Sriwijaya
Sriwijaya adalah salah satu kedatuan bahari historis yang berasal dari Palembang dan banyak memberi pengaruh di Asia Tenggara (terutama dalam kawasan Nusantara barat) dengan daerah kekuasaan yang membentang dari Sumatra, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Singapura, Semenanjung Kra (kini Thailand dan Malaysia), Kamboja, Vietnam Selatan, Kalimantan, Jawa Barat dan Jawa Tengah.[4][5] Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan",[5] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Lokasi ibukota Sriwijaya dekat dengan Kota Palembang, tepatnya di pinggir Sungai Musi. Sriwijaya terdiri dari sejumlah pelabuhan yang saling berhubungan di sekitar Selat Malaka.[6]
Kedatuan Sriwijaya Kadatuan Sriwijaya | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
670–1025 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Perkiraan wilayah Sriwijaya pada abad ke-8 beserta rute penaklukan dan ekspedisinya | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ibu kota | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Melayu Kuno, Sanskerta | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Agama | Buddha Vajrayana, Buddha Mahayana, Buddha Hinayana, Hindu | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Maharaja | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 684 | Sri Jayanasa (Prasasti Talang Tuwo) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 724 | Sri Indrawarman (Kronik Tiongkok) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 728 | Rudra Wikrama (Kronik Tiongkok) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 782 | Dharanindra (Prasasti Kelurak) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 824 | Samaratungga (Prasasti Kayumwungan) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 860 | Balaputradewa (Prasasti Nalanda) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 960 | Sri Udayaditya Warmadewa (Kronik Tiongkok) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 988 | Sri Cudamani Warmadewa (Prasasti Leiden) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 1008 | Sri Mara-Vijayottunggawarman (Prasasti Leiden) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 1025 | Sangrama-Vijayottunggawarman (Prasasti Tanjore) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sejarah | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• Didirikan | 670 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• Invasi dari Chola | 1025 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Mata uang | Koin emas dan perak | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sekarang bagian dari | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Bagian dari seri artikel mengenai |
Sejarah Malaysia |
---|
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[7][8] Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[9]
Sebelum abad ke-12, Sriwijaya merupakan negara berbasis darat daripada kekuatan maritim, armada laut memang tersedia tetapi bertindak sebagai dukungan logistik untuk memfasilitasi proyeksi kekuatan darat. Menanggapi perubahan ekonomi maritim Asia, dan terancam oleh hilangnya negara bawahannya, Sriwijaya mengembangkan strategi angkatan laut untuk menunda kemerosotannya. Strategi angkatan laut Sriwijaya bersifat menghukum untuk memaksa kapal-kapal dagang datang ke pelabuhan mereka. Kemudian, strategi angkatan laut Sriwijaya merosot menjadi armada perompak.[10]
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan[5] di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[11] Setelah keruntuhannya, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Prancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[1]
Catatan sejarah
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[12] Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Prancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.[12] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[13]
Historiografi Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam sumber utama; catatan sejarah Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang telah ditemukan dan diterjemahkan. Catatan perjalanan biksu peziarah I Ching sangat penting, terutama dalam menjelaskan kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada tahun 671. Sekumpulan prasasti siddhayatra abad ke-7 yang ditemukan di Palembang dan Pulau Bangka juga merupakan sumber sejarah primer yang penting. Di samping itu, kabar-kabar regional yang beberapa mungkin mendekati kisah legenda, seperti Kisah mengenai Maharaja Javaka dan Raja Khmer juga memberikan sekilas keterangan. Selain itu, beberapa catatan musafir India dan Arab juga menjelaskan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang menakjubkan.
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan.[14] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi.[14] Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.[14]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan kerajaan terbesar Nusantara. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[12]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj[15] dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[5] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[11]
Perkembangan kemaritiman
Abad ke-7 hingga ke-11
Sebelumnya diasumsikan bahwa Sriwijaya merupakan kekuatan maritim yang tidak lepas hubungannya dengan etnisitas dan kebudayaan masyarakat di Selat Malaka. Asumsi yang terjadi adalah bahwa terbentuknya negara dengan sukses dan hegemoni di selat berhubungan langsung dengan kemampuan dalam keikutsertaan dalam kegiatan maritim internasional yang berarti negara litoral seperti ini berkembang dan mempertahankan lingkaran kekuasaannya dengan angkatan laut. Akan tetapi, survei dari informasi yang ada menunjukkan bahwa asumsi seperti itu tidak tepat. Data tentang aktivitas maritim sangat sedikit dan penyebutan angkatan laut hanya terjadi dalam sumber yang tidak lengkap. Bahkan aspek material angkatan laut Asia Tenggara tidak diketahui hingga abad ke-15, perhatian ilmiah umumnya berfokus pada teknik pembuatan kapal.[16]
Dalam prasasti Kedukan Bukit (683 M), mencatat bahwa hanya 312 orang yang menggunakan perahu dari total kekuatan 20.000 orang, yang juga termasuk didalamnya 1312 orang tentara darat. Banyaknya jumlah tentara darat menunjukan bahwa angkatan laut Sriwijaya hanya berperan sebagai penyedia kecil dukungan logistik. Pada abad ke-8, kemampuan angkatan laut Sriwijaya berkembang mengimbangi proporsi kekuatan angkatan daratnya, meskipun hanya berperan sebagai pendukung logistik.[17]
Selain itu, tidak adanya istilah yang menunjukkan kapal laut untuk keperluan umum dan militer menunjukkan bahwa angkatan laut bukanlah aspek permanen negara di Selat Malaka. Bahkan ketika kekuatan tetangga di maritim Asia, terutama Jawa selama abad ke-10 hingga 14, dan Chola India pada abad ke-11, mulai mengembangkan angkatan lautnya, kekuatan laut Sriwijaya relatif lemah. Sebagai contoh kasus, Songshi dan Wenxian Tongkao mencatat bahwa antara tahun 990 dan 991, seorang utusan Sriwijaya tidak dapat kembali dari Cina Selatan ke Palembang karena konflik militer yang sedang berlangsung antara Jawa dan Sriwijaya. Namun orang Jawa, Arab dari Timur Tengah, dan Asia Selatan mampu mempertahankan pertukaran diplomatik dan ekonomi dengan Cina selama waktu ini. Jelas, angkatan laut Jawa cukup kuat untuk benar-benar mengganggu komunikasi Sriwijaya dengan Cina. Terlepas dari konfrontasi angkatan laut antara Jawa dan Sriwijaya, komunikasi antara pemerintahan pesisir Samudra Hindia dan Cina terus berlanjut selama waktu ini, menunjukkan bahwa konflik tidak selalu terjadi di laut lepas, tetapi lebih cenderung terbatas pada muara dan sungai di sekitar ibu kota Sriwijaya di Palembang, muara Sungai Musi dan Selat Bangka.[18]
Tanggapan Sriwijaya terhadap agresi Jawa tampaknya bersifat defensif. Dalam catatannya tentang Sriwijaya, Zhao Rugua mencatat dalam Zhufanzhi (sekitar tahun 1225):
"Di masa lalu, [negara ini] menggunakan rantai besi sebagai penghalang untuk bersiap menghadapi pihak perampok lainnya (tiba dengan kapal?). Ada peluang untuk melepaskannya (yaitu menarik) dengan tangan. Jika kapal dagang tiba, (rantai) itu harus dilepaskan".[19][20]
Ketidakmampuan negara-negara Selat Malaka untuk menanggapi ancaman maritim menjadi sangat jelas di awal abad ke-11. Antara 1017 dan 1025, Chola menyerbu pelabuhan-pelabuhan utama Melayu di Selat dan Teluk Siam, termasuk Kedah, Melayu (Jambi), Lambri, Sriwijaya dan Langkasuka, menjarah perbendaharaan Kedah dan menangkap penguasa Sriwijaya, merupakan indikasi lebih lanjut dari ketidakmampuan negeri-negeri Selat Malaka untuk mempertahankan diri dari serangan angkatan laut.[18]
Dengan demikian, hingga abad ke-11, setidaknya dalam hal pandangan militer mereka, kerajaan tersebut bisa dibilang berbasis darat. Hanya dengan perubahan konteks internasional dari abad kesebelas dan seterusnya, yang awalnya ditandai dengan serangan Chola, dan kemudian dengan meningkatnya kehadiran pedagang Cina yang langsung beroperasi di perairan Asia Tenggara, ditambah dengan munculnya kekuatan baru di pinggiran laut, peran dan sifat angkatan laut ini mulai berubah.[21]
Abad ke-12 hingga ke-13
Setelah serangan Chola, tidak ada informasi tentang masalah angkatan laut di Selat Malaka sampai kisah yang sangat berbeda dalam Lingwai daida (1178), ditulis oleh Zhou Qufei:
Negara ini (Sriwijaya) tidak memiliki produk, tetapi orang-orangnya terlatih dengan baik dalam peperangan. Jika mereka mengoleskan obat pada tubuh mereka, mereka tidak dapat dilukai. Dalam perang angkatan laut ofensif, serangan mereka tak tertandingi. Oleh karena itu, negara-negara tetangga bersekutu dengannya. Jika kapal asing yang melewati sekitarnya tidak singgah pada negara ini, [kapal] diluncurkan untuk memberi mereka pelajaran dan membunuh. Oleh karena itu, negara ini kaya, dengan cula badak, (gading) gajah, mutiara, barang aromatik dan obat-obatan.[22]
Informasi serupa tentang Sriwijaya juga dicatat dalam Zhufanzhi (sekitar 1225), yang mencatat:
Semuanya sangat baik dalam peperangan laut dan darat. Setiap saat ketika perintah mobilisasi dilakukan, kepala suku [adalah orang-orang yang] memerintahkan [pasukan]. Mereka semua mempersiapkan dan memperlengkapi [diri] dengan tentara, peralatan dan makanan. Tiba di musuh, mereka berani mati (yaitu tidak takut mati). [Oleh karena itu dianggap sebagai] tetua dari berbagai negara-negara (yaitu yang paling utama di antara yang sederajat)... Negara ini berada di tengah laut, mengendalikan titik sempit yang dilalui berbagai kapal asing yang datang dan pergi. Di masa lalu, [mereka] menggunakan rantai besi sebagai penghalang... Tahun ini (yaitu saat ini) rantai itu tidak ditautkan (yaitu tidak dibentangkan) dan tidak digunakan, [berbaring di] tumpukan di dalam air... Jika pedagang kapal melintasi [sekitarnya] dan tidak masuk [yaitu singgah di pelabuhan], maka kapal dikirim untuk bertempur [dengan mereka]. Mereka harus mati (yaitu orang-orang yang ada di kapal dagang harus dibunuh). Oleh karena itu, negara ini (Sriwijaya) adalah pusat pelayaran yang besar.[23][20]
Informasi ini kemungkinan merujuk pada peperangan laut dan sungai khususnya mengingat kemampuan navigasi yang luas dari sungai Musi dan Batang Hari di mana pusat-pusat utama Sriwijaya (Palembang dan Jambi) berada. Catatan-catatan ini menunjukkan bahwa baik sifat angkatan laut Sriwijaya, maupun peran yang dimainkannya dalam kelangsungan pemerintahan itu sendiri, pada akhir abad ke-12 dan ke-13, menjadi sangat berbeda.[21]
Pada saat yang sama, abad ke-12 menyaksikan awal dari kemunduran Sriwijaya di dalam maritim Asia Tenggara dan di mata mitra asingnya. Kedah jatuh di luar pengaruh Sriwijaya selama abad ke-11. Pada awal abad ketiga belas, Pahang, Kuala Beranang dan Kompei telah didirikan langsung hubungan ekonomi dengan pelabuhan Cina Quanzhou.[24] Jambi merdeka dari pengaruh Sriwijaya pada awal abad ke-13, sementara Ligor jatuh di bawah pengaruh Tambralingga pada 1230-an.[25]
Setelah serangan kerajaan Singosari ke Malayu pada 1275, sejumlah besar negara-pelabuhan Melayu muncul di Selat Malaka, masing-masing berusaha untuk terlibat langsung dengan pedagang asing, dengan berbagai tingkat keberhasilan. Oleh karena itu, pengembangan strategi angkatan laut yang semakin proaktif bukan hanya sebuah reaksi ke sifat interaksi yang berubah dengan mitra dagang utama seperti Cina dan India, tetapi juga sebagai akibat dari menurunnya kekuasaan Sriwijaya.[26]
Jenis kapal
Catatan tekstual kapal Sriwijaya sangat sedikit, karena teks Melayu kuno jarang menyebutkan kendaraan air. Prasasti Kedukan Bukit (683 M) menyebutkan samvau (Bahasa Melayu modern: Sampan). Sebuah jenis kapal yang disebut lancang diidentifikasi sebagai jenis kapal Melayu dalam catatan abad-abad kemudian, tetapi pada zaman Sriwijaya, kapal itu disebutkan dalam 2 prasasti di pantai utara Bali tanggal 896 dan 923 Masehi. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Bali kuno, bukan bahasa Melayu kuno.[27]
Pusat Sriwijaya
Menurut Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti ini menyebutkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Berdasarkan observasi sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[5] Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.[28]
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[11] dengan catatan Malayu tidak berada di kawasan tersebut. Jika Malayu berada pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[29] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[30] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[31] Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens. Ia berpendapat bahwa Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri. Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata "temu", lalu ditafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu".[32] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang).[11]
Akan tetapi, pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Hal ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan sebelumnya.[33] Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah digali, di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar.[34][35] Situs Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Hal ini menunjukkan bahwa situs tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis, yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Teori lain mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di Surat Thani, Thailand Selatan adalah pusat kerajaan Sriwijaya.[36] Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata "Cahaya" dalam bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Teori ini kebanyakan didukung oleh sejarahwan Thailand,[37] meskipun secara umum teori ini dianggap kurang kuat.
Sejarah
Pembentukan dan pertumbuhan
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,[38] selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibu kota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[39][40]
Perjalanan Siddhayatra
Kedatuan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk "mengalap berkah",[a] dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.[41]
Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian maharajaan Sriwijaya.[5]
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, Kedatuan ini telah menguasai bagian selatan Sumatra, pulau Bangka hingga Belitung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[42] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Tiongkok Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Penaklukan kawasan
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[5] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.[5] Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[5]
Masa keemasan
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkih, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.[43]
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya atau Jawa) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.[15]
Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatra, maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatra, Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.[30]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[44] Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[45] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[46] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.[47][48]
Kedatuan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[49]
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[5] dan Filipina.[50] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Pada 851 seorang pedagang Arab bernama Sulaimaan merekam sebuah peristiwa tentang wangsa Sailendra Jawa melakukan serangan mendadak terhadap kekaisaran Khmer dengan mendekati ibukota dari sungai, setelah menyeberang laut dari Jawa. Raja muda Khmer kemudian dihukum oleh Maharaja, dan kemudian kerajaan menjadi pengikut dinasti Sailendra.[51] Pada 916 M, sebuah kerajaan Jawa menyerbu Kekaisaran Khmer, menggunakan 1000 kapal berukuran sedang, yang berakhir dengan kemenangan Jawa. Kepala raja Khmer kemudian dibawa ke Jawa.[52]
Hubungan Sriwijaya dengan Jawa
Wangsa Sailendra di Jawa membina dan memelihara persekutuan dengan trah Sriwijaya di Sumatra,
Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800—819), yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra.[53] Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar berperang, Rakai Warak tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi Borobudur. Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra. Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibu kota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai Warak disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya.[53] Ia disebut dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.
Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan Rakai Warak dengan Samaratungga.[53] Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak.
Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792.[54]
Kembali ke Palembang
Akan tetapi, Pangeran Balaputradewa menentang pemerintahan Pikatan dan Pramodhawardhani di Jawa Tengah. Hubungan antara Balaputra dan Pramodhawardhani ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa sejarawan. Teori yang lebih tua menurut Bosch dan De Casparis menyatakan bahwa Balaputra adalah anak dari Samaratungga, yang berarti ia adalah adik dari Pramodhawardhani. Sejarawan dari angkatan kemudian, seperti Muljana, di sisi lain, berpendapat bahwa Balaputra adalah anak dari Rakai Warak dan adik dari Samaratungga, yang berarti dia adalah paman dari Pramodhawardhani.[55]
Tidak diketahui secara jelas, apakah Balaputradewa tersingkir dari Jawa Tengah karena kalah dalam sengketa suksesi melawan Pikatan, atau dia memang sudah memerintah di Suwarnadwipa (Sumatra) sebelum pecahnya perselisihan mengenai suksesi kekuasaan ini. Bagaimanapun, tampaknya wangsa Sailendra akhirnya terpecah menjadi dua; antara Jawa Tengah yang dikuasai Pikatan-Pramodhawardhani dan Palembang yang dikuasai Balaputradewa. Bahwa Balaputradewa akhirnya menguasai cabang Sumatra dari wangsa Sailendra dan bertahta di ibu kota Sriwijaya dari Palembang. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa, hal ini karena ibunda Balaputra - Dewi Tara, permaisuri Raja Rakai Warak adalah putri dari Sriwijaya, hal ini menjadikan Balaputra sekaligus sebagai pewaris takhta Sriwijaya di Sumatra. Balaputradewa kemudian dinobatkan sebagai Maharaja Sriwijaya, kemudian dia menyatakan klaimnya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda yang bertarikh 860.[53]
Berperang melawan Jawa
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[56]
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.[56]
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Pengaruh hindu-budha batu Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatra. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[56]
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[57] (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[31]
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[11][58]
Penjelajahan Sriwijaya
Inti dari alam Srivijayan terkonsentrasi di dalam dan di sekitar selat Malaka dan Sunda dan di Sumatra, Semenanjung Melayu dan Jawa Barat. Namun, antara abad ke-9 dan ke-12, pengaruh Sriwijaya tampaknya telah jauh melampaui inti. Para navigator, pelaut, dan pedagang Srivijayan tampaknya telah terlibat dalam perdagangan dan eksplorasi yang luas, yang mencapai pesisir Kalimantan,[59] kepulauan Filipina, Indonesia Timur, pesisir Indocina, Teluk Benggala dan Samudra Hindia sejauh Madagaskar.[60]
Migrasi ke Madagaskar diperkirakan telah terjadi 1.200 tahun yang lalu sekitar 830 M. Menurut sebuah studi DNA mitokondria baru yang luas, penduduk asli Malagasy saat ini kemungkinan dapat melacak warisan mereka kembali ke 30 ibu pendiri yang berlayar dari Indonesia 1.200 tahun yang lalu. Malagasi berisi kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi bahasa lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu, mengisyaratkan bahwa Madagaskar mungkin telah dijajah oleh pemukim dari Sriwijaya.[61]
Pengaruh kekaisaran mencapai Manila pada abad ke-10. Sebuah kerajaan di bawah pengaruhnya telah didirikan di sana.[62][63] Penemuan patung Tara emas di Agusan del Sur dan Kinnara emas dari Butuan, Timur laut Mindanao, di Filipina menunjukkan adanya hubungan kuno antara Filipina kuno dan kekaisaran Sriwijaya,[64] karena Tara dan Kinnara adalah tokoh atau dewa penting dalam kepercayaan Buddha Mahayana. Kesamaan agama Buddha Mahayana-Vajrayana menunjukkan bahwa Filipina kuno memperoleh kepercayaan Mahayana-Vajrayana dari pengaruh Srivijayan di Sumatra.[65]
Pada abad ke-12, kerajaan ini mencakup bagian dari Sumatra, Semenanjung Melayu, Jawa Barat, Kalimantan dan Filipina, terutama Kepulauan Sulu dan pulau-pulau Visayas. Dipercayai oleh beberapa sejarawan bahwa nama 'Visayas' berasal dari kekaisaran.[66][67]
Masa kemunduran
Serbuan kerajaan Chola
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[68] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok tahun 1028.[69]
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang.[70] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.[15]
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[71]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore | |
---|---|
Nama kawasan | Keterangan |
Pannai | Pannai |
Malaiyur | Malayu |
Mayirudingam | |
Ilangasogam | Langkasuka |
Mappappalam | |
Mevilimbangam | |
Valaippanduru | |
Takkolam | |
Madamalingam | Tambralingga |
Ilamuri-Desam | Lamuri |
Nakkavaram | Nikobar |
Kadaram | Kedah |
Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Tiongkok di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[5] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatra, sampai Jawa bagian barat.
Munculnya Malayu Dharmasraya
Bagian dari seri artikel mengenai |
Sejarah Thailand |
---|
Sejarah |
Kerajaan Sukhothai Kerajaan Ayutthaya Kerajaan Thonburi Kerajaan Rattanakosin Periode militer Periode demokratis |
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Tiongkok menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Tiongkok.[72] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Tiongkok.[72] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut.[72] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.[73]
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[74] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[11][29]
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi.
Pemerintahan dan ekonomi
Struktur pemerintahan
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.[15] Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[75]
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu,[75] (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga.[75] Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri.[75] Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman.[75] Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.[75]
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[76] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya.[75][42] Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),[b] Addhyākṣī nījavarṇa (pengawas kaum berkasta rendah), vāṣīkaraṇa (pandai besi/pembuat senjata pisau), kāyastha (juru tulis), sthāpaka (pemahat), puhāvaṁ (nakhoda kapal), vaṇiyāga (peniaga), pratisāra (pemimpin kelompok kerja), marsī hāji (tukang cuci), dan hulun hāji (budak raja).[75][42]
Menurut kronik Tiongkok Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[42][76] Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa pembagian ini dilakukan untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya.[48]
Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[30] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar Tiongkok untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.[78]
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.[79]
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Tiongkok, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[80]
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.[81][82]
Budaya dan masyarakat
Sebuah masyarakat yang kompleks, berlapis, kosmopolitan, dan makmur; dengan cita rasa nan halus dalam seni, sastra, dan budaya, dengan serangkaian ritual yang dipengaruhi ajaran Buddha Mahayana; berkembang di masyarakat Sriwijaya. Tatanan sosial mereka yang rumit dapat dilihat melalui studi prasasti, catatan sejarah asing, serta peninggalan candi-candi yang berasal dari periode ini. Kerajaan telah mengembangkan masyarakat yang maju; yang ditandai oleh kemajemukan masyarakat mereka, stratifikasi sosial, dan pembentukan lembaga administratif nasional kerajaan mereka.
Agama
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[83]
Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[84]
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Tiongkok ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[8]
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.[85] Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama Muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra kelak, di saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Seni dan Budaya
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[86]
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatra. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatra antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatra terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang,[87] dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi,[88] Bidor, Perak[89] dan Chaiya,[90] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatra Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).[91]
Hubungan dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran Tiongkok, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[92]
Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya.[93] Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).[93]
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
— Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[80]
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di provinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya tampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah dengan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatra dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.[94] Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[95] Persaingan antara Sriwijaya di Sumatra dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.[58]
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[11]
Raja yang memerintah
Para Maharaja Sriwijaya[5][11]
Nama Raja | Tahun | Ibu kota | Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa |
---|---|---|---|
Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa |
671 | Srivijaya
Shih-li-fo-shih |
Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa
Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah |
Rudra Wikrama
Liu-t'eng-wei-kung |
728-742 | Sriwijaya
Shih-li-fo-shih |
Utusan ke Tiongkok 728-742 |
743-774 | Belum ada berita pada periode ini | ||
Sri Indrawarman
Shih-li-t-'o-pa-mo |
702 | Sriwijaya
Shih-li-fo-shih |
Utusan ke Tiongkok 702-716, 724 |
Sri Maharaja | 775 | Sriwijaya | Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja |
Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta) | Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya | ||
Dharanindra atau Rakai Panangkaran |
778 | Jawa | Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan
Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan |
Samaragrawira atau Rakai Warak |
782 | Jawa | Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907 |
Samaratungga atau Rakai Garung |
792 | Jawa | Prasasti Karang Tengah tahun 824,
825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur |
840 | Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan | ||
Balaputradewa | 856 | Suwarnadwipa | Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda tahun 860, India |
861-959 | Belum ada berita pada periode ini | ||
Sri Udayaditya Warmadewa
Se-li-hou-ta-hia-li-tan |
960 | Sriwijaya
San-fo-ts'i |
Utusan ke Tiongkok 960, & 962 |
980 | Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji) | ||
Sri Cudamani Warmadewa
Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa |
988 | Sriwijaya
Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i |
990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa, Utusan ke Tiongkok 988-992-1003, |
Sri Mara-Vijayottunggawarman
Se-li-ma-la-pi |
1008 | San-fo-ts'i
Kataha |
Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008 |
Haji Sumatrabhumi
Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u |
1017 | Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u (Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan | |
Sangrama-Vijayottunggawarman | 1025 | Sriwijaya
Kadaram |
Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan
Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India |
1030 | Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel | ||
1079 | Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton) | ||
1082 | Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088 | ||
1089-1177 | Belum ada berita | ||
1178 | Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i | ||
Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa | 1183 | Dharmasraya | Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand |
Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya masih digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang mengaku sebagai keturunan bangsawan Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan tentaranya yang terdiri dari Orang Laut, telah mendirikan Kerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan sejarah Tiongkok yang ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang kerajaan Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini berhasil dipukul mundur.
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekonomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebar luasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[96] Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.[97]
Kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[98] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatra Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II/Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (perusahaan pupuk di Sumatra Selatan), Sriwijaya Post (surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, Kereta Api Tanjung Karang-Kertapati Sriwijaya Lampung dan Sriwijaya Football Club (klub sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan Kedatuan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan Kedatuan bahari ini.[99][100]
Nama besar Sriwijaya juga telah menginspirasi dan dipinjam sebagai nama marga katak yang baru dideskripsi di tahun 2021: Wijayarana.[101][102]
Catatan
- ^ Menurut Coedès, siddhayatra merujuk kepada "ramuan ajaib". Sebuah terjemahan alternatif: Zoetmulder's Kamus Jawa Kuno (1995) menerjemahkan istilah ini sebagai "perjalanan yang makmur".
- ^ Tuha an watak wuruh juga bersifat pengurus perdagangan dan pertukangan. Tugas mereka selain itu adalah menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang bertindak sebagai pengurusnya.[77]
Referensi
- ^ a b Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO). 18 (6): 1–36.
- ^ "Indonesia - The Malay kingdom of Srivijaya-Palembang". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-05-23.
- ^ Partogi, Sebastian (November 25, 2017). "Historical fragments of Sriwijaya in Palembang". The Jakarta Post. Diakses tanggal 23 May 2019.
- ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO). 30 (1-2): 29–80.
- ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5.
- ^ Reid, Anthony (2014). Sumatra Tempo Doeloe. Depok: Komunitas Bambu. ISBN 979-3731-94-x.
- ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
- ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
- ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9.
- ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
- ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5.
- ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". Dalam F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. hlm. vol. I p. 149.
- ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012). "Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya Ditemukan di Sumatra Selatan". Detik. Diakses tanggal 20 April 2012.
- ^ a b c d Sucipto 2009, hlm. 30.
- ^ Heng (Oktober 2013). p. 381.
- ^ Heng (Oktober 2013). p. 382–384.
- ^ a b Heng (Oktober 2013). p. 385–386.
- ^ Chen Jiarong and Qian Jiang, Zhufanzhi zhubu [Treatise on the Foreign Barbarians] (Hongkong: Hongkong University Press), p. 47.
- ^ a b Hirth, Friedrich; Rockhill, William Woodville (1911). Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu Fan Chï. St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences. hlm. 60, 62.
- ^ a b Heng (Oktober 2013). p. 387–388.
- ^ Tu Youxiang, Zhou Qufei : Lingwai daida [Answers from beyond the Southern Mountains] (Shanghai: Yuandong chubanshe, 1996), p. 42.
- ^ Chen and Qian, Zhufanzhi zhubu, p. 46.
- ^ Zhao Yanwei, Yunlu manchao [Writings from the clouds and foothills], 1206, 5: 88.
- ^ Chen and Qian, Zhufanzhi zhubu, p. 78.
- ^ Heng (October 2013). pp. 393–394.
- ^ Manguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali: Mediterranean impact on war vessels in Early Modern Southeast Asia. Dalam G. Wade & L. Tana (Eds.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (hlm. 146–182). Singapore: ISEAS Publishing.
- ^ Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan Sriwijaya, Beberapa Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatra Selatan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatra Selatan.
- ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X.
- ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
- ^ a b Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
- ^ Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975.
- ^ "Peneliti UI Temukan Bukti Kerajaan Sriwijaya di Jambi" (dalam bahasa Indonesian). 15 July 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-22. Diakses tanggal 2016-08-20.
- ^ "Muaro Jambi Temple: The Legacy of Ancient Jambi". 25 September 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-30. Diakses tanggal 2016-08-20.
- ^ Syofiardi Bachyul Jb (November 25, 2014). "Muarajambi Temple: Jambi's monumental mystery".
- ^ Takashi Suzuki (25 December 2012). "Śrīvijaya―towards ChaiyaーThe History of Srivijaya". Diakses tanggal 6 March 2013.
- ^ Chand Chirayu Rajani (1974). "Background To The Sri Vijaya Story-Part" (PDF). Journal of the Siam Society. 62: 174–211.
- ^ George Coedès, Louis-Charles Damais, (1992), Sriwijaya: history, religion & language of an early Malay polity: collected studies, MBRAS, ISBN 983-99614-1-1.
- ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila budaya bangsa Indonesia:Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979-413-967-X.
- ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
- ^ Collins 2005, hlm. 8.
- ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-SEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. hlm. 86. ISBN 978-979-543-708-6.
- ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE" (PDF). www.eastwestcenter.org. hlm. 252. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-10-31. Diakses tanggal 16 January 2013.
- ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. XXXIII: 121–144.
- ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva en Katāha". TBG. LXXVII: 317–487.
- ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956). "Çriwijaya, de Çailendra-en de Sanjāyavança". BKI. 114: 254–264.
- ^ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old malay inscription at Sojomerto". MISI. III: 241–251.
- ^ a b Halimi 2008, hlm. 120.
- ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 979-22-1351-1.
- ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. hlm. pages 77.
- ^ Rooney, Dawn (16 April 2011). Angkor, Cambodia's Wondrous Khmer Temples. www.bookdepository.com. Hong Kong: Odyssey Publications. ISBN 978-9622178021. Diakses tanggal 2019-01-21.
- ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Miller.
- ^ a b c d Cœdès, George (1968). The Indianized states of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 9780824803681.
- ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 175. ISBN 981-4155-67-5.
- ^ Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya (dalam bahasa Indonesian). Yogyakarta: LKiS. hlm. 21. ISBN 979-8451-62-7.
- ^ a b c Munoz 2006, hlm. 150.
- ^ Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
- ^ a b Munoz 2006, hlm. 151.
- ^ Aung-Thwin, Michael Arthur; Hall, Kenneth R. (2011-05-13). New Perspectives on the History and Historiography of Southeast Asia: Continuing Explorations (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-136-81964-3.
- ^ Philippine History. Rex Bookstore, Inc. 2004. hlm. 46. ISBN 9789712339349.
- ^ Murray P. Cox; Michael G. Nelson; Meryanne K. Tumonggor; François-X. Ricaut; Herawati Sudoyo (2012). "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of the Royal Society B. 279: 2761–8. doi:10.1098/rspb.2012.0012. PMC 3367776 . PMID 22438500. Diakses tanggal 30 May 2020.
- ^ "Laguna Copperplate Inscription - Article in English". Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 February 2008. Diakses tanggal 25 August 2015.
- ^ The Laguna Copperplate Inscription Diarsipkan 21 November 2014 di Wayback Machine.. Accessed 4 September 2008.
- ^ "Golden Tara". Agusan del Sur.
- ^ "Philippine Gold, Treasure of Forgotten Kingdoms". Asian Society.
- ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities. Quezon City: CARE Minorities. hlm. 77.
- ^ Philippine History. Rex Bookstore, Inc. 2004. hlm. 46. ISBN 9789712339349.
- ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
- ^ Kulke, H. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN 981-230-936-5.
- ^ Sucipto 2009, hlm. 29.
- ^ Suriansyah Ideham. (2007:17). "Kerajaan Nan Sarunai". Melayu online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-25. Diakses tanggal 25 August 2012.
- ^ a b c Munoz. Early Kingdoms. hlm. 165.
- ^ Munoz 2006, hlm. 167.
- ^ Hirth, F. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg. .
- ^ a b c d e f g h Kulke, H. (1993). ""Kadātuan Śrīvijaya"—Empire or Kraton of Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de l’École Française d’Extreme Orient (BEFEO). 80 (1): 159–180.
- ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
- ^ Halimi 2008, hlm. 122.
- ^ Sucipto 2009, hlm. 28.
- ^ Halimi 2008, hlm. 121.
- ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8.
- ^ Natawidjaja 1985, hlm. 28.
- ^ Sobir, PhD, Firmansyah D. Siregar (2010), Budi Daya Semangka Panen 60 Hari, Penebar Swadaya: Jakarta. Hlm 5-6. Diakses 8 Juli 2013
- ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program Bahasa. Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2. Diakses tanggal 20 April 2012.
- ^ Cœdès, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X.
- ^ Collins 2005, hlm. 9.
- ^ "Melayu Online: Bambang Budi Utomo". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-05. Diakses tanggal 2011-05-15.
- ^ "Bukit Siguntang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-04. Diakses tanggal 2011-05-15.
- ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, Photograph and artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Budaya Jakarta, 9-11 November 2006
- ^ "KaalaChaKra, Early Indian Influences in Southeast Asia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-20. Diakses tanggal 2011-05-15.
- ^ "Bridgeman: Avalokitesvara figure from the Srivijaya Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-30. Diakses tanggal 2011-05-15.
- ^ "Srivijaya Art In Thailand". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-31. Diakses tanggal 2011-05-15.
- ^ O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
- ^ a b Fatimi, S.Q. (1963). "Two Letters from the Maharaja to the Khalifah". Islamic Studies (Islamabad), 2:1, hlm. 121-40.
- ^ De Casparis. Prasasti Indonesia I. hlm. 110-111.
- ^ Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
- ^ "Southeast Asia Digital Library: About Malay". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-06-16. Diakses tanggal 2011-05-15.
- ^ Collins 2005, hlm. 12.
- ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Periksa nilai
|url=
(bantuan). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 9. ISBN 981-230-103-8. - ^ The new Golden Peninsula Games
- ^ Spectacular Opening of the 26th SEA GAMES in Palembang
- ^ Arifin, U., Kin Onn Chan, Utpal Smart, Stefan T. Hertwig, Eric N. Smith, Djoko T. Iskandar & Alexander Haas. (2021). "Revisiting the Phylogenetic Predicament of the Genus Huia (Amphibia: Ranidae) using Molecular Data and Tadpole Morphology". Zoological Journal of the Linnean Society, 193(2): 673–699, Oktober 2021. DOI: https://doi.org/10.1093/zoolinnean/zlaa158
- ^ Novataxa, Species New to Science: <Herpetology • 2021> Wijayarana gen. nov. • Revisiting the Phylogenetic Predicament of the Genus Huia (Amphibia: Ranidae) using Molecular Data and Tadpole Morphology, Sunday, June 6 2021, diakses 05/10/2021
Bacaan lanjutan
- Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: KITLV bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9789794615379.
- Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu (dalam bahasa Melayu). Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978967612155X Periksa nilai: invalid character
|isbn=
(bantuan). - Hall, D. G. E. (1955). A History of South-east Asia. London: Macmillan.
- Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627.
- Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura:Editions Didier Millet. ISBN 9814155675.
- Natawidjaja, P. Suparman (1985). Mengenal Buah-Buahan yang Bergizi (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Dian.
- SarDesai, D. R. (1997). Southeast Asia: Past and Present. Boulder: Westview Press.
- Shaffer, Lynda Norene (1996). Maritime Southeast Asia to 1500. London: ME Sharpe Armonk.
- Stuart-Fox, Martin (2003). A Short History of China and Southeast Asia: Tribute, Trade, and Influence. London: Allen and Unwin.
- Sucipto (2009). Suminto, ed. Perkembangan Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta Peninggalannya (dalam bahasa Indonesia). Solo: Tiga Serangkai. ISBN 9789790456860.
- Triastanti, Ani. Perdagangan Internasional pada Masa Jawa Kuno; Tinjauan Terhadap Data Tertulis Abad X-XII. Skripsi Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2007.
Pranala luar
- (Indonesia) Kerajaan Sriwijaya di MelayuOnline.com Diarsipkan 2016-03-13 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Balai Arkeologi Palembang dan Sriwijaya Society Diarsipkan 2015-12-23 di Wayback Machine.
- (Inggris) Sejarah Melayu, Buddhist Empires
- (Inggris) Śrīwijaya: A Centre of Learning?