Dalam estetika tradisional Jepang, wabi-sabi () merupakan sebuah pandangan dunia yang terpusat pada penerimaan terhadap kefanaan dan ketidaksempurnaan. Estetika tersebut kadang-kadang dijelaskan sebagai salah satu keindahan yang "tak sempurna, tak kekal, dan tak lengkap". Ini adalah konsep yang berasal dari ajaran Buddha tentang tiga tanda keberadaan (三法印, sanbōin), khususnya kefanaan (無常, mujō), penderitaan (, ku) dan kekosongan atau ketiadaan dari sifat diri (, ).

Taman Zen Ryōan-ji di Kyoto yang mulai dibangun pada tahun 1450 saat zaman Muromachi. Taman ini dibangun menggunakan prinsip wabi sabi.[1]
Rumah teh Jepang yang mencerminkan estetika wabi-sabi di Taman Kenroku-en (兼 六 園)
Mangkuk teh Wabi-sabi, periode Azuchi-Momoyama, abad ke-16

Definisi

Jika diartikan dalam kata-kata yang paling sederhana, wabi sabi adalah sebuah kesenian dan filosofi Jepang untuk mencari keindahan dalam ketidaksempurnaan dunia, dan menerima siklus alami dari pertumbuhan, kematian, dan permbusukan.[2][3]

Makna wabi-sabi (侘寂) yang sebenarnya memiliki keambiguan yang membuatnya sulit untuk dijelaskan. Kata wabi () berasal dari kata wabu, yang berarti kelemahan, dan wabishii, yang digunakan untuk menggambarkan kesedihan dan kemiskinan.[4][5] Kata tersebut juga dapat berarti sederhana, tidak materialistis, dan rendah hati.[6]

Kata sabi () mempunyai arti seperti pergerakan alami, dan pengertian bahwa keindahan tidak selamanya ada. Definisi kata sabi berubah seiring waktu, dari arti kunonya, yaitu "ketandusan" atau "kehancuran" ke "bertumbuh tua".[7] Salah satu penggunaan kata sabi () yang pertama kali adalah oleh penyair Fujiwara no Toshiwari, yang menggunakannya untuk menggambarkan rasa kesepian atau kesedihan.[4][8]

Menurut Leonard Koren, wabi-sabi dapat dideskripsikan sebagai "Karakteristik yang paling mencolok dan khas dalam keindahan tradisional Jepang dan menempati posisi yang kira-kira sama dalam jangkauan nilai estetika Jepang seperti halnya dengan pandangan peradaban Yunani Kuno tentang keindahan dan kesempurnaan Dunia Barat".[9] Menurut Richard Powell, "Wabi-sabi berarti memelihara semua yang otentik dengan mengakui tiga realitas sederhana: tidak ada yang abadi, tidak ada yang selesai, dan tidak ada yang sempurna."[10]

Sejarah

Sejarah wabi sabi bermula dari buah pemikiran Zen Buddhisme, yang berakar dari kepercayaan Taoisme. Perkembangan wabi sabi dipercayai bermula dari zaman Dinasti Song, dimana aspek-aspek kesenian pada zaman tersebut mulai condong pada prinsip estetika wabi sabi.[11] Pada saat ini juga jenis lukisan literati atau wen-jen hua mulai bermunculan. Pelukis-pelukis tersebut berasal dari akademi Sekolah Selatan Lukisan Tionghoa, yang seringkali bertentangan dengan para pelukis dari Sekolah Utara, dikarenakan gaya lukisan mereka yang lebih sederhana. Keringkasan karya seni tersebut menjadi ciri khas yang menetapkan bentuk estetika wabi sabi nantinya.[12]

Salah satu perkembangan apresiasi terhadap objek fisik bermulai ketika para biksu, yang kuilnya kekurangan dana, harus menjamu dan menghibur tamu yang datang. Karena mereka tidak mempunyai karya seni yang berkualitas tinggi, mereka terpaksa menggunakan barang apa adanya untuk memberikan perasaan senang kepada tamu yang datang.[13] Dengan begitu, mereka fokus terhadap rasa kerendahhatian yang dihasilkan oleh benda-benda sederhana itu. Benda-benda tersebut juga melambangkan mujo, sebuah prinsip Buddhis yang melambangkan kefanaan.[13]

Pada Zaman Kamakura, kegiatan upacara teh Jepang, serta tata cara dan aturan konsumsinya mulai muncul. Upacara ini semakin dipopulerkan pada Zaman Muromachi, ketika kondisi politik di Jepang sedang tidak stabil.[14] Biksu Zen Ikkyū menjadi tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan upacara teh tersebut.[15] Ikkyū membantu mempromosikan budaya upacara teh di Jepang. Awalnya upacara tersebut melambangkan kekayaan seseorang dan seringkali digunakan untuk memamerkan harta milik. Ikkyū pun mengubah pandangan negatif upacara tersebut menjadi simbol persekutuan rohani diantara orang-orang yang mengikuti upacara tersebut.[16]

Ahli upacara minum teh wabi sabi pertama adalah Murata Shukō, yaitu seorang murid dari Ikkyū.[16][17][18] Pada saat itu, peralatan-peralatan yang digunakan untuk upacara teh berasal dari Tiongkok, yang terlihat indah dan bernilai mahal. Shukō tidak menyukai peralatan tersebut dan lebih memilih untuk menggunakan peralatan yang terlihat sederhana walaupun kurang terlihat mencolok dan menakjubkan.[19] Ini membuat upacara minum teh wabi sabi lebih alami dan sederhana.[20]

Sen no Rikyū menjadi tokoh terpenting dalam perkembangan kegiatan upacara teh. Rikyū adalah seorang biksu Zen yang bekerja di Kuil Daitokuji, Kyoto, selama beberapa tahun.[21] Rikyū menjadi kepala upacara minum teh untuk Toyotomi Hideyoshi.[21][22] Ia membuang segala aspek yang ia anggap kurang berguna dari kegiatan upacara minum teh tersebut dan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti bambu, gelagah, tanah liat, dan kayu, sebagai unsur dari ruang minum tehnya, karena ia merasa tujuan Zen adalah untuk menyucikan jiwa seseorang dengan menjadi satu dengan alam.[23] Ide arsitektural ruang minum teh Rikyū terinspirasi dari desain sederhana kuil-kuil Zen.[24]

Penerapan

Terdapat tujuh prinsip Zen yang digunakan untuk mencapai estetika wabi sabi:[25][26]

  • Fukinsei (asimetri)
  • Kanso (kesederhanaan)
  • Koko (keagungan)
  • Shizen (kealamian)
  • Yugen (kehalusan)
  • Datsuzoku (kebebasan)
  • Seijaku (ketenteraman)

Prinsip-prinsip tersebut digunakan dalam berbagai penerapan estetika wabi sabi. Contohnya seperti:

Taman zen sudah dibuat sejak zaman Kamakura dan Muromachi, dan mempunyai dua jenis. Jenis pertama terdiri dari taman yang terhubung dengan kuil Zen. Taman jenis ini dibuat untuk dilihat dari ruangan dalam kuil atau ruang minum teh. Contoh-contoh taman sejenis ini seperti taman kuil Daitoku-ji dan Nanzen-ji.[27] Jenis taman kedua biasa disebut roji, yang biasa digunakan untuk dilewati dari dan ke chashitsu (rumah atau ruang minum teh). Biasanya taman-taman jenis ini mempunyai jalan bebatuan yang bisa dilewati. Contoh taman jenis ini adalah taman Vila Kekaisaran Katsura.[27]

Ikebana adalah kesenian merangkai bunga Jepang. Kesenian ini sudah dilakukan sejak abad ketujuh, yang berasal dari tradisi Tiongkok untuk memberikan persembahan kepada Buddha.[28] Bentuk ikebana bergaya yang pertama disebut rikka, yang berarti "bunga berdiri".[28][29] Terdapat beberapa bentuk ikebana lainnya, seperti bentuk nagaire dan chabana, yang dibuat oleh Sen no Rikyū. Chabana merupakan rangkaian-rangkaian bunga yang dipajang saat upacara teh.[30]

Puisi Jepang memiliki isi yang sedikit dan lebih pendek dibandingkan puisi dari Barat.[31] Salah satu bentuk puisi Jepang yang paling terkenal adalah haiku. Haiku biasa hanya ditulis dengan tiga kalimat, dan mempunyai pola puisi 5-7-5.[32]

Terdapat banyak kerajinan keramik Jepang, seperti mangkuk teh, stoples, vas bunga, wadah dupa, dan lainnya.[33] Jenis tembikar raku menjadi salah satu karya keramik paling berharga. Mangkuk teh raku pertama kali dibuat oleh Chōjirō, seorang pembuat ubin, dengan bantuan ahli upacara teh Sen no Sen no Rikyū.[34][35]

Noh adalah kesenian drama Jepang yang dibuat oleh Kan'ami pada zaman Muromachi di abad ke-13. Kesenian ini lalu dikembangkan oleh Zenchiku dan Zeami.[36]

Lihat juga

  • Klinamen
  • Higashiyama Bunka pada periode Muromachi
  • Iki (ide estetika Jepang)
  • Mono tidak sadar
  • Shibui
  • Tehisme
  • Wabi-cha
  • Kintsugi (juga dikenal sebagai Kintsukuroi)

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Juniper 2003, hlm. 71
  2. ^ Juniper 2003, hlm. 2
  3. ^ Lawrence 2004, hlm. 17
  4. ^ a b Juniper 2003, hlm. 48-49
  5. ^ Powell 2004, hlm. 7
  6. ^ Lawrence 2004, hlm. 19-20
  7. ^ Lawrence 2004, hlm. 20-21
  8. ^ Powell 2004, hlm. 6
  9. ^ Koren 2008, hlm. 21
  10. ^ Powell 2004, hlm. ix
  11. ^ Juniper 2003, hlm. 7, 9
  12. ^ Juniper 2003, hlm. 9
  13. ^ a b Juniper 2003, hlm. 10
  14. ^ Juniper 2003, hlm. 33
  15. ^ Juniper 2003, hlm. 34
  16. ^ a b Juniper 2003, hlm. 36
  17. ^ Powell 2004, hlm. 85
  18. ^ Koren 2008, hlm. 32
  19. ^ Powell 2004, hlm. 86
  20. ^ Powell 2004, hlm. 87
  21. ^ a b Juniper 2003, hlm. 40
  22. ^ Powell 2004, hlm. 88
  23. ^ Powell 2004, hlm. 89
  24. ^ Juniper 2003, hlm. 41
  25. ^ Lawrence 2004, hlm. 36
  26. ^ Hisamatsu 1982, hlm. 29
  27. ^ a b Hisamatsu 1982, hlm. 82
  28. ^ a b Juniper 2003, hlm. 85
  29. ^ Hisamatsu 1982, hlm. 76-77
  30. ^ Juniper 2003, hlm. 86
  31. ^ Juniper 2003, hlm. 75
  32. ^ Juniper 2003, hlm. 76
  33. ^ Hisamatsu 1982, hlm. 90
  34. ^ Hisamatsu 1982, hlm. 91
  35. ^ Juniper 2003, hlm. 80
  36. ^ Hisamatsu 1982, hlm. 100

Daftar pustaka