Amir Sjarifoeddin
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ER, EYD; Amir Syarifuddin Harahap; 27 April 1907 – 19 Desember 1948) adalah seorang politikus dan jurnalis berkebangsaan Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang berlangsung.[1] Berasal dari keluarga Angkola Muslim, Amir menjadi pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948, ia dieksekusi mati oleh pemerintah karena terlibat dalam pemberontakan komunis.[2]
Amir Sjarifoeddin | |
---|---|
Perdana Menteri Indonesia ke-2 | |
Masa jabatan 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948 | |
Presiden | Soekarno |
Wakil PM | Adenan Kapau Gani Setyadjit Soegondo Raden Sjamsoedin Wondoamiseno |
Menteri Pertahanan Indonesia ke-2 | |
Masa jabatan 14 November 1945 – 29 Januari 1948 | |
Presiden | Soekarno |
Perdana Menteri | Sutan Sjahrir Amir Sjarifoeddin |
Menteri Penerangan ke-1 | |
Masa jabatan 2 September 1945 – 12 Maret 1946 | |
Presiden | Soekarno |
Perdana Menteri | Sutan Sjahrir |
Pendahulu Tidak ada,Jabatan baru | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Amir Sjarifoeddin Harahap 27 April 1907 Medan, Kesultanan Deli, Hindia Belanda |
Meninggal | 19 Desember 1948 Ngaliyan, Lalung, Karanganyar, Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia | (umur 41)
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | PSI |
Suami/istri | Djaenah Harahap |
Anak | 6 |
Profesi | Politikus |
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | Tentara Nasional Indonesia |
Masa dinas | 1940an |
Pangkat | Menteri Pertahanan Indonesia |
Pertempuran/perang | Revolusi Nasional Indonesia Peristiwa Madiun |
Sunting kotak info • L • B |
Kehidupan awal
Lahir dalam aristokrasi Sumatra di kota Medan, latar belakang Amir yang kaya dan kemampuan intelektual yang luar biasa memungkinkan dia untuk masuk ke sekolah-sekolah paling elit; ia dididik di Haarlem dan Leiden di Belanda sebelum memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang Jakarta).[1] Selama waktunya di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society.[1] Amir pindah dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.[1] Ada bukti khotbah ia berikan dalam gereja Protestan terbesar di Batak Batavia.
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885–1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890–1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.
Pendidikan
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Rechtshoogeschool te Batavia dengan bantuan beasiswa pemerintah kolonial,[3] dan menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Amir pernah divonis penjara karena dituduh bersalah dalam kasus delik pers pada tahun 1933. Ia nyaris dibuang ke Boven Digoel namun diselamatkan oleh Gunung Mulia dan salah satu gurunya.[3]
Perjuangan
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.
Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah, Amir kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin kemudian diganti oleh Kabinet Hatta akibat hasil perundingan Renville yang dinilai gagal oleh golongan Masyumi dan Nasionalis karena lebih banyak menguntungkan pihak Belanda. Diketahui pada akhirnya, Amir Sjarifuddin dan Sayap kiri mengakui telah berkolaborasi dengan Partij van der Arbeid atas rencana Unie Indonesia-Nederland.
Jabatan
- Menteri pada Kabinet Presidensial, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, Kabinet Sjahrir III
- Perdana Menteri: 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948, membentuk Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II
Peristiwa Madiun
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pada masa pemerintahan Hatta PKI berupaya membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang pada saat peristiwa Madiun meletus sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) turut ditangkap beserta beberapa kawannya.
19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngaliyan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindah ke rumah penjara Benteng Yogyakarta.
Referensi
- ^ a b c d Vickers (2005), page 86
- ^ Purba, Yema Siska (September 2013). Michellia, Dewi Kharisma, ed. Amir Sjarifoeddin: Nasionalis yang Tersisih. PolGov. ISBN 978-602-7636-25-5. Diakses tanggal 3 Desember 2021.
- ^ a b "Tjipto hingga Leimena: Penerima Beasiswa yang Membangkang Belanda". tirto.id. Diakses tanggal 2020-08-20.
Pranala luar
- (Indonesia) Sekilas tentang Amir Sjarifuddin (Arsip)
- (Indonesia) Amir Sjarifuddin Antara Negara dan Revolusi
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Jabatan baru | Menteri Penerangan Indonesia 1945–1946 |
Diteruskan oleh: Mohammad Natsir |
Didahului oleh: Soeprijadi |
Menteri Pertahanan Indonesia 1945–1948 |
Diteruskan oleh: Hamengkubuwono IX |
Didahului oleh: Sutan Sjahrir |
Perdana Menteri Indonesia 1947–1948 |
Diteruskan oleh: Mohammad Hatta |