Aji Muhammad Sulaiman
Adji Muhammad Sulaiman yang bergelar Sri Paduka Sultan Adji Muhammad Sulaiman al-Adil Khalifatul-Mu'minin bin Adji Muhammad Salehuddin (dilahirkan dengan nama Aji Biduk/Pangeran 'Umar) adalah Sultan Kutai Kartanegara ke-17, memerintah dari tahun 1845 sampai 1899 merupakan putera ke-5 dari Sultan Adji Muhammad Salehuddin, dengan Aji Ratu Zuziah.[1][2]
Adji Muhammad Sulaiman العاجي محمد سليمان عادل | |
---|---|
Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura | |
Berkuasa | 23 Juli 1845 – 2 Desember 1899 |
Penobatan | 19 Oktober 1850 |
Pendahulu | Adji Muhammad Salehuddin |
Penerus | Adji Muhammad Alimuddin |
Kelahiran | Tenggarong | 8 Februari 1838
Kematian | 2 Desember 1899 Tenggarong |
Pasangan | Adji Ratu Sarifah Adji Ratu Shalbiah Adji Ratu Rubia Adji Ratu Surya Agung Adji Soja Adji Ratu Victoria Fabiola Pua Menttek Pua Basiah Ratu Purnama Adji Siti Jawiah Adji Adjue |
Keturunan Detail | >Adji Dabok (Sultan Adji Muhammad Alimuddin Al-adil) Adji Ainuddin (Adji Pangeran Kesuma Adiningrat adikkandung Sultan A.M Alimuddin) Adji Amiddin (Adji Pangeran Mangkunegoro) Adji Mustofa Aji Hakim Adji Amir Hasanuddin (Adji Pangeran Sosronegoro) Adji Umar Aji Mahligai (Adji Raden Aryo Sastro) Adji Mahmud (Aji Raden Mangliwidjojo) Adji Botoh (Adji Raden Atmodjosoepno) Adji Roeslan (Adji Pangeran Ario Wijoyo) Adji Kedidi/Adji Kader(Adji Garuda) br />dan 33 anak lainnya |
Agama | Islam |
Biografi
Lahir pada tanggal 8 Februari 1838, menggantikan ayahnya menjadi Sultan pada saat kematian ayahnya tanggal 23 Juli 1845. Memerintah di bawah sebuah Konsul atau dewan perwalian oleh kakak beliau Adji Pangeran Mangkunegoro I sampai ia dewasa dan secara formal dimahkotai sebagai Sultan dengan kekuatan penuh di Tenggarong pada tanggal 19 Oktober 1850, Sultan Aji Muhammad Sulaiman dikenal arif dan juga tekun mengajarkan Islam, hingga tiap tahun menghajikan rakyatnya. Sepanjang pemerintahannya, aktif mengadakan hubungan dengan Kerajaan Mekkah dan juga sempat membangun pemondokan haji di Tanah Suci, yang kemudian dihibahkan kepada Kerajaan di sana. Sultan juga menempatkan para ulama sebagai penasehat kerajaan sepanjang pemerintahannya. Sultan Aji Muhammad Sulaiman meninggal di Tenggarong pada tanggal 2 Desember 1899, dan dimakamkan di Pemakaman Kerajaan di Tenggarong.[1]
Pemerintahan
Pada tahun 1850, Sultan Adji Muhammad Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[3] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[4] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun tampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman
Penghargaan
Penghargaan yang diterima oleh Sultan adalah:
- Commander of the Order of Orange Nassau (1898),
- Knight of the Order of the Netherlands Lion (12.5.1874),
- the Gold Medal for Civil Merit (1864).[1]
Referensi
- ^ a b c Royal Ark
- ^ (Belanda) Verhandelingen en Berigten Betrekkelijk het Zeewegen, Zeevaartkunde, de Hydrographie, de Koloniën, Volume 13, 1853
- ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde. 13. hlm. 358.
- ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz. 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242.
Didahului oleh: Aji Muhammad Salehuddin |
Sultan Kutai Kartanegara 1845—1899 |
Diteruskan oleh: Aji Muhammad Alimuddin |