Khulu

Revisi sejak 9 Agustus 2022 14.48 oleh 182.1.230.173 (bicara) (→‎Catatan: Memperbaiki sudut pandang kesimpulan tentang catatan)

Khulu (Bahasa Arab: خلع) secara etimologi berarti “melepaskan”.[1] [2] Sedangkan menurut istilah di dalam ilmu fiqih, khulu adalah permintaan cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya.[3] [4] Dan, dengan kata lain, Khulu adalah perceraian yang dibeli oleh si istri dari suaminya karena ada beberapa hal dari suami yang tidak menyenangkan istrinya.[4]

Adapun contoh untuk perkataan khulu yang di sampaikan suami kepada istrinya, “ Aku menceraikan kamu dengan uang Rp 1.000.000.000 ”.[5] [4] Istri kemudian menjawab “ Aku menerimanya”.[4] [5] Apabia perkataannya seperti ini, maka istri harus memberikan uang sebanyak Rp 1.000.000.000 sebagai tebusan kepada si suami.[5] [4] Sedangkan apabila tidak disebutkan tentang berapa jumlah khulu-nya, maka istri hanya perlu untuk mengembalikan maskawin sebanyak yang pernah diterimanya dahulu, catatan: Sang istri telah bertanya lansung kepada suami dengan sakral serta disaksikan oleh keluarga sang istri dan suami tersebut.[5] [4]

Khulu diperbolehkan bila keduanya sama-sama khawatir tak dapat melakukan aturan Allah.[4] Si istri khawatir, membuat kedurhakaan karena perbuatan suaminya, misalkan seorang suami tidak mau disuruh shalat, dilarang untuk bermain judi, ia membangkang dan bersikap kasar.[4] Maka lebih baik bercerai karena takut mendapat dosa dari Tuhan yang disebabkan karena membiarkan suaminya melakukan dosa terus menerus.[4] Sebaliknya, suami khawatir kalau istrinya tak mau mengikuti perintahnya, ia berbuat sesuatu yang tak diharapkan istrinya itu, seperti menampar, memukul, dan lain sebagainya.[4] Dalam keadaan seperti itu Khulu diperbolehkan.[4]

Persyaratan

  1. Seorang istri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu, jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah SWT.[4] [5]
  2. Hendaknya khulu itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya.[4] [5] Jika ia menyakiti istrinya, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya.[4] [5]
  3. Khulu itu berasal dari istri dan bukan dan pihak suami.[4] [5] Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya, maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta dan istrinya.[4] [5]
  4. Khulu sebagai talak ba’in Sughra, yakni sebuah perceraian yang tidak dapat dirujuk kembalinya sang istri oleh si suami kecuali proses akad nikah yang baru.[4] [5]

Hukum

  • Mubah atau boleh

Jika seorang istri tidak menyukai untuk tetap bersama dengan suaminya, baik karena buruknya akhlak/perilaku suaminya atau karena buruknya wajah/fisik suaminya, sehingga ia khawatir tidak dapat menjalankan hak-hak suaminya yang telah ditetapkan Allah kepadanya, maka dalam kondisi semacam ini istri boleh mengajukan khulu kepada suaminya.[6]

  • Mustahab atau wajib

Jika suami melalaikan hak-hak Allah seperti; suaminya meninggalkan shalat, suaminya melakukan hal-hal yang dapat membatalkan keislamannya, dan yang semisalnya, maka istri dianjurkan untuk mengajukan khulu.[6] Ini adalah pendapat ulama Hanabilah.[6]

  • Haram

Jika istri mengajukan khulu kepada suaminya bukan karena alasan yang diperbolehkan oleh agama, seperti karena sang suami buruk rupa, maka khulu tersebut menjadi hukumnya haram.[6]

Rukun

  1. Adanya mukhali, yakni seseorang yang berhak mengucapkan perkataan cerai, yakni suami.[6]
  2. Adanya mukhtali’ah, yakni seseorang yang mengajukan khulu, yakni istri.[6] Dengan syarat, si istri adalah istri yang sah secara agama dan istri dapat menggunakan hartanya secara sadar, dalam artian tidak gila dan berakal.[6]
  3. Adanya iwadh, yakni harta yang diambil suami dari istrinya sebagai tebusan karena telah menceraikan istrinya.[6]
  4. Adanya sigha khulu atau perkataan khulu dari suami.[6]


Catatan

  1. Suami tidak boleh mengambil harta istrinya melebihi mahar yang dia berikan, kecuali ada kesepakatan sebelumnya.[3]
  2. Khulu dapat dilakukan oleh istri, baik dalam keadaan suci atau haid.[5] [1]
  3. Iwadh atau harta tebusan tidak dapat berupa jasa.[6] Menurut pendapat ulama golongan safi’I dan maliki.[6]
  4. Khulu tidak sah apabiila tidak ada keikhlasan di hati sang suami.[6]
  5. Suami yang telah men-khulu istrinya tidak berhak merujuk kembali, meskipu ia dalam keadaan menunggu (masa iddah khulu).[6]
  6. Apabila wanita yang menjadi istri bagi suaminya masih kecil, maka ia boleh diwakili oleh walinya untuk meminta khulu, dengan syarat sang wali melihat adanya bahaya yang mengancam wanita tersebut.[3]

Referensi

  1. ^ a b Achmad Sunarto (1991). Terjemahan Fat-hul Qarib. Menara Kudus. 
  2. ^ (Indonesia) Noer Faqih Arsyi ys. "PAI Kelas XII Bab Munakahah" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (pdf) tanggal 2014-04-18. 
  3. ^ a b c (Indonesia) Ahmad Sarwad, Lc. "Fiqih Nikah" (pdf). 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Drs.H.Ibnu Mas’ud, Drs.H.Zainal Abidin S. (2000). Fiqih Madzhab Syafi’I edisi lengkap muamalat, munakahat, jinayat. CV.Pustaka Setia. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k Dr.Mustafa Dib Al-Bugha (2012). Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’I. Noura Books. ISBN 978-602-9498-44-8. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m (Indonesia) "Kitab Munakahat" (pdf).