (9/368)
  11. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-20. Diakses tanggal 2010-11-07. 
  12. ^ Buhl, F. "Mu'ta". Dalam P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam Online Edition. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912. 
  13. ^ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Bila Zaid meninggal, makan (pemimpin kalian adalah) Ja’far. Jika Ja’far meninggal, maka (pemimpin kalian adalah) ‘Abdullah bin Rawahah (Hadits riwayat Imam Bukhari no.4260-4261)
  14. ^ Hadits riwayat Imam Bukhari no.4261
  15. ^ Lihat al-Bidayah wan Nihayah (4/214)
  16. ^ Hadits riwayat Imam Bukhari 4265-4266.
  17. ^ Menurut penulis as-Sirah ash-Shahihah (hal.468) jumlah Sahabat yang gugur 13 orang.