Suku Tehit

kelompok etnik dari Papua Barat Daya, Indonesia

Suku Tehit atau Tehid berdiam di daerah Semenanjung Doberai atau Kepala Burung Papua, yaitu antara bagian selatan barat daya hingga barat daya. Pemukiman mereka terkonsentrasi di sekitar kota Teminabuan. Jumlah populasinya sekitar 25.000 jiwa.

Suku Tehit
Jumlah populasi
setidaknya 20,000-25,000
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Sensus 2010)15,972[1]
Bahasa
Tehit, Indonesia
Agama
Mayoritas :Kristen, Minoritas: Muslim

Kata Tehid berasal dari tahiyid, artinya "mereka(lah) Tehid", arti leksikalnya telah hilang. Mereka mungkin datang ke daerah ini beberapa ratus tahun yang lalu dan mendesak penduduk yang lebih dulu datang, yaitu orang Safledrar, kelompok pribumi Papua yang tergolong pigmi. Orang Tehid sendiri memiliki perawakan tinggi tegap seperti orang-orang yang hidup di pantai berawa-rawa umumnya.

Mata pencaharian

Orang Tehid yang diam di daerah berawa-rawa hidup dari mata pencaharian menebang dan mengumpulkan pati sagu, sedangkan yang diam di tanah kering membuka ladang untuk ditanami ubi, keladi, labu, dan lain-lain.

Sejarah

Asal muasal penduduk Tehit adalah daerah kebudayaan Toror, yang meliputi semenanjung Seget-Sele. Di saat terjadi bencana alam berupa pasang surut besar mengakibatkan penduduk mengungsi dan menetap ke daerah yang sekarang menjadi Teminabuan. Etnis yang memudik ke Tehit dengan perahu adalah: fam Kondologit. Kondjol, Sarwanik, Kemesrar, Salamuk Bless, Blesia, Bleshadit, Sremere, Kremak, Momoth, Adjolo, Sfahrit dan Kdamaa serta Salambauw. Kelom­pok ini memperkenalkan kapak batu, barang - barang tembikar kepada suku Tehit, yang ada di Teminabuan.[2]

Sejarah lainnya menyatakan penduduk Tehit se­bagian berasal dari kefi, yaitu sebuah pohon yang meru­pakan kerajaan bagi mereka. Mitos ini mengatakan bahwa, kelompok ini dibelah oleh fam Frisa, penghuni Desa Wenselalo yang ada sekarang. Setelah dibelah, kemudian manusianya keluar. Pembelahan ini atas petunjuk dari seekor anjing betina yang na­ manya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Fam-fam yang berasal dari pohon Kefi, adalah: Fam Sagisallo, Sera, Selaya, Seflembolo, Sagrim, Sarefe, Sabru, Sakamak, Thesia, Sreflo, Sawen, Yarollo, dan masih banyak lagi.[2]

Selain itu ada yang berasal dari tanah, ada yang dari kasuari, ada yang berasal dari langit, sungai serta, masih banyak lagi. Kelompok ini seperti : fam Simat, Flassy, Kamesrar, Suahan dan lain-lain. Dari ketiga tipe ini terjadilah campuran segi budaya dan bahasa serta tata susila, kemudian perkawinan silang, sehing­ga terbentuklah suku Tehit.[2]

Dalam perkembangan ini suku Tehit dipengaruhi oleh beberapa jaman, pada masa perdagangan, orang Tehid dipimpin oleh raja-raja kecil yang berkedudukan di empat buah weri (bandar), yaitu Weri Ambuam (Teminabuan), Weri Sar, Weri Konda dan Weri Kasrer (Seribau). Raja yang paling dominan berkedudukan di Teminabuan, gelarnya Raja Kaibus atau Woronemin dengan raja pertamanya bernama Anggok Kondjol. Hubungan dagang terbentuk dengan kerajaan di Semenanjung Onin seperti Fatagar, Arguni dan lain lain maupun dengan kerajaan di Kepulauan Raja Ampat seperti Salawati. Terjadi penjualan burung kuning dan budak untuk mendapatkan kain timur, kapak, parang, pisau dan sebagainya.[2]

Pada tahun 1940an terjadi masa mesianis yaitu meliputi pesebaran agama Kristen dari zending Belanda, banyak guru zending yang berasal dari Maluku dikirim ke Teminabuan. Raja Kaibus sendiri berperan besar dalam memfasilitasi persebaran agama Kristen pada masa ini. Ajaran agama menyebabkan pelepasan kebudayaan Masyarakat menerima modernisasi lewat gereja. Namun pada tahun 1941 pecahlah Perang Dunia II, maka semua pendeta dan guru lari mengikuti ma­syarakat.[2]

Pasa masa penjajahan Jepang, masyarakat Tehit dipaksa membangun jalan raya dari Teminabuan sampai Ayamaru dengan peralatan alamiah. Bila melawan akan dipukul sehingga terjadilah perlawanan melawan Jepang. Atas kerjasama sekutu dan masyarakat pasukan Jepang akhirnya kembali ke negara asalnya. Setelah itu masa perminyakan di Sorong dibuka. Rakyat Tehit kembali membangun dirinya dalam bidang pemerintahan, gereja, sosial ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Pada masa ini, suku Tehit biasanya merupa­kan satu kesatuan yang terdiri dari dua bagian yaitu suku Tehit Pantai dan Pegunungan.[2]

Masyarakat Tehid terdiri atas beberapa klen patrilineal. Anggota klen disebut wendla dan pemimpinnya disebut nakhohokh. Kepemimpinan ini terutama kelihatan dalam masalah kemasyarakatan, seperti dalam masalah pembagian harta waris, aturan perkawinan, pelanggaran adat dan sebagainya. Nakhohokh sendiri harus memimpin musyawarah (lelekh wamar) untuk memutuskan suatu perkara. Keputusannya memerlukan pertimbangan dari sekelompok orang tua-tua bijaksana yang disebut nasemba (penengah). Pada zaman dulu lelekh wamar juga berfungsi sebagai lembaga ritual, perantara antara nadkhoin (manusia) dengan Tali Nggameri (Khalik, Sang Pencipta) yang disebut Na Agow Allah.

Agama atau kepercayaan lokal

Orang Tehid percaya bahwa wua (roh) orang yang baru mati akan pergi ke mlfitain. Di sana wua akan mengawasi anak cucunya yang masih hidup di atas dunia. Bila terjadi pelanggaran maka wua akan datang menjelma ke dalam bentuk pengganggu. Tujuan sebenarnya adalah supaya anak cucunya tidak melanggar lagi. Wua bisa datang dalam bentuk penyakit, babi perusak tanaman, atau menutupi reziki orang dalam berburu dan pekerjaan lainnya. Gangguan wua itu disebut khlembet ysimari (diawasi arwah). Hal ini hanya bisa diatasi dengan memberikan hea (sesajen), atau melakukan sambe (permintaan maaf) dengan bantuan mimit (dukun). Wua yang terkenal jahat disebut khol, roh ini hanya takut kepada tali nggameri atau Na Agow yang berkedudukan di ik (langit).

Sama seperti berbagai suku bangsa pribumi lain di Jazirah Kepala Burung, alat bayar bergengsi pada orang Tehid ini adalah not hokh (kain sakral). Terutama sebagai mas kawin. Dalam perkawinan itu sendiri syolo (saudara laki-laki) ibu sangat berperan dalam menentukan jodoh kemanakannya, karena itu perkawinan ideal dalam masyarakat ini adalah antara saudara sepupu silang.

Bahasa

Bahasa Tehid terdiri atas 12 dialek yaitu dialek Tehid Tehiyit (di Teminabuan dan sekitarnya), dialek Tehid Afsya atau Mbolfle (di bagian selatan Teminabuan : weri konda dan Mbariat), dialek Tehid Gemma (di sebelah utara Teminabuan, Wehali dan Eles), dialek Tehid Yemian (di kampung Hana dan Sanekh), dialek Tehid Sawiat (di kampung Soroan dan sekitarnya), dialek Tehid Fkar (di Pegunungan), dialek Tehid Yatfle, dialek Tehid Sayfi, dialek Tehid Konyokh, dialek Tehid Salmeit.

Sumber buku

  • Silzer and Heikkinen 1984
  • Koentjaraningrat dan Bachtiar 1963
  • Depdikbud 1989

Referensi

  1. ^ Ananta, Aris (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus Pramono. SG: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4519-88-5. OCLC 1011165696. 
  2. ^ a b c d e f Handoko, Soewarto; Rumbewas, Dominggus; Sawaki, Marthen; Sunaryo, Suristina (1983). lsi dam Kelengkapan Rumah Tangga Tradisional Menurut Tujuan, Fungsi dan Kegunaannya Daerah Irian Jaya (PDF). Indonesia: Ministry of Education and Culture. Diakses tanggal 2022-02-10.