Prasasti Hujung Langit
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Prasasti Hujung Langit adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di desa Hakha Kuning peninggalan dari zaman keratuan Sriwijaya, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat, Indonesia. Aksara yang digunakan di prasasti ini adalah Aksara Pallawa dengan Bahasa Melayu Kuno.[1][2][3] Tulisan pada prasasti ini sudah sangat aus, namun masih teridentifikasi angka tahunnya 919 Saka atau 997 Masehi. Isi prasasti diperkirakan merupakan pemberian tanah Sima, supaya dipergunakan untuk pemeliharaan bangunan suci. Prasasti tersebut menggunakan huruf Kawi varian Sumatera Kuno dan Bahasa Melayu Kuno[4][5][6][2].
Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku "Epigrafi dan Sejarah Nusantara" yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta tahun 1995 halaman 26 sampai 45 diketahui bahwa nama Raja yang bertahta tertulis pada Prasasti Hujung Langit di baris ke-7 adalah Baginda Haji Yuwa Rajya Punku Syri Haridewa[7][8][6][2][3].
Seorang ahli sejarah Lawrence Palmer Briggs dalam jurnalisnya di Abad ke-19 Masehi, sekitar tahun 1950. menyebutkan bahwa Abad ke-7 Masehi sekitar tahun 683 Masehi, yang berlangsung sejak tahun 501 Masehi hingga 600 Masehi, Ibukota Sriwijaya terletak di daerah pegunungan perkiraan jauh dari Palembang. Tempat itu di Payungi oleh dua Gunung dan dilatari sebuah Danau. Itulah sebabnya Sailendra dan keluarganya disebut "Family of the King of the Mountains" (Dailendravarmsa)[9][6][2][3].
Gelar Pu yang bersanding dalam kata DAPUNTA maka gelar dapunta harus diperuntukkan bagi orang yang amat tinggi kedudukannya. Kehormatan yang amat tinggi itu ditunjukkan dengan bubuhan da-, -ta, dan sebutan "Hyang". inilah keterangan makna gelar Pu dalam buku Sriwijaya yang di tulis oleh Prof. Dr. Slamat Muljana[10][6][2][3].
Sedangkan gelar Haji (Aji) adalah arti yang umum untuk "Raja", dipakai untuk menyebut seseorang dalam hubungannya dengan wilayah kekuasaannya (Ayatrohaedi, 1979: hal 79). Arti kata yang sama juga diberikan oleh Petrus Josephus Zoetmulder (1995: hal 327) yang menyebut bahwa Haji dapat diartikan sebagai Raja, Keluarga Raja, Pangeran, Seri Baginda, Yang Mulya[11][12][6][2][3].
Isi
Terdapat tulisan 16 baris dbersama goresan membentuk pisau belati. Pisau belati tersebut digambarkan terhunus dengan mata belati menghadap ke arah Timur. Penetapan suatu daerah menjadi sima tentunya dengan alasan bahwa di tempat tersebut terdapat suatu bangunan suci. Hal ini mengindikasikan sesuatu peristiwa penting terjadi disana.[13] Haji Yuwa Rajya Punku Syri Haridewa ialah Raja di Hara Kuning Abad ke-9 hingga mendekati Abad ke-13 kemudian ditaklukkan oleh orang-orang saleh dengan Bahasa Melayu Kuno pada jaman itu sidang saleh ahli kelompok orang-orang saleh, sidang saleh ini khusus nenunjukkan 4 khalifah Sakala Brak di tahun 1289 Masehi, Kepaksian Sakala Brak kuno ditaklukkan kemudian berdirilah kerajaan Islam. Se-zaman dengan Jaman keemasan peradaban islam dengan salah satu tokoh insinyur Sipil Al-Farghani dan Aljazari. Kepaksian didalam konotasi istilah sekarang adalah Kerajaan[6][14][2][3].
Didalam Prasasti Hujung Langit ini tertulis pula pejabat yang mengiringi dalam penetapan sima yaitu Hulun Haji yang melayani Raja, Juru Pajak, Pamngat Juru Ruhanan (Pengawas para pejabat), Pramukha Kabayan, Juru redap, Juru Pajabat (Petugas yang menyambut Raja), Juru Samya (orang yang berkuasa pada derajat yang lebih rendah (desa)), Juru natalan (Juru tulis), Juru Mabwan (Pejabat menangani tenaga kerja), dan Rama (pejabat tingkat banwa). Tersebut di Prasasti Telaga Batu Sumatra yang diperkirakan berasal dari tahun 686 Masehi tiga kategori Pangeran yaitu: Yuwaraja (Putra Mahkota), Pratiyuwaraja (Putra Mahkota ke dua), dan Raja kumara (Putra mahkota lainnya) (Johannes Gijsbertus de Casparis, 1956: hal 17; 1976: hal 69; Kulke, 1991: hal 9).Raja muda ini sebelum menjadi Raja yang berkuasa penuh diberi kedudukan sebagai raja disuatu daerah atau wilayah (Soemadio (ed), 1993: hal 410[15][16][17][18][2][3].
Fakta Artefak
Fakta artefak prasasti hujung langit Kepaksian Sakala Brak "Kerajaan Adat Paksi Pak Sakala Brak" pra Islam adalah Kerajaan Islam yang eksistensi nya kokoh berdiri di tanah Lampung seiring dengan datangnya Islam oleh para Mujahid dari Samudra Pasai yang telah melakukan mustatin syi'ar Islam di Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar Kerajaan Siguntur. Penabalan 4 khalifah zuriah Sultan Ratu Ngegalang Paksi bertahta di atas puncak gunung pesagi pada tanggal 29 Rajjab 688 Hujarat Rasulullah SAW dengan simbol bendera peperangan AL-LIWA ditancapkan di Hakha Kuning. Tempat di tancapkan nya AL LIWA tersebut bernama Liwa, di liwa ini pula didirika Pesanggerahan para Sultan paksi pak Sakala Brak. Sebutan PUNKU hingga saat ini dipertahankan serta di pergunakan sebagai rujukan kebangsawanan Raja sang Sultan yang bertahta di kepaksian seorang laki-laki keturunan lurus tak terputus tertua dari garis ratu dari para penakluk yang bertahta di kepaksian. Struktur organisasi adat di dalam kepaksian ini mencakup sejarah terutama sejarah penaklukan yang Istana pusat pemerintahan Adat nya masih berdiri kokoh hingga sekarang. Di Hanibung terdapat di atas aliran sungai Way Semaka Situs Batu Brak peninggalan dari sang sultan bertahta pada jaman Awal Perjuangan syiar Islam, zaman sebelumnya tempat ini diyakini menjadi lokasi diadakannya hukum umum tempat upacara pengorbanan di masa lalu.[19] Tokoh Paksi Pak Sakala Brak dari zaman penyebaran Islam kepada umum merupakan Iskandar Zulkarnain sultan yang dipertuan, Sultan Ratu Mumelar Paksi, Sultan Ratu Ngegalang Paksi, 4 khalifah Sidang Saleh yang disebut Ampu atau Umpu, Umpu Pernong bertahta di Gedung Dalom Kepaksian Pernong jaman Orde baru Pangeran Edward Syah Pernong, Umpu Nyerupa bertahta di Gedung Pakuon era Orde Baru Salman Marga Dunia, Umpu Belunguh bertahta di Lamban Gedung, Umpu Bejalan Diway bertahta di Lamban Dalom, lambang dari empat khalifah ini yakni Cambai Mak Bejunjungan ialah tanaman pohon batang Sirih dengan 4 daun serta memiliki 7 buah/bunga yang berdiri kokoh tanpa sandaran. Di Kepaksian Pernong terdapat pula Gedung Dalom Pakuon di desa Pekon Balak, Batu Brak, Lampung Barat Provinsi Lampung Negara Indonesia[20][21][22][6][2][3].
Teks Prasasti
// swasti sri sakalawarsatita 919 margasiramasa. tithi nawami suklaspaksa;
//wa…wara…;
//…Wuku kuninan…;
// … tatakala… satanah sahutan..;
// tatkala punku haji … sri haridewa…;
Terjemahan menurut Damais (1995)
// Selamat, tahun Saka yang berlalu 919-, bulan Margasira…
//…. tanggal 9 paro terang…
//…hari Was, wuku kuningan…
// …ketika (dibebaskan) tanah dan hutan (dari pajak)…
// ketika yuwaraja… sri haridewa..
Kekuasaan Bercorak Otokratis
Kerajaan seiring berjalannya waktu paska penaklukan, Paksi Pak di taklukkan oleh Belanda, kemudian oleh penjajah belanda Kepaksian lalu di pecah-pecah menjadi marga-marga yang jauh dari pusat Kerajaan, karena Belanda khawatir akan terjadinya lagi pemberontakan. Gedung Dalom diberi bagian untuk memasung beberapa marga yaitu marga Buay Kenyangan, marga Suoh, marga Tenumbang, marga Ngambukh, marga Ngaras, marga Bengkunat, marga Belimbing, marga Way Napal yang memiliki perbedaan, jika di marga-marga lain mereka melakukan pemilihan saat di jadikan sebagai pasirah, namun untuk di Paksi Pak tidak diberlakukan di Kepaksian pasirah di berlakukan turun temurun mengadop system Kerajaan yang diberlakukan sebagai bentuk tanda rasa penghormatan Belanda kepada Ridder Sultan di Paksi Pak Kepaksia Sakala Brak yang telah di taklukkan oleh Belanda. Pada saat pembentukan marga-marga atau Bandar Belanda mewajibkan meminta persetujuan dari Paksi Pak sebagai Kebesaran Asal yang harus memberikan persetujuan[24][6][2][3].
Mendekati satu abad seiring waktu .. para turunan pasirah yang tidak mempunyai lagi pengetahuan bagaimana dibentuk nya system kemargaan dahulu yang notabene sebagai pemegang zona kemargaan yang jauh dari pusat kerajaan dan Belanda telah di anggap sebagai tuan yang baru, maka mulai lah coba-coba ikut memakai Panggilan Pun dengan tumpuan untuk area Kemargaan nya saja. Lamun banyak juga yang tetap istiqomah dan tetap menunjukkan penghargaannya kepada Paksi Asli Paksi Pak di Kepaksian dan tidak mau memakai panggilan larangan di jaman dahulu yang hanya di dikenakan kepada raja, Sultan yang bertahta, tidak turut-menurut karena mengharap ingin di anggap besar. Namun karena Paksi Pak sudah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka dari itu tentunya pemegang otoritas gelar itu sudah tidak bisa memberikan sangsi layaknya pada zaman kerajaan masih eksistensi dan berkuasa[25][6][2][3].
Istiqomah yang menunjukkan kebesaran seorang bangsawan yang berprilaku luhur dan terhormat dan tinggi derajat kedudukan nya serta kuat menjaga kemuliaan adat dengan tidak mau menggapil dan tidak mau ingin disebut besar dengan mendompleng di sebutan.. karena apa pun sebutan MEREKA TIDAK AKAN MUNGKIN DI ANGGAP SETARA dengan keturunan asli dari raja-raja KEPAKSIAN yang menetes dari garis lurus yang tidak terputus yang tertua dan hanya dari garis RATU.. dari sebuah kerajaan besar di tanah Lampung[26][6][2][3].
Terhadap beberapa keturunan-keturunan asli dari Raja paksi pak bertahta yang mendirikan kemargaan dan ditabalkan secara resmi oleh Paksi Pak yaitu sebagai pemegang adat Marga dan diberi kedudukan resmi. Pada jaman Belanda dahulu.. yang pantas dan boleh memakai panggilan sebagaimana di Paksi pak Sakala Brak seperti .. marga Liwa, lalu marga Ranau buay Pematang ribu.. karena mereka adalah tetesan asli dari Anak keturunan ratu dari Raja yang bertahta di Paksi pak Sakala Bkhak yang atas restu Kepaksian saat itu mendirikan kemargaan baru dan menjadi Saibatin Marga Keturunan raja asli di paksi pak Sakala Bkhak Kepaksian Sakala Brak sebagai penerus kerajaan zaman syiar Islam yang tetap mempertahankan eksistensi yang memang defacto dan denjure masih kokoh teguh bertahan dan juga di jadikan Payung kebesaran semua[27][6][2][3].
Walau prasasti Hujung Langi usianya telah berabad - abad lamanya, tetapi sebutan yang tertulis didalam prasasti tersebut masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Kepaksian, seperti sebutan Pun masih dipertahankan oleh masyarakat di sekitar Prasasti Hujung Langit (masyarakat adat Kepaksian) sebagai panggilan kehormatan bagi anak laki laki tertua dari keturunan Saibatin Raja Adat Dikepaksian dalam wilayah Kerajaan yang kini mengejawantah menjadi "Kepaksian Sakala Brak" dengan sebutan Lampung nya Kerajaan Paksi Pak Sakala Bkhak. Selain itu juga Jabatan Juru seperti dalam prasasti masih dipertahankan pula oleh masyarakat Adat Hususnya Sakala Brak (SKB) untuk orang-orang yang memiliki tugas khusus dalam adat, yang kini disebut Jukuan Lamban[6]. Gelar/Adok dari tingkat tertinggi adalah Sultan "Saibatin Raja Adat di Kepaksian" sedangkan tingkat tingginya ialah Jukuan lamban kepala Jukkuan Gelar Raja istri Batin, Perangkat Adat Gelar Batin Istri Khadin, Perangkat Adat Gelar Raden istri Minak, Perangkat Adat Gelar Minak istri Kimas, Perangkat Adat Gelar Kimas Istri Mas dan lainnya[28][6][2][3].
Lihat pula
Referensi
- ^ De Casparis, J.G., Indonesian Chronology, hlm. 24, E.J. Brill, Leiden/Koln, 1978. ISBN 90-04-05752-8. Diakses 3 Februari 2001.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o https://ikilhojatim.com/prasasti-hujung-langit-997m-jejak-invasi-kerajaan-medang-ke-pulau-sumatera-990-1005m/
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o https://rasindogroup.com/prasasti-hujung-langit/
- ^ http://id.dbpedia.org/page/Prasasti_Hujung_Langit
- ^ http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/tinggalan-arkeologis-di-situs-harakuning-lampung-barat/
- ^ a b c d e f g h i j k l m [https://rasindonews.wordpress.com/2022/04/17/haji-yuwa-rajya-punku-syri-haridewa-tokoh-yang-tersebutkan-dalam-prasasti-hujung-langit/
- ^ https://pustaka.kebudayaan.kemdikbud.go.id/index.php?p=show_detail&id=5076&keywords=
- ^ http://repositori.kemdikbud.go.id/13604/
- ^ https://www.amazon.com/Ancient-Empire-Lawrence-Palmer-Briggs/dp/B003URCI6E
- ^ https://tektonesiana.org/awangs-memoirs/250-prof-dr-slamet-muljana-dan-kontroversi-sejarah/
- ^ https://onesearch.id/Author/Home?author=P.J.+Zoetmulder
- ^ http://opac.library.um.ac.id/index.php?s_data=bp_buku&s_field=0&s_teks=Zoetmulder&mod=b&cat=1
- ^ https://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20156606.pdf
- ^ http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/tinggalan-arkeologis-di-situs-harakuning-lampung-barat/]
- ^ https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=20393095
- ^ https://onesearch.id/Author/Home?author=De+Casparis%2C+J.G
- ^ http://prosidingbalarjabar.kemdikbud.go.id/index.php/seminar/article/view/36
- ^ https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/d8eb9fe053293bcaead560b2f36612d2.pdf
- ^ https://ikilhojatim.com/prasasti-hujung-langit-997m-jejak-invasi-kerajaan-medang-ke-pulau-sumatera-990-1005m/
- ^ http://digilib.isi.ac.id/8978/4/DIMAS%20PURWADHARMA%20YUDHISTIRA_2021_JURNAL.pdf
- ^ http://repository.radenintan.ac.id/1194/4/BAB_III.pdf
- ^ https://pekalongan.suaramerdeka.com/nasional/pr-1812439029/berkunjung-ke-lampung-ganjar-pranowo-menjadi-keluarga-sultan-sekala-brak-kepaksian-pernong
- ^ https://rasindogroup.com/prasasti-hujung-langit/
- ^ https://www.medinaslampungnews.co.id/tatanan-adat-paksi-pak-sekala-bekhak/
- ^ https://www.academia.edu/31570524/BUDAYA_NASIONAL_SUKU_LAMPUNG_
- ^ https://www.orami.co.id/magazine/istiqomah
- ^ https://labrak.co/2021/01/marga-sistem-pemerintahan-aseli-dan-tumbuh-sejak-doeloe-di-sumbagsel-1/
- ^ https://rasindogroup.com/prasasti-hujung-langit/