Toaya, Sindue, Donggala
Toaya adalah desa di kecamatan Sindue, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia.
Toaya | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Sulawesi Tengah |
Kabupaten | Donggala |
Kecamatan | Sindue |
Kode pos | 94353 |
Kode Kemendagri | 72.03.10.2005 |
Luas | 23.540 ha |
Jumlah penduduk | 3.327 |
Kepadatan | - |
SEJARAH DESA
Arti Desa Toaya mengandung 2 (dua) versi yakni :
To = Kata singkat untuk sebutan bagi seseorang
Aya = Kata untuk mewakili sebutan umum hewan baik yang telah dipelihara atau yang masih liar.
Toaya adalah Sebuah lembah atau tempat orang untuk menangkap Hewan dan kemudian di pelihara hingga menyerupai tempat penggembalaan. Kata Toaya berasal dari kata To iya yang diberikan oleh Raja Makassar dan Sultan Solo sebuah julukan yang berarti orang yang di Tua kan dan terpuji baik dari segi keperkasaan, ilmu Pengetahuan ataupun Kasta. Terpengaruh oleh dialek Rai maka dari waktu kewaktu pengucapan Kata To iya berubah menjadi Toaya yang memang lebih mudah Untuk diucapkan.
Masyarakat Desa Toaya berasal dari Kayu Eo yakni sebuah Tempat pemukiman yang dalam tutura sering disebut merupakan sebuah Kerajaan kuno jauh sebelum masuknya penjajahan belanda yang di pimpin oleh seorang perempuan Sebagai raja yang bernama Yempe Bulava dan melahirkan Sembilan anak yang terdiri dari Dua Laki-laki dan Tujuh Putri dari Hasil perkawinannya dengan Seorang lelaki pilihan yang berasal dari sebuah Kerajaan Tua dengan tahta kamagaua yang sangat tinggi yakni Sandu Negeri Titisan Tomanuru. Delapan anak Dari Sembilan berkeluarga itulah disebar ke beberapa daerah mulai dari wilayah selatan Kaili Kulawi Lindu hingga ke utara mencapai Kalangkanga yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Toli-toli. Wilayah Kayu Eyo tersebut terletak di pedalaman Timur laut Desa Toaya antara Ape dan Olo sekarang yang memiliki wilayah kedaulatan termuda dalam sejarah yang sempat tercatat dan diabadikan dengan nama daerah meliputi Tondo bagain Palu Palu dan Tondo wilayah Sirenja. Setelah terjadi proses perkembangan kehidupan yang begitu lama dan bentangan waktu mulailah terjadi perobahan budaya mengikuti pergeseran zaman ditambah lagi perkembangan penduduk semakin tinggi juga ekses dari peristiwa-peristiwa baik yang tercipta secara alami atau yang disebabkan oleh manusia itu sendiri.
Akhirnya beranjak dari wilayah pedalaman maka terpencarlah perkembangan penduduk hingga sebagian berangsur-angsur mulai turun mendekati pantai karena telah sering terjadi barter antara pedagang Cina dan masyarakat setempat yang dilakukan dengan cara menukar hasil bumi baik rotan, rempah-rempah, damar, kayu dan sebagainya yang diganti dengan alat-alat masak, makan dan perhiasan yang terbuat dari keramik cina dan batu giok. Pertukaran tersebut dilakukan dengan isyarat dan tanpa bahasa sehingga bukti dari barter itu banyak yang kita dapati pada keluarga-keluarga tertentu di Toaya yang disimpan secara turun temurun sebagai peninggalan dari leluhur. Tapi ada juga terpaksa harus menanamnya karena tidak dapat membawa kesemuanya sementara tempat harus ditinggalkan karena terjadi perang atau penyerangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menginginkan wilayah dan semacam perampokan sebab saat itu belum ada Tentara atau Polisi dan hukum pun masi berbentuk keadatan. Kemudian untuk kelompok pencinta antik dicari dan digali lagi oleh masyarakat yang lazimnya disebut barang antik karena ada yang membayarnya dengan harga tinggi. Terobsesi oleh hal diatas maka mulailah masyarakat Kayu Eyo bergeser kewilayah Ranga-ranga mendekati pesisir yang kini menjadi wilayah Dusun 1 Toaya. setelah berkembangnya transportasi laut yakni dibukanya Pelabuhan Donggala dan dirintis jalan Raya oleh Belanda maka masyarakat yang berdiam di Ranga-ranga bergeser lagi mendekati jalan yang dulu disebut ngapa buntina Dusun II dan III dan ada yang lebih memilih mendekati laut yang sekarang di sebut Bamba Palentunga akibat dari perpindahan tersebut pusat pemukiman Ranga-ranga mulai sepi karena masyarakat makin banyak memilih mendekati jalan raya dan hidup di pesisir pantai. Maka Ranga-ranga yang menjadi cikal bakal Desa Toaya berubah sebutannya menjadi Valea Ngapa yang bermakna bekas pemukiman dan ketika terpengaruh oleh dialek Rai kata Valea Ngapa sekarang di sebut Vela Ngapa.
Karena lokasi baru dekat dengan pantai juga sebuah lembah yang memiliki rumput dan tanaman yang subur tak heran kalau disana banyak terdapat Hewan atau binatang yang saat itu masyarakat Ranga-ranga menyebutnya Aya. seiring perkembangan penduduk yang makin banyak maka tempat yang baru tadi menjadi sebuah perkampungan yang sekarang di sebut dengan Toaya.
Kala itu sistim kepemimpinan berbentuk Kamagaua Sindue yang berkedudukan di sandu Enu dan mempunyai bagian-bagian Kamardikaa yang mengepalai tiap wilayah keadatan yang saat itu dibagi menurut jenjang Usia dari satu pemukiman dan melihati siapa yang mendudukinya dari Sembilan anak yang dilahirkan oleh Perkawinan Yempe Bulava dan Tameali penguasa Kayu Eyo.
Kala itu sistim kepemimpinan berbentuk Kamagaua Sindue yang berkedudukan di sandu Enu dan mempunyai bagian-bagian Kamardikaa yang mengepalai tiap wilayah keadatan yang saat itu dibagi menurut jenjang Usia dari satu pemukiman dan melihati siapa yang mendudukinya dari Sembilan anak yang dilahirkan oleh Perkawinan Yempe Bulava dan Tameali penguasa Kayu Eyo.
Dizaman Penjajahan Belanda sebagaian besar Wilayah Kabupaten Donggala sekarang termasuk Toaya masi dipegang oleh Kerajaan Banava yang menggunakan sistim Distrik karena Politik Belanda dan tergabung dalam wilayah Distrik Banava Tengah.
Saat itu masih disebut Kampung Toaya di Kepalai pertamatama Oleh Daeng Bone kemudian di lanjutkan oleh Panga kemudian diganti oleh Karama Lasinala dan memiliki wilayah pegangan dari Kampung Sumari (Sumari Mekar dari toaya pada tahun 1938 Kepala Kampung pertama Lacirio) hingga kampung Enu.
Ibu Kota Distrik Banava Tengah kala itu masih berkedudukan di Tivoo. Setelah melalui musyawarah para tokoh-tokoh Masyarakat maka dilakukan lobi untuk memohon pemindahan Ibu Kota Distrik Banava Tengah dari Tivoo beralih ke Toaya, melalui Kepala Distrik yakni Panga (setelah menjadi Kepala Kampung diangkat menjadi Kepala Distrik) maka Lamarauna Raja Banava mengundang seorang tokoh berjuluk Pue Poko yang bernama Raekundu untuk hadir di melakukan musyawarah perihal pemindahan Ibu Kota Distrik Banava Tengah di Donggala namun karena pendengaran dan penglihatanya yang sudah terganggu karena usianya yang telah tua maka beliau mewakilkan kepada para Cucu-cucunya yang dianggap mampu untuk mewakilinya yaitu KARAMA (Pue Busa), DJIHANA (Pue Mohama), DUPA (Papa Sawaida), serta PAPA SAMSA dan Pue Daentasi.