Iri (bahasa Inggris: envy) adalah emosi yang terjadi ketika seseorang tidak memiliki kualitas superior, prestasi, atau kepemilikan dan baik menginginkannya atau berharap bahwa yang lain tidak memilikinya.[1]

Potret seorang wanita gila atau monomaniak iri hati (juga bernama Hyena dari la Salpêtrière), oleh Théodore Géricault, sekitar 1819–1822, Museum Seni Rupa Lyon

Aristoteles mendefinisikan iri hati sebagai rasa sakit saat melihat nasib baik orang lain, digerakkan oleh "mereka yang memiliki apa yang seharusnya kita miliki".[2] Bertrand Russell mengatakan bahwa iri hati adalah salah satu penyebab paling kuat dari ketidakbahagiaan.[3] Penelitian terbaru mempertimbangkan kondisi di mana itu terjadi, bagaimana orang menghadapinya, dan apakah itu dapat menginspirasi orang untuk meniru orang-orang yang mereka iri.[4]

Perbandingan dengan kecemburuan

Kata-kata "iri hati" and "kecemburuan" sering digunakan dengan maksud yang sama dalam penggunaan sehari-hari, tetapi sebenarnya kedua kata tersebut merujuk pada dua emosi yang berbeda.[5] Kecemburuan merupakan rasa takut, atau akibat, dari kehilangan sesuatu yang dimilikinya atau orang lain yang melekat padanya (suatu peralihan afeksi seseorang yang mencintai, atas orang yang dicintainya, dalam bentuk yang umum). Sedangkan iri hati adalah suatu kebencian yang disebabkan karena orang lain memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya, dan ia menginginkannya bagi dirinya sendiri.[6] Jadi iri hati berkaitan dengan rasa ingin memiliki atas yang tidak dimilikinya, sementara kecemburuan berkaitan dengan rasa takut kehilangan atas miliknya.

Cemburu adalah emosi kompleks yang menimbulkan rasa curiga, marah, takut, atau terhina. Cemburu bisa menyerang orang dari segala usia dan kerap muncul saat seseorang merasa terancam. Emosi negatif ini bisa memengaruhi hubungan sampai merusak kesehatan mental. Cemburu umumnya dikaitkan dengan hubungan percintaan pasangan. Tapi, perasaan ini bisa dialami saudara kandung yang berebut perhatian orangtua, sampai sesama rekan kerja yang mencoba mengesankan atasan[7].

Pandangan Agama

Islam

Rasa iri hati atau hasad dalam Islam merupakan akhlak tercela. Karena hasad pada hakikatnya tidak menyukai apa yang Allah takdirkan. Merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain pada hakikatnya adalah tidak suka dengan apa yang telah Allah takdirkan dan menentang takdir Allah. Allah ta’ala berfirman dalam Al Qur'an,

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. an Nisa': 32)

Hasad juga menyebabkan sikap meremehkan nikmat yang ada. Maksudnya orang yang hasad berpandangan bahwa dirinya tidak diberi nikmat. Orang yang dia dengki-lah yang mendapatkan nikmat yang lebih besar daripada nikmat yang Allah berikan kepadanya. Pada saat demikian orang tersebut akan meremehkan nikmat yang ada pada dirinya sehingga dia tidak mau mensyukuri nikmat tersebut.[8] Cemburu yang dibolehkan adalah cemburu yang berdasarkan data dan bukti yang nyata. Sementara cemburu yang tidak boleh ialah cemburu yang tidak didasari bukti. Cemburu kedua ini berbahaya sebab bisa melahirkan fitnah[9].

Kekristenan

Baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ada berbagai penggambaran dari iri hari dan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan ini, hampir semua memiliki hasil yang dramatis.

Rasa iri dalam hati menyebabkan pelanggaran terhadap perintah kesepuluh dari "Sepuluh Perintah Allah". Kitab Suci menggambarkan dengan baik mengenai iri hati dalam perumpamaan yang disampaikan Nabi Natan saat hendak menyadarkan Raja Daud dari kesalahannya (2 Samuel 12:1-10); orang kaya dalam perumpamaan tersebut iri akan domba satu-satunya yang dimiliki si miskin dan akhirnya mengambil dombanya—serupa dengan yang dilakukan Raja Daud terhadap Uria (2 Samuel 11:1-27). Dan iri hati dapat menghantar seseorang sampai kepada perbuatan-perbuatan terjahat yang dapat dilakukannya (Kejadian 4:3-8, 1 Raja-raja 21:1-29).

 
Invidia (Iri hati) dalam "Tujuh Dosa Mematikan dan Empat Hal Terakhir", karya Hieronymus Bosch

Katolik

Karena iri hati menyebabkan timbulnya dosa-dosa lain maka Katekismus Gereja Katolik (KGK) memasukkannya dalam "Tujuh dosa pokok". Seseorang yang iri berarti bahwa ia kecewa atau cemburu atas keuntungan orang lain dan menginginkannya secara tidak wajar untuk dirinya sendiri dengan cara yang tidak adil. Sehingga seseorang melakukan dosa berat karena menginginkan yang jahat bagi sesamanya (Lihat: Bobot Dosa). Santo Gregorius Agung mengatakan bahwa iri hati menimbulkan kedengkian, fitnah, hujat, kegirangan akan kesengsaraan orang lain, dan menyesalkan keberuntungannya; sementara Santo Agustinus memandangnya sebagai "dosa setani" (diabolical sin). (KGK #2539)[10]

St. Yohanes dari Damaskus—sebagaimana dikutip oleh St Thomas Aquinas dalam Summa Theologia—mengatakan bahwa iri hati adalah satu jenis penderitaan, dan iri hati adalah penderitaan atas kebaikan orang lain.[11] Sehingga kebajikan yang adalah lawannya yaitu kebaikan hati; namun karena iri hati sering kali timbul akibat kesombongan, karena seseorang yang iri merasa dirinya layak untuk memiliki apa yang tidak dimilikinya, maka setiap orang yang telah dibaptis harus melatih diri untuk hidup dalam kerendahan hati. (KGK #2540)[10]

Apakah engkau ingin melihat Tuhan dimuliakan melalui engkau? Jika ya, bergembiralah atas kemajuan saudaramu dan engkau akan memberi kemuliaan bagi Tuhan. Karena hamba-Nya dapat menaklukkan iri hati dengan bergembira atas jasa-jasa orang lain, Tuhan akan dipuji.

Referensi

  1. ^ Parrott, W. G.; Smith, R. H. (1993). "Distinguishing the experiences of envy and jealousy". Journal of Personality and Social Psychology. 64 (6): 906–920. doi:10.1037/0022-3514.64.6.906. PMID 8326472. 
  2. ^ Rhetoric By Aristotle
  3. ^ Russell, Bertrand (1930). The Conquest of Happiness . New York: H. Liverwright. 
  4. ^ Duffy, Michelle K.; Lee, KiYoung; Adair, Elizabeth A. (21 January 2021). "Workplace Envy". Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior. 8 (1): 19–44. doi:10.1146/annurev-orgpsych-012420-055746. Diakses tanggal 13 September 2021. 
  5. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Parrot,Smith,1993
  6. ^ Neu, J., 1980, "Jealous Thoughts," in Rorty (ed.) Explaining Emotions, Berkeley: U.C. Press.
  7. ^ https://health.kompas.com/read/2020/10/15/210300268/apa-itu-cemburu-?page=all
  8. ^ Al Utsaimin, Muhammad bin Shalih, "Bahaya Hasad" Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine., Muslim.Or.Id
  9. ^ https://muslim.okezone.com/read/2020/07/10/330/2244583/cemburu-menurut-pandangan-islam
  10. ^ a b c "Catechism of the Catholic Church - The Tenth Commandment". Holy See. 
  11. ^ Thomas Aquinas. "The Summa Theologica II-II.Q36.A1 (Envy - Whether envy is a kind of sorrow?)" (edisi ke-1920, Second and Revised Edition). New Advent.