Prasasti Sanggurah merupakan prasasti berangka tahun 928 Masehi yang ditemukan di daerah Malang dan menyebut nama penguasa daerah itu, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa). Prasasti berbentuk tablet ini disebut juga Prasasti Minto karena dihadiahkan oleh Raffles kepada Lord Minto, keduanya pernah memimpin Hindia Belanda ketika Britania Raya menguasai Belanda pada dasawarsa kedua abad ke-19. Raffles sendiri memperolehnya sebagai hadiah dari Kolonel Colin Mackenzie, yang mengambilnya setelah melihat batu bertulis ini.

Prasasti Sangguran
Landaian di sebelah selatan bukit Minto, daerah di mana terletak tanah milik keluarga Minto di Skotlandia

Prasasti bertinggi 2 meter dengan bobot 3,8 ton ini dianggap penting karena menyebut raja Medang, yang berpusat di Jawa Tengah, sebagai penguasa daerah Malang, di Jawa Timur, meskipun angka tahunnya tidak bersepakat dengan prasasti lainnya. Isinya dianggap dapat membantu memecahkan misteri pindahnya pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke wilayah timur Pulau Jawa.

Setelah berpuluh-puluh tahun berada di tangan pewaris keluarga Lord Minto di Roxburghshire, Skotlandia, benda bersejarah ini akan dikembalikan ke Indonesia dan disimpan di Museum Nasional. Proses negosiasi pemindahan ini telah dilakukan Pemerintah Indonesia sejak 2004 dan kemudian dibantu oleh Hashim Djojohadikusumo, seorang pengusaha nasional.[1]

Cuplikan terjemahan oleh Hasan Djafar sebagai berikut:

O, Semoga tidak ada rintangan. Semoga sejahtera seluruh jagat, dan semuanya berbuat kebajikan. Tahun 850 Saka telah berlalu, bulan Srawana, tanggal 14 paruh terang, hari Warungkung-Kaliwon-Sabtu, ketika naskara, hasta, dewata, wisnu, yoga, sobhagya. Ketika itulah saatnya perintah Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sriwijayalokanamottungga diterima oleh Rakryān Mapatih i Hino Pu Sindok Sri Isana Wikrama memerintahkan Desa Sangguran (yang termasuk dalam) watak Waharu, untuk melaksanakan pungutan sebagai pemasukan punta di Mananjung. Daerah perdikan di Waharu tersebut, kedudukannya menjadi daerah swatantra, yang tidak boleh dimasuki oleh patih, wahuta

Setelah memberikan hadiah kepada Maharaja, mapatih dan semua undangan yang hadir, Sang Makudur (pemimpin upacara sima) mempersembahkan air suci, dan mentahbiskan susuk serta kalumpang. Kemudian dia memberi hormat Sang Hyang Teas (sebutan tugu prasasti, sinonim dengan susuk dan Sang Hyang Watu Sima) yang terletak di bawah witana. Selanjutnya, dengan langkah yang teratur Makudur menuju tugu batu tersebut dan menutupnya dengan kain wdihan. Mulailah Sang Makudur memegang ayam, lalu memotong lehernya berlandaskan kalumpang. Disusul dengan membanting telur ke atas batu sima sambil mengucapkan sumpah, agar watu sima tetap berdiri kokoh

Demikian ucapan Makudur: “Berbahagialah hendaknya Engkau semua Hyang Waprakeswara, Maharesi Agasti, yang menguasai timur, selatan, barat, utara, tengah, zenith, dan nadir, matahari, bulan, bumi, air, angin, api, pemakan korban, angkasa pencipta korban, hukum, siang, malam, senja………Engkau yang berinkarnasi memasuki segala badan. Engkau yang dapat melihat jauh dan dekat pada waktu siang dan malam, dengarkanlah ucapan kutukan dan sumpah kami…

Jika ada orang jahat yang tidak mematuhi dan tidak menjaga kutukan yang telah diucapkan oleh Sang Wahuta Hyang Makudur. Apakah ia bangsawan atau abdi, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, wiku atau rumah tangga, patih, wahuta, rama, siapapun merusak kedudukan Desa Sangguran yang telah diberikan sima kepada Punta di Mananjung….. maka ia akan terkena karmanya. Bunuhlah olehmu hyang, ia harus dibunuh, agar tidak dapat kembali di belakang, agar tidak dapat melihat ke samping, dibenturkan di depan, dari sisi kiri, pangkas mulutnya, belah kepalanya, sobek perutnya, renggut ususnya, keluarkan jeroannya, keduk hatinya, makan dagingnya, minum darahnya, lalu laksanakan. Akhirnya habiskanlah jiwanya. Jika berjalan di hutan akan dimakan harimau, akan dipatuk ular………. Begitulah matinya orang jahat, melebur kedudukan desa perdikan di Sangguran. Malapetaka dari Dewatagrasta

Catatan kaki