Ujaran kebencian di dunia maya

Secara umum, yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di dunia siber (cyber crime) adalah upaya memasuki atau menggunakan fasilitas komputer termasuk jaringan komputer dengan tanpa izin. Kejahatan di dunia siber sama dengan melawan hukum, tetapi tidak menyebabkan perubahan dan kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan.[1] Cybercrime adalah perbuatan penyalahgunaan teknologi digital atau tindakan kejahatan secara tidak langsung yang mempergunakan perantara alat elektronik, seperti handphone, tablet, komputer, dan teknologi internet secara digital lain dengan maksud untuk melawan hukum.[2]

Salah satu perubahan yang terjadi akhir-akhir ini adalah globalisasi informasi. Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat informasi dunia. Perubahan itu termasuk cybercrime dan penyebaran berita palsu melalui media sosial. Cybercrime merupakan jenis kejahatan baru yang lahir karena pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.[3]

Seiring perkembangan zaman, kejahatan di Indonesia juga ikut berkembang semakin pesat. Data yang diperoleh dari Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) menunjukkan bentuk kejahatan di dunia maya semakin meningkat. Terbukti ada sekitar 390 penipuan online, 575 penyebaran konten provokatif, dan 126 konten pornografi. Di era digital, seperti saat ini, kejahatan mulai meluas hingga ke dunia maya, yaitu internet. Banyak model-model kejahatan baru yang muncul di dunia maya. Salah satunya adalah ujaran kebencian yang pelakunya wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum. Hal ini muncul karena pemahaman kebebasan berpendapat masyarakat yang lemah sehingga mereka berpikir bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mutlak yang diberikan kepada mereka untuk mengungkapkan ekspresi pada dirinya.[4]

Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian adalah kejahatan yang seringkali dilakukan di zaman ini yang mana aktivitas tersebut telah melanggar kesantunan. Ujaran kebencian merupakan suatu tindakan yang dilakukan seseorang atau lebih dalam bentuk hasutan, provokasi, maupun penghinaan kepada orang lain dalam beberapa aspek seperti suku, agama, ras, gender, warna kulit, cacat, orientasi seksual, dan masih banyak lagi. Kejahatan ujaran kebencian dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya dalam kegiatan ceramah keagamaan, kampanye, selebaran, spanduk atau banner. Selain itu, dengan kecanggihan teknologi yang ada, ujaran kebencian bisa dilakukan melalui media sosial maupun media elektronik lain. Istilah lain mengenai ujaran kebencian, yaitu kegiatan seseorang melalui perkataan, perbuatan, tulisan maupun pertunjukan dengan maksud untuk menghina, provokasi, ataupun menghasut orang lain dengan tujuan untuk membuat prasangka, baik ditunjukkan untuk pelaku ujaran kebencian tersebut maupun korban dari tindakan itu sendiri.[5] Tindakan yang ditunjukkan secara verbal bukan sekedar rangkaian kata-kata saja, melainkan ada suatu tindakan lebih yang menimbulkan efek tertentu. Ujaran kebencian juga mencakup tindak tidak sopan secara verbal, mempunyai efek yang sangat luar biasa bagi target pendengar dan pendengar yang bukan target. Penutur mempunyai sebuah motivasi dan unsur kesengajaan dalam berkata-kata demi sebuah tujuan dalam berkomunikasi yaitu ingin menyampaikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan.[6]

Arti dari Ujaran Kebencian (hate speech) sendiri adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun penghinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek, seperti: ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, ujaran kebencian (hate speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka, entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan ujaran kebencian (hate speech) ini disebut Hate Site.[7] Istilah lain dari hate speech adalah ekspresi yang menganjurkan hasutan untuk merugikan berdasarkan target yang diidentifikasi dengan kelompok sosial atau demografis tertentu. Definisi oleh Council of Europe, hate speech (2012) dipahami sebagai semua bentuk ekspresi yang menyebar, menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian rasial, xenophobia, anti-semitisme atau lainnya dalam bentuk kebencian berdasarkan intoleransi, termasuk: intoleransi nasionalisme agresif dan etnosentrisme, diskriminasi, dan permusuhan terhadap kelompok minoritas, migran, dan orang-orang asal imigran".[8]

Eriyanto menjelaskan bahwa hate speech juga merupakan bagian dari marjinalisasi di mana seseorang atau sekelompok orang digambarkan. [9] Dalam hal ini, marjinalisasi dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

  1. Eufimisme (penghalusan makna), umumnya digunakan untuk memperhalus “keburukan”. Eufimisme banyak dipakai oleh media serta banyak dipakai untuk menyebut tindakan kelompok dominan kepada masyarakat bawah, sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama menipu rakyat.
  2. Disfemisme (pengasaran bahasa) digunakan untuk “memburukkan” sesuatu.
  3. Labeling adalah pemakaian kata-kata yang ofensif kepada individu, kelompok, atau kegiatan.
  4. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di sini, stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif, dan bersifat subjektif.

Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Ujaran kebencian di dunia maya semakin membuat cemas masyarakat. Tidak terbatasnya ruang dalam jejaring internet menjadikan perbuatan itu bisa menyasar siapa pun untuk menjadi korban ataupun menjadi pelakunya. Ujaran kebencian merupakan kejahatan yang rentan dilakukan karena mengingat semakin meningkatnya pengguna jejaring internet, maka semakin meningkat juga kejahatan akan yang terjadi. Ujaran kebencian seringkali dianggap remeh oleh masyarakat karena kurangnya sosialisasi mengenai hukum dalam penggunaan media sosial. Masyarakat banyak menganggap bahwa gagasan, ide, ataupun sarannya tadi tidak menimbulkan masalah hukum padanya. Namun pada kenyataannya apabila gagasan, ide, ataupun saran dari masyarakat tadi mengandung unsur penghinaan, provokasi, hasutan, ataupun berisi mengenai pencemaran nama baik, maka tidak akan terlepas dari jerat hukum. Hukum bisa saja dengan mudah memberikan sanksi kepada para pelanggarnya meskipun seorang pelanggar tidak mengetahui tindakannya itu merupakan sebuah pelanggaran. Oleh karena itu, masyarakat perlu bijak dalam menggunakan jejaring internet.[5]

Fenomena hate speech di Internet dan media sosial berbentuk meme. Meme ialah foto/gambar/komik mengenai capres maupun cawapres yang ditambahi tulisan atau dimodifikasi dengan menambahkan talking bubble. Meme atau gambar seperti itu bisa jadi untuk sekedar lucu-lucuan atau memang ditujukan untuk menjatuhkan atau merusak reputasi capres atau cawapres tertentu (smear campaign). Tak sedikit dari orang-orang kemudian menyebarluaskannya secara viral melalui media sosial, akun BBM, dan lain-lain. Ketika kita melakukannya, secara tak sadar kita sudah berada dalam lingkaran bernama cyberbullying. Dibandingkan bullying, istilah cyberbullying mungkin belum terlalu sering terdengar di telinga. Bullying seringkali diidentikkan dengan perilaku siswa-siswi di sekolah yang melakukan tindakan kekerasan kepada siswa siswi lain. Bullying biasanya dilakukan oleh pihak yang memiliki ‘status’ lebih tinggi kepada mereka yang ‘statusnya’ lebih rendah.[6] Cyberbullying juga dikenal sebagai Bullying atau kekejaman sosial secara online. Tindakan bullying bisa dilakukan dengan media Internet (email, pesan singkat, chat room, Website, situs game online, pesan digital) atau gambar-gambar yang dikirimkan melalui telepon seluler.[10]

Nancy Willard, seorang pengacara yang sekaligus merupakan Direktur dari Center for Safe and Responsible Internet Use di Amerika mengategorikan sembilan perilaku yang tergolong sebagai cyberbullying, yaitu:[11]

  1. Flaming yakni celaan, cercaan, atau hinaan kepada satu sama lain. Misalnya, twitwar di Twitter.
  2. Harassment yakni kata-kata atau tindakan yang bersifat memalukan, melecehkan, bahkan kadang membahayakan. Misalnya, menciptakan akun palsu yang anonim, kemudian membombardir pemilik akun yang menjadi sasaran dengan kalimat-kalimat atau ilustrasi yang menghina melalui akun tersebut.
  3. Denigration yakni informasi mengenai seseorang yang bersifat menghina dan tidak benar atau tidak sesuai dengan keadaan nyatanya. Informasi ini bisa dipampangkan di website atau disebarkan kepada orang lain melalui email, instant messaging, dan media-media lainnya.
  4. Impersonation yakni ‘mencuri’ atau ‘membajak’ akun milik seseorang dan menyampaikan informasi yang tidak benar.
  5. Outing and Trickery yakni membujuk seseorang untuk membagikan informasi mengenai diri mereka yang sifatnya pribadi, kemudian menyebarluaskan informasi itu kepada pihak lain.
  6. Exclusion/Ostracism yakni tindakan meng-unfriend, unshared, atau memutuskan hubungan dari media (sosial), di mana awalnya kedua pihak ini saling berhubungan/berteman.
  7. Cyberstalking yakni tindakan menguntit seseorang secara berulang dan melakukan komunikasi yang bersifat mengganggu dan mengancam, khususnya jika disertai dengan niatan untuk menakuti bahwa akan terjadi hal-hal yang membahayakan dirinya atau orang-orang lain di sekelilingnya.
  8. Video Recording of Assaults/Happy Slapping and Hopping yakni merekam perilaku seseorang yang bersifat memalukan dan mengunggahnya ke internet sehingga memungkinkan banyak pihak untuk dapat menonton dan mengomentari video tersebut.
  9. Sexting yakni mengirimkan atau mem-posting foto atau video telanjang atau setengah telanjang kepada seseorang yang bertujuan untuk mengganggu atau mempermalukannya. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa para korban akan merasa rendah diri, mengalami kecemasan sosial, konsentrasi yang menurun, perasaan terasing, bahkan pada tahap yang ekstrem, dapat mengakibatkan depresi dan keinginan bunuh diri.

Pada pengguna media internet di Indonesia sendiri, hate speech atau ujaran kebencian biasanya dilakukan pada aplikasi media sosial yang familiar di masyarakat seperti Facebook, twitter, instagram, dan sebagainya. Serta ada juga media dengan konten video seperti YouTube. Ujaran kebencian yang menyebar didunia maya semakin mengkhawatirkan. Tidak terbatasnya ruang bagi pengguna internet membuat perbuatan tersebut bisa menyasar siapapun menjadi korban maupun pelakunya.[12]

Definisi

Ujaran Kebencian

Konsep ujaran kebencian menyentuh pada benturan kebebasan berekspresi dan hak individu, kolektif, dan minoritas, serta konsep martabat, kebebasan, dan kesetaraan. Itu tidak mudah didefinisikan tetapi dapat dikenali dari fungsinya.[13]

Dalam perundang-undangan nasional dan internasional, ujaran kebencian mengacu pada ekspresi yang menganjurkan hasutan untuk menyakiti, termasuk tindakan diskriminasi, permusuhan, radikalisasi, kekerasan verbal dan/atau fisik, berdasarkan identitas sosial dan/atau demografis target. Ujaran kebencian dapat mencakup, namun tidak terbatas pada, ucapan yang menganjurkan, mengancam, atau mendorong tindakan kekerasan. Konsep tersebut dapat meluas juga ke ekspresi yang mendorong iklim prasangka dan intoleransi dengan asumsi bahwa ini dapat memicu diskriminasi yang ditargetkan, permusuhan, dan serangan kekerasan. Pada saat-saat kritis, seperti selama pemilihan politik, konsep ujaran kebencian mungkin rentan dimanipulasi; tuduhan menghasut ujaran kebencian dapat diperdagangkan di antara lawan politik atau digunakan oleh mereka yang berkuasa untuk mengekang perbedaan pendapat dan kritik. Ujaran kebencian (baik disampaikan melalui teks, gambar, dan/atau suara) dapat diidentifikasi dengan pendekatan melalui fungsi merendahkan atau tidak manusiawi yang dilayaninya.[13]

Sarjana hukum dan ahli teori politik Jeremy Waldron berpendapat bahwa ujaran kebencian selalu mengandung dua pesan: pertama, membiarkan anggota kelompok luar merasa tidak diinginkan atau takut; dan kedua, untuk membiarkan anggota kelompok merasa bahwa keyakinan kebencian mereka adalah sah.[14]

Karakteristik ujaran kebencian online

Proliferasi ujaran kebencian online, yang diamati oleh Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk Isu Minoritas menimbulkan serangkaian tantangan baru.[15] Baik platform jejaring sosial maupun organisasi yang dibentuk untuk memerangi ujaran kebencian telah mengakui bahwa pesan kebencian yang disebarluaskan secara online semakin umum dan telah menimbulkan perhatian yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengembangkan tanggapan yang memadai.[16] Menurut HateBase, aplikasi berbasis web yang mengumpulkan contoh ujaran kebencian secara online di seluruh dunia, sebagian besar kasus ujaran kebencian menargetkan individu berdasarkan etnis dan kebangsaan, tetapi hasutan untuk kebencian yang berfokus pada agama dan kelas sosial juga meningkat. [17]

Sementara ujaran kebencian online secara intrinsik tidak berbeda dari ekspresi serupa yang ditemukan secara offline, ada tantangan khusus yang unik untuk konten online dan regulasinya. Tantangan-tantangan tersebut terkait dengan keabadian, itinerancy, anonimitas, dan karakter lintas yurisdiksi yang kompleks.

Permanen

Ujaran kebencian dapat tetap online untuk waktu yang lama dalam format yang berbeda di berbagai platform, yang dapat ditautkan berulang kali. Seperti yang dicatat oleh Andre Oboler, CEO Institut Pencegahan Kebencian Online, "Semakin lama konten tersedia, semakin banyak kerusakan yang dapat ditimbulkan pada korban dan memberdayakan pelaku. Jika Anda menghapus konten pada tahap awal, Anda dapat membatasi eksposur. Ini seperti membersihkan sampah, itu tidak menghentikan orang membuang sampah sembarangan tetapi jika Anda tidak menangani masalah itu hanya menumpuk dan semakin memperburuk."[18] Percakapan Twitter yang diatur seputar topik yang sedang tren dapat memfasilitasi cepat dan penyebaran pesan kebencian yang luas,[19] tetapi mereka juga menawarkan kesempatan bagi pembicara berpengaruh untuk menghindari pesan dan mungkin mengakhiri utas populer yang menghasut kekerasan. Facebook, sebaliknya, memungkinkan beberapa utas untuk melanjutkan secara paralel dan tidak diperhatikan; menciptakan ruang tahan lama yang menyinggung, mendiskriminasi, dan mengejek individu dan kelompok tertentu.[13]

Perjalanan

Ujaran kebencian online bisa jadi bersifat keliling. Bahkan ketika konten dihapus, mungkin menemukan ekspresi di tempat lain, mungkin pada platform yang sama dengan nama yang berbeda atau pada ruang online yang berbeda. Jika sebuah situs web ditutup, ia dapat dengan cepat dibuka kembali menggunakan layanan hosting web dengan peraturan yang tidak terlalu ketat atau melalui realokasi ke negara dengan undang-undang yang memberlakukan ambang batas yang lebih tinggi untuk ujaran kebencian. Sifat ujaran kebencian yang berpindah-pindah juga berarti bahwa pemikiran yang dirumuskan dengan buruk, atau perilaku di bawah pengaruh, yang sebelumnya tidak mendapatkan ekspresi dan dukungan publik, sekarang mungkin mendarat di ruang yang dapat dilihat oleh banyak orang.[13]

Penyebab Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Penyebab seseorang melakukan kejahatan ujaran kebencian melalui media sosial sendiri salah satunya karena ada dalam diri atau pun luar diri pelaku yang kemungkinan menganggap kemajuan teknologi dan informasi bisa diakses secara cepat melalui berbagai media di internet.[20] Dengan demikian, kecanggihan teknologi dapat menjadi faktor untuk seseorang melakukan kejahatan, karena kecanggihan teknologi bisa mendorong seseorang untuk berbuat jahat atau memudahkan seseorang untuk melakukan kejahatan yang tentunya mengidentifikasi seseorang dalam berbuat jahat. Menurut Grande,[21] berbagai jenis kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan terhadap orang, kelompok orang, atau pun harta bendanya dengan latar belakang/motif kebencian atau prejudice pelaku terhadap korbannya semata-mata karena korban merupakan anggota kelompok (ras, etnis, kebangsaan, keagamaan, difabilitas, atau orientasi seksual.)

Ruri Rosmalinda menyebutkan,[22] Ujaran kebencian merupakan ujaran atau ekspresi verbal dan non verbal yang digunakan untuk merendahkan dan menindas atas dasar keanggotaan mereka dalam kelompok sosial atau etnis. Jika ujaran yang disampaikan dengan berkobar-kobar dan bersemangat itu ternyata dapat mendorong orang lain untuk melakukan kekerasan pada seseorang atau kelompok lain, Maka pada saat itu juga ujaran kebencian yang disampaikan berhasil mempengaruhi seseorang.

Terdapat beberapa penyebab terjadinya hate speech di media sosial dan di Indonesia:[6] Pertama, Adanya kesalahpahaman. Dalam ujaran kebencian bisa saja terjadi karena kesalahpahaman individu maupun kelompok akan suatu informasi yang didapat. Seseorang pasti akan langsung menuliskan ujaran kebencian tanpa menginformasikan kebenaran informasi tersebut. Kedua, Terbawa emosi. Salah satu faktor penyebab terjadinya hate speech dikarenakan terlalu terbawa emosi dalam memperoleh informasi. Hal ini sering terjadi, sehingga memancing keributan dan kebencian kepada siapapun. Ketiga, Tidak sependapat. Ini merupakan ekspresi seseorang apabila dia tidak menyukai dan tidak sependapat pada informasi yang diperoleh, Sehingga individu akan membuat ujaran kebencian dengan berkata kasar dan menyinggung pihak yang dikritik. Keempat, Adanya kebencian pribadi. Hal ini menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam ujaran kebencian

Adapun faktor-faktor penyebab pelaku melakukan kejahatan ujaran kebencian (hate speech) adalah sebagai berikut:[23]

  1. Faktor individu/pribadi Faktor kejiwaan individu, hal ini menyebabkan kejahatan seperti daya emosional, rendahnya mental, sakit hati dengan korban, dendam, dan lainnya.
  2. Faktor Ketidaktahuan Masyarakat. Faktor ketidaktahuan masyarakat juga merupakan penyebab terjadinya tindak kejahatan ujaran kebencian (hate speech). Kurangnya sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat inilah yang menyebabkan kejahatan ini terjadi di masyarakat yang tergolong tidak tahu akan adanya aturan mengenai kejahatan ujaran kebencian (hate speech) khususnya penghinaan.
  3. Faktor sarana dan fasilitas. Faktor sarana dan fasilitas juga berpengaruh pada era globalisasi seperti sekarang ini, hal itu juga berpengaruh pada tumbuh pesatnya media elektronik khususnya media internet sehingga penyebaran informasi semakin mudah, cepat, dan efektif untuk didapatkan. Sehingga seseorang kurang bijaknya menggunakan sarana media internet ataupun komunikasi serta tidak ada batasan dalam penggunaan alat komunikasi.
  4. Faktor kurangnya kontrol sosial. Faktor kurangnya kontrol sosial yaitu kurangnya kontrol internal yang wajar dari pihak atau lingkungan dalam keluarga yang seringkali tidak mau tahu akan kondisi anggota keluarganya tersebut. selain itu, ada pihak eksternal yang mana masyarakat tidak peduli akan kejadian-kejadian kejahatan yang terjadi di sekitarnya serta hilangnya kontrol tersebut dan tidak adanya norma- norma sosial atau konflik norma- norma yang dimaksud.
  5. Faktor lingkungan. Lingkungan adalah tempat utama dalam mendukung terjadinya pola perilaku kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain adalah lingkungan yang memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan dan lingkungan pergaulan yang memberi contoh dan teladan.
  6. Faktor ekonomi dan kemiskinan. Ekonomi sangat mempengaruhi pula terjadinya kejahatan ujaran kebencian (hate speech). Faktor ekonomi yang dapat memicu terjadinya kejahatan biasanya bermula dari keadaan ekonomi pelaku yang tergolong rendah, pengangguran, tidak berpenghasilan dan terdesak akan suatu kebutuhan- kebutuhan yang tinggi serta mendesak sehingga mendorong pelaku melakukan kejahatan ujaran kebencian (hate speech).
  7. Faktor kepentingan masyarakat. Masyarakat cenderung tidak memikirkan dampak apa yang akan terjadi dikemudian hari dengan melakukan kejahatan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial. Banyak masyarakat yang melakukan ujaran kebencian karena memiliki tujuan tertentu diantaranya mengenai hal pribadi, Politik, SARA maupun hanya sekedar ingin dikenal banyak orang.[20]

Dampak Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Ujaran kebencian (Hate Speech) berdampak pada pelanggaran HAM ringan hingga berat. Selalu awalnya hanya kata-kata, baik di media sosial, maupun lewat selebaran, tapi efeknya mampu menggerakkan massa hingga memicu konflik dan pertumpahan darah. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu tindakan dari para aparat dan penegak hukum khususnya kepolisian untuk mencegah dan melakukan tindakan preventif maupun represif dalam menangani kasus Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini. Apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa.[24]

R. Susilo[25] menerangkan bahwa yang dimaksud dari "menghina" adalah "menyerang kehormatan dan nama baik seseorang". Korban yang terkena dampak hate speech biasanya merasa malu. Menurutnya, penghinaan terhadap satu individu ada 6 macam yaitu: 1). Menista secara lisan; 2). Menista dengan surat/tertulis; 3). Memfitnah; 4). Penghinaan ringan; 5). Mengadu secara memfitnah; dan 6). Tuduhan secara memfitnah. Sebuah studi yang berjudul “Countering Online Hate Speech” yang dilakukan UNESCO tahun 2015 menyebutkan bahwa fenomena hatespeech secara online semakin berkembang dan menimbulkan beragam masalah baik di dalam maupun di luar Eropa. Hatespeech secara online merupakan salah satu tren utama dari tahun sebelumnya. Laporan ini juga menekankan bahwa hatespeech melalui media online sudah semakin pesat dan memiliki potensi untuk mencapai audiens yang lebih besar.[26]

Riset lain yang dilakukan oleh Yohan,[27] menyebutkan dampak dari perilaku hatespeech ini adalah bermasalahnya komunikasi verbal yang terjadi pada sejumlah mahasiswa yang berdampak seperti berkurangnya daya konsentrasi, frequensi, dan kesantunan dalam komunikasi akademik karena adanya keterikatan dengan komunikasi dunia maya. Kemudian berkurangnya rasa percaya diri mereka untuk berkomunikasi di kampus, khususnya dengan para dosen, karena adanya pelarian “curhat‟ di dunia maya.

HAM dan Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Selama ini, ujaran kebencian berdampak pada pelanggaran HAM ringan hingga berat, selalu awalnya hanya kata-kata, baik di media sosial, maupun lewat selebaran, tapi efeknya mampu menggerakkan massa hingga memicu konflik dan pertumpahan darah.[12]

Ujaran kebencian adalah menyerang personal atau agama suatu kelompok. Ujaran kebencian adalah ujaran kebencian, bukan kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat adalah satu upaya yang dibangun dengan cara yang nalar. Batasan antara ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat dapat dilihat dari apakah ucapan tersebut mengandung unsur mengancam seseorang atau golongan tertentu, dan apakah ucapan tersebut juga mengandung unsur kekerasan. Selain itu hal ini juga berdampak buruk bagi perlindungan hak asasi manusia (HAM), karena adanya indikasi intervensi dari penguasa untuk kasus-kasus yang dianggap sebagai ujaran kebencian, yang sebenarnya itu adalah bentuk-bentuk kritik yang dilakukan terhadap kinerja penguasa.

Kasus Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Di Indonesia, beberapa kasus yang terjerat Undang-Undang ITE, diantaranya:[28] 1) Seorang mahasiswa universitas di Yogyakarta dilaporkan karena menghina masyarakat Yogya melalui akun path. Ia dijerat pasal penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE. 2) Seorang pemilik akun twitter dinyatakan bersalah atas tindak pidana pencemaran nama baik salah satu anggota DPR akibat tweet yang dibuatnya, 3) Seorang blogger yang mengulas dugaan penyelewengan dana pungutan pada suatu sekolah, dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE oleh komite sekolah. 4) Seorang pasien rumah sakit mengeluhkan pelayanan rumah sakitnya melalui surat elektronik. Kemudian surat tersebut tersebar ke mailing list. Pihak rumah sakit menjerat pasien dengan pencemaran nama baik dalam UU ITE. 5) Seorang dosen, yang menyebarkan video pidato Gubernur melalui media sosial, dijerat pasal 28 ayat (2) UU ITE. Yaitu, mengenai penyebaran informasi kebencian, permusuhan individu berdasarkan SARA. 6) Gubernur Jakarta, dijerat pasal 28 ayat (2) UU ITE mengenai penyebaran informasi bermuatan SARA akibat tersebarnya video pidato yang mengandung penistaan agama. 7) Seorang guru SD terjerat UU ITE setelah menulis komentar di facebook dengan nada penghinaan. Ia melanggar pasal 27 (3) (Penyebaran informasi bermuatan penghinaan).

Hukum Indonesia dan Negara Lain tentang Ujaran Kebencian di dunia maya

Kebanyakan negara di seluruh dunia memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ujaran kebencian (Hate Speech), di Indonesia sendiri terdapat pengaturan dalam Pasal-pasal yang mengatur tindakan tentang ujaran kebencian (Hate Speech) terhadap seseorang, kelompok, ataupun lembaga.[29]

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan tindak pidana penyebaran ujaran kebencian adalah Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1) dan (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 52 ayat (4). Pasal 27 (1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Pasal 28

(1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.

(2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.

Pasal 45

(4) “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

Pasal 45A

(1) “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmenyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

(2) “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalamPasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjarapaling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

India (UU No. 21 tahun 2000 tentang Teknologi Informasi di India (The Information Technology Act No. 21 of 2000 in India)

Delik ujaran kebencian sebagai akibat penyalahgunaan internet untuk terdapat pada Bab XI (Chapter XI) Pasal 66 A Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Teknologi Informasi (The Information Technology Act No. 21 of 2000 in India). Rumusan tersebut tampak bahwa negara India sudah mengakomodasi dan mengakui keberadaan internet sebagai salah satu media elektronik, walaupun tidak menyebutkannya secara eksplisit dalam rumusan pasal di atas.[22]

Belanda (KUHP Belanda)

Ketentuan pidana denda dalam KUHP Belanda terdapat dalam Buku I Pasal 23.[22] Dalam KUHP Belanda Pidana denda dibagi ke dalam 6 (enam) kategori, dari kategori 1 hingga pada kategori 6. Adapun bentuk pengaturannya adalah sebagai berikut:

Section 23

There are six categories:

the first category, € 335

the second category, € 3,350

the third category, € 6,700

the fourth category, € 16,750

the fifth category, € 67,000

the sixth category, € 670,000

Dalam KUHP Belanda kategori I adalah dengan ancaman terendah/ringan dengan nominal 335 Euro di antara kategori lainnya, dan yang terberat terdapat pada kategori 6 yakni dengan nominal 670.000 Euro. Di Belanda ada pasal khusus tentang delik penghinaan Tuhan (Malign blasphemy) yang diatur dalam Pasal 147 sub-1 dan delik penyiarannya (Dissemination of malign blasphemy) yang diatur dalam Pasal 147a ayat-1 wvs Belanda. Untuk jelasnya dikutip kembali pasal-pasal yang bersangkutan sebagai berikut:

Article 147

“A term of imprisonment of not more than three months or a fine of the second category shall be imposed upon: (1) a person who publicly, either orally or in writing or by image religious sensibilities by malign blasphemies”; maksudnya diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda, kategori kedua barangsiapa di muka umum, dengan lisan, tulisan atau lukisan, melukai perasaan keagamaan dengan menghina Tuhan;

Article 147a (1)

“A person who disseminates, publicly displays or posts written matter or an image containing statomonts that offond religious sensibilities by reason of their malign and blasphemous nature, or who has such in stock to be disseminated, publicly displayed or posted, is liable to a term of imprisonment of not more than two months or a fine of the second category, where he knows or has serious reason to suspect that the written matter or the image contains such staternents” Maksudnya barang siapa menyebarkan, mempertontonkan secara umum atau menempelkan tulisan atau gambar yang mengandung pernyataan menghina perasaan keagamaan disebabkan sifatnya yang menghina Tuhan, atau mempunyai persediaan untuk disebarkan, dipertontonkan atau ditempelkan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua bulan atau denda kategori kedua, apabila ia mengetahui atau ada alasan kuat untuk menduga bahwa tulisan atau gambar itu mengandung pemyataan demikian.

Dengan adanya kata "blasphemous" di dalam perumusan pasal di atas pembuat UU telah membuat jelas bahwa ketentuan itu berkaitan dengan pernyataan-pernyataan yang melukai perasaan keagamaan tentang Tuhan (Supreme Being), sedangkan perasaan keagamaan tentang nabi atau Bunda Maria, tidaklah dilindungi. Dengan adanya kata "malignly” (bersifat menghina) membuat jelas, bahwa perdebatan agama yang objektif (tidak memihak) tidaklah dapat dipidana sekalipun perasaan keagamaan beberapa orang/kelompok orang tersinggung. Suatu pemyataan tidaklah "malign", sekalipun dapat melukai perasaan keagamaan, apabila tidak dimaksudkan untuk mencerca/memaki Tuhan.

Australia (Racial and Religious Tolerance Act 2001 Act No. 47/2001 Negara Bagian Victoria – Australia)

UU Toleransi Ras dan Agama.[6]

Act 7 : Racial vilification unlawful

(1) “A person must not, on the ground of the race of another person or class of persons, engage inconduct that incites hatred against, serious contempt for, or revulsion or severe ridicule of, that other person or class of persons”.

(2) “For the purposes of sub-section (1), conduct— (a) may be constituted by a single occasion orby a number of occasions over a period of time; and (b) may occur in or outside Victoria”.

Note: "engage in conduct" includes use of the internet or e-mail to publish or transmit statements or other material.

Act 8 : Religious vilification unlawful

(1) “A person must not, on the ground of the religious belief or activity of another person or class of persons, engage in conduct that incites hatred against, serious contempt for, or revulsion or severe ridicule of, that other person or class of persons”. Note: "engage in conduct" includes use of the internet or e-mail to publish or transmit statements or other material.

(2) “For the purposes of sub-section (1), conduct— (a) may be constituted by a single occasion or by a number of occasions over a period of time; and (b) may occur in or outside Victoria”.

Act 9 : Motive and dominant ground irrelevant

(1) “In determining whether a person has contravened section 7 or 8, the person's motive in engaging in any conduct is irrelevant”.

(2) “In determining whether a person has contravened section 7 or 8, it is irrelevant whether or not the race or religious belief or activity of another person or class of persons is the only or dominant ground for the conduct, so long as it is a substantial ground”. Incorrect assumption as to race or religious belief or activity In determining whether a person has contravened section 7 or 8, it is irrelevant whether or not the person made an assumption about the race or religious belief or activity of another person or class of persons that was incorrect at the time that the contravention is alleged to have taken place.

Act 11 : Exceptions—public conduct

“A person does not contravene section 7 or 8 if the person establishes that the person's conduct was engaged in reasonably and in good faith— (a) in the performance, exhibition or distribution of an artistic work; or (b) in the course of any statement, publication, discussion or debate made or held, or any other conduct engaged in, for— (i) any genuine academic, artistic, religious or scientific purpose; or (ii) any purpose that is in the public interest; or (c) in making or publishing a fair and accurate report of any event or matter of public”

Pencegahan Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Untuk mencegah terjadinya ujaran kebencian di dunia maya, literasi media digital perlu dilakukan agar masyarakat terutama generasi muda dapat memahami perbedaan antara mengekspresikan pendapat dan menyebar kebencian. Terdapat juga beberapa langkah pencegahan yang harus diperhatikan antara lain:[6]

  1. Mengungkap identitas kita di media sosial diperlukan saat ini. Terutama bagi orang yang sering memberikan komentar di media sosial.
  2. Berpikir cerdas dan rasional dalam menghadapi suatu permasalahan.
  3. Jangan memberikan komentar terhadap suatu masalah yang kita tidak menguasainya.
  4. Jangan memberikan komentar negatif atau penghinaan atau menghakimi orang lain yang belum kita kenal.
  5. Memproteksi dengan seksama akun media sosial yang kita miliki, sehingga tidak mudah diretas orang lain.
  6. Perlu diketahui bahwa pelaku dapat dilacak keberadaannya dan ditangkap walaupun menggunakan nomor dan alamat ip address palsu.
  7. Diperlukan pembahasan atau kajian yang mendalam bagi masyarakat tentang edukasi cyber crime dan UU ITE.
  8. Perlu pendidikan agama yang baik terutama pendidikan tentang perilaku dan akhlak atau budi pekerti.
  9. Membangun keluarga yang humanis, saling terbuka dan banyak memberikan suri teladan bagi anggota keluarga.
  10. Jangan memancing amarah orang lain.
  11. Jangan mudah percaya dengan orang lain di media sosial.
  12. Jangan ragu blokir pengguna yang memiliki karakter bully dan Hate speech.

Referensi

  1. ^ Goodall, Kay (2013-06). "Conceptualising 'racism' in criminal law". Legal Studies. 33 (2): 215–238. doi:10.1111/j.1748-121x.2012.00244.x. ISSN 0261-3875. 
  2. ^ Siahaan, Andysah Putera Utama (2018). "Pelanggaran Cybercrime Dan Kekuatan Yurisdiksi Di Indonesia". Jurnal Teknik dan Informatika. 5 (1): 6–9. 
  3. ^ Septanto, Septanto (2018). "Pengaruh HOAX dan Ujaran Kebencian Sebuah Cyber Crime Dengan Teknologi Sederhana di Kehidupan Sosial Masyarakat". Jurnal Kalbiscentia. 5 (2). 
  4. ^ Ningrum, Dian Junita; Suryadi, Suryadi; Chandra Wardhana, Dian Eka (2019-02-08). "KAJIAN UJARAN KEBENCIAN DI MEDIA SOSIAL". Jurnal Ilmiah KORPUS. 2 (3): 241–252. doi:10.33369/jik.v2i3.6779. ISSN 2614-6614. 
  5. ^ a b Hate Crime. Routledge. 2013-07-24. hlm. 139–157. ISBN 978-0-203-10742-3. 
  6. ^ a b c d e 1938-, Sjahdeini, Sutan Remy, (2009). Kejahatan & tindak pidana komputer. Grafiti. ISBN 978-979-444-452-8. OCLC 370369022. 
  7. ^ "Patroli Siber". patrolisiber.id. Diakses tanggal 2021-07-01. 
  8. ^ Febriyani, Meri (2018). "Analisis Faktor Penyebab Pelaku Melakukan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Dalam Media Sosial". Poenale : Jurnal Bagian Hukum Pidana. 6 (3): 1–14. 
  9. ^ "View of PENGGUNAAN INTERNET CERDAS SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA HATE SPEECH PADA REMAJA (DIDASARKAN SURAT EDARAN KAPOLRI NO. SE/6/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN) | Jurnal Pengabdian Hukum Indonesia". journal.unnes.ac.id. Diakses tanggal 2021-07-01. 
  10. ^ "Tinjauan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) – suduthukum.com". Diakses tanggal 2021-07-01. 
  11. ^ Soesilo, R (2013). Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Bogor: Politeia. 
  12. ^ a b Eriyanto (2011). Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. 
  13. ^ a b c d Countering online hate speech. Iginio Gagliardone, Danit Gal, Thiago Alves, Gabriela Martinez, Unesco. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 2015. ISBN 92-3-100105-1. OCLC 934885032. 
  14. ^ Waldron, Jeremy (2012). The Harm in Hate Speech. Cambridge, Mass.: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-06508-6. OCLC 835640673. 
  15. ^ "Addendum to the Human Right Council Thematic report of the Special Rapporteur on Violence, its Causes and Consequences". Human Rights Documents Online. Diakses tanggal 2022-07-12. 
  16. ^ Hendus, Ulrike (2014-12-23). ""See Translation": explicit and implicit language policies on Facebook". Language Policy. 14 (4): 397–417. doi:10.1007/s10993-014-9349-4. ISSN 1568-4555. 
  17. ^ Badjatiya, Pinkesh; Gupta, Manish; Varma, Vasudeva (2019). "Stereotypical Bias Removal for Hate Speech Detection Task using Knowledge-based Generalizations". The World Wide Web Conference on - WWW '19. New York, New York, USA: ACM Press. doi:10.1145/3308558.3313504. 
  18. ^ Oboler, Andre; Connelly, Karen (2014-12). "Hate speech: A quality of service challenge". 2014 IEEE Conference on e-Learning, e-Management and e-Services (IC3e). IEEE. doi:10.1109/ic3e.2014.7081252. 
  19. ^ Mathew, Binny; Dutt, Ritam; Goyal, Pawan; Mukherjee, Animesh (2019-06-26). "Spread of Hate Speech in Online Social Media". Proceedings of the 10th ACM Conference on Web Science. New York, NY, USA: ACM. doi:10.1145/3292522.3326034. 
  20. ^ a b Sainz), Gagliardone, Iginio. Gal, Danit. Alves, Thiago. Martinez, Gabriela (Martinez (2015). Countering online hate speech. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. ISBN 92-3-100105-1. OCLC 934885032. 
  21. ^ Yohan (2016). "Hate Speech dan Dampak Media Sosial Terhadap Perkembangan Komunikasi Akademik". Mawa`izh. 1 (2). 
  22. ^ a b c unesdoc.unesco.org https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231_eng. Diakses tanggal 2021-07-01.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  23. ^ Jubany, Olga (2016). "Backgrounds, Experiences and Responses to Online Hate Speech: An Ethnographic Multi-sited Analysis". Proceedings of the 2nd Annual International Conference on Social Science and Contemporary Humanity Development. Paris, France: Atlantis Press. doi:10.2991/sschd-16.2016.143. ISBN 978-94-6252-227-5. 
  24. ^ Ali, M (2010). "Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik (Kajian Putusan MK No.2/PUU-VII/2009)". Jurnal Konstitusi. 7 (6): 15–18. 
  25. ^ Purnama, Dendi (2018-07-30). "ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN DAN ENVIRONMENTAL PERFORMANCE TERHADAP ENVIRONMENTAL DISCLOSURE". Jurnal Riset Keuangan Dan Akuntansi. 3 (2). doi:10.25134/jrka.v4i1.1331. ISSN 2621-3265. 
  26. ^ Ekasakti, Aditiawarman, Mac; Universitas Ekasakti Raflis, Raflis; Universitas Ekasakti Marzona, Yessy; Universitas Ekasakti Sastra, Mahasiswa Fakultas; Universitas (2019-08-08). Hoax dan Hate Speech di Dunia Maya. Fakultas Sastra|Library. OCLC 1125131977. 
  27. ^ Kowalski, Robin M.; Limber, Susan P.; Agatston, Patricia W., ed. (2008-01-01). "Cyber Bullying". doi:10.1002/9780470694176. 
  28. ^ Kamalludin, Iqbal; Arief, Barda Nawawi (2019-05-27). "KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TENTANG PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYEBARAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI DUNIA MAYA". LAW REFORM. 15 (1): 113. doi:10.14710/lr.v15i1.23358. ISSN 2580-8508. 
  29. ^ Zulkarnain, Zulkarnain (2020-05-14). "UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MASYARAKAT DALAM KAJIAN TEOLOGI". Studia Sosia Religia. 3 (1). doi:10.51900/ssr.v3i1.7672. ISSN 2622-2019.