Suku Sambas

kelompok etnik di Indonesia
Revisi sejak 10 Agustus 2022 03.33 oleh Alfi Alafgani (bicara | kontrib) (Penambahan Abjad Jawi)

Suku Melayu Sambas adalah penduduk asli Kalimantan Barat yang menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang. Orang Sambas juga dapat di Temui di Kabupaten Mempawah, lalu sebagian kecil di Provinsi Kepulauan Riau akibat migrasi Suku Sambas pada abad ke 19, dan Sarawak (Malaysia).[1]

Etnik Melayu Sambas سوکو ملايو سمبس
Daerah dengan populasi signifikan
Sambas 550.000 Jiwa
Singkawang 100.000 Jiwa
Bahasa
Bahasa Sambas
Bahasa Indonesia
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
Melayu Pontianak
Dayak
Kedayan

Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik RI pada tahun 2000, orang Sambas berjumlah 444.929 jiwa atau 0,22 % dari penduduk Indonesia pada saat itu.

Asal Usul

Menurut tradisi lisan dari suku asli Kalimantan, Proses perpindahan penduduk dari daratan asia yang kini disebut provinsi Yunan - Cina selatan berlangsung antara tahun 3000-1500 Sebelum Masehi. Mereka terdiri dari kelompok yang mengembara hingga sampai di pulau Kalimantan dengan rute perjalanan melewati Hainan, Taiwan, Filipina kemudian menyeberangi Laut Cina Selatan menuju Kalimantan Barat. Pada saat itu perpindahan penduduk dari pulau satu ke pulau lain tidaklah begitu sulit kerena pada zaman es permukaan laut sangat turun akibat pembekuan es di kutub Utara dan Selatan sehingga dengan hanya menggunakan perahu kecil bercadik yang diberi sayap dari batang bambu mereka dengan mudah menyeberangi selat karimata dan laut cina selatan menuju Kalimantan Barat.

Para imigran dari daratan Cina ini masuk ke Kalimantan Barat dalam waktu yang berbeda, kelompok pertama datang sekitar tahun 3000-1500 Sebelum Masehi termasuk dalam kelompok ras Negrid dan weddid kelompok ini diperkirakan meninggalkan Kalimantan dan sebagiannya punah. Kemudian sekitar tahun 500 sebelum masehi berlangsung lagi arus perpindahan penduduk yang lebih besar dan kelompok inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal penduduk tanah Sambas. Setelah adanya arus perpindahan penduduk dari Yunan terjadilah percampuran penduduk kerena perkawinan.

Sehingga ratusan tahun kemudian, asal usul masyarakat yang sekarang disebut Melayu Sambas adalah hasil asimilasi beberapa suku bangsa di Nusantara yaitu yang sekarang disebut Suku Asli Sambas adalah asimilasi dari Orang Melayu (yang datang dari Sumatra sekitar abad ke-5 M hingga 9 M pada masa Kerajaan Malayu atau masa awal Kerajaan Sriwijaya), Orang Dayak / Old Kanayatn (penduduk lebih awal yang secara turun temurun sebelumnya telah mendiami Sungai Sambas dan percabangannya), Orang Jawa (yaitu serombongan besar Bangsawan Majapahit keturunan Wikramawardhana bersama para pengukutnya yang melarikan diri secara boyongan dari Majapahit karena perang sesama Bangsawan di Majapahit pada awal abad ke-15 M yang kemudian mendirikan sebuah Panembahan di wilayah Sungai Sambas) serta Orang Bugis (para Nakhoda dan pembuat kapal bersama keluarganya dari Sulawesi yang kemudian membentuk sebuah perkampungan Bugis yang bekerja untuk Sultan-Sultan Sambas pada masa awal dan pertengahan Kesultanan Sambas).

Kerajaan Tanah Sambas

Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671, di wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah:

Kerajaan Pra Islam:

  1. Kerajaan Wijaya Pura sekitar abad 7 M - 9 M.
  2. Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
  3. Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
  4. Panembahan Sambas pada abad 16 M.

Kerajaan Islam:

  1. Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.

Bahasa

Suku melayu Sambas mempunyai bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa Melayu. Bahasa ini berkembang sejak zaman Panembahan Sambas dan Kesultanan Sambas..

Bahasa Melayu Sambas sangat mudah dipahami, apalagi bagi orang yang mendengar orang Betawi berbicara, karena kurang lebih bahasa Betawi dan Melayu sambas memiliki beberapa persamaan walaupun tidak semua, misalnya: Seseorang berbicara, "Kamu mau ke mana?", jika dalam bahasa melayu sambas "Kau nak ke mane", (penyebutan "e" dalam bahasa melayu, sedangkan bahasa suku Sambas membunyikan "e" seperti bunyi pada kata "lele". Keunikan lain dari bahasa Melayu Sambas adalah pengucapan huruf ganda seperti dalam Bahasa [Melayu] Berau di Kalimantan Timur, seperti pada kata 'bassar' (artinya besar dalam bahasa indonesia).

Kebudayaan

Masyarakat Sambas secara Budaya dan Intelektual adalah yang terkemuka di Kalimantan Barat, beberapa budaya Sambas yang masih populer di kalangan Masyarakat Kalimantan Barat dari dulu (masa Kerajaan) hingga sekarang di antaranya adalah Kain Khas yaitu yang disebut Kain Sambas / Kaing Lunggi / Kain Songket Sambas, Makanan Khas yang disebut Bubbor Paddas / Bubur Pedas (dengan khas menggunakan daun Kesum / daun Kesuma), Lagu-Lagu Daerah Sambas (dari masa lampau / Kerajaan) sangat mendominasi khazanah lagu-lagu daerah di Kalbar hingga sekarang disamping Lagu-lagu daerah Dayak dan banyak lagu-lagu daearah Sambas itu adalah berstatus anonim yang tidak diketahui siapa pembuatnya karena sudah begitu lama yang dilantunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi seperti Lagu Alok Galing, Cik cik Periuk, Kapal Belon dan lainnya, Tarian Daerah Khas Sambas seperti Tandak Sambas, Jepin dan lainnya.

Islam di Sambas

Pada masa Kerajaan (Kesultanan Sambas) masyarakat Sambas juga terkenal sangat Agamis (Islam) yang paling terkemuka di Kalimantan Barat sehingga sempat disebut sebagai "Serambi Makkah" Kalimantan Barat. Pada masa Kerajaan, Ulama-Ulama Islam dari Kesultanan Sambas sangat terkemuka dibanding Kerajan-Kerajaan lainnya di Kalimantan Barat ini, bahkan Ulama-Ulama Islam dari Kesultanan Sambas telah ada yang berkaliber Internasional misalnya pada abad ke-19 M ada Ulama Kesultanan Sambas yang bernama Shekh Khatib Achmad As Sambasi yang menjadi Ulama di Makkah Al Mukarramah dan menjadi Pemimpin Ulama-Ulama Nusantara yang menuntut Ilmu Agama di Makkah dengan gelar Shekh Sharif Kamil Mukammil. Kemudian pada abad ke-20 M ada Ulama Kesultanan Sambas bernama Shekh Muhammad Basuni Imran (Mufti Kesultanan Sambas) yang adalah lulusan Al Azhar kairo, Mesir yang terkenal di Timur Tengah karena suratnya kepada Mufti Mesir yang berjudul "Mengapa Umat Islam saat ini Mengalami Kemunduran". Jejak kejayaan Islam di Sambas itu yang masih tampak pada sekitar tahun 80-an di mana Qori-qori dari Sambas cukup mendominasi dalam mewakili Kalimantan Barat di tingkat Nasional dan Internasional.

Ketika era Belanda masuk ke Indonesia dan masuk ke wilayah Kalimantan Barat barulah dimulai era perselisihan akibat dibenturkan oleh politik Devide et Impera. Politik Devide et Impera inilah yang membuat perbedaan-perbedaan menjadi semakin meruncing khususnya perbedaan agama. Sejak masuknya Belanda sebagian besar orang Sambas telah beragama Islam sehingga sulit untuk di Kristenkan oleh misi dari Belanda sehingga misi Belanda menggarap sebagian besar masyarakat yang berada di pedalaman yang masih beragama Hindu Kaharingan (agama asli dalam budaya Hindu Dayak). Alhasil penduduk pedalaman yang tadinya Hindu Dayak banyak yang menjadi pemeluk agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan.

Semula ajaran Islam diperkenalkan di antara orang-orang Dayak namun sebagian kecil dari mereka menjadi Islam. Penyebarannya melalui Sungai Mempawah dan Sungai Sambas, Sungai Selakau dan banyak anak sungai lainnya. Namun penyebaran Islam tidak sampai ke pedalaman sehingga banyak penduduk di bagian paling dalam tidak tersentuh misi Islam tetapi sebaliknya tersentuh oleh misi Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Hal itu dapat kita lihat dari banyaknya orang Dayak beragama Kristen yang memakai nama bernuansa Islam seperti; Rabudin, Burhanudin, Muhammad, Syafei, Jainudin dan sebagainya termasuk nama-nama wanitanya bernuansa Islami namun mereka beragama Kristen. Artinya pengaruh Islam telah masuk namun tanggung. Sebagian besar hanya pengaruh Islam saja yang masuk namun tidak sampai kepada amasuknya keyakinan Islam dalam budaya Dayak pedalaman sehingga batallah orang Dayak menjadi Melayu seperti yang terjadi pada Dayak-Dayak lainnya yang telah masuk Islam mengubah identitas dirinya menjadi Melayu. Demikian halnya juga terjadi pada budaya Suku melayu Sambas.

Sejak awal di Kalimantan memang tidak ada Melayu, yang ada adalah Dayak-Islam. Adanya Melayu dimaksudkan untuk membedakan keyakinan agama saja antara Dayak yang Islam dan Dayak yang Kristen. Dayak Islam lebih cenderung menyebut dirinya Melayu sementara bagi orang Dayak mereka tetap disebut Dayak dengan sebutan bukan Melayu tetapi " urang laut", "senganan", "sinan" dan sebutan Dayak yang telah mengubah agama dan budayanya menjadi Islam. Orang Dayak tidak mengenal Melayu kepada mereka yang menyebut dirinya Melayu tetapi "Senganan", "Laut", "Sinan" dsb. Mengapa demikian karena orang Dayak mengetahui asal usul nonok moyang mereka sejak awal dan ditutur tinularkan dari mulut ke mulut sehingga sebutan laut, Sinan, Senganan lebih tepat untuk menyebuut orang-orang Dayak yang telah menjadi Islam ketimbang Melayu. Hal itu diperkuat oleh teori bahasa yang menyatakan bahwa di mana rumpun bahasa daerah yang paling banyak maka disitulah asal usul bahasa menyebar. Hal itu diperkuat lagi bahwa menurut James T Collins kemungkinan besar akar bahasa Melayu justeru berada dan berasal dari Kalimantan Barat. Hal itu didukung dari banyaknya sebaran bahasa Dayak dan Bahasa Senganan (Melayu Kalimantan) di wilayah Kalimantan Barat ketimbang wilayah Kalimantan lainnya.

Masa Kesultanan Sambas

Kesultanan Sambas adalah sebuah Kerajaan Maritim (Pesisir) yang sempat menjadi Kerajaan terbesar di wilayah Borneo Barat (Kalimantan Barat) selama sekitar 100 tahun (dari awal tahun 1700-an hingga awal tahun 1800-an). Urutan Kerajaan-Kerajaan terbesar di Kalimantan Barat dari awal adalah Kerajaan Tanjung Pura yang setelah runtuh dilanjutkan oleh Kesultanan Sukadana, lalu ketika Kesultanan Sukadana melemah posisi Kerajaan terbesar di Kalimantan Barat itu beralih dipegang oleh Kesultanan Sambas yang kemudian setelah masuknya Belanda ke wilayah Kalimantan Barat pada tahun 1818 posisi Kerajaan terbesar di Kalimantan Barat beralih dipegang oleh Kesultanan Pontianak. Kesultanan Sambas berdiri pada tahun 1671 M yang kemudian memerintah selama sekitar 279 tahun melalui Pemerintahan 15 Sultan-Sultan Sambas dan 2 Ketua Majelis Kesultanan Sambas secara turun temurun hingga kemudian berakhirnya Pemerintahan Kesultanan Sambas dengan bergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950.

Sekilas Bahasa Sambas

Bahasa Sambas Bahasa Melayu Sarawak Bahasa indonesia
Aku / Kamek Kamek Saya
Kau / Direk / Kitak Kitak Kamu
Die / Nye Nya Dia
Aok / Auk Aok / Auk Iya
Ndak / Da’an Sik Tidak/Tak
Sik an / Disik Sik Ada Tidak Ada
Sitok Sitok Sini
Sinun Sinun Sana
Sie Sia Situ
Madah / Padah Madah Mengadu / Beritahu
Biak ye Sidak nya Mereka
Kinitok / Kinektok Kinektok Sekarang
Dudi Dudi Kemudian
Simari / Simare’ Ari Mare' Kemarin
Ari Ye Ari Ya Hari Itu
Biak Mbiak/Biak/Miak Anak
Bahasa Sambas Bahasa Dayak Kanayatn Bahasa indonesia
Aku Aku Saya
Kau Kao Kamu
Aik Aek Air
Aok / Auk Aok/Auk Iya
Ndak / Da’an Nana' Tidak/Tak
Ume Uma Sawah
Ngape Ngahe Kenapa
Marek Marek Memberi
Amper Amper Hampir
Awak Awak Bisu
Belale' Balale' Gotong Royong
Bejalan Bajalatn Berjalan
Bediri Badiri Berdiri
Bepikir Bapikir Berpikir
Urang Urakng Orang
Parut Parut Perut
Beranang Ngunanang Berenang
Benapas Banapas Bernapas
Se Ari Sa' Ari Sehari
Guring Guring Baring
Mali Mali Membeli
Idong Idukng Hidung
Keraje Bagawi Kerja
Sute' Asa' Satu
Banar Banar Benar
Ngodak Ngodak Mengaduk
Melayu Sambas Berau Banjar Brunei
orang urang urang urang uang
tengah tangah tangah tangah tangah
besar bassar bassar basar basar
emak ummak - uma - -
air ae' air banyu/ayying aing
rakit lanting lanting lanting lanting
karat besi tagar tagar tagar tagar
yang nang yang nang yang
bungsu bussu busu busu -

Lagu Daerah Melayu Sambas

Kepustakaan

  1. ^ Melalatoa, M. Junus (1 Januari 1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Indonesia: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 731. 

Pranala luar