Korupsi di Indonesia

Perkembangan korupsi di Indonesia juga sudut pandang pemberantasan korupsi di Indonesia.

.

KPK Building Kuningan Jakarta

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekadar suatu budaya dan kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antarnegara, Indonesia selalu menempati posisi paling tinggi. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan oleh pihak masyarakat sendiri.

Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum mampu atau menunjukkan titik terang melihat peringkat.

Meskipun tidak menjamin korupsi menjadi berkurang, perlu dilaksanakan untuk melakukan revisi secara komprehensif terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi[1].

Pemberantasan korupsi di Indonesia

Pemberantasan korupsi di Indonesia dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

Orde Lama

Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960

Antara 1951–1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian diberedel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.

Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.

Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Soeharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Soeharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Soeharto menjadi ketua Senat Seskoad[2][3].

Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971

Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.

Reformasi

Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:

  1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
  2. Komisi Pemberantasan Korupsi
  3. Kepolisian Negara Republik Indonesia
  4. Kejaksaan Republik Indonesia
  5. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan[4].

Upaya Penanggulangan Kejahatan Korupsi dengan Hukum Pidana

Upaya Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan Politik kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application) (Nawawi Arif : 2008), Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal), upaya penal dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberi penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi, salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang independen yang khusus menangani korupsi, menyediakan sarana bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh lembaga Pemerintah baik dari eksekutif, legislatif, yudikatif, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia serta deretan pegawainya dan lain sebagainya, lembaga tersebut harus memberikan edukasi kepada pemerintah dan masyarakat, lembaga independen Ombudsman patut mengembangkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004)[5]

Daftar pustaka

Referensi

  1. ^ https://e jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/234/pdf
  2. ^ http://digilib.uinsby.ac.id/8064/4/BAB%20II.pdf
  3. ^ https://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/index.php/2015-08-20-05-19-20/korupsi
  4. ^ https://acch.kpk.go.id/id/jejak-pemberantasan/7-uu-20-tahun-2001-perubahan-uu-31-1999-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi
  5. ^ http://akperrsdustira.ac.id/wp-content/uploads/2017/07/Buku-Pendidikan-Anti-Korupsi-untuk-Perguruan-Tinggi-2017-bagian-2-.pdf