Haji Darip
Haji Darip atau Muhammad Arif adalah seorang pejuang kemerdekaan dan ulama Indonesia. Darip, lahir di Klender, Jakarta Timur pada 1886. Ia tidak menempuh pendidikan formal. Pelajaran membaca dan menulis diperolehnya dari temannya. Ia putra bungsu dari tiga bersaudara buah pasangan dari H. Kurdin dan Hj. Nyai.
Perjuangan kemerdekaan
Sebelum menjadi ulama ia pergi ke tanah suci Mekah dan Madinah, selama 2 tahun untuk memperdalam ilmu agama. Selama di sana, dia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh Islam dari berbagai negara. Sekembalinya ke Tanah Air. Ia mengawali perjuangan dengan berdakwah di sebuah mushala kecil yang kini berubah menjadi Masjid Al-Makmur yang cukup megah di Klender. Di Klender, H. Darip bergabung dengan sejumlah ulama dari Klender yang juga pejuang seperti KH Mursyidi dan KH Hasbiallah. Keterlibatan Darip dalam perjuangan merebut kemerdekaan dimulai pada masa pendudukan Jepang. Pada 1 Maret 1942, bala tentara Jepang mendarat di Banten. Beberapa hari kemudian, mereka memasuki Kota Jakarta. Setelah beberapa bulan Tentara Pendudukan Jepang berada di Jakarta, keadaan kota bukanlah lebih baik. Dimana-mana mulai kesulitan memperoleh bahan pokok seperti beras, jagung, dan barang kelontong lainnya. Kebutuhan pokok rakyat Jakarta dibawa oleh tentara Jepang melalui pelabuhan Tanjung Priok entah mau dibawa kemana .
Kesulitan untuk memperoleh bahan pokok dirasakan oleh hampir seluruh rakyat di Jakarta. Di pinggir-pinggir jalan mulai kelihatan banyak rakyat yang kelaparan. Badannya kurus dan kering, pakaian yang dikenakan seadanya. Dengan keadaan yang semakin menyengsarakan rakyat Indonesia, H. Darip kemudian memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para jawara untuk melakukan perlawanan terhadap tentara pendudukan Jepang. Dengan kalahnya tentara Jepang terhadap Sekutu, para pemimpin pergerakan melawan tentara pendudukan berdatangan dan menginap di kediaman H. Darip, di antaranya adalah Soekarni, Kamaludin, Syamsuddin, dan Pandu Kartawiguna. Mereka menginap di rumah H. Darip dan menyatakan bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan mereka membicarakan pengusiran terhadap orang-orang Jepang. H. Darip memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu dan mengusir tentara Jepang di Pangkalan Jati, Pondok Gede, Cipinang, Cempedak, sepanjang Kali Cipinang dan lain-lain.[1]
Setelah Jepang menyerah dan kembali ke negerinya, Belanda dan tentara sekutu berusaha kembali menjajah Indonesia. H. Darip bersama pasukannya yang tergabung dalam Barisan Rakjat Indonesia (BARA)[2] bersiap-siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Soekarno saat rapat akbar di Klender.[1]
Dengan mengatasnamakan perjuangan, BARA merajalela di wilayah Klender dan sekitarnya. Sebagai korban, mereka kerap memeras masyarakat dari golongan orang Indo, Tionghoa dan etnis-etnis yang didentikan sebagai antek Belanda. "Orang yang beruntung memiliki kulit berwarna akan dibiarkan hanya membayar setara dua gulden dengan mata uang di masa pendudukan Jepang lalu berteriak memekikan kata 'merdeka'," ungkap Cribb dalam buku Gangster and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949.
Tentu saja pemaparan miring tentang Haji Darip versi Cribb itu ditentang keras oleh keluarga sang haji. Menurut Achmad Khurriyani, salah seorang putra Haji Darip, alih-alih menjadi pemeras Haji Darip malah merupakan pelindung para para pedagang Tionghoa dari penjarahan yang dilakukan oleh para bandit setempat.
"Orang-orang Tionghoa itu datang ke rumah dan meminta foto bapak saya lalu memperbanyaknya. Mereka menempelkan foto bapak di pintu-pintu rumah dan toko-toko sehingga gerombolan bandit yang akan merampok langsung mengurungkan niat jahatnya begitu melihat foto bapak tersebut," ungkap lelaki yang dikenal sebagai Ustaz Uung itu.[2]
Pada suatu penyerangan, Klender berhasil diduduki Belanda dan sekutu sehingga H. Darip dan pasukan BARA hijrah ke beberapa tempat seperti Tambun, Cikarang, Lemah Abang, Bekasi, Cikampek, Karawang hingga ke Purwakarta dan membentuk BPRI (Barisan Pejuang Rakyat Indonesia) Jakarta Raya. Di tempat persembunyiannya di Purwakarta, ia menyusun strategi melawan Belanda. H. Darip dianggap oleh Belanda sebagai orang yang berbahaya. Belanda menyebar mata-mata untuk menangkap Darip dan memenjarakannya.[1]
Saat akan menyusul Bung Karno ke Yogyakarta, pasukan Haji Darip diadang satu kekuatan pasukan Belanda yang cukup besar di daerah Sadang. Kendati awalnya bisa mengimbangi, namun lambat laun amunisi pasukan Haji Darip pun habis. Dalam situasi seperti itulah, Haji Darip kemudian berhasil ditangkap oleh militer Belanda.
Haji Darip lantas dibawa ke sel Polisi Militer di Kebayoran, Jakarta. Di penjara tersebut, Haji Darip mengalami berbagai siksaan kejam dan perlakuan tak manusiawi dari militer Belanda. Pada 1978, kepada jurnalis Titiek WS dari Majalah Dewi, Haji Darip mengeluhkan jika bekas siksaan itu masih terus membekas seumur hidup.
Tidak lama di Kebayoran, Haji Darip lalu dipindahkan ke Penjara Glodok. Akhir 1949, dua anak buah Haji Darip bernama Ismail dan Gozali Buntung, memimpin sekelompok pejuang menyerbu Penjara Glodok. Mereka berhasil membebaskan Haji Darip dan memulangkannya kembali ke Klender, Jakarta Timur.[2]
Akhir hayat
Setelah penyerahan kedaulatan RI pada akhir Desember 1949, H. Darip dibebaskan dari penjara. Ia tidak memperdulikan gelar veteran dan pahlawan. Ia menghabiskan waktu untuk berdakwah di Klender dan sekitarnya. H. Darip meninggal di Jakarta pada 13 Juni 1981 dan dimakamkan di Pemakaman Wakaf Ar-Rahman Jalan Tanah Koja II, Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur.[1]
Penghormatan
Pada tahun 2022, pemerintah DKI Jakarta mengganti Jalan Bekasi Timur Raya di kawasan Jakarta Timur menjadi Jalan Haji Darip.[2]