Luhu, Huamual, Seram Bagian Barat

negeri di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku
Revisi sejak 25 Juli 2022 05.56 oleh 2001:448a:7008:d71e:f957:542a:ce49:7554 (bicara) (Masa Awal Negeri Luhu terbentuk atas empat kampung dari wilayah yang berbeda-beda. Ada tiga orang kaya/pemimpin dari Waran Leitu dibawah Kipati yang mengkonstruksi awal kehidupan sosial masyarakat Negeri Luhu karena mereka pertama kali tiba di Luhu, di samping kelompok masyarakat dari tiga kampung lain dari daerah yang berbeda-beda beserta tokoh sentralnya. Persis 1400 Masehi, Kipati, Lesi Kalua, Patihelat dan Kelitua, Loubesi dan Loiata menjadi tokoh awal pembentukan Negeri Luhu. Mereka masin)

Luhu merupakan ibukota Kerjaan Huamual. Kerjaan Huamualmemiliki tigaperiodisasi, periodisasi Huamual awal, Periodisasi Huamual Pertengahan dan Periodesasi Huamual akhir

Luhu
Negara Indonesia
ProvinsiMaluku
KabupatenSeram Bagian Barat
KecamatanHuamual
Kode pos
97562
Kode Kemendagri81.06.08.2003 Edit nilai pada Wikidata
Luas225,99 km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Masa Awal

Negeri Luhu terbentuk atas empat kampung dari wilayah yang berbeda-beda. Ada tiga orang kaya/pemimpin dari Waran Leitu dibawah Kipati yang mengkonstruksi awal kehidupan sosial masyarakat Negeri Luhu karena mereka pertama kali tiba di Luhu, di samping kelompok masyarakat dari tiga kampung lain dari daerah yang berbeda-beda beserta tokoh sentralnya.

Persis 1400 Masehi, Kipati, Lesi Kalua, Patihelat dan Kelitua, Loubesi dan Loiata menjadi tokoh awal pembentukan Negeri Luhu. Mereka masing-masing berasal dari Waran Leitu, Samaneri, Nuru Makatita dan Timul Pawail. (Rhumphius, 1910).

Sulit sekali menemukan data otentik mengenai awal keberadaan Kipati yang menurut sejarawan Belanda G. E Rumphius, berasal dari Banda, apakah itu Banda Naira yang berideologi Patasiwa atau Banda Naira yang berideologi Patalima, tidak disebutkan dengan jelas dalam sejumlah domentasinya yang terkenal. Begitupun dengan Samaneri yang berdiam di Warau, Makatita di Ruai, Timul Pawail di Pawae.

Kini, kampung-kampung pembentuk Luhu itu ada yang sudah berpindah tempat, hanya berupa nama tempat, bahkan ada yang menggunakan nama-nama kampung itu sebagai fam/marga dengan berbagai maksud dan tujuan.

Huamual dibagi atas dua bagian utama. De westkust van Hoamoal dan de ooskust van Hoamoal. Pantai Barat dan Pantai Timur Huamual. Pantai barat berpusat di Kambelo dan Pantai Timur berpusat di Luhu. Negeri/kampung di pantai barat meliputi : Eli Hatuaha, Batu Lobang, Esau, Oud Leside, Amaholu, Masili, Lesidi, Niboro, Temi, Erang, Henahuhol, Ulatu, Nulaha, Tapinalo, Asahudi, Tihumina, Nusa Ela, Hatahuli, Henatelu dan Kalike. Negeri/kampung di pantai timur meliputi : Sial, Waeputih, Liela, Saluku, Lusiela, Rora, Hulong, Loki, Sutela, Henalesi/Anin, Henawali, Pawail, Laala, Henakelang, Henatuban, Nulehu, Serulau (G. E Rumphius, 1910).

Masa Kekuasaan Utara

Sebelum kedatangan Portugis, sejumlah kerajaan di Utara telah membangun hubungan politik, hubungan dagang maupun hubungan kekerabatan melalui perkawinan dengan masyarakat di Huamual, sebuah kawasan histori utara yang di cita-citakan sebagai cikal bakal bandar perdagangan dan lumbung ekonomi terbesar di selatan selain Banda dan Hitu.

Hubungan empat kerajaan besar di Utara (Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan) turut mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik di selatan, khususnya Huamual. Timul dan Pawail misalnya. Sebagai clan pembentuk Luhu, Loubesi berasal dari Jailolo yang memimpin Timul. Loiata dari Alifuru menjadi kepala Pawail. Timul Pawail hidup rukun, beranak pinak dan turut membentuk Negeri Luhu bersama-sama.

Selain hubungan kekerabatan dan kebersamaan, Negeri Luhu juga menyimpan hubungan rivalitas yang kuat, tentunya dipengaruhi oleh Utara. Sejarawan asing menyebut traditional rival politic Ternate dan Tidore sangat kuat dari masa ke masa. Tradisi rivalitas itu juga sampai ke Negeri Luhu.

Mahadom sebagai orang yang pertama kali membawa Islam ke Negeri Luhu berpihak kepada Tidore dan Kipati yang berdarah Banda memiliki haluan politik mendukung Ternate. Ini merupakan bukti kuat bahwa hubungan Huamual sangat dipengaruhi utara, terutama empat kerajaan besar dengan persaingan disertai intrik politiknya.

Beberapa Kimelaha yang terdokumentasi memimpin masyarakat di Huamual adalah, berasal dari saudara sultan Ternate yang memerintah. Gubernur Huamual Basi Frangi terakhir memerintah 1611, Gubernur Huamual Sabadin  (1611 – 1619), Gubernur Huamual Leliato memerintah (1623 – 1638). Gubernur Huamual Hidayat (1650-1658) Selain itu ada Kaitjili Ali alias kapitan laut dan Kimelaha Luhu yang dieksekusi di Ambon pada 1632. Pati Kambelo, Tehelia dieksekusi oleh Belanda Desember 1643. Kimelaha Luhu dan Tehelia adalah menantu Kapitan Hitu Tepil. Tepil sendiri adalah cucu dari Jamilu, salah satu dari tiga Perdana Hitu. (Manusama, 1977)

Masa Kekuasaan Portugis

Ternate berpihak kepada Portugis. Setelah 1511 Alfonso de Albuquerque menaklukan Malaka, Ia mengirim laporan kepada Raja Portugis, bahwa pulau rempah telah ditemukan. Selanjutnya de Albuquerque mengirim Antonio de Abreu dan Francisco Serrao, 11 November 1511 menuju Maluku.

Mendengar kedatangan bangsa asing itu di Hitu, Sultan Bolief memerintahkan Pangeran Juliba  menjemput Francisco Serrao untuk dibawa ke Ternate. Mengendarai Sembilan kora-kora, orang asing mengenakan baju besi yang jauh hari telah dimimpikan sang sultan, terbukti sampai di Ternate. Serrao tinggal di Ternate, kemudian menjadi penasihat sultan.

Ternate mengikat Portugis dengan prospek dan keuntungan perdagangan cengkih. Lain pihak, Ternate membutuhkan kekuatan koalisi guna memperkuat kekuasaannya melebihi Tidore, Jailolo dan Bacan. Koalisi Ternate – Portugis ternyata memberi perubahan besar di Timur. Koalisi itupun turut mempengaruhi peta kekuasaan di Luhu dan Huamual.   

Di Huamual, 100 tahun setelah konsolidasi untuk membentuk Negeri Luhu, kental sekali pengaruh Ternate. Sultan mengirim karabat dekatnya untuk menjadi kimelaha/gimalaha. Menjadi gubernur di Huamual, cukup bergengsi. Maka sebegitu kuat Hubungan Huamual - Utara tersebut, bukan saja mempengaruhi orang-orang Huamual saja, tetapi juga turut mempengaruhi struktur kekuasaan di Ternate, sebagai kerajaan terkuat di utara atas tiga kerajaan lainnya.

Pengaruh Huamual tersebut dapat terjadi atas beberapa sebab.  Dari kepentingan ekonomi, orang-orang Huamual adalah pencetus revolusi pertanian di dunia, khususnya soal budidaya bibit cengkih, pembukaan lahan perkebunan,  panen serta perdagangan cengkih (harus ada penelitian lebih jauh).

Dengan pengetahuan dari pengalaman panjang tersebut tidak mengherankan bila tanah di Pulau Ambon juga dikuasai oleh dati yang orang-orangnya berdarah Huamual. Seperti Nurlette, Lisaholet, Waliulu dan sejumlah dati lainnya di Negeri Soya yang telah mengalami asimilasi dengan penduduk Pulau Ambon.

Orang-orang yang berdarah Huamual itulah yang pertama kali mengajarkan proses awal penanaman cengkih hingga panen cengkih. Mereka yang mengatur dan mengajarkan, maka hak kepemilikan tanah berada dibawah penguasaan mereka.   

Atas kepentingan ekonomi tersebut, sultan merasa Huamual adalah kawasan penting terlindungi, dan dikuasai sepenuhnya, sehingga penguasaan atas Huamual harus dikomandoi seorang gubernur dari karabat dekat sultan.

Selain kepentingan ekonomi dengan cengkihnya, kepentingan keluarga sultan dalam bentuk perkawinan serta penyebaran agama Islam  juga menjadi kekuatan hubungan Ternate – Huamual.     

Sangat menarik, pertengahan kekuasaan Portugis, menjelang kematian Sultan Hairun (1535-1570) Luhu, Kambelo dan Lesidi menjadi daerah rebutan Portugis dan Ternate. Dibutuhkan penelitian lanjut oleh sejarawan, sebegitu besar perhatian Sultan Hairun atas Luhu, Kambelo dan Lesidi, sehingga menjadi penyebab kematian sultan.

Banyak hal yang melatari kematian Sultan Hairun,  secara umum ada campur tangan Portugis dalam urusan politik kekuasaan kesultanan. Tetapi faktor  utamanya, pertama, kematian Sultan Hairun disebabkan konsistensi mempertahankan cengkih di Makian. Sesuai tradisi, hasil panen cengkih di Makian digunakan untuk membiayai dapur istana kesultanan Ternate dan Tidore. Tetapi Portugis kemudian mengambil hasil panen itu untuk kepentingan perdagangan Portugis. Sultan Hairun menolak cara portugis merusak tradisi kesultanan yang telah berjalan turun-temurun.

Faktor penyebab kematian Sultan Hairun yang kedua, adalah soal Luhu, Kambelo dan Lesidi. Sultan Hairun menolak dengan keras Veranula/Luhu, Kambelo dan Lesidi kepada Portugis. Sesuai doacao/landgrat Sultan Tabarija (Dom Manuel) dengan de Freitas pada 1537 kemudian dikukuhkan kembali dengan dokumen baru pemerintahan Portugis dalam tahun 1543 dan 1564. (Paramita R. Abdurachman, 2008).

Dokumen tertanggal Goa, 8 Oktober 1537 itu berisi : “Karena  telah menerima banyak bantuan dari Freitas, dan telah menjadi Kristen karena pertolongan itu, ia (Sultan Tabarija – Dom Manuel) dengan persetujuan ibunya (Niachile Boki Raja) dan Patinya (Serang) menghadiahkan tanah-tanahnya yang terletak di antara Buru, Ambon, Seram sampai Papua kepada Jurdao de Feritas, untuk di Garap, didiami dan di gunakan” (Paramita R. Abdurachman, 2008).

Berlatar perang yang dikobarkan putra mahkota Baab atas perintah Sultan Hairun untuk menaklukan Ambon dari Portugis dan kaum pribumi Kristen dengan mengirim 4000 tenaga tempur. Tentara Portugis dipimpin Concalo Pareira Marramaque. Diplomasi dapat ditempuh. Hairun meminta haknya atas Veranula/Luhu, kambelo dan Lesidi, tetapi Pareira menolak.

Sultan Hairun setelah naik tahta, mengambil kekuasaan dari saudara tirinya, Tabarija yang terlanjur menyerahkan Buru, Ambon, Seram sampai Papua kepada Jurdao de Feritas serta menyerahkan kekuasaan atas Ternate kepada Portugis. Sultan Hairun hanya meminta tiga daerah di Seram yang harus dipulangkan kepadanya. Tiga daerah itu adalah Luhu, Kambelo dan Lesidi, selanjutnya Portugis boleh mengambil Buru, Ambon, Seram sampai Papua. Tetapi permintaan itu ditolak. Hal itu membuat Hairun marah dan mengobarkan perlawanan kepada portugis.

Kemarahan Hairun dapat diminimalisir dengan kesepakatan damai berkat bantuan seorang fasilitator. Capitao Mesquita bersumpah dengan Injil di kepala, begitupun Hairun dengan Al-Quran, bahwa tidak akan ada lagi perselisihan diantara mereka. Akan tetapi, pagi hari, 28 Pebruari 1570, Mesquita menyuruh keponakannya Antonio Pimantel membunuh Sultan Hairun. Sultan Hairun terbunuh dan meninggal dunia saat itu juga. Selama Lima tahun benteng Portugis dikepung oleh semua sultan dan akhirnya 1575, Portugis menyerah. Sisa-sisa pasukan Portugis diusir dari Ternate menuju Ambon. (Paramita R. Abdurachman, 2008).

Masa Kekuasaan Belanda

Karena memiliki hubungan yang erat, kematian Hairun menyisakan duka mendalam bagi Hitu dan Luhu selain raja-raja lainnya di timur. Atas kebencian terhadap Portugis yang membunuh ayahnya, Sultan Baabullah terus mengkonsolidasikan kekuatan untuk mengusir Portugis bukan hanya dari utara, tetapi juga dari seluruh wilayah yang berada dibawah pengaruh Ternate.

Perubahan besar di Luhu dan Huamual, terjadi di masa kekuasaan Belanda. Kekuasaan Belanda atas Maluku di mulai juga dari Hitu. Bila Portugis datang mencari pulau rempah dan singgah di Hitu setelah terdampar di Banda dan Lucipara. Sebaliknya kedatangan Belanda, direncanakan oleh penguasa di Negeri Hitu.

Pada 1598, eskader Belanda dipimpin Jacob van Neck, Wijbrand van Wawijck dan Jacob van Heemskerck ditugaskan untuk mencari jalur pelayaran menuju pulau rempah.  Jacob van Heemskerck tiba di Hitu dan diterima oleh Kapitan Hitu. Wijbrand van Wawijck meneruskan perlayaran ke Ternate untuk bertemu Sultan Said.

Selanjutnya pada 1599 Steven van der Haghen juga tiba di Hitu. Ia mendapat ijin mendirikan Kasteel van Verre (Benteng Jauh) di Hila Kaitetu. Pada 1600 Jacob van Neck tiba di Hitu. Kesepakatan pun dibangun. Belanda  bebas dari pajak dan biaya bandar dagang, Hitu mendapat bantuan penuh mengusir Portugis wilayahnya.

Empat tahun setelah kedatangan Jacob van Neck, hubungan pelayaran dari dan menuju Hitu mulai lancar. Para pemimpin Hitu, 1604 mengirim putra dari Kapitan HituTepil, Hukum Ariguna of Mihirdjiguna ke Batavia, dengan tujuan meminta bantuan Belanda mengusir Portugis yang baru saja mendirikan benteng di Hitu kemudian Leitimur. Tepat pada 23 Pebruari 1605, Steven van der Haghen tiba untuk ke dua kali di Hitu. Dua hari kemudian, 25 Pebruari 1605, Capitao benteng Gaspar de Mello menyerah kepada Belanda. Maka berakhirlah kekuasaan Portugis di Maluku. Tamatlah riwawat Portugis di selatan.       

Hitu dan Huamual adalah satelit Kerajaan Ternate di selatan. Salah satu perdana dari empat Perdana Hitu, Perdana Jamilu berasal dari Kerajaan Jailolo. Jamilu selain bisa berbahasa Portugis, juga cerdik berdiplomasi dan memiliki kemampuan politik yang tinggi. Selain Jamilu, ada Perdana Tanihitumesing yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Ternate. Latukayoan misalnya, beranak pinak dan hidup hingga meninggal di Hitu. Hubungan perkawinan antara Hitu dan Ternate juga dapat ditemukan. Sifar Rijali, penulis Hikayat Tanah Hitu, bermukim untuk beberapa waktu di Ternate. Rijali dilahirkan dari rahim seorang ibu asal Ternate. Bahkan teman sekolah Imam Rijali di Pasantren Giri adalah Zainal Abidin, yang sekembalinya dari Giri dinobatkan sebagai Sultan Zainal Abidin, Sultan Tarnate yang mendedikasikan kekuasaannya untuk perkembangan agama Islam di negeri pulau rempah.  

Begitupun dengan Huamual. Maulana Mughdum (Mohudume) adalah salah satu murid di Pasantren Giri, dimana saat itu ilmu agama dan ilmu pemerintahan berberan penting dalam perubahan sosial masyarakat. Tidak mengherankan bila Mohudume merupakan figur penting di selatan dalam memperkuat Islamisasi di saat Portugis dan Belanda memfokuskan kristenisasi disamping perdagangan dan penguasaan wilayah.

Struktur Sosial Masyarakat

Negeri Luhu pada saat terbentuk memiliki struktur/hierarki sosial. Hal ini ditandai dengan adanya empat kelompok masyarakat yang berasal dari empat kampung berbeda-beda, serta memiliki tokoh sentral/pemimpin atau ‘orangkaya’.

Seperti disebutkan sebelumnya, awal pembentukan pada tahun1400 Masehi Luhu masih dalam proses untuk membentuk hirarki/struktur pemerintahan dan kekuasaan yang lebih luas. Masing-masing kampung memiliki figur sentral/pemimpin, namun belum ada kesepakatan membentuk sistim pemerintahan gabungan dari empat kampung pembentuk Luhu.

Konsolidasi untuk mengangkat pemimpin tunggal dari empat kampung pembentuk Luhu juga belum dilakukan. Hingga 100 tahun sejak kedatangan Portugis, 1512 belum ditemukan data otentik mengenai pemimpin tunggal yang menggerakan sosial pemerintahan masyarakat Negeri Luhu menjadi sebuah negeri yang kuat.

Meski demikian, upaya dan cita-cita bersama untuk mewujudkan pemerintahan di Luhu yang lebih luas mulai tergambar sesuai data yang disuguhkan G. E Rumphius mengenai hubungan 17 kampung di Pantai Timur Huamual yang berpusat di Luhu. Luhu sebagai pusat perdagang cengkih yang dipasok dari 17 daerah di pantai timur, menunjukkan adanya stabilitas politik, sosial dan ekonomi. Apabila stabilitas politik ekonomi dan sosial terujud, maka tidak menutup kemungkinan Luhu, di masa pemerintahan Belanda memiliki hierarki sosial yang baik.  

Tabel Empat Kampung Pembentuk Luhu*

KAMPUNG TOKOH TEMPAT ASAL KET
Waran Leitu Kipati

Waran Besi

Mahu Bessy

Luhu Tikan

Banda Dipimpin oleh Kipati serta tiga orangkaya
Samaneri Toi Mata Ena

Mata Ena Helu

Hua Linei

Kota Ulima Berpusat di Warau
Makatita Patihelat

Kelitua

Ruai/Ngara Lamo Tokoh Sentralnya Mohodum, orang pertama yang menyebarkan Islam di Luhu
Timul Pawael Loubesi

Loiata

Jailolo/Pawael Koalisi Alifuru dan Jailolo, Utara

* Rumphius, 1910


Referensi

  1. Manusama, Z.J. Hikayat Tanah Hitu – Historie en siciale structuur van de Ambonse eilanden in het algeen en van Uli Hitu in het bijzonder  tot het midden der zeventiende, Leiden 1977
  2. Rumphius, G. E, De Ambonse Historie – Behelsende een kort verhaal der Gedenkwaardiste Geschiedenissen zo in Vreede als oorlog voorgevallen sedert dat de Nederlandsche Oost Indische Comp. het bisit Ambon Gehadt Heeft. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde van Netherlandsch Indie, 1910
  3. Paramita R. Abdurachman, Bunga Angin Portugis di Nusantara, jejejak-jejak kebudayaan Portugis di Indonesia, Jakarta 2008.
  4. Des Alwi, Sejarah Banda Naira, Jakarta 2006  
  5. Bor, Livinus,  Amboinse Wars, oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn sebagai Superintendent, mengakhiri peperangan di wilayah Timur (A. Bon, Delft, 1663), 297-300
  6. Rumphius, Georg Everard,  Kepulauan Ambon di bawah VOC, sebagaimana tercatat dalam De Ambonse Land Description (Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers, Utrecht, 2002), 122-123
  7. Rumphius, Georg Everard,  Ambonsche Historie (Kontribusi pada Linguistik, Tanah dan Etnologi Hindia Belanda 10, 1910), II, 93
  8. Bor, Livinus,  Amboinse Wars, oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn sebagai Superintendent, mengakhiri peperangan di wilayah Timur (A. Bon, Delft, 1663), 297-300
  9. Rumphius, Georg Everard,  Kepulauan Ambon di bawah VOC, sebagaimana tercatat dalam De Ambonse Land Description (Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers, Utrecht, 2002), 122-123
  10. Rumphius, Georg Everard,  Ambonsche Historie (Kontribusi pada Linguistik, Tanah dan Etnologi Hindia Belanda 10, 1910), II, 93
  11. Valentijn, François,  Hindia Timur Lama dan Baru (Dordrecht/Amsterdam, 1724-1726)