Sejarah Kabupaten Karawang
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Sejarah Karawang tersusun dari berbagai fragmen peradaban. Sejarah bandung diawali dari awal abad hijriah dan terus bersambung hingga era Kerajaan apa aja dan Masa Kemerdekaan Indonesia.
Kabupaten Karawang merupakan wilayah pesisir pantai selatan Jawa bagian utata dan termasuk bagian dari Provinsi Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Karawang terletak antara 107o02’ - 107o40’ BT dan 5o562’ - 6o34’ LS. Secara topografis sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam dataran alluvial dengan ketinggian 0.6 di atas permukaan laut, dan kemiringan tanah 0.2 %. Luas wilayah Kabupaten Karawang 1.753,27 km2 atau 3,73% dari luas Provinsi Jawa Barat. Secara administratif, Kabupaten Karawang memiliki 30 Kecamatan yang terdiri dari 298 Desa dan 11 Kelurahan. Wilayah Karawang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta. Kabupaten Karawang merupakan wilayah pertanian sawah dengan pengairan (irigasi), dan sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani dan nelayan di daerah pantai. Profesi sebagai petani dan nelayan ini yang kemudian mempengaruhi corak kebudayaan yang berkembang di Kabupaten Karawang. Banyak keyakinan, ritus, dan seni di Kabupaten Karawang yang lahir dari latar belakang pertanian dan nelayan seperti babarit, nyalin, hajat bumi, nadran, seni topeng dan tari jaipong. Data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Karawang mencapai 2.295.778 jiwa. Penduduk laki-laki berjumlah 1.177.310 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 1.118.468 jiwa. Penduduk Karawang memiliki keragaman bahasa yaitu Sunda, Jawa, Betawi, Melayu dan Cina.
Sejarah Nama Karawang
A. Berita Cina (Abad 3 Masehi)
Catatan tertulis yang pertama kali mengindikasikan keberadaan nama Karawang adalah Nan Chou I Wu Chih (Catatan Dari Daerah Selatan). Ini bukan kitab kungfu, apalagi kitab suci yang dicari Kera Sakti dan Biksu Suci dalam perjalanan ke barat. Nan Chou I Wu Chih adalah sebuah catatan perjalanan Cina bernama Wan Chen dari Dinasti Wu pada 220-280 Masehi. Wan Chen mencatat bahwa di daerah selatan atau yang oleh Bangsa Cina dinamakan Kun-lun-po (nusantara),terdapat sebuah pusat perdagangan yang sangat penting bernama Koying, yang memiliki pelabuhan besar, dan menjadi tempat persinggahan terakhir kapal-kapal dari India. Nama Koying juga terdokumentasikan dalam laporan utusan Kaisar Dinasti Wu, Ch`ih Wu, untuk kerajaan Hindu Funan yang berada di sekitar Sungai Mekong (Vietnam) pada abad ke-3. Utusan yang bernama Chung-Lang Kang-Tai dan Chu-Ying mencatat adanya sebuah tempat bernama Ge-ying, yang juga diterjemahkan sama dengan Koying, yang merupakan pusat perdagangan yang mengekspor mutiara, permata, emas, dan kacang-kacangan.Informasi dari Wan-Chen dan Kang-Tai tentang lokasi Koying menurut beberapa peneliti merujuk pada sebuah kerajaan yang berada di Indonesia bagian barat. Adapun tujuan para utusan Cina ke Funan adalah untuk mencari tahu rute perdagangan maritim melalui laut Asia Tenggara guna memperoleh barang-barang dari India dan Timur-Tengah. Sementara itu seorang biksu bernama Bodhibadra (359-429) yang sedang melakukan perjalanan menuju Cina juga mencatat adanya sebuah tempat bernama Koying.
Sampai sekarang, lokasi Koying belum dapat dipastikan seperti halnya kerajaan-kerajaan kuno lainnya yang berdiri pada awal Masehi. Para peneliti dari berbagai negara memiliki teori masing-masing tentang lokasi Koying. Namun peneliti asal Cornell University, Oliver Wiliam Wolter, memprediksi bahwa nama Koying merujuk pada nama Karawang. Sebutan Koying sama dengan sebutan Kawang, yang sekarang menunjuk pada lokasi Karawang Peneliti lainnya seperti Profesor McCoy8 dan juga Profesor Hasan Djafar, berpendapat sama dan mendasarkan argumennya akurasi pengucapan kata pada abad 3 Masehi dengan rekontrusi pelapalan Koying dengan Kawang, dan akhirnya menjadi Karawang. Dan jika hasil penelitian itu dibenarkan maka berarti nama Karawang sudah ada sejak awal Masehi, dan pengucapannya dalam bahasa Cina pada masa itu adalah Koying. Sedangkan Ptolemy menyebutnya Argyre. Interpretasi Koying menurut tradisi pantun kemungkinan mengarah pada Palabuhan Kuta Tambaga seperti yang disebut dalam Pantun Pakujajar Beukah Kembang.
B. Naskah Sunda (Abad 15 Masehi)
Catatan tertulis lainnya yang mendokumentasikan secara presisi nama Karawang adalah Naskah Bujangga Manik, sebuah catatan perjalanan seorang pangeran pengembara dari Kerajaan Pajajaran. Berdasarkan penelitian Teeuw, diduga bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung atau ditulis pada zaman Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan di Nusantara, terutama sebelum jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Naskahnya terbuat dari daun lontar, dan diperkirakan ditulis pada awal abad 15 Masehi. Naskahnya sekarang ini terdapat di Perpustakaan Bodleiy Oxford sejak tahun 1627, hibah dari seorang saudagar bernama Andrew James. Naskah tersebut mencatat perjalanan Bujangga Manik yang dua kali melakukan pengembaraan mengelilingi Pulau Jawa dan Bali. Mula-mula, Bujangga Manik berangkat ke Jawa Timur, selanjutnya pulang ke Pakuan melalui jalan laut dengan menumpang kapal yang berlayar dari Malaka. Kedua kali, Bujangga Manik kembali mengembara ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu menyeberang ke Bali. Setelah pulang, ia memilih hidup mengasingkan diri dengan bertapa di sebuah gunung di Tatar Sunda hingga mencapai moksanya. Sambil bertualang, Bujangga Manik mencatat setiap nama tempat yang dilewatinya. Ada hampir 450 lebih nama tempat yang terarsipkan dalam catatan Bujangga Manik yang sebagian masih dapat dikenali hingga sekarang, termasuk tempat-tempat di wilayah Karawang seperti Cigeuntis, Citarum, Cilamaya, Cihoe, Goha, Ramanea dan lainnya. Naskah Bujangga Manik terdiri atas 1758 baris. Dan pada baris naskah ke 361 tertulis : Leteng karang ti Karawang. Leteng susuh ti Malayu. Pamuat Aki Puhawang. Dipinangan pinang tiwi. Pinang tiwi ngubu cai. Artinya, Apu karang dari Karawang, Apu cangkang kerang dari Malayu, didatangkan oleh nahkoda. Ditambahkan biji pinang tiwi, pinang tiwi yang direbus,
Teks Bujangga Manik menceritakan bahwa seorang putri Pajajaran bernama Jompong Larang jatuh cinta kepada Bujangga Manik. Jompong Larang kemudian memberi hadiah kepada Bujangga Manik sebagai tanda cintanya. Diantara barang-barang yang dihadiahkan oleh Jompong Larang adalah leteng karang. Pada masa itu leteng termasuk barang yang cukup populer, dan bernilai tinggi. Dalam masyarakat Sunda kuno, leteng merupakan barang yang sangat dibutuhkan. Leteng biasa digunakan sebagai seupaheun yang bermanfaat untuk perawatan gigi, dicampur dengan pinang dan seureuh. Pada jaman Pajajaran dikenal dua jenis leteng, yakni leteng cangkang kerang yang didatangkan dari Melayu, dan leteng karang dari Karawang. Yang disebut leteng karang adalah batuan kapur yang diendapkan dalam air selama berhari-jari, yang sekarang dikenal dengan nama apu. Batuan kapur bahan pembuatan apu tersebut berasal dari pegunungan kapur (karst) yang berada di Karawang Selatan. Berdasarkan penelitian ahli geologi, batuan kapur di pegunungan Karawang Selatan ternyata sudah dimanfaatkan sejak masa Tarumanagara sebagai bahan pelapis (plester) bangunan Candi Batujaya untuk membuat bangunan lebih tahan cuaca.
Bujangga Manik menyebutkan bahwa Leteng karang berasal dari Karawang. Dan berdasarkan penelitian H. Ten Dam mengenai Jalur Highway Pajajaran, diketahui bahwa antara Pakuan dan Tanjung Pura (Karawang) terdapat jalur darat via Cileungsi dan Cibarusah. Namun adanya penyebutan Aki puhawang (nahkoda) menunjukkan jika leteng karang dari pegunungan kapur di Karawang Selatan dikirim ke Pakuannya tidak melalui jalan darat. Leteng karang diangkut melalui Sungai Cibeet oleh para tarahan (penarik perahu) ke pelabuhan sungai Tanjung Pura, dan dari sana dimuat oleh puhawang untuk dibawa ke pelabuhan laut Tanjung Karawang di Mura Citarum, dan selanjutnya dikirim ke Sunda Kalapa. Dari Sunda Kalapa leteng karang itu menempuh perjalanan selama dua hari untuk tiba di Pakuan. Adanya pengangkutan leteng karang lewat laut menunjukkan bahwa jalur darat Pakuan dan Tanjung Pura tampaknya sudah tidak efektif lagi untuk jalur perdagangan.
C. Berita Portugis (Abad 15)
Tahun 1512-1515 Tome Pires menulis sebuah buku berjudul Suma Oriental. Buku tersebut berisi informasi tentang kehidupan di wilayah Asia timur dan Asia Tenggara pada abad ke-16. Catatan ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tomé Pires kepada Raja Portugis tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Portugis saat itu sehingga tidak pernah diterbitkan. Buku tersebut baru diterbitkan pada tahun 1944 oleh Armando Z. Cortesão berdasarkan versi salinannya yang ditemukan di Perpustakaan Chambre des Deputes di Paris. Suma Oriental mencatat tentang kondisi sosial ekonomi di wilayah Sunda. Tome Pires tidak secara langsung menyebut tentang Pelabuhan Karawang. Namun berdasarkan interpretasi oleh sejumlah ahli sejarah lokal seperti Uka Tjandrasasmita dan Prof. Ekadjati diketahui bahwa pada masa itu terdapat juga Pelabuhan Karawang di Muara Citarum. Uka Tjandrasasmita menulis bahwa dari kerajaan Sunda diekspor barang-barang hasil pengumpulan dari berbagai daerah di pedalaman melalui jalur perairan. Salah satu jalur perairan tersebut adalah Muara Citarum. Menurut kesaksian Tome Pires yang dianalisa oleh Uka Tjandrasasmita, bahwa sejak tahun 1513, Karawang merupakan salah satu dari tujuh pelabuhan yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Bagi Kerajaan Sunda, pelabuhan Karawang tidak hanya sekadar berfungsi sebagai pusat perdagangan melainkan juga sebagai pintu masuk wilayah pedalaman bagian timur dengan menyusuri beberapa sungai besar seperti Citarum.15 Pelabuhan Kerajaan Sunda lainnya adalah : fort of Bantam, the fort of Pontang (Pomdam), the fort of Cheguide, the fort of Tamgaram, the fort of Calapa, the fort of Chi Manuk (Chemanuk). Berita Portugis lainnya yang mencatat adanya nama Karawang adalah Joae de Barros. Sejarawan Portugis, Joae de Barros mencatat nama Karawang dalam bukunya yang berjudul Da Asia. Draft pertama buku de Barros ini selesai ditulis tahun 1539 yang terdiri dari 3 decada (decada 4 belum selesai ditulis). Tahun 1552-1564 ke-4 decada tersebut diterbitkan. Dalam Decadas da Asia IV yang diterbitkan tahun 1615 setelah Barros meninggal dan pekerjaannya diteruskan oleh Lavanha dan Diogo do Couto, tertulis gambaran tentang wilayah Jawa Barat. Antara lain dikemukakan bahwa kerajaan Sunda mempunya ibukota bernama Dayo (dayeuh/ kota) yang terletak di pedalaman. Kota itu berpenduduk 50.000 orang dan memiliki 100.000 tentara. Barros juga mencatat pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda, Esta Ilha de Sunda he terra mais montuosa por dentro a Jaü a, tem seis portos de mar notaveis, Chiamo que oestremo da Ilha, Xacatara por outro nome Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, e Bintam, que sã o de grande trafego, por razã o do commercio que se aqui vem fazer, assi da Jaü a, como de Malaca e Ç amatra. Pulau Sunda adalah negeri yang berada di pedalaman, dan lebih bergunung-gunung daripada Jawa, dan mempunyai enam pelabuhan terkemuka yaitu : Chiamo (Cimanuk) di ujung pulaunya, Xacatara atau dengan nama lain Caravam (Karawang), Tangaram (Tangerang), Cheguide (Cigede), Pontang, dan Bintam (Banten). Itulah tempat-tempat yang ramai lalu lintas akibat perniagaan di Jawa seperti pula di Malaka dan Sumatra.
D. Berita Belanda (Abad 15-16 Masehi)
Tahun 1453 Konstantinopel berhasil dikuasai oleh Bangsa Turki Utsmani. Sejak itu jalur perdagangan di Laut Mediterania berubah karena Turki melakukan blokade kepada bangsa Eropa. Salah satunya akibatnya adalah terputusnya pasokan rempah- rempah ke wilayah Eropa, padahal komoditi tersebut merupakan barang yang sangat dibutuhkan. Situasi itu mendorong bangsa- bangsa Kristen Eropa mencari rute pelayaran baru ke berbagai wilayah yang menjadi sumber penghasil rempah. Portugis mencapai Malaka tahun 1511 di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque dan selanjutnya pada tahun 1512 mereka telah berhasil sampai di Maluku. Pada 27 Juni 1596, ekspedisi para pedagang Belanda dibawah pimpinan Cournelis de Houtman tiba di Banten. Van Willem Lodewizck yang ikut dalam rombongan itu mencatat dalam De`eerste boecke nama-nama tempat yang dilewatinya di sepanjang pantai utara, termasuk sebuah lokasi yang disebutnya Cravaon. Cravaon yang berarti Krawang, digambarkan oleh Cournelis De Houtman dalam Eerste de schip vaert de Hollanders near Oost Indian (1595- 1597) : Half wegen Momtcaon ende lacatra, aen eenen uyt- hoeck oft hooft, leyt Cravaon, dwelck een groot dorp is, bewoont van visschers, om de abondantie vanden visch, hebbende een riviere die met drie monden inde Zee is loopende : bahwa diantara Pamanukan dan Jakarta terdapat sebuah tanjung bernama Karawang, dimana di sana terdapat sebuah desa nelayan yang besar, yang berada di titik pertemuan sebuah sungai (Citarum) dengan laut melalui tiga muara.16 Pada saat berada dibawah kekuasaan VOC, nama Karawang dalam Daghregister VOC sering disebut dengan Carawangh, Cravaon, atau Craoan yang sebagian besar merujuk pada Tanjung Karawang dan sungai besar yang mengalir ke pedalamanya (Citarum).
E. Berita Jawa (Abad 16-18 Masehi)
Kitab Babad Tanah Jawi adalah sebuah karya sastra sejarah dalam berbentuk tembang Jawa. Kitab tersebut mengupas berbagai peristiwa yang terjadi di Pulau Jawa, dari mulai kisah para nabi, nenek moyang kerajaan-kerajaan Hindu hingga kisah Mataram Islam. Buku Babad Tanah Jawa merupakan terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden. Dalam Babad Tanah Jawi Karawang dikenal sebagai nama tempat dibuangnya Ciung Wanara ketika masih bayi. Ciung Wanara adalah salah satu penguasa terbesar kerajaan Sunda. Babad Tanah Jawi menerangkan bahwa karena adanya konflik kekuasaan di istana kerajaan, maka bayi Ciung Wanara dihanyutkan ke Sungai Karawang (Citarum), dan kemudian bayi tersebut dipungut oleh seorang penduduk yang dinamakan Ki Buyut Karawang, karena dia tinggal di sekitar Sungai Karawang, Kabucal ing lèpèn Karawang, sang natainggih sampun marêngi, jabang bayi kalêbêtakên ing tabêla, lajêng dipun kèlèkakên inglèpèn Karawang. Tabêla ingkang dipun kèlèkakên wau kapêndhêt ing tiyang mancing, anama Kyai Buyut ing Karawang.
Dalam bagian lain, Babad Tanah Jawi juga menyebutkan nama Karawang sebagai salah satu wilayah yang dikuasai VOC pada tahun 1677, Betawi, Krawang tekan Kali Indramayu, Priyangan tekan Segara Kidul, Semarang lan wewengkone. Cirebon wus ngaub marang VOC. 18 Sementara di bagian lain Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa daerah bernama Karawang tersebut memiliki wilayah luas yang terbentang antara Cikao, Laut Jawa dan Sungai Cilamaya. Berita Jawa lainnya, yakni Babad Pajang yang diambil dari Babad Meinsma tahun 1874, menceritakan bahwa ketika para wali sedang merencanakan pembangunan masjid Demak yang kedua kalinya, terdapat nama Pangeran Karawang yang ikut membantu pembangunan masjid tersebut, bersama Syekh Bentong, dan para wali serta beberapa penguasa daerah lainnya yang sudah masuk Islam:Pangeran ing Jambu Karang lan Pangeran Karawang, myang seh Wali Lanang iku, tuwin seh waliyul Islam….Myang Seh Suta Maharaja, Seh para klawan, Seh Banthong. Seh Bentong adalah penyebar ajaran Islam di Karawang, dan dia dikenal sebagai murid pertama Seh Kuro. Namun, sosok tentang Pangeran Karawang tidak ada keterangannya. Besar kemungkinan dia anggota keluarga Cirebon yang ditempatkan di Tanjung Pura mengingat adanya informasi dari Sejarah Cirebon bahwa Karawang di bagian timur Citarum masuk dalam kekuasaan Cirebon setelah runtuhnya Pajajaran.
Referensi
[1][2][3][4][5][6][7][8][9][10][11]
- ^ Watson, Barbara (1983). Sejarah Malaysia. hlm. 18.
- ^ Miksic, John (2013). Singapura and The Silk Road. Singapura: NUS Press. hlm. 61. ISBN 978-9971-69-558-3.
- ^ Chakravarti, Adhir. Studies on India, China & South East Asia.
- ^ Vickery, Michael (2003). Funan Reviewed. hlm. 112.
- ^ Wolter, O.W (1970). Early South East Asia.
- ^ Setiawan, Hawe. Bujangga Manik dan Studi Sunda. hlm. 3.
- ^ Ten Dam, H (1957). Verkenningen Rondom Pajajaran. hlm. 299.
- ^ Candrsasmita, Uka (2009). Arkeologi Islam Nusantara. hlm. 139.
- ^ Kertapradja, Ngabehi (2014). Babad Tanah Jawi. hlm. 12.
- ^ Sastronaryatmo, Moelyono (1981). Babad Jaka Tingkir. hlm. 242.
- ^ Wangsakerta, Pangeran. Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi.