Lilibooi, Leihitu Barat, Maluku Tengah
Liliboi adalah sebuah negeri di kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia. Negeri ini dapat ditempuh dengan waktu kurang dari satu jam dari wilayah administratif Kota Ambon. Penduduk asli Lilibooi semuanya menganut agama Kristen Protestan. Tempat wisata yang terkenal di negeri ini adalah Pantai Batu Kapal.
Liliboi Kainaman Lilipoya | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Maluku |
Kabupaten | Maluku Tengah |
Kecamatan | Leihitu Barat |
Luas | 16 km²[1] |
Jumlah penduduk | ... jiwa |
Kepadatan | ... jiwa/km² |
Etimologi
Berdasarkan tuturan yang berkembang di masyarakat Lilibooi, nama negeri ini diyakini berasal dari penyebutan buaya dalam bahasa Tana. Dalam bahasa adat yang di Lilibooi sudah hampir sepenuhnya tergantikan dengan bahasa Melayu Ambon tersebut, buaya dikenal sebagai poya atau lilipoya. Teun Lilibooi yaitu Kainaman Lilipoya merujuk pada seekor buaya di muara Sungai Sukabiri (Wae Sukabiri) yang bernama Kainaman.[2]
Kainaman bukanlah buaya sejati, melainkan dipercaya sebagai makhluk halus. Dalam tuturan masyarakat Lilibooi, dahulu kala di Pulau Seram terdapat seekor ular besar yang ganas. Ular tersebut berkonflik dengan buaya-buaya di pulau itu. Saking kuatnya ular tersebut, sang ular memusnahkan buaya-buaya Seram dalam jumlah besar. Kewalahan, buaya-buaya Seram meminta bantuan Kainaman, yang akhirnya berhasil membunuh ular tersebut.[2]
Tatkala nenek moyang Negeri Lilibooi datang dari Pulau Seram dan nanti mendirikan aman atau perkampungan di pesisir dekat Sungai Sukabiri, mereka teringat kisah buaya Kainaman. Mereka akhirnya menamakan tempat itu sebagai Kainaman Lilipoya. Dari kata lilipoya-lah nanti akan muncul nama Lilibooi akibat perubahan ejaan dan sebutan.[2]
Sejarah
Lilibooi mengklaim bahwa negeri mereka adalah negeri tua atau yang mula-mula menempati Jazirah Leihitu bagian selatan.[3] Menurut tuturan di Lilibooi, negeri-negeri tetangga seperti Allang, Hatu, Laha, dan Tawiri sebagai pendatang yang kemudian membentuk negeri di wilayah mereka. Orang Allang disebutkan berasal dari Hatu Alang di Semenanjung Huamual di Pulau Seram. Ada pun Hatu berasal dari Piru, sementara Laha dan Tawiri adalah kumpulan manusia dari berbagai tempat, termasuk Ternate yang mendiami benteng Portugis di Teluk Ambon.[3]
Kawasan selatan Leihitu yang berada di Teluk Ambon pada akhirnya berhasil dikristenkan oleh VOC yang mulai hadir di Ambon pada 1605.[4] Negeri-negeri Kristen di Leihitu tersebut meliputi Lilibooi, Allang, Hatu, Tawiri, Hative Besar, hingga Passo,[5] dengan pengecualian Negeri Laha yang tetap Muslim hingga sekarang.
Jansen menyebutkan dalam catatannya, pada tahun 1930an, dikarenakan sagu semakin berkurang, masyarakat Lilibooi mengandalkan ubi kayu (Manihot esculenta) yang secara lokal dikenal disebut kasbi sebagai pengganti sagu. Kasbi kemudian dimasak menjadi papeda.[3] Hampir semua rumah di Lilibooi menanam kasbi guna memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagian juga masih memiliki dusun sagu. Guna mendapatkan penghasilan, banyak di antara penduduknya yang menjadi kuli di toko-toko yang terdapat di Kota Ambon.[3] Ada pun hewan yang diternak warga adalah babi.[3]
Pemerintahan negeri
Saat ini Lilibooi belum memiliki raja. Oleh karena itu, pemerintahan administratif negeri dijalankan oleh seorang pejabat kepala negeri yang dibantu oleh sekretaris negeri serta kepala urusan (kaur) dan kepala seksi (kasi). Berikut adalah nama tokoh-tokoh yang saat ini menjalankan administrasi di Lilibooi.[6]
- Kepala pemerintah: Orelius C. Kastanya
- Sekretaris negeri: James Marlissa
- Kasi Pemerintahan: Wilhelmus Nussy
- Kasi Kesejahteraan Sosial: Dian Nobel Saptenno
- Kasi Pemberdayaan dan Pembinaan Masyarakat: Ricardo Titarsole
- Kaur Perencanaan: James Makatita
- Kaur Keuangan: Lesly T. Sopaheluwakan
- Kaur Tata dan Umum: Stelly Kakisina
- Operator: Merlin Talahatu
Demografi
Lilibooi adalah negeri Kristen. Penduduk asli negeri ini semuanya beragama Kristen Protestan, yang dilayani oleh Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai gereja utama. GPM Jemaat Lilibooi termasuk ke dalam Klasis Pulau Ambon Utara. Dengan jumlah jemaat mencapai 2.003 jiwa, Lilibooi menyumbang 6,51% total populasi jemaat di klasisnya.[7] Para pemuda Kristen di Lilibooi tergabung dalam Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku Daerah Pulau Ambon Utara (AMGPM Dapatra) cabang Gidion II. Cabang ini meliputi para pemuda dari jemaat di Lilibooi dan Allang. Awalnya bersama dengan pemuda jemaat Hatu, ketiganya masuk cabang Gidion, sebelum akhirnya cabang Gidion dibagi dua. Gidion I meliputi para pemuda di Negeri Hatu saja.[8]
Adat dan budaya
Salah satu bangunan yang sakral bagi setiap negeri di Maluku adalah baileo atau baileu. Baileu Negeri Lilibooi bernama Samasuru Pessiliasiwa, dalam catatan Jansen tertulis sebagai Sama Soeloe Pessi Lia Siwa.[3] Jansen juga mencatat bahwa di Lilibooi tahun 1930an, seorang suami yang istrinya sedang hamil dilarang bercukur. Ketika istri mau melahirkan, suami harus mengeluarkan semua peralatan memancing dari rumah untuk mencegah terjadinya selawar atau bala.[3]
Perekonomian
Pertanian dan perkebunan adalah soko guru kehidupan masyarakat Lilibooi. Salah satu tanaman yang menjadi andalan penghasilan masyarakat adalah pala. Luas lahan penanaman pala di negeri ini mencapai 55 hektare, dengan produksi sekitar 20 ton per satu kali panen.[9] Masyarakat Lilibooi menjual biji pala dan fuli, sementara daging pala yang mencakup 80% total satu buah pala tidak diolah sama sekali.[1] Sipahelut dan Patty menyebutkan bahwa potensi pertanian dan perkebunan di Lilibooi termasuk besar. Negeri ini memiliki 302 hektare lahan potensial bagi perkebunan pala dan cengkih, lima hektare lahan tanaman pangan, dan 28 hektare untuk sayur-sayuran (holtikultura).[1]
Hubungan sosial
Negeri Lilibooi terikat hubungan pela dengan empat negeri, yaitu Ihamahu dan Haria di Pulau Saparua; Abubu di Pulau Nusalaut; dan Seilale di Jazirah Leitimur, Pulau Ambon.[10] Pela yang mengikat antara Lilibooi dengan masing-masing tiga negeri yang pertama (Ihamahu, Haria, dan Abubu) disebut-sebut berkaitan semangat mendukung Perang Pattimura 1817.[11] Namun, dalam tulisannya, Hehanussa justru menyatakan bahwa pela Lilibooi dengan Abubu adalah sebagai upaya mediasi karena selama Perang Pattimura, keduanya berada di kubu yang berbeda. Lilibooi mendukung Belanda, sementara Abubu di pihak Pattimura.[12]
Salah satu tulisan yang dirangkum oleh Rudi Sabandar dari wawancaranya dengan orang-orang Maluku di Belanda menunjukkan bahwa pela yang terjadi antara Lilibooi dengan Ihamahu dan Haria sebenarnya adalah pela antarmatarumah atau fam (marga). Disebutkan bahwa matarumah Titarsole dari Lilibooi berpela dengan matarumah Haulussy, Tahamata, dan Nendissa dari Ihamahu. Matarumah yang sama berpela dengan matarumah Manuhutu dan Tamaela dari Haria.[13]
Menurut Atlas Maluku, selain dengan empat negeri yang sudah disebutkan sebelumnya, Lilibooi juga terikat pela dengan Ureng,[14] Allang, dan Hitumessing, yang semuanya berada di Pulau Ambon.[15]
Referensi
- ^ a b c Sophia Grace Sipahelut, John Alfred Patty 2020, hlm. 12.
- ^ a b c "Geschiedenis". Kumpulan Negeri Lilibooi di Belanda *LILIPOYA KAINAMAN*. Diakses tanggal 7 Juni 2022.
- ^ a b c d e f g H. J. Jansen 1939, hlm. 328.
- ^ Muhammad Farid 2016, hlm. 16.
- ^ Muhammad Farid 2016, hlm. 18.
- ^ "Pemerintah Negeri". Situs Web Resmi Negeri Lilibooi. Diakses tanggal 7 Juni 2022.
- ^ "Sejarah KPAU". Klasis GPM Pulau Ambon Utara. Diakses tanggal 8 Juni 2022.
- ^ "Gidion II". AMGPM Daerah Pulau Ambon Utara. Diakses tanggal 8 Juni 2022.
- ^ Sisilya Leunupun, Martha Turukay, Maisie T.F. Tuhumury 2020, hlm. 94.
- ^ "Pela's Lilibooi". Kumpulan Negeri Lilibooi di Belanda *LILIPOYA KAINAMAN*. Diakses tanggal 7 Juni 2022.
- ^ Abdul Kadir M. 2007, hlm. 65.
- ^ Jozef Hehanussa 2009, hlm. 6.
- ^ Rudi Sabandar (20 April 2018). "Bondgenootschappen van de Families in Huizen (Pela en bongso)". Diakses tanggal 7 Juni 2022.
- ^ Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional 2000, hlm. 106.
- ^ "Lilibooi is pela met". Atlas Maluku. Diakses tanggal 7 Juni 2022.
Daftar Pustaka
Buku
- Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional (2000). Lembaga Pendidikan Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia, ed. Lembaga Budaya Pela dan Gandong di Maluku: Latar Sejarah, Peranan dan Fungsinya (PDF). Jakarta: Proyek Pengembangan Media, Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional RI. hlm. 106.
- Muhammad Farid (Oktober 2016). Kekerasan, Perang, Jihad: Diskursus tentang Kekerasan, Perang dan Jihad dalam Konteks Peristiwa Ambon tahun 1999. Malang: Penerbit Misykat Indonesia. hlm. 16, 18. ISBN 9789791122627.
Jurnal
- Abdul Kadir M. (Juli–Desember 2007). "Pela Gandong sebagai Basis Pembinaan Kerukunan Umat Beragama di Kota Ambon". Jurnal '-Al-Qalam" (20): 65. Diakses tanggal 7 Juni 2022.
- H. J. Jansen (1939). "Ethnographische Bijzonderheden van Eneke Ambonsche Negorijen (± 1930)". Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde van Nederlandsch-Indië. 98 (3): 325–368. Diakses tanggal 7 Juni 2022.
- Jozef Hehanussa (2009). "Pela dan Gandong: Sebuah Model untuk Kehidupan Bersama dalam Konteks Pluralisme Agama di Maluku". Diakses tanggal 7 Juni 2022.
- Sisilya Leunupun; Martha Turukay; Maisie T.F. Tuhumury (Desember 2020). "Strategi Pengembangan Pala di Kabupaten Maluku Tengah (Studi Kasus di Negeri Seith, Lilibooi, dan Hatu)". Jurnal Penelitian Agrisamudra. 7 (2): 92–102. ISSN 2337-9782. Diakses tanggal 7 Juni 2022.
- Sophia Grace Sipahelut; John Alfred Patty (Mei 2020). "Pengolahan Limbah Daging Buah Pala di Desa Lilibooi, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah". MITRA: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat. Lemabga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat - Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. 4 (1): 11–19. ISSN 2337-9782. Diakses tanggal 7 Juni 2022.