Dharmawangsa Teguh Anantawikrama

Dharmawangsa Teguh disebut juga Dharmawangsa adalah raja terakhir Kerajaan Medang Periode Jawa Timur dengan bergelar abhiseka Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa dimana saat masa pemerintahannya Dharmawangsa mengadakan serangan ke Sriwijaya. Ia memerintah Medang pada tahun 991-1007.

Dharmawangsa Teguh
Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa
Raja Medang Terakhir
Berkuasa991 - 1007
PendahuluMakutawangsawardhana
KelahiranWijayamretawardhana
Keturunan
WangsaIsyana
AyahMakutawangsawardhana
AgamaHindu

Sejarah

Prasasti Pucangan yang dikeluarkan tahun 1041 oleh raja bernama Airlangga menyebutkan bahwa dirinya merupakan anggota keluarga dari Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali dari wangsa Warmadewa adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari wangsa Isyana. Airlangga kemudian turut menjadi menantu Dharmawangsa setelah menikah dengan putrinya. Dharmawangsa Teguh juga memiliki putri lain yang diperistri oleh Sri Jayabhupati dari Kerajaan Sunda.

Pada umumnya para sejarawan sepakat menyebut Dharmawangsa Teguh sebagai putra Makuthawangsawardhana. Teori ini diperkuat oleh Prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa sebagai anggota Wangsa Isyana.

Jadi kesimpulannya Makuthawangsawardhana memiliki dua orang anak, yaitu Mahendradatta dan Dharmawangsa.

Prasasti Sirah Keting juga menyebutkan nama asli Dharmawangsa yaitu Wijayamreta Wardhana.

Selain Prasasti Pucangan dan Prasasti Sirah Keting, nama Dharmawangsa juga ditemukan dalam naskah Mahabharata bahasa Jawa Kuno, pada bagian Wirataparwa, yang ditulis pada tanggal 14 Oktober 996. Juga Prasasti Kawambang Kulwan tahun 992. Prasasti ini diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes, walaupun hanya 12 baris bagian awal pada sisi depan, yang diduga dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang. Yang isinya merupakan penetapan wilayah sima di desa Kawambang Kulwan (kulon) yang berupa sima swatantra dari Sri Maharaja yang diteruskan oleh Pu Dharmmasanggramawikranta dan diterima oleh Samgat Kanuruhan Pu Burung tentang pendirian bangunan suci untuk dewa Siwa dan adanya ajaran kitab Siwasasana.

Menyerang Sriwijaya

Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po atau She-po.

Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh tentara Cho-po (Jawa).

Pada musim semi tahun 992 duta San-fo-tsi tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa disebabkan negerinya masih belum aman. Ia meminta kaisar Song supaya menyatakan bahwa San-fo-tsi berada dalam perlindungan Tiongkok.

Utusan Cho-po juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa Teguh. Dengan demikian, dari berita Tiongkok tersebut dapat diketahui kalau pemerintahan Dharmawangsa dimulai sejak tahun 991.

Kerajaan Medang berhasil menguasai Palembang tahun 992, tetapi pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh tentara Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera.

Keruntuhan Medang

Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran Kerajaan Medang yang dikenal dengan sebutan Mahapralaya atau Kematian Besar.

Diceritakan Dharmawangsa Teguh menikahkan putrinya dengan seorang pangeran berdarah Jawa-Bali yang baru berusia 16 tahun, bernama Airlangga. Di tengah keramaian tersebut, beserta keluarga raja yang tenggelam dalam kemewahan pesta, tiba-tiba istana diserang pasukan Haji Wurawari dari Lwaram seorang vasal kerajaan Medang yang mendapat dukungan dari wangsa Syailendra yang berbasis di Sriwijaya untuk memberontak. Serangan bagai air bah yang mematikan tersebut benar-benar menenggelamkan Medang dalam kehancuran, mengakibatkan istana Dharmawangsa yang terletak di kota Wwatan hangus terbakar. Dharmawangsa Teguh sendiri dan seluruh kerabat raja tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Airlangga yang merupakan menantu sekaligus keponakannya beserta putri Dharmawangsa lolos dari maut, dengan ditemani pembantunya Mpu Narotama.

kematian dari raja Dharmawangsa serta hancurnya ibukota Wwatan di bawah tekanan militer Sriwijaya mengakhiri kerajaan Medang dan membuatnya jatuh dalam situasi kekacauan karena tidak adanya seorang penguasa tertinggi, para panglima perang di setiap provinsi, daerah dan pemukiman di Jawa Tengah dan Jawa Timur memberontak, dan melepaskan diri dari pemerintahan pusat Medang untuk membentuk daerah otonom atau pemerintahannya sendiri, selanjutnya perampokan merajalela, kerusuhan, kekerasan dan kejahatan lebih lanjut terjadi beberapa tahun setelah kejatuhan Medang hingga merusak situasi negara.

Tiga tahun kemudian Airlangga tampil dengan dukungan dari para pendeta dan permintaan rakyat Medang dirinya membangun sebuah istana baru di Watan Mas dan mendirikan kerajaan baru, Kahuripan, sebagai penerus takhta mertuanya. Keturunan Dharmawangsa yang lain, menurut Prasasti Sirah Keting, yaitu Sri Jayawarsa disebut juga Sri Digjaya Resi, membangun kembali ibukota Wwatan dan menjadi penguasanya dengan gelar Sri Jayawarsa Digjaya Sasastraprabhu, diperkuat juga dengan Prasasti Mruwak (1186) dan Prasasti Pamotoh II (1198). Dari Prasasti Pucangan diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti Turyyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di Tamwlang, dan kemudian pindah ke Watugaluh menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di daerah Jombang sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Madiun, Magetan sedangkan Watan Mas terletak di dekat sekitar Gunung Penanggungan.

Mengenai alasan Raja Wurawari membunuh Dharmawangsa Teguh terjadi beberapa penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak. Ada pula yang berpendapat bahwa Wurawari merupakan bawahan yang ambisius yang hendak mengambil alih kekuasaan Dharmawangsa. Prasasti Pucangan yang saat ini berada di museum Kolkata, India melahirkan dua versi terhadap tahun berdirinya istana Watan Mas. Golongan pertama membaca angka tahun berupa kalimat Suryasengkala yaitu Locana agni vadane sedangkan golongan kedua membacanya Sasalancana abdi vadane. Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana Wwatan atau kematian raja Dharmawangsa Teguh terjadi pada tahun 1007, sedangkan versi kedua menyebut peristiwa Mahapralaya tersebut terjadi pada tahun 1016.

Catatan

Istilah Haji dalam bahasa Jawa Kuno bermakna “raja bawahan”.

Kepustakaan

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
Didahului oleh:
Makuthawangsawardhana
Raja Medang
991–1007
Diteruskan oleh:
Airlangga