Johan Bernard Abraham Fortunatus Mayor Polak
Johan Bernard Abraham Fortunatus Mayor Polak adalah seorang pegawai sipil Indonesia. Polak lahir di Malang pada 4 November 1905. Ia berkiprah sebagai PNS kolonial merentang dari 1929 hingga saat Jepang datang menyerbu Hindia Belanda. Selama itu, dia pernah menjadi aspiran kontrolir di Malang, juga di Bondowoso, dan kemudian di Tuban.
Di Bondowoso, Polak merangkap sebagai anggota Dewan Kabupaten. Dia akhirnya menjadi kontrolir untuk urusan pertanahan di Kalimantan Barat dan kemudian kontrolir urusan sosial-ekonomi desa di Cirebon. dia pernah pula menjadi sekretaris karesidenan Cirebon. Pada masa Perang Dunia II, Polak dia berdinas di Karesidenan Batavia.
Jauh sebelum tentara Jepang mendarat di Indonesia, Mayor Polak pernah menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) dan Sociaal-Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Keduanya menampung golongan sosial demokrat seperti Polak.
Pada masa pendudukan Jepang, Polak menjadi tawanan perang Jepang. Sebagai orang Indo, Polak menjadi sasaran kecurigaan Kempeitai (polisi rahasia Jepang). Jepang menangkap Polak dan menawannya di Padang. Setelah bebas, dia terlibat dalam gerakan antifasisme Jepang Eenheid door Democratie (EDD) di Cirebon.
Setelah Jepang kalah, ia dan para romusha (Belanda maupun pribumi) dirawat di Singapura. Di Singapura, Polak pernah bekerja di Netherlands Bureau for Documentation and Registration of Indonesians. Pada akhir 1945, Polak kembali ke Indonesia dan bekerja lagi jadi pegawai kolonial. Semula, dia bekerja sebagai kontrolir di Jakarta hingga sekira Maret 1946. Polak kemudian terlibat di sekitar pendirian Negara Indonesia Timur (NIT) pada akhir 1946.
Polak menjadi salah satu anggota parlemen NIT yang berpusat di Makassar. Polak mewakili golongan Indo Eropa. Sejak Januari 1947, Polak ditunjuk jadi asisten residen yang diperbantukan untuk dewan raja-raja Bali yang disebut Paruman Agung.
Setelah Konferesi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, NIT bubar. Dari dalam parlemen NIT, ada anggota macam Arnold Mononutu yang mendukung Republik Indonesia. Ketika NIT melebur dalam Republik Indonesia Serikat (RIS), anggota parlemen NIT masuk pula ke dalam parlemen RIS. Mayor Polak termasuk orang yang ikut didalamnya.
RIS lalu bubar pada Agustus 1950 dan Indonesia kembali menjadi negara republik. Di masa ini, Mayor Polak memilih tetap tinggal di Indonesia dan bahkan jadi warga negara. Dia kemudian turut menjadi anggota DPR RI mewakili warga Indo-Eropa. Sejak 1952, dia menjadi penganut Hindu dan punya nama Bali Nyoman Sukarma.
Mayor Polak kemudian direkrut ke dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Mayor Polak tentu punya kecocokan dengan PSI. Selain terpelajar, Mayor Polak punya kecenderungan politik dan antifasisme yang sama dengan PSI. Namun, usia PSI sayangnya tidaklah panjang. PSI kemudian terseret dalam masalah pemberontakan PRRI-Permesta dan kemudian dilikuidasi pemerintah.
Di luar ranah politik, Mayor Polak juga dikenang namanya dalam kajian sosiologi di Indonesia. Mayor Polak merilis beberapa buku sosiologi, di antaranya Sosiologi: Suatu Pengantar Ringkas (1960), Pengantar Sosiologi Industri dan Perusahaan (1966), dan Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum, dan Politik (1967). Nama Mayor Polak juga muncul dalam buku pelajaran Sosiologi di SMA.
Mayor Polak juga terlibat dalam pendirian Perguruan Tinggi Ekonomi Malang (PTEM) pada 27 Juni 1957. PTEM adalah embrio dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Kala itu, Mayor Polak memimpin PTEM sambil bekerja pula di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Airlangga.[1]