Ken Arok

Raja Singasari Pertama

Ken Angrok (lebih akrab disebut Ken Arok) atau disebut juga "Sri Ranggah Rajasa" (lahir di Jawa Timur pada tahun 1182, wafat di Jawa Timur pada tahun 1247 atau 1227), adalah pendiri Wangsa Rajasa dan Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi pada tahun 1222.

Ken Angrok
Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi (ꦯꦿꦷꦫꦴꦗꦱꦨꦛꦴꦫꦱꦔꦩꦹꦂꦮ꧀ꦮꦨꦹꦩꦶ)
Berkas:Patung Ken Arok.jpeg
Patung Ken Angrok berdiri setinggi 6 meter di depan GOR Ken Arok, Kota Malang, Jawa Timur.
Raja Singhasari Pertama
Berkuasa1222 - 1227 / 1247
PenerusAnusapati
Kelahiran1182
Jawa Timur
Kematian1227 / 1247
Istana Tumapel
Pemakaman
Pasangan
Keturunan
(dan lain-lain)
WangsaRajasa
AyahGajah Para
IbuKen Ndok
AgamaHindu - Buddha

Versi Pararaton

Ken Arok lahir pada tahun 1182, sebagai putra Gajah Para[1] dari desa Campara (Bacem, Sutojayan, Blitar) dengan seorang wanita desa Pangkur (Jiwut, Nglegok, Blitar) bernama Ken Ndok.[1][2] "Gajah" adalah nama jabatan setara "Wedana" (pembantu adipati) pada era kerajaan Kediri. Gajah Para, telah meninggal dunia saat Ken Arok masih dalam kandungan. Pada saat ibunya dibawa ke Kediri, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.[1]

Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri dan gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi dari desa Karuman (sekarang Garum, Blitar) yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.

Ken Arok yang tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan dan Istri mudanya yang bernama Thirthaja [1] (Istri muda Bango Samparan mempunyai lima anak, yaitu Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji Kenengkung dan yang bungsu wanita bernama Cucupuranti)[1], kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng (sekarang Senggreng, Sumberpucung, Malang).[2] Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.

Setelah itu, Ken Arok bertemu seorang Brahmana dari India bernama Lohgawe [1], yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya.[2]

Berdasarkan Serat Pararaton, Ken Arok (disebut pula Ken Aŋgrok) digambarkan juga sebagai keturunan Dewa Brahma. Hal ini secara simbolis menggambarkan perbedaan status sosial kognitif Ken Arok di kemudian hari dengan anak-anak seusianya pada saat itu.[1]

Merebut Tumapel

Lohgawe kemudian membawa Ken Arok ke Kadipaten Tumapel (sekarang Singosari, Malang) yaitu salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri, yang saat itu di pimpin oleh seorang akuwu (setara camat zaman sekarang) bernama Tunggul Ametung.[1] Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.

Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes[1] istri Tunggul Ametung yang sangat cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.

Keris Mpu Gandring

Demi menjalankan ambisinya, Ken Arok membutuhkan senjata ampuh, untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Ayah angkat Ken Arok, Bango Samparan, kemudian memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring[1] dari desa Lulumbang (sekarang Plumbangan, Doko, Blitar) yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.

Atas permintaan Ken Arok, Mpu Gandring sanggup membuatkan senjata yaitu sebilah keris pusaka dalam waktu satu tahun. Ken Arok yang tidak sabar, lima bulan kemudian datang mengambil pesanan, Mpu Gandring menolak memberikan Keris yang belum sempurna tersebut, akhirnya keris itu direbut Ken Arok dan ditusukkan kepada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh tujuh orang raja, termasuk Ken Arok sendiri dan keturunannya.[1]

Pembunuhan Tunggul Ametung

Setelah kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencananya untuk melenyapkan dan merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo,[1] rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris Mpu Gandring sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.[2]

Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya, tetapi ia pun mendukung rencana pembunuhan itu, karena Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.

Keesokan harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena keris Mpu Gandring yang di anggap miliknya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung.

Setelah Tunggul Ametung mati, Ken Arok lalu mengangkat dirinya sebagai Akuwu baru Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang keputusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung,[2] bernama Anusapati, disebut juga Panji Anengah.[1]

Mendirikan Kerajaan Tumapel

Pada tahun 1221 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok karena diserang oleh Kertajaya. Dengan adanya kesempatan itu dan di dukung oleh para kaum brahmana, Ken Arok pun memberontak dan mempersiapkan penyerangan terhadap Kerajaan Kediri, ia menyatakan Kadipaten Tumapel sebagai "Kerajaan" merdeka yang lepas dari Kerajaan Kediri. Sebagai raja pertama Tumapel ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.[1]

Di lain pihak, Raja Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis)[1] menyatakan tidak takut menghadapi serangan Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa (= Bhatara Guru) dan siap berperang melawan Kertajaya.[1]

Pertempuran Genter

Pada tahun 1222, Ken Arok memimpin pasukan Tumapel menyerang Kadiri. Puncak peperangan antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Genter (Ganter), wilayah timur Kediri. Pada pertempuran ini, pihak Kadiri kalah dan Kertajaya diberitakan melarikan diri naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.[2] Kemenangan yang menentukan tersebut menyebabkan runtuhnya kerajaan Kadiri pimpinan Kertajaya dan mengukuhkan kekuasaan Ken Arok di Jawa Timur, serta dimulainya Kerajaan Tumapel, dan pendirian pemerintahan Dinasti Rajasa.[3]

Kematian Ken Arok

Setelah Mahisa Wong Ateleng beranjak dewasa, Ken Arok mengangkat Mahisa Wong Ateleng sebagai penguasa Kediri. Hal ini menyebabkan Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua Ken Arok. Pada tahun 1227, setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya yaitu Tunggul Ametung telah mati dibunuh oleh Ken Arok. Setelah Anusapati berhasil mendapatkan Keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan. Kemudian, Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak dan mengangkat dirinya menjadi raja Tumapel menggantikan Ken Arok.

Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247 M (1169 Ç).[1] Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sri Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sri Rajasa memang tidak sewajarnya.

Versi Nagarakretagama

Nama Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Naskah tersebut hanya memberitakan bahwa pendiri Kerajaan Tumapel merupakan putra Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada tahun 1182.

Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa Girinathaputra (kemungkinan nama anumerta). Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).

Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.

Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk, sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.

Berdasarkan Negarakertagama, telah didirikan candi pendarmaan Ken Arok di Genengan sebagai Siwa dan di Usana sebagai Budha. Candi pendarmaan ini dipercaya berada di Situs Gunung Katu (sebagai Siwa) dan Situs Sokan (sebagai Budha) yang terletak di sebelah timur Gunung Kawi dan masuk ke dalam wilayah Wagir, Kabupaten Malang. Bekas-bekasnya menunggu untuk digali lebih lanjut.

Keturunan Ken Arok dan Ken Dedes

Permaisuri

Selir


Ken Dedes telah melahirkan empat orang anak Ken Arok, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Apanji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rumbu.

Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya, Panji Sudhatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi.

Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati. Semua anak Ken Arok berjumlah 9 orang, 1 anak tiri laki-laki, 6 anak kandung laki-laki dan 2 anak kandung wanita.[1]

 
Silsilah Wangsa Rajasa dari berbagai sumber prasasti dan naskah.

Nama dan Karakter Ken Arok

Nama asli Ken Arok atau Sri Rajasa tidak diketahui. Nama Ken Arok hanya dijumpai dalam Pararaton, sehingga diduga kuat merupakan nama ciptaan si pengarang sebagai nama masa muda dari Sri Rajasa. "Ken" diartikan "putra atau putri pejabat", nama "Arok", diduga berasal dari kata "rok" yang artinya "rampas", jadi nama "Arok" bisa juga diartikan "perampas". Tokoh Ken Arok memang dikisahkan sebagai anak pejabat yang suka merampas dan gemar berkelahi. Sedangkan "Sri" artinya "Bangsawan" (raja atau ratu), nama Rajasa dalam bahasa sansekerta diartikan dengan "merebut". Selain dijumpai dalam naskah sastra Pararaton dan Negarakertagama, juga dijumpai dalam "Prasasti Balawi" yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit tahun 1305. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota keluarga Rajasa dan memang adalah keturunan Rajasa. Nama "Sri Rajasa" ini adalah bentuk halus dari nama "Ken Arok".

Pengarang Pararaton juga menciptakan karakter tokoh Ken Arok sebagai masa muda Sri Rajasa dengan penuh keistimewaan. Ken Arok sendiri diberitakan sebagai putra Brahma, titisan Wisnu, serta penjelmaan Siwa, sehingga seolah-olah karakter dan kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya.

Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok, dapat ditarik kesimpulan kalau Sri Rajasa, pendiri Kerajaan Tumapel, merupakan anak seorang pejabat, yang dipercaya sebagai titisan Dewa Brahma, yang memiliki kecerdasan (Brahma), wibawa (Wisnu) dan keberanian (Siwa), di atas rata-rata sehingga dapat mengantarkan dirinya sebagai pendiri dan pembangun suatu dinasti baru yang menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah pulau Jawa.

Keturunan

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
-
Raja Tumapel (Singhasari)
12221227
Diteruskan oleh:
Anusapati

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Pitono, R Drs. (1965) "Pararaton", Jakarta: Penerbit Bhratara.
  2. ^ a b c d e f Sukatman (2012) "Mitos Asal-usul Ken Arok Raja Singasari: Kajian Tradisi Lisan". Laporan Penelitian. Jember: FKIP Universitas Jember.
  3. ^ Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor (dalam bahasa Inggris). ABC-CLIO. ISBN 9781576077702. 

Kepustakaan

  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Pogadaev, V. A. The Bloody Throne of Java. Zhivaya istoriya Vostoka (The Live History of Orient). Мoscow: Znanie, 1998, p. 172-179.

Pranala luar

Lihat pula