Mangkunegara II
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II adalah adipati kedua dari
Mangkunegara II ꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫ꧇꧒꧇ | |
---|---|
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya | |
Adipati Mangkunegaran ke-2 | |
Berkuasa | 1796–1835 |
Pendahulu | Mangkunegara I |
Penerus | Mangkunegara III |
Kelahiran | B.R.M. Sulama 5 Januari 1768 Pura Mangkunegaran, Surakarta, masa VOC |
Kematian | 17 Januari 1836 Pura Mangkunegaran, Surakarta, Hindia Belanda | (umur 68)
Permaisuri | R.Aj. Sekeli |
Pasangan | 26 selir dengan keturunan[1] |
Keturunan | 69[1] |
Ayah | Kangjeng Pangeran Arya Prabumijaya I |
Ibu | K. Rt. Alit |
Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung selama kurang-lebih 40 tahun (1796-1835) dan terlibat dalam persaingan politik penting. Pasukan Mangkunegaran di bawah perintahnya terlibat dalam Perang Srondol membantu pasukan gabungan Prancis-Belanda melawan Inggris untuk menguasai Nusantara, penyerangan Inggris ke Yogyakarta tahun 1812, serta Perang Jawa membantu Kesultanan Yogyakarta melawan pasukan Diponegoro (1825 - 1830).
Asal usul
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II berasal dari keluarga Pangeran Arya Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit. Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai Adipati di Negeri Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795. Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Kakeknya merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya. Dalam masa pemerintahannya, MN II disibukan oleh beberapa peperangan dan perluasan wilayah sehingga dapat dikatakan tidak menghasilkan karya seni di bidang seni tari.
Pada masa muda dalam asuhan kakeknya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I persiapan untuk menjadi pengganti kakeknya telah dialihkan dari ayahnya Pangeran Arya Prabuwijaya kepada dirinya dalam suasana situasi antar kekuasaan di Jawa sedang dalam ketidak ramahan.penentuan tapal batas wilayaj kekuasaan dengan tetangga tidak jarang menimbulkan ketegangan ketegangan baru yang berujung pada perang terbuka.Mulai dari pengalaman pengalaman masa mudanya dalam asuhan langsung kakeknya ini, Mangkunegara II selanjutnya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang dalam kepemimpinannya mengikuti jejak kakeknya yang legendaris Pangeran Sambernyawa.
Rivalitas antar kekuasaan yang sering dikipas kipas oleh Belanda demi mempertahankan neraca keseimbangan perpolitikan antar kerajaan pada masa masa sebelum pembubaran VOC sering dipertahankan karena Belanda sedang menyadari bahwa kekuatan pemaksa militernya adalah lemah.
Belanda yang dalam kondisi lemah militer tidak jarang terjebak dalam situasi rumit dengan pematangan intrik dan desas desus yang memanaskan situasi sehingga dalam keadaan semacam ini adalah merupakan suatu keadaan super ideal bagi Mangkunegara untuk bermain di air yang keruh.
Pangeran Adipati Prangwadana
Sebelum menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (II), RM Sulomo adalah Pangeran Prangwadana yang menjabat sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran dengan pangkat Kolonel. Sistem asing disini telah menggantikan sistem kepangkatan yang telah lama dipergunakan oleh para militer di Jawa.
Pada zaman Daendels sebelum Raffles kedudukan Mangkunegara sebagai Pangeran Miji ditingkatkan menjadi Pangeran pinisepuh/yang dituakan. Mangkunegaran menjadi satu-satunya Kraton di jawa yang tidak dilucuti kekuatan militernya.
Pemerintahan
Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Arya Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku Buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku Buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.
Nama Pangeran Surya Mataram sempat membuat panik Belanda disebabkan nama itu memuat unsur keagungan yang dapat memancing kekeruhan stabilitas tiga kerajaan; Kasultanan-Kasunanan-Mangkunegaran.Pergantian nama dan gelar Pangeran Surya Mataram menjadi Pangeran Surya Mangkubumi membuat peralihan dari kepanikan Belanda menjadi mengundang kemarahan Sultan Hamengku Buwono I. Belanda perlu khawatir karena nama Pangeran Surya Mataram belum pernah ada waktu itu dan terasa betul unsur unsur keagungan nya yang bakal mengundang rasa curiga bagi pihak Keraton/Kerajaan yang lain.Rasa curiga bagi pihak lain mengundang ancaman perselisihan dan perang terbuka yang akan menyeret kembali Belanda kedalam peperangan.Belanda tidak ingin mengulang kembali keterlibatannya dalam perselisihan dan perang yang berlarut larut.Sultan Hamengku Buwono I mengajukan protes lewat patihnya karena nama Mangkubumi adalah nama untuk dirinya sebagai anggota tertua yang masih hidup dalam dinasti Mataram.
Pada masa Mangkunegara I penggunaan nama selalu mengundang faktor kecurigaan dan sensitif yang tinggi karena nama memuat sejumlah harapan dan cita cita yang dapat menjadi claim bagi hegemoni dan pelebaran kekuasaan.Pemerintahan Mangkunegara II sarat dengan percaturan kekuasaan dan Mangkunegaran cenderung aktif dan ekspansif keluar Istana.Pemerintahannya yang berakhir sampai 1835 mengindikasikan bahwa Mangkunegara II terampil dan lihay dalam memainkan peran Kerajaan berhadapan dengan kekuasaan Kolonial dan Kekuasaan dua Kerajaan yang lain di Jawa ini. Mangkunegaran telah berhasil membaca tanda tanda zaman.Tiga Serangkai Penguasa kelajutan Dinasti Mataram teruji oleh zaman dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi Kerajaannya.
Perluasan wilayah kerajaan
Dalam pemerintahan Mangkunegara II, daerah Mangkunegaran mengalami perluasan wilayah. Penambahan pertama terjadi pada tahun 1813 semasa Raffles menjabat Letnan Gubernur Jawa, yaitu sebanyak 240 jung[2] atau 1.000 karya, sehingga luas wilayah menjadi menjadi 5.000 karya atau 3.500 hektare.[3] Penambahan ini sebagai balasan atas dukungan Mangkunegara II saat Inggris memerangi Sultan Sepuh dari Yogyakarta dan Pakubuwana IV dari Surakarta.[3] Wilayah tambahan tersebut yaitu di Keduwang (72 jung), Sembuyan (12 jung), Sukawati bagian timur (95,5 jung), Sukawati bagian barat (18,5 jung), serta lereng bagian timur Gunung Merapi (29,5 jung).[3]
Penambahan kedua terjadi pada tahun 1830 sebanyak 120 jung atau 500 karya di Sukawati bagian utara, sehingga luas keseluruhan daerah Mangkunegaran menjadi 5.500 karya atau 3.850 hektare.[3] Penambahan semasa Gubernur Jenderal Van den Bosch ini sebagai balasan atas dukungan Mangkunegara II saat Belanda memerangi Diponegoro.[3]
Komandan Legiun Mangkunegaran
Mangkunegara II adalah komandan dan penguasa pertama Mangkunegaran dalam sejarah Legiun Mangkunegaran. Kolonel adalah pangkat tertinggi di Korps militer bergengsi keprajuritan Mangkunegaran.
Sebelum menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (II), RM Sulomo adalah Pangeran Prangwedana yang menjabat sebagai komandan Legiun Pasukan Mangkunegaran dengan pangkat Kolonel. Sistem asing disini telah menggantikan sistem kepangkatan yang telah lama dipergunakan oleh para militer di Jawa.Secara historis keberadaan Legiun Mangkunegaran dengan Komandannya merupakan warisan dan kelanjutan dari kakeknya dan formasi pasukan-pasukan pilihan sebelumnya. Kakeknya dalam kepangkatan militer bisa meraih jenjang Jenderal sedangkan Mangkunegara II dan para penggantinya hanya mencapai jenjang Kolonel.
Konflik di Yogyakarta
Situasi Kekuasaan Jawa Permulaan Tahun 1800 M
Pemerintahan Mangkunegara II mengalami kesuksesan dalam meredam konflik di Yogyakarta serta membentuk pemerintahan baru di Yogyakarta yakni Kadipaten Paku Alaman dengan wilayah yang diambil dari Kasultanan. Sebagai Adipati yang pertama di Kadipaten yang baru ini Pangeran Natakusuma diangkat sebagai Paku Alam I dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya. Tanggal 13 Maret 1813 merupakan awal dan hari jadi Kadipaten.
Pada masa Mangkunegara II, di Yogyakarta yang bertahta adalah Hamengku Buwono II. Sultan Yogyakarta ke dua ini dalam pemerintahannya mengalami intrik dan rongrongan kekuasaan dari kerabat dan saudaranya sehingga jalannya pemerintahan Kasultanan mengalami pasang surut dan penuh dengan ketegangan dan muatan konflik yang berakibat melemahnya pemerintahan. Yogyakarta kurang siap dalam membaca perubahan abad yang menyangkut kekuatan asing/Eropa di Pulau Jawa yang berbeda dengan VOC-Belanda. Terhadap penguasa penguasa Jawa penampilan Belanda mampu memainkan peran sebagai kekuatan taklukan yang berkuasa. Belanda melayani penguasa penguasa Jawa sebagai suatu strategi tujuan untuk mendapatkan yang diinginkan.
Tahun 1807 Daendels datang ke Jawa dan membenahi admnistratif Jawa dan Nusantara dengan aturan aturan baru semacam protokoler kepada penguasa penguasa setempat termasuk para raja di Jawa. Paku Buwono IV dari Surakarta yang tadinya menolak cepat membaca situasi dan menerimanya.Mangkunegaran yang terampil dan cepat membaca perubahan zaman dengan segera merespon dan menjalin kemitraan dengan pembentukan Angkatan Bersenjata Kerajaan. Yogyakarta agak terlambat dalam membaca perubahan sehingga menerima risiko kemerosotan Kerajaan.
Kekuatan Eropa di Jawa
Berbeda dengan Belanda, kekuatan Eropa yang datang pada tahun 1800-an itu memiliki militer sebagai kekuatan pemaksa terhadap pembangkangan.Sama sama dari Eropa, kekuatan Eropa yang datang adalah kekuatan Revolusioner yang selalu siap berlaga-tempur.Di Kraton Yogyakarta situasinya terpecah pecah dalam kelompok kekuatan yang saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya.Ada kelompok Natakusuma dengan anaknya Natadiningrat di samping juga kelompok Putra Mahkota (calon Hamengku Buwono III) dengan Kapiten Cina wilayah Yogyakarta yakni Tan Jiem Sing (kelak bergelar Tumenggung Secadiningrat). Satu lagi adalah kelompok Patih Danurejo yang karena jabatannya merupakan kompromi antara Sultan dengan Gubernur Belanda maka mengharuskan seorang patih melayani dua kepentingan penguasa; yaitu Kasultanan dan Gubernur Belanda.
Konflik antar kelompok itu mengundang pemerintah di Batavia turun ke daerah dengan bala tentara nya.
Intervensi Eropa di Jawa
Dalam dua periode Gubernur Jenderal (Daendels dan Raffles), Yogyakarta ditekan dengan kekuatan militer untuk memaksa Hamengku Buwono II turun tahta. Di bulan Desember tahun 1810 Daendels dengan pasukan 4.200 tentara menyerbu Yogyakarta. Daendels menurunkan Hamengku Buwono II kemudian mengangkat putera Mahkota Yogyakarta sebagai Hamengku Buwono III dan kembali ke Batavia dengan membawa Pangeran Natakusuma sebagai tawanan. Pada bulan Juli 1812, Raffles dengan 2.000 tentara menyerbu Yogyakarta.Dalam waktu yang bersamaan Tentara Gurkha-Sepehi yang datang ke Jawa bersama Inggris terlibat rencana pemberontakan terhadap kekuasaan Inggris karena beredar desas desus bahwa mereka akan dijual ke Belanda dan ditinggalkan Inggris sehingga untuk memperbesar jumlah pasukan menekan Yogyakarta maka Raffles mengkontak Pangeran Prangwadana dari Mangkunegaran untuk mengerahkan Legiun Mangkunegaran mendukung pasukan Natakusuma.
Kekuatan Eropa yang datang ke Jawa adalah kekuatan yang memiliki kemampuan untuk memaksa karena dilengkapi dengan pasukan tempur yang sangat memadai.Terhadap yang mementang maka kekuatan ini tidak segan-segan untuk bertindak keras bahkan kalau perlu membubarkan kekuasaan dan penguasa tradisional di Jawa. Korban pertama dengan datangnya Daendels ke Jawa adalah Banten. Oleh Daendels Kasultanan Banten dibubarkan.
Destabilisasi Kraton Yogyakarta
Pada masa Raffles memerintah Jawa menggantikan Jansens, Kasultanan Yogyakarta terancam dibubarkan.Campur tangan Mangkunegaran dengan Legiun Mangkunegaran berhasil mencegah pembubaran Kasultanan dengan penyelesaian berdirinya Kadipaten Paku Alaman. Solusi berdirinya Kadipaten di Yogyakarta ini adalah kompromi untuk mencegah munculnya satu kerajaan dengan dua penguasa.
Kompromi adalah solusi yang tepat karena tidak ada ketepatan untuk menyingkirkan Hamengku Buwono III dan menggantinya dengan Pangeran Natakusuma dan juga tidak ada ketepatan mempertahankan Hamengku Buwono III dengan menyingkirkan Pangeran Natakusuma. Contoh dari masa lalu yang berhasil untuk meredakan konflik yang berlarut adalah pembagian kekuasaan. 17 Maret 1813 Yogyakarta dibelah menjadi dua kekuasaan. Bersamaan dengan pembelahan itu (masih zaman Raffles Mangkunegaran mendapat tambahan wilayah masuk dalam kekuasaannya.
Kompromi Kekuasaan di Yogyakarta
Konflik kekuasaan di Yogyakarta berakhir dengan dilantiknya Pangeran Natakusuma sebagai Paku Alam yang dihadiri oleh Mangkunegara II yang dalam pelantikan mewakili Surakarta. Peran Paku Alaman dalam peta konflik di Yogyakarta menemukan bentuk baru dalam kedudukannya sebagai Pangeran merdeka. Purna sudah pembagian Mataram kedalam dua keraton dan dua kadipaten.
Menyikapi Perang Jawa 1825-1830
Dalam tahun 1825 sampai tahun 1830 di Jawa dilanda perang yang menghadapkan Belanda pada Pasukan Pasukan Dipanegara. Dalam perang ini Mangkunegara II mengambil sikap netral dan berjaga jaga diperbatasan wilayah Kasultanan dan Mangkunegaran.Sikap berjaga jaga ini sebagai upaya untuk membendung Perang Dipanegara tidak menjalar ke wilayah Mangkunegaran serta menutup kemungkinan kemungkinan para pelarian perang memasuki wilayah praja sehingga menyeretnya masuk dalam kancah perang.
Mangkunegara II baru terlibat dalam perang jawa ini ketika Sultan Hamengkubuwana V terjebak dalam kepungan pasukan Dipanegara dan Mangkunegaran dimintai bantuan untuk mengusir pasukan pasukan pengepung. Kasultanan Yogyakarta yang dalam perang Jawa terdesak oleh pasukan pasukan Dipanegara dengan Sultan Hamengkubuwana V terkepung, meminta bantuan pasukan yang disampaikan melalui Belanda untuk membantu menghalau pasukan pasukan Pangeran Dipanegara.
Mangkunegaran sebagai Kadipaten sosok pemimpinnya disebut sebagai Adipati yaitu Raja muda karena asal muasal Mendirikan Mangkunegaran adalah untuk membangkitkan kembali Sosok Putra Mahkota Mataram yang tergusur yaitu Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Kartasura.Nama dari Mangkunegara yang tergusur di kartasura adalah orang tua dari pendiri Mangkunegaran yang terkenal dengan nama Pangeran Sambernyawa.
Di bawah pemerintahan Mangkunegara II Kekuatan milter atau Legiun Mangkunegaran akhirnya tidak bisa bersikap netral kembali sehubungan dengan keselamatan Sultan Hamengkubuwana V berada dalam posisi terkepung oleh Pasukan lawan.Kolonel Wiranegara komandan pasukan Kasultanan mengajukan bantuan pasukan untuk menerobos kepungan kepada pemerintah Hindia Belanda yang selanjutnya menyampaikan kepada pihak Mangkunegaran untuk memenuhinya.
Sultan Hamengkubuwana V dengan dibantu oleh pasukan dari Kasultanan, Kasunanan, Paku Alaman dan Mangkunegaran akhirnya dapat diselamatkan dari kepungan dan penangkapan.
Konfigurasi Kekuasaan Setelah Perang Jawa
Bertambahnya satu pusat kekuasaan di Paku Alaman menambah peta Politik tradisional di jawa bahwa Mataram yang terbagi dalam dinasti tetap membawa corak asli yang dipadu dengan "yang baru". Mangkunegaran sebagai satu dari kekuatan tradisional mengambil langkah dan membawa corak yang memberikan nuansa baru bagi pergantian suatu tahta. Paska perang Jawa Mangkunegara II masih memegang tampuk pemerintahan sampai wafatnya 1935.Selanjutnya Mangkunegara II dimakamkan di Astana Mangadeg di wilayah Matesih Karang Anyar satu komplek dengan kakeknya Pangeran Sambernyawa.
Lihat pula
Referensi
- Peter Carey: The Power of Prophecy Prince Dipanagara and The End of An Old Older in Java 1785-1855,
- MC.Ricklefs; Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1755-1792, Sejarah Pembagian Jawa
- MC. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Djumadi, Thojip,Majalah SENANG, Jakarta; 7 Maret 1982
- Susilantini,Endah.,Mumfangati,Titi.,Suyami., Konsep Sentral Kepengarangan KGPAA.Mangkunegara IV,Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- Moedjanto, G., 1987, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius
- Purwadi. 2007. 'Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
- Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta 1755-1825 (Perjanjian Giyanti-Perang Dipanegara),Djakarta: Mahabarata-Amsterdam, 1952.
Catatan kaki
- ^ a b Sumahatmaka et al. 1973. Pratelan Para Darah Dalem Soewargi Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati Arja Mangkoenagara I hing Soerakarta Hadiningrat: Asalsilah djilid I. Mangkunegaran. Surakarta.
- ^ Satu jung sama dengan 28.386 m2 atau 4 bahu.
- ^ a b c d e Warsino (2008). Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. Yogyakarta: LKiS. hlm. 14. ISBN 979-1283-11-7. Diakses tanggal 21 Juli 2011.
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Mangkunegara I |
Adipati Mangkunegaran 1796-1835 |
Diteruskan oleh: Mangkunegara III |