Bambu Gila
Bambu Gila adalah salah satu permainan rakyat Maluku. Pelaksanaannya memerlukan tujuh orang dengan seorang pawang yang membacakan mantra. Bambu Gila telah dikenal sejak masyarakat Maluku masih menganut animisme dan dinamisme. Selain sebagai permainan rakyat, Bambu Gila juga digunakan untuk memindahkan kapal saat melawan musuh dalam peperangan.[1]
Persyaratan
Perlengkapan yang diperlukan untuk melakukan Bambu Gila adalah bambu sepanjang 2,5 meter dan berdiameter 8 cm. Jumlah pemain yang memegang bambu harus ganjil dan paling sedikit terdiri dari tujuh laki-laki yang kuat. Bambu yang digunakan harus sesuai dengan permintaan pawang atau disiapkan sendiri oleh pawang.[2]
Pelaksanaan
Permainan Bambu Gila dimulai dengan ritual membakar kemenyan yang diikuti dengan pembacaan mantra oleh pawang. Para pemain kemudian membawa bilah bambu ke pawang untuk diasapi dengan asap kemenyan. Proses ini dilakukan untuk memanggil roh. Bambu kemudian akan diisi olehnya sehingga bambu bergerak dan menjadi berat. Setelah itu, para pengiring musik akan memainkan alat musik yang membuat pergerakan bambu semakin cepat dan para pemain harus menjaga agar bambu tetap tenang. Pada akhir acara, pawang akan menahan bambu dan membuatnya berhenti bergerak.[3]
Mantra
Mantra pemanggil roh
Pemanggilan roh menggunakan mantra yang berbentuk puisi. Jumlah kata dan baris berbeda pada tiap bait. Mantranya sebagai berikut:[4] Au Upu Mateane, Au Wupu Tuhinane
Imoi lou Imoi Laha
Imi Apa Jin-Jin 150 Malaikat
Ale Imi Bantu You
Berkat La Ila Hailala
Berkat Muhammad Razul Allah
Berkat Upu Acan Bisa Mustajab
Bait pertama dari mantra diawali dengan kalimat "Au Upu Mateane, Au Wupu Tuhinane" berarti " kalian leluhur laki-laki dan perempuan”. Pawang menyebut roh laki-laki dan perempuan yang mampu menolongnya dan menerima keinginan dari pawang. Para pemain mempercayai bahwa roh tersebut merupakan leluhur dari pawang, sehingga keinginan yang disampaikannya pasti terpenuhi. Kalimat kedua yaitu "Imoi lou Imoi Laha" berarti “pergilah ke arah laut dan darat”. Kailmat ini merupakan permintaan pawang kepada roh nenek moyangnya. Laut merupakan perlambangan dari bambu bagian bawah sedangkan darat merupakan perlambangan dari bambu bagian atas. Kalimat ketiga yaitu "Imi Apa Jin-Jin 150 Malaikat" berarti “panggilah jin-jin 150 malaikat”. Penggunaannya adalah untuk memanggil para jin yang baik dan para malaikat untuk membantu pawang menghipnosis para pemain Bambu Gila. Kalimat keempat yaitu "Ale Imi Bantu You" berarti “kalian mari membantu saya”. Kalimat ini adalah permintaan pawang untuk menerima pertolongan dari para jin dan malaikat.[5]
Bait kedua dari mantra diawali dengan "Berkat La Ila Hailala" yang berarti “Berkat Allah”. Maknanya yaitu Allah sebagai penguasa bumi dan surga memiliki kekuatan melebihi para roh yang telah dipanggil sehingga berkahNya diperlukan. Kalimat kedua yaitu “Berkat Muhammad Razul Allah”, bermakna bahwa Muhammad memiliki kekuatan melebihi para jin sehingga berkahnya juga diperlukan. Kalimat ini berlaku bagi pawang muslim Maluku. Jika berasal dari agama lain, maka kalimatnya disesuaikan dengan kepercayaan dalam agama tersebut. Kalimat ketiga yaitu "Berkat Upu Acan Bisa Mustajab" berarti “Berkat Penguasa Bambu gila”. Kalimat ini bermakna bahwa ada penguasa lain selain Tuhan yang mampu mengendalikan manusia dan benda alam. Penguasa ini dianggap yang mengendalikan bambu.[5]
Mantra kerasukan
Mantra yang digunakan agar roh yang telah datang dapat masuk ke tubuh para pemain adalah "Ute Mamanu Imi Mamanu". Kalimat ini disebut sebanyak tiga kali.[6] Kalimat ini berarti “bambu gila orang gila”. Kalimat ini diucapkan oleh pawang di depan kemenyan dan saat jahe dikunyah dan kemudian disemburkan ke ruas bambu.[7]
Kegunaan
Bambu Gila digunakan sebagai pertunjukan masyarakat Maluku sekaligus sebagai sarana dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Pemindahan dan penarikan kapal dilakukan dengan bantuan Bambu Gila. Selain itu, pada masa peperangan, Bambu Gila digunakan untuk melawan musuh. Masyarakat Maluku juga menjadikan Bambu Gila sebagai bagian spiritual dan warisan budaya dari leluhurnya.[8]
Galeri
-
Orang-orang tengah memainkan Bambu Gila, tahun 1981.
Referensi
- ^ Sambodo, Anindyatri, dan Argadia 2018, hlm. 20.
- ^ Soamole, Mursalim, dan Rokhmansyah 2018, hlm. 197.
- ^ Sambodo, Anindyatri, dan Argadia 2018, hlm. 21.
- ^ Kastanya 2015, hlm. 220.
- ^ a b Kastanya 2015, hlm. 221.
- ^ Kastanya 2015, hlm. 220–221.
- ^ Kastanya 2015, hlm. 222.
- ^ Soamole, Mursalim, dan Rokhmansyah 2018, hlm. 198.
Daftar pustaka
- Kastanya, Helmina (2015). "Pemertahanan Tarian Bambu Gila: Peran Pawang dan Mantra". Widyariset. 18 (2): 215–224.
- Sambodo, N., Anindyatri, A. O., dan Argadia, Y. R. (Desember 2018). Profil Budaya dan Bahasa Kota Ternate (PDF). Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 978-602-8449-14-4.
- Soamole, M., Mursalim, dan Rokhmansyah, M. (April 2018). "Analisis Tuturan Tarian Bambu Gila di Malu Tengah Ditinjau dari Bentuk dan Fungsi". Jurnal Imu Budaya. 2 (2): 196–205.