4 Barata Kesultanan Buton atau Pertahanan Barata dalam pengertian masyarakat Buton Barata adalah penguat yang saling mendukung/membantu agar tetap bertahan dan seimbang tidak gampang hancur, karena yang satu menunjang yang lain, demikian pula sebaliknya. Jadi sistem barata ini diibaratkan seperti perahu jarangka (bersayap).

Barata juga berarti cadik (cadik perahu). Dengan demikian wilayah Barata adalah wilayah yang dianggap dan diharapkan untuk menjaga kestabilan kerajaan. Dalam hal ini termasuk pula pengertian menjaga keamanan dari luar. Ada empat wilayah yang berkedudukan sebagai Barata bagi Kesultanan Buton yaitu Kerajaan Muna, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kalingsusu (Kulisusu), dan Kerajaan Kaledupa.

Penentangan Barata Muna

Dalam masa pemerintahan La Elangi ( 1579-1631) sebagai Sultan Buton IV. keempat wilayah (kerajaan) tersebut di atas ditetapkan sebagai wilayah barata dari Kesultanan Buton. Keempat wilayah barata Kesultanan Buton itu masing-masing mengatur dirinya dengan Dewan Legislatif dan Dewan Pemerintahannya sendiri-sendiri . Pada pertengahan abad XIX semua Barata kecuali Muna sudah merupakan wilayah yang menyatu dengan Kesultanan Buton. Muna dengan berpegang teguh pada tradisi hubungannya dengan Buton sebagai dua kerajaan bersaudara. selalu menolak kedudukan sebagai Barata dari Buton. Persaudaraan kedua kerajaan itu terjalin ketika diangkatnya Murhum yang menjabat Raja Muna, diangkat juga sebagai Raja (kemudian Sultan) di Buton. Sementara itu, di Muna dia digantikan oleh adiknya La Posasu, dan sejak itu pula Muna Selatan digabungkan ke dal am Kerajaan Buton . Namun demikian sepanjang sejarahnya, Muna sering bertentangan dengan Buton yang selalu menempatkan Muna di pihak yang merugi. Setiap keka lahan Muna dalam menghadapi Buton. Buton selalu menempatkan pejabatnya sebagai pejabat Raja Muna. Hal itu merupakan pangkal pertentangan Muna terhadap Buton. Konon pada kurun waktu yang hampir bersamaan. Kerajaan Muna juga berada di bawah pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate. Ketika pada tahun 1655. Sultan Hasanuddin dari Gowa menyerang Buton dan herhasil menguasai Muna dan Tiworo, Raja Muna Sangia Kaindea menjadikan kesempatan ini untuk bebas dari pengaruh Ternate tanpa sepengetahuan Ternate sendiri (Abdul Razak Dg patunru 1967).

Akan tetapi pada tahun 1664. Sultan Ternate menyerahkan kembali Muna atau Pantsiano kepada Sultan Buton dengan tidak setahu Raja Gowa. Penyerahan ini ditentang oleh Raja Muna dan tidak mau mengakui kekuasaan Buton. Atas bantuan VOC dan Ternate, Sangia Kaindea dapat ditangkap dan dibawa ke Ternate. Selama di Ternate jabatan Raja Muna dipegang oleh isterinya Wa Ode Wakelu anak dari La Manempa Sapati Buton waktu itu. Sesudah peperangan Gowa, Sangia Kaindea kembali ke Muna sebagai Raja Muna tetapi pemerintahan sebenarnya dijalankan oleh La Ode Idris seorang Kapitalau dari Buton. Pemerintahan La Ode Idris ini disebut Muna sebagai Sarano Kraindeadea. Cucu Sangia Kaindea Raja Muna La Ode Husai Omputo Sangia pada masa pemerintahannya selalu tidak mengakui kekuasaan Buton atas Muna . Malah Belanda menganggap Muna "Vrij en on van Boeton" (lightvoot: 1878).

Pada tahun 1816 Muna bersama Tiworo dengan bantuan Syarif Ali dari Sulawesi Selatan kembali menentang Buton. Perang ini berlangsung sampai akhir 1823 dengan kekalahan Muna dan Tiworo. Seorang Kapitalau dari Buton ditunjuk oleh Sultan Buton sebagai pejabat Raja Muna yaitu La Ode Ngkumabusi. (Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara : 1978).

Uraian diatas memperlihatkan bahwa sepanjang abad XVI sampai abad XIX, disamping adanya hubungan persaudaraan Muna merupakan wilayah Barata dari Buton, walaupun Muna berdaulat ke dalam. Dipihak lain orang Muna sampai masa-masa terakhir ini tidak mengakui negerinya sebagai bawahan Buton. wilayah Barata yang lain yaitu Kalisusu (Kulisusu), Tiworo, dan Kaledupa dalam perkembangannya secara bertahap menjadi wilayah kesultanan Buton dengan kedudukan khusus sebagai Barata dan pejabat-pejabatnya selalu ditentukan dari Keraton Buton.

Tugas Utama Barata

Tugas utama "Barata" adalah bertanggung jawab terhadap pertahanan keamanan, wilayah kekuasaannya masing-masing. Setiap kerajaan yang tergabung dalam Barata ini secara mandiri mengusahakan sistem pertahanan yang kuat, sedangkan pertahanan secara kolektif apabila salah satu anggota Barata tidak dapat lagi menghadapi musuh, baru meminta bantuan kepada kesultanan Buton. Atas perintah Kapitalao di Buton semua anggota Barata sebagai inti kekuatan bersama memberikan bantuan kepada salah satu kerajaan yang sedang berperang. Dalam arti politis "Barata" adalah kerajaan- kerajaan yang berdiri sendiri di dalam lingkungan kesultanan Buton. Kerajaan-kerajaan ini seperti yang sudah disebutkan sebelumnya yaitu kerajaan Muna (Wuna), kerajaan tiworo, kerajaan Kulisusu dan kerajaan Kaledupa, tetapi diberi otonomi untuk mengatur pemerintahan dan mengurusi rumah tangganya sendiri. Akan tetapi dari segi tanggung jawab pertahanan dan keamanan wilayah secara kolektif berada di bawah komando Kapitalao Kesultanan Buton. Dalam hal ini Panglima tertinggi Barata ada pada Kapitalao yang berkedudukan di kesultanan Buton, sedangkan di kerajaan-kerajaan itu bertugas mengamankan wilayah kerajaannya.

Hubungan dengan Kesultanan Buton bersifat tradisional, pengaturan sistem pertahanan Barata ini berdasarkan kesepakatan diantara empat kerajaan tadi bersama pemerintah kesultanan Buton. Berdasarkan kesepakatan bersama itu keempat kerajaan ini masing-�masing saling menunjang, membantu dan bertukar informasi, khususnya bila terjadi ancaman musuh yang mengganggu teritorialnya, sebab ancaman pada salah satu kerajaan berarti merupakan ancaman bagi keseluruhannya. Maka tugas masing-masing adalah :

  • Kerajaan Muna (Wuna), Barata yang berada di bagian Utara kesultanan Buton mewaspadai wilayah utara
  • Kerajaan Kulisusu (Kolea Casu), Barata yang berada di bagian Timur kesultanan Buton mewaspadai wilayah timur.
  • Kerajaan Kaledupa, Barata yang berada dibagian selatan mewaspadai wilayah selatan.
  • Kerajaan Tiworo, sebagai Barata yang berada di bagian Barat mewaspadai wilayahnya di bagian barat. (Said : 1989. Sahiruddin : 1984 ).

Pada dasarnya "Barata" ini sebagai pertahanan terluar atau lapisan keempat yang lebih dahulu menghancurkan musuh sebelum masuk dalam wilayah inti. Menurut teori strategi perang modern adalah pertahanan secara ofensif, yaitu mengawal dan mengintai musuh serta menghancurkannya sejak dari tapal batas wilayah kedaulatannya.

Kesepakatan Tradisional

Kesepakatan tradisional dari lima kerajaan dalam sistem pertahanan Barata ini diperbaharui kembali pada masa pemerintahan Sultan Buton Kaimuddin Muhammad Idrus pada tahun 1840 yang disepakati menjadi "Sarana Barata" (pemerintahan Barata) dan ditandatangani oleh Sultan Buton dan raja-raja keempat kerajaan. Pihak Buton yang ikut bertandatangan adalah Sultan Kaimuddin Muhammad Idrus, Sapati La Tobelo, Kanepulu La Kasorana, Kapitalao Latia dan Ismail, Bonto Ogena Matanaeyo La Peropa dan Bonto Ogena Sukanaeyo Haji Abdul Rachim. Penandatanganan dari empat kerajaan adalah Raja Muna Ismail atau La Ode Sumaili, Raja Tiworo Muhammad, Raja Kulisusu La Madja dan Raja Kaledupa Adam. (Dokumen DPRD Tk. I. 1978 : 198)

Adapun tugas-tugas yang diemban oleh sistem pertahanan Barata adalah terutama mempersiapkan persenjataan di setiap kerajaan yang ada dalam lingkungan Buton dengan tujuan untuk menjaga keamanan di wilayahnya. Apabila terjadi penyerahan, maka terlebih dahulu mengadakan perlawanan dan apabila tidak bisa menghadapinya barulah ia meminta bantuan dari Barata yang lain atau pada Sultan Buton. Selain itu Barata juga ditugasi memantau keadaan wilayahnya kalau-kalau ada orang asing yang terdampak karena mengalami kecelakaan kapal, perahu pecah atau tenggelam di wilayah perairan Buton dan sekitarnya, terutama bagi pelaut-pelaut Bone dan Ternate. Pelarian politik dan budak yang mencari perlindungan supaya ditolong dan diperlakukan dengan baik dan diberi perlindungan, kemudian dikembalikan ke negeri asalnya dengan selamat. (Zahari, 1976 : 30).

Dalam sarana Barata juga diatur tentang kunjungan para pejabat kesultanan Buton diwilayah Barata, khususnya Kapitalao dan pengawas Sultan. Bagi rakyat dan aparat atau pembesar kerajaan di wilayah Barata melakukan pelanggaran harus dihukum sesuai kesalahannya. Mulai dari hukuman ringan seperti diberi sanksi, dipecat sampai pada hukuman gantung. Sarana Barata juga mengatur perkawinan antar kerajaan yang tergabung dalam Barata, baik antara orang-orang dari kesultanan Buton dengan keempat kerajaan maupun sebaliknya. Hal ini merupakan suatu politik dan strategi jangka panjang bagi kesultanan Buton untuk memperluas jangkauan pengaruhnya ke seluruh wilayah termasuk kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam "Barata".[1]

  1. ^ Zuhdi dkk, Susanto. "Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara : Kesultanan Buton" (PDF). Penerbit Kemdikbud. Diakses tanggal 2022-07-6.