Desa wisata
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Desa wisata adalah desa yang dijadikan tempat wisata karena daya tarik yang dimilikinya. Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.[1]
Desa wisata biasanya memenuhi semua unsur wisata yang memiliki potensi daya tarik. Di antaranya wisata alam, wisata budaya, dan wisata hasil buatan manusia dalam satu kawasan tertentu dengan didukung oleh atraksi, akomodasi, dan fasilitas lainnya. Hal ini sesuai dengan kearifan lokal masyarakat. Desa wisata itu, seluruhnya terintegrasi, semua unsur di dalam desa untuk mengangkat keunikan dan kearifan lokal sebagai pariwisata.[2]
Komponen Utama Desa Wisata
Terdapat dua konsep yang utama dalam komponen desa wisata:
1. Akomodasi: sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk.
2. Atraksi: seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti: kursus tari, bahasa dan lain-lain yang spesifik.
Sedangkan Edward Inskeep, dalam Tourism Planning An Integrated and Sustainable Development Approach, hal. 166 memberikan definisi: Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and the local environment. Inskeep: Wisata pedesaan dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat.
Pendekatan Pengembangan Desa Wisata
Pengembangan dari desa wisata harus direncanakan secara hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasar dari penelitian dan studi-studi dari UNDP/WTO dan beberapa konsultan Indonesia, dicapai dua pendekatan dalam menyusun rangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata.
Pendekatan Pasar untuk Pengembangan Desa Wisata
Interaksi tidak langsung
Model pengembangan didekati dengan cara bahwa desa mendapat manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk kegiatan yang terjadi semisal: penulisan buku-buku tentang desa yang berkembang, kehidupan desa, seni dan budaya lokal, arsitektur tradisional, latar belakang sejarah, pembuatan kartu pos dan sebagainya.
Interaksi setengah langsung
Bentuk-bentuk one day trip yang dilakukan oleh wisatawan, kegiatan-kegiatan meliputi makan dan berkegiatan bersama penduduk dan kemudian wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip model tipe ini adalah bahwa wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal bersama dengan penduduk.
Interaksi Langsung
Wisatawan dimungkinkan untuk tinggal/bermalam dalam akomodasi yang dimiliki oleh desa tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol dengan berbagai pertimbangan yaitu daya dukung dan potensi masyarakat setempat. Alternatif lain dari model ini adalah penggabungan dari model pertama dan kedua. (UNDP and WTO. 1981. Tourism Development Plan for Nusa Tenggara, Indonesia. Madrid: World Tourism Organization. Hal. 69)
Kriteria Desa Wisata
Pada pendekatan ini diperlukan beberapa kriteria yaitu:
- Atraksi wisata; yaitu semua yang mencakup alam, budaya dan hasil ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik dan atraktif di desa.
- Jarak Tempuh; adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama tempat tinggal wisatawan dan juga jarak tempuh dari ibu kota provinsi dan jarak dari ibu kota kabupaten.
- Besaran Desa; menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu desa.
- Sistem Kepercayaan dan kemasyarakatan; merupakan aspek penting mengingat adanya aturan-aturan yang khusus pada komunitas sebuah desa. Perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem kemasyarakatan yang ada.
- Ketersediaan infrastruktur; meliputi fasilitas dan pelayanan transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, telepon dan sebagainya.
Masing-masing kriteria digunakan untuk melihat karakteristik utama suatu desa untuk kemudian menentukan apakah suatu desa akan menjadi desa dengan tipe berhenti sejenak, tipe one day trip atau tipe tinggal inap.
Pendekatan Fisik Pengembangan Desa Wisata
Pendekatan ini merupakan solusi yang umum dalam mengembangkan sebuah desa melalui sektor pariwisata dengan menggunakan standar-standar khusus dalam mengontrol perkembangan dan menerapkan aktivitas konservasi.
- Mengonservasi sejumlah rumah yang memiliki nilai budaya dan arsitektur yang tinggi dan mengubah fungsi rumah tinggal menjadi sebuah museum desa untuk menghasilkan biaya untuk perawatan dari rumah tersebut. Contoh pendekatan dari tipe pengembangan model ini adalah Desa Wisata di Koanara, Flores. Desa wisata yang terletak di daerah wisata Gunung Kelimutu ini mempunyai aset wisata budaya berupa rumah-rumah tinggal yang memiliki arsitektur yang khas. Dalam rangka mengkonservasi dan mempertahankan rumah-rumah tersebut, penduduk desa menempuh cara memuseumkan rumah tinggal penduduk yang masih ditinggali. Untuk mewadahi kegiatan wisata di daerah tersebut dibangun juga sarana wisata untuk wisatawan yang akan mendaki Gunung Kelimutu dengan fasilitas berstandar resor minimum dan kegiatan budaya lain.
- Mengonservasi keseluruhan desa dan menyediakan lahan baru untuk menampung perkembangan penduduk desa tersebut dan sekaligus mengembangkan lahan tersebut sebagai area pariwisata dengan fasilitas-fasilitas wisata. Contoh pendekatan pengembangan desa wisata jenis ini adalah Desa Wisata Sade, di Lombok.
- Mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi di dalam wilayah desa tersebut yang dioperasikan oleh penduduk desa tersebut sebagai industri skala kecil. Contoh dari bentuk pengembangan ini adalah Desa wisata Wolotopo di Flores. Aset wisata di daerah ini sangat beragam antara lain: kerajinan tenun ikat, tarian adat, rumah-rumah tradisional, dan pemandangan ke arah laut. Wisata di daerah ini dikembangkan dengan membangun sebuah perkampungan skala kecil di dalam lingkungan Desa Wolotopo yang menghadap ke laut dengan atraksi-atraksi budaya yang unik. Fasilitas-fasilitas wisata ini dikelola sendiri oleh penduduk desa setempat. Fasilitas wisata berupa akomodasi bagi wisatawan, restaurant, kolam renang, peragaan tenun ikat, plaza, kebun dan dermaga perahu boat.
Prinsip dasar dari pengembangan desa wisata
- Pengembangan fasilitas-fasilitas wisata dalam skala kecil beserta pelayanan di dalam atau dekat dengan desa.
- Fasilitas-fasilitas dan pelayanan tersebut dimiliki dan dikerjakan oleh penduduk desa, salah satu bisa bekerja sama atau individu yang memiliki.
- Pengembangan desa wisata didasarkan pada salah satu “sifat” budaya tradisional yang lekat pada suatu desa atau “sifat” atraksi yang dekat dengan alam dengan pengembangan desa sebagai pusat pelayanan bagi wisatawan yang mengunjungi kedua atraksi tersebut.
Jenis Wisatawan Pengunjung Desa Wisata
Karena bentuk wisata pedesaan yang khas maka diperlukan suatu segmen pasar tersendiri. Terdapat beberapa tipe wisatawan yang akan mengunjungi desa wisata ini yaitu:
Wisatawan Domestik
Wisatawan domestik; terdapat tiga jenis pengunjung domestik yaitu:
- Wisatawan atau pengunjung rutin yang tinggal di daerah dekat desa tersebut. Motivasi kunjungan: mengunjungi kerabat, membeli hasil bumi atau barang-barang kerajinan. Pada perayaan tertentu, pengunjung tipe pertama ini akan memadati desa wisata tersebut.
- Wisatawan dari luar daerah (luar provinsi atau luar kota), yang transit atau lewat dengan motivasi, membeli hasil kerajinan setempat.
- Wisatawan domestik yang secara khusus mengadakan perjalanan wisata ke daerah tertentu, dengan motivasi mengunjungi daerah pedesaaan penghasil kerajinan secara pribadi.
Wisatawan Manca Negara
- Wisatawan yang suka berpetualang dan berminat khusus pada kehidupan dan kebudayaan di pedesaan. Umumnya wisatawan ini tidak ingin bertemu dengan wisatawan lainnya dan berusaha mengunjungi kampung dimana tidak begitu banyak wisatawan asing.
- Wisatawan yang pergi dalam grup (di dalam suatu biro perjalanan wisata). Pada umumnya mereka tidak tinggal lama di dalam kampung dan hanya tertarik pada hasil kerajinan setempat.
- Wisatawan yang tertarik untuk mengunjungi dan hidup di dalam kampung dengan motivasi merasakan kehidupan di luar komunitas yang biasa dihadapinya.
- Wisatawan yang tertarik berkunjung di desa wisata untuk menikmati panorama alam dengan kegiatan jelajah alam berkeliling di kawasan desa.
Tipe Desa Wisata
Menurut pola, proses dan tipe pengelolanya desa atau kampung wisata di Indonesia sendiri, terbagi dalam dua bentuk yaitu tipe terstruktur dan tipe terbuka.
Tipe Terstruktur (enclave)
Tipe terstruktur ditandai dengan karakter-karakter sebagai berikut:
- Lahan terbatas yang dilengkapi dengan infrastruktur yang spesifik untuk kawasan tersebut. Tipe ini mempunyai kelebihan dalam citra yang ditumbuhkannya sehingga mampu menembus pasar internasional.
- Lokasi pada umumnya terpisah dari masyarakat atau penduduk lokal, sehingga dampak negatif yang ditimbulkannya diharapkan terkontrol. Selain itu pencemaran sosial budaya yang ditimbulkan akan terdeteksi sejak dini.
- Lahan tidak terlalu besar dan masih dalam tingkat kemampuan perencanaan yang integratif dan terkoordinasi, sehingga diharapkan akan tampil menjadi semacam agen untuk mendapatkan dana-dana internasional sebagai unsur utama untuk “menangkap” jasa-jasa dari hotel-hotel berbintang lima.
Contoh dari kawasan atau perkampungan wisata jenis ini adalah kawasan Nusa Dua, Bali dan beberapa kawasan wisata di Lombok. Pedesaan tersebut diakui sebagai suatu pendekatan yang tidak saja berhasil secara nasional, melainkan juga pada tingkat internasional. Pemerintah Indonesia mengharapkan beberapa tempat di Indonesia yang tepat dapat dirancang dengan konsep yang serupa.
Tipe Terbuka (spontaneus)
Tipe ini ditandai dengan karakter-karakter yaitu tumbuh menyatunya kawasan dengan struktur kehidupan, baik ruang maupun pola dengan masyarakat lokal. Distribusi pendapatan yang didapat dari wisatawan dapat langsung dinikmati oleh penduduk lokal, akan tetapi dampak negatifnya cepat menjalar menjadi satu ke dalam penduduk lokal, sehingga sulit dikendalikan. Contoh dari tipe perkampungan wisata jenis ini adalah kawasan Prawirotaman, Yogyakarta.
Desa Wisata di masa Pandemi
Di masa pandemi Covid19, pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi yang paling terpukul. Pemerintah terus mempersiapkan adaptasi kebiasaan baru di destinasi pariwisata khususnya desa wisata sebagai salah satu opsi pemulihan ekonomi lokal pasca pandemi Covid-19. Pemerintah pun terus membangun Destinasi Super Prioritas (DSP) yang telah dicanangkan dengan mengundang investasi.
Salah satu cara promosi desa wisata di masa pandemi adalah melakukan tur virtual menggunakan teknologi platform Atourin.
Secara nasional, transformasi ekonomi desa dilaksanakan melalui pengembangan desa wisata, desa digital, produk unggulan desa, pengembangan kawasan perdesaan, dan peningkatan peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)[3][4][5]
Referensi
- ^ Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 2-3
- ^ "Memahami Kembali Konsep Desa Wisata – Jangan Salah Kaprah". Desa Wisata Tinalah. 2021. Diakses tanggal 1 Oktober 2021.
- ^ "Menyiapkan Desa Wisata di Masa Pandemi | Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan". www.kemenkopmk.go.id. Diakses tanggal 2021-07-27.
- ^ "Membangkitkan Desa Wisata di Tengah Pandemi Covid". Republika Online. 2021-07-13. Diakses tanggal 2021-07-27.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-03-08). "Kemendes PDTT: Hampir Seribuan Desa Wisata Ikut Pelatihan Virtual Tour Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-07-27.