Orang Ocu

kelompok etnis di Indonesia
Revisi sejak 15 Agustus 2022 23.58 oleh Snshe (bicara | kontrib) (Membalikkan vandalisme oleh Rahmatdenas mengembalikan ke revisi terakhir oleh Pylaaa (bicara) jangan asal membalikkan, menghapus, membatalkan isi artikel/suntingan orang lain. Bijaklah sebagai pengguna Wikipedia... Suku Kampar sudah diakui resmi sebagai bagian dari suku Melayu Riau dan berada dalam naungan lembaga adat Melayu Riau (LAMR). Berdasarkan sejarah dan pengakuan jg faktanya org Kampar sebagian besar mengaku Melayu. Jangan apa apa diminangkan, Wikipedia harus netral)

Suku Kampar atau Melayu Kampar (dalam penyebutan setempat disebut Ughang Kampar) adalah suku yang terdapat di kabupaten Kampar, provinsi Riau. Mereka biasa menyebut kelompoknya dengan sebutan "Orang Ocu" (dalam bahasa setempat disebut Ughang Ocu)[1]. Penduduknya bertutur dalam bahasa Kampar (yang juga disebut bahasa Ocu) yang merupakan salah satu dialek bahasa Melayu dalam rumpun bahasa Minangkabau yang memiliki kemiripan serta persamaan dengan salah satu dialek bahasa Minangkabau yang dituturkan di wilayah yang masuk dalam Luhak Limopuluah, Sumatra Barat[2][3]. Secara etnis, sejarah, bahasa, adat, dan budaya, mereka dekat dengan Minangkabau,[4] khususnya dengan masyarakat di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Sebagaimana halnya Minangkabau, masyarakat Kampar menganut sistem adat yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal[5], dengan budayanya yang sangat kuat diwarnai oleh ajaran Islam, yakni Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.

Orang Kampar dikenal sebagai suku pedagang dan perantau. Mereka bisa ditemukan di sebagian besar daerah Riau seperti: Siak, Bengkalis, Pelalawan, Dumai, Pekanbaru, dan Selat Panjang. Selain itu orang Kampar juga banyak bermukim di Malaysia, seperti Kuantan (Pahang), Sabak Bernam, dan Teluk Intan. Bahkan menjadi nama daerah dan sungai di Malaysia yang konon karena banyak warga Kampar yang dulu berdagang di sepanjang sungai tersebut.

Etimologi

Ocu, istilah yang juga bisa digunakan untuk menyebut orang Kampar, berasal dari kata Ongsu berarti bungsu atau anak yang terakhir. Dalam bahasa setempat, tiap urutan anak memiliki sebutannya sendiri. Anak pertama oleh saudara-saudaranya dipanggil dengan sebutan Uwo (berasal dari kata Tuo artinya tua, yang paling tua).

Anak kedua dipanggil oleh adik-adiknya dengan kata Ongah, yang berasal dari kata Tongah, artinya anak yang paling tengah. Sedangkan anak yang ketiga dipanggil oleh adik-adiknya dengan nama Udo, yang berasal dari kata Mudo artinya yang paling muda.

Anak yang keempat baik laki-laki maupun perempuan, juga dipanggil dengan Ocu. Anak kelima dan seterusnya juga berhak untuk disapa dengan Ocu.

Selain dalam struktur kekeluargaan, kata Ocu ini digunakan sebagai sapaan bagi anak-anak yang lebih muda kepada teman, kerabat dan sanak keluarga. Seperti anak muda kepada laki-laki yang lebih tua daripada dirinya.

Adat dan Budaya

Matrilineal

Masyarakat Kampar, sama halnya dengan masyarakat Minang, menggunakan sistem Matrilineal serta menekankan matrialis/matrialistik sebagai salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitasnya. Inilah ciri khas masyarakat Melayu Kampar yang membedakan dengan Melayu lainnya yang lebih menggunakan sistem Patrilineal dan menekankan patrialis/patrialistik. Selain Kampar, kelompok Melayu lainnya juga ada yang menggunakan sistem Matrilineal seperti: Melayu Batin di Jambi Hulu, Melayu Semende di Sumatra Selatan, Melayu Pesisir Sibolga di pesisir Barat Sumatra Utara, dan juga Melayu lainnya (terutama di wilayah Riau daratan yang lain). Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu, sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumondo (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.

Wilayah Kampar juga termasuk wilayah rantau Minangkabau atau wilayah dengan pengaruh/unsur Minangkabau diluar wilayah adat & etnis Minangkabau (Darek/Luhak & Pesisir/Pasisia).

Dalam masyarakat Kampar dikenal sistem persukuan atau suku. Suku, sama halnya dengan marga dalam sistem Patrilineal, terdiri dari orang-orang yang jika diurut dari garis keturunan ibunya memiliki nenek moyang yang sama. Persukuan yang ada dalam masyarakat Kampar beberapa di antaranya Domo, Malayu, Piliong/Piliang, Mandailiong, Putopang, Caniago, Kampai, dan Bendang.

Bahasa

Bahasa yang digunakan orang Kampar yaitu bahasa Melayu Kampar yang serumpun dengan bahasa provinsi tetangganya yaitu Bahasa Minangkabau. Bahasa Kampar juga merupakan salah satu rumpun dalam bahasa Minangkabau[6], yang memiliki banyak persamaan dengan dialek Limapuluh Kota-Payakumbuh. Bahasa ini berlainan aksen dengan dialek Bahasa Minang yang dipakai oleh masyarakat Luhak Agam, Luhak Tanah Datar maupun kawasan Minangkabau lainnya (pesisir). Dialek Kampar juga memiliki kemiripan dengan dialek Kuantan dan Rokan yang bersebelahan wilayah dengan Kampar.[7][8]

Kesenian

Alat musik yang biasa dimainkan orang Kampar yaitu Caklempong dan Oguong.

Rumah Adat

 
Rumah Lontiok di Kompleks MTQ, Pekanbaru.

Rumah Pelancangan atau rumah Lontiok adalah rumah adat Kampar. Lontiok atau Lontik dalam Bahasa Indonesia berarti Lentik. Hal ini dikarenakan bentuk atap yang melengkung lentik. Rumah Lontiok merupakan rumah panggung dan berfungsi sebagai rumah adat dan tempat tinggal. Dibangun dalam satu prosesi panjang yang melibatkan masyarakat luas.

Bentuk rumah Lontiok dikatakan berasal dari bentuk perahu, hal ini tercermin dari sebutan pada bagian-bagian rumah tersebut seperti: bawah, tengah, ujung, pangkal, serta turun, naik. Dinding depan dan belakang dibuat miring keluar dan kaki dinding serta tutup didinding dibuat melengkung sehingga bentuknya menyerupai sebuah perahu yang diletakkan di atas tiang-tiang.

Konstruksi panggung pada rumah Lontiok dipilih untuk menghindari bahaya binatang buas dan banjir. Kolong rumah, biasanya digunakan untuk kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang atau tempat bermain anak-anak, dan gudang kayu untuk persiapan bulan puasa. Pemakaian tangga pada rumah Lontiok memiliki kententuan adat. Jumlah anak tangga ganjil dan menyediakan tempayan air didekatnya untuk mencuci kaki di pangkal tangga. Ketentuan adat juga menyatakan bahwa penghuni perempuan cukup berpakaian sedada tanpa baju (kemban) di dalam rumah atau tidur-tidur dirumah tanpa adanya penyekat/pelindung ruang. Kalau rumah dibangun rendah atau “melekat” di atas tanah, maka keadaan di dalam rumah akan kelihatan dari luar rumah.

Dinding luar rumah Lontik seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung keatas, dan kalau disambung dengan ukiran sudut-sudut dinding, kelihatan seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengjung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut Sulo Bayung. Sedangkan Sayok Lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya

Kontroversi

Hingga kini masih terdapat kontroversi mengenai pengelompokkan orang Kampar sebagai suku bangsa tersendiri atau termasuk salah satu dari 2 suku bangsa, yakni: Minangkabau & Melayu. Sulit jika Kampar dikelompokkan kedalam suku tersendiri yang terpisah dari Melayu ataupun Minangkabau dikarenakan Kampar memiliki kaitan erat dengan keduanya serta memang bukan merupakan sebuah suku sendiri sejak dahulu. Tetapi, menurut berbagai literatur sejarah dilihat juga dari budaya/kebudayaan, adat-istiadat, bahasa, dan lainnya. Suku Kampar dikategorikan sebagai Melayu yang memiliki kebudayaan, adat, dan bahasa yang paling dekat dengan Minangkabau. Hal ini juga membuat Kampar serumpun dengan Minang karena kedekatan dan hubungan lainnya dikarenakan wilayahnya yang berdekatan bahkan berbatasan. Kini, Kampar berada dalam naungan LAMR (Lembaga Adat Melayu Riau).

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-03. Diakses tanggal 2018-07-03. 
  2. ^ Struktur Bahasa Melayu Riau dialek Kampar. [1]
  3. ^ Said, C., (1986), Struktur bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  4. ^ Purna, I. M., Sumarsono, Astuti, R., Sunjata, I. W. P., (1997), Sistem pemerintahan tradisional di Riau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  5. ^ Coral Reefs Information and Training Center, (2002), Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir dan kepulauan: perspektif budaya lokal pesisir dan kepulauan, Coral Reefs Information and Training Center.
  6. ^ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Bahasa Minangkabau di Provinsi Riau. Pada: Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. 2017 [2] Diarsipkan 2018-08-12 di Wayback Machine.
  7. ^ Witrianto dan Arfinal, 2011. Bahasa Kampar: Akulturasi antara Bahasa Melayu Riau dengan Bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar. Seminar Internasional Forum Ilmiah VII FPBS UPI “Pemikiran-pemikiran Inovatif dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajarannya” Bandung. 30 November 2011: 1-18. [3]
  8. ^ Bahasa Kampar di provinsi Riau. [4]