Erna Djajadiningrat

Aktivis

Erna Djajadiningrat (4 Maret 1911 – 8 November 1984) adalah seorang pejuang perempuan asal Indonesia. Erna menjadi perempuan pertama yang menerima penghargaan Bintang Gerilya pada 5 Oktober 1949 di Markas Divisi Siliwangi, Bandung, Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin

Riwayat Hidup

Erna lahir di Serang, Banten, 4 Maret 1911. Anak ketiga Bupati Serang RAA Achmad Djajadiningrat ini mengenyam pendidikan sekolah dasar Europeesche Lagere School, sekolah menengah Hoogere Burger School, dan Middelbare Huishouds School (Sekolah Kesejahteraan Keluarga).

Ensiklopedi Sunda menyebutkan bahwa meski keluarga bangsawan, Erna dekat dengan rakyat kecil. Mendapat pendidikan agama Islam yang mendalam dan mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Dia bersama saudara perempuannya diminta oleh ayahnya agar menjadi guru untuk mencerdaskan bangsa. Setelah menyelesaikan Sekolah Kesejahteraan Keluarga, dia menjadi guru di Van Deventer School di Solo, Jawa Tengah. Di luar waktu mengajar, dia aktif di berbagai kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia aktif pula mempelajari adat-istiadat Sunda. Sejak tahun 1932, dia berpindah-pindah tempat tugas, dan hampir semua kota di Pulau Jawa pernah ditinggali dalam rangka tugas mengajar.

Revolusi Kemerdekaan Indonesia

Pada Oktober 1945, Erna bersama Suwarni Pringgodigdo dan Maria Ulfah mendirikan organisasi Wani (Wanita Indonesia) di Jakarta. Dalam bahasa Sunda dan Jawa, wani artinya berani.

Menurut buku Seperempat Abad Badan Penghubung Organisasi-organisasi Wanita (BPOW) DKI Jakarta, Erna bertugas di dapur umum Wani bersama Maria Ulfah dan Ibu Subari, mula-mula di Jalan Mampang 47 kemudian pindah ke Pegangsaan Timur 19. Dapur umum menghimpun bahan makanan seperti ikan asin, rokok, daging kering, gula, kopi, beras dan lain sebagainya. Bahan-bahan makanan ini kemudian dikirim ke garis depan. Permintaan pakaian seragam ditangani bagian penjahit. Biasanya dikirimkan ke garis depan bersama dengan pengiriman makanan. Anggota Barisan Putri Indonesia dan ibu-ibu pekerja di kantor-kantor membantu mengumpulkan bahan-bahan makanan dan mengirimkannya ke garis depan.

“Dapur umum Wani menyediakan makanan nasi bungkus untuk beratus-ratus orang dari Badan Keamanan Rakyat, Polisi Umum, dan Jawatan Kereta Api,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 3.

Dapur umum Wani bekerja sama dengan Wali kota Jakarta Soewirjo, Mayor Oetaryo dari Kantor Perhubungan Tentara, Mayor Kemal Idris dari Resimen Tangerang, dan Letkol Mufraeni dari Resimen Cikampek. “Mengingat situasi politik dan ekonomi pada masa itu, keamanan jelek, uang dan pangan sulit, maka usaha yang dijalankan oleh Erna dengan tabah dari hari ke hari patutlah memperoleh penghargaan,” kata Rosihan.

Erna yang dijuluki “Si Nona Keras kepala” oleh Jepang dalam menyelenggarakan dapur umum benar-benar berkarakter wani atau berani. “Ketika saya di redaksi Merdeka mendengar berita bahwa rumah tempat Erna bekerja ditembaki serdadu NICA-Belanda yang lewat, sama sekali Erna tidak panik, tetap tenang. Itulah sosok wanita pejuang,” kata Rosihan.

Erna pernah diperiksa oleh Belanda setelah mereka mengetahui kegiatan dapur umum Wani yang sebenarnya. Kepada Belanda, Erna mengatakan bahwa kegiatan dapur umum untuk membantu rakyat dengan makanan. Sementara itu, kegiatan pokok mengirim makanan ke garis depan tetap berlangsung.

Belanda juga menggeledah rumah Erna. Meski tidak berhasil menemukan bukti bahwa Wani bekerja untuk kepentingan perjuangan, namun Belanda tetap melarang Wani. Agar pengiriman makanan ke garis depan tetap berjalan, Erna mengubah Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik). Pengiriman makanan tetap diteruskan sehingga para pejuang di garis depan bisa terus melanjutkan perjuangannya.

Selain pengiriman makanan, PSKP juga menangani pembebasan para pejuang yang ditahan Belanda. Salah satu yang dibebaskan adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang masuk penjara Bukit Duri Jakarta tahun 1947.

“Aku sendiri tercantum sebagai sersan mayor. Pada 12 Desember 1949 kami bersembilan dibebaskan sebagai orang-orang terakhir. Kebebasan kami dijemput oleh Panitia Korban Politik yang diketuai oleh Erna Djajadiningrat,” kata Pram dalam Nanyi Sunyi Seorang Bisu.

Pada waktu penandatanganan penyerahan kedaulatan di Jakarta pada 27 Desember 1949, Erna bersama Maria Ullfah dan Ibu Yamin menjadi anggota delegasi dengan ketua Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Roofink.

Erna menikah dengan Ir. Soetoto, Sekjen Departemen Perhubungan. Dia pernah menjadi anggota DPRDS Jawa Barat, penilik sekolah-sekolah rumah tangga seluruh Indonesia, serta kepala urusan pendidikan wanita pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dia meninggal di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta, 8 November 1984 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.[1]

Referensi