Kulit kayu manis
Kulit kayu manis adalah sejenis rempah-rempah yang diperoleh dari kulit bagian dalam beberapa spesies pohon genus Cinnamomum yang digunakan untuk masakan yang manis dan sedap. Meskipun kayu manis terkadang dianggap sebagai "kayu manis yang sesungguhnya", kebanyakan kulit kayu manis di perdagangan internasional dari spesies lain yang berdekatan, yang juga disebut "kasia" untuk membedakannya dari "kulit kayu manis yang sesungguhnya".[1][2] Di tahun 2018, Indonesia dan China bersama-sama memproduksi 70 persen kayu manis dunia, dengan Indonesia 40 persen dan China 30 persen.[3]
Kayu manis adalah nama untuk selusin spesies pepohonan dan produk rempah komersial yang dihasilkan oleh sebagian pepohonan tersebut. Semuanya tergolong dalam genus Cinnamomum dalam keluarga Lauraceae. Hanya sedikit dari spesies-spesies tersebut yang ditumbuhkan untuk dijual sebagai rempah-rempah.
Sejarah
Kayu manis telah diketahui sejak jaman kuno,[4] pertama kali diimpor ke Mesir 2000 tahun sebelum masehi. Beberapa menyebut bahwa produk ini berasal dari China, karena mereka keliru dalam mengidentifikasi kayu manis China (Cinnamomum cassia).[5] Kayu manis merupakan komoditas yang amat dihargai di antara bangsa-angsa terdahulu, dan dikatakan merupakan barang yang tepat untuk dijadikan sebagai hadiah untuk keluarga kerajaan.[4] Terdapat pahatan yang menyebutkan bahwa kayu manis maupun kayu manis China dijadikan persembahan untuk dewa-dewi, salah satunya Apollo di Miletus.[6] Asal usul kayu manis ketika itu dijadikan rahasia dagang di kawasan Mediterania selama berabad-abad oleh mereka yang melakukan perdagangan rempah-rempah untuk menjaga praktek monopoli mereka.[7]
Di jama Mesir Kuno, kulit mayu manis merupakan salah satu bahan yang digunakan untuk pembalsaman mumi.[8] Dari era Ptolemy dan seterusnya, resep kyphi, dupa khas Mesir Kuno, menggunakan kulit kayu manis.
Berdasarkan Herodotus, kayu manis tumbuh di kawasan Arab, bersama dengan bahan baku dupa lainnya seperti resin mur dan labdanum, dijaga oleh "ular bersayap".[9] Selain Herodotus, Aristoteles dan penulis lainnya juga menyebut arab sebagai asal muasal kayu manis. Mereka menyebut bahwa "burung kayu manis" mengumpulkan ranting kayu manis dari pohonnya untuk membangun sarang.[9]:111
Pliny the Elder menyebutkan bahwa kayu manis dibawa melintasi semenanjung Arab menggunakan rakit yang tidak memiliki kemudi, layar, maupun dayung. Mereka bergerak memanfaatkan angin pasat musim dingin.[10] Ia juga menyebutkan kayu manis kasia sebagai perisa minuman anggur,[11] dan kisah bahwa kayu manis dikumpulkan dari sarang burung kayu manis adalah fiksi yang dibuat para pedagang untuk dapat menarik harga lebih tinggi. Namun kisah itu bertahan hingga jaman kerajaan Byzantium sampai tahun 1310.[12]
Berdasarkan Pliny the Elder, satu pon kasia dan kayu manis (pon romawi = 327 gr) dihargai 1500 denarii, atau setara dengan lima puluh bulan gaji buruh ketika itu.[13] Buku karangan Diocletian, Edict on Maximum Prices di tahun 301 masehi menyebut harga 125 denarii per pon atau setara dengan lima hari gaji buruh tani ketika itu.[14] Kayu manis amatlah mahal sehingga jarang sekali digunakan sebagai dupa upacara pemakaman, tetapi suatu hari Kaisar Nero membakar sejumlah kayu manis setara dengan pasokan setahun kota Roma untuk pemakaman istrinya, Poppaea Sabina, di tahun 65 masehi.[15]
Referensi
- ^ Iqbal, Mohammed (1993). "International trade in non-wood forest products: An overview". FO: Misc/93/11 - Working Paper. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Diakses tanggal November 12, 2012.
- ^ "Cassia, also known as cinnamon or Chinese cinnamon is a tree that has bark similar to that of cinnamon but with a rather pungent odour," remarks Maguelonne Toussant-Samat, Anthea Bell, tr. The History of Food, revised ed. 2009, p.437.
- ^ "CINNAMON MARKET - GROWTH, TRENDS, AND FORECAST (2020 - 2025)". mordorintelligence.com/. Mordor Intelligence. Diakses tanggal 3 December 2020.
- ^ a b Satu atau lebih kalimat sebelum ini menyertakan teks dari suatu terbitan yang sekarang berada pada ranah publik: Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Cinnamon". Encyclopædia Britannica. 6 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 376.
- ^ Bell, Maguelonne Toussaint-Samat (2009). A history of food. Diterjemahkan oleh Anthea (edisi ke-New expanded). Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell. ISBN 978-1405181198.
Cassia, also known as cinnamon or Chinese cinnamon is a tree that has bark similar to that of cinnamon but with a rather pungent odour
- ^ Toussaint-Samat 2009, p. 437
- ^ Mohammadifar, Shamameh (2010-08-23). "The Origin, History and Trade Route of Cinnamon". Journal for the History of Science. 8 (1): 37–51. ISSN 1735-0573.
- ^ Burlando, B.; Verotta, L.; Cornara, L.; Bottini-Massa, E. (2010). Herbal principles in cosmetics: properties and mechanisms of action. Boca Raton: CRC Press. hlm. 121. ISBN 978-1-4398-1214-3.
- ^ a b Herodotus, Book 3, sections 3.107-113. Wheeler, James Talboys (1852). An Analysis and Summary of Herodotus: With a Synchronistical Table of Principal Events; Tables of Weights, Measures, Money, and Distances; an Outline of the History and Geography; and the Dates Completed from Gaisford, Baehr, Etc. H. G. Bohn. hlm. 110. Diakses tanggal 9 January 2019.
The incense trees are guarded by winged serpents[...] The cassia trees, which grow by a shallow lake, are guarded by fierce winged animals like bats
- ^ Pliny the Elder; Bostock, J.; Riley, H. T. (1855). "42, Cinnamomum. Xylocinnamum". Natural History of Pliny, book XII, The Natural History of Trees. 3. London: Henry G. Bohn. hlm. 137–140.
- ^ Pliny the Elder (1938). Natural History. Harvard University Press. hlm. 14. ISBN 978-0-674-99433-1.
- ^ Tennent, James Emerson (1860). Ceylon: an account of the island. 1. London: Longman. hlm. 600.
- ^ Pliny the Elder (1855). Natural History. 3. London, UK: Taylor & Francis. hlm. 140 – via Internet Archive.
The right of regulating the sale of the cinnamon belongs solely to the king of the Gebanitæ, who opens the market for it by public proclamation. The price of it was formerly as much as a thousand denarii per pound; which was afterwards increased to half as much again, in consequence, it is said, of the forests having been set on fire by the barbarians, from motives of resentment[...]
- ^ Graser, E. R. (1940). "A text and translation of the Edict of Diocletian". Dalam Frank, Tenney. An Economic Survey of Ancient Rome. V: Rome and Italy of the Empire. Johns Hopkins Press. ISBN 978-0374928483.
- ^ Toussaint-Samat 2009, p. 437f.