Jalaluddin Rumi

penyair Sufi

Jalāl ad-Dīn Mohammad Rūmī (bahasa Persia: جلال‌الدین محمد رومی), juga dikenal dengan nama Jalāl ad-Dīn Mohammad Balkhī (جلال‌الدین محمد بلخى) atau sering pula disebut Rumi (30 September 1207 – 17 December 1273), adalah seorang penyair sufi Persia,[1][2][3] teolog Maturidi, sekaligus ulama yang lahir di Balkh (sekarang Samarkand), Persia Raya.[4][5] Selama tujuh abad terakhir, orang-orang Iran, Tajik, Turki, Yunani, Pashtun, orang-orang Islam di Asia Tengah, serta orang-orang Islam di Subbenua India telah menikmati karya-karyanya. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan juga diubah ke dalam beragam format. Rumi telah dikenal sebagai salah satu "penyair terpopuler"[6] dan juga "penyair terlaris" di Amerika Serikat.[7][8]

Rumi

Kebanyakan karya-karya Rumi ditulis dalam bahasa Persia, tetapi ia juga terkadang menggunakan bahasa Turki,[9] Arab,[10] dan Yunani[11][12][13] dalam tulisan-tulisannya. Salah satu karyanya, yaitu Kitab Masnawi (Mathnawi), yang disusun di Konya, dianggap sebagai salah satu puisi terbaik dalam bahasa Persia.[14][15] Karya ini merupakan salah satu karya paling berpengaruh dalam dunia Sufisme, dan kerap disebut sebagai "Quran dalam bahasa Persia".[16]

Hingga saat ini, karya-karya Rumi dalam bahasa aslinya telah dan masih banyak dibaca di wilayah Persia Raya dan juga wilayah-wilayah yang menuturkan bahasa Persia.[17][18] Sementara itu, hasil terjemahan karya-karyanya juga amat populer, terutama di Turki, Azerbaijan, Amerika Serikat, dan wilayah Asia Selatan.[19] Puisi-puisinya membawa pengaruh siginifikan, tidak hanya teradap sastra Persia, tapi juga terhadap tradisi sastra yang ditulis dalam bahasa Turki Utsmaniyah, Chagatai, Urdu, Bengali dan Pashtun.[20][21]

Kehidupan awal

Ayahnya yang masih merupakan keturunan Abu Bakar bernama Bahauddin Walad, sedangkan ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi merupakan seorang cendekia yang saleh, berpandangan ke depan, dan seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia tiga tahun, karena terancam oleh serbuan Mogol, keluarganya meninggalkan Balkh melalui Khurasan dan Suriah, sampai ke Provinsi Rum di Anatolia tengah, yang merupakan bagian Turki sekarang. Mereka menetap di Qonya, ibu kota provinsi Rum. Dalam pengembaraan dan pengungsiannya tersebut, keluarganya sempat singgah di kota Nishapur yang merupakan tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota inilah Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah ketuhanan.

Hari itu, sebagaimana biasanya, Jalaluddin Rumi tengah mengajar para muridnya dalam sebuah perkuliahan. Tiba-tiba seseorang yang sebelumnya belum dikenal secara lebih dekat oleh Rumi masuk ruang perkuliahan tersebut. Orang asing itu pun menunjuk sebuah tumpukan buku sembari bertanya dengan nada berantakan, "Apa ini?" Rumi menjawab dengan nada jengkel, "Kau tidak akan mengerti." Mendapat jawaban yang demikian dari Rumi, orang itu lantas membawa buku-buku tersebut untuk dibakar. Maka, tersulutlah api yang membakar buku-buku tersebut, Rumi ganti bertanya, "Apa ini?" Orang asing itu menjawab, "Kau tidak akan mengerti." Saat itu, Rumi terhentak dalam kebingungan. Dia merasa bodoh, hingga pada akhirnya ia menjadi murid dari orang asing yang membakar buku-buku itu. Orang asing tersebut adalah Syamsuddin Al-Tabrizi, atau dikenal sebagai Syams Tabrizi. Dialah guru yang membimbing Rumi untuk meninggalkan segalanya. Sejak pertemuannya dengan Syams Tabrizi, Rumi berubah secara drastis. Hingga pada akhirnya, Rumi menjadi seorang sufi agung yang populer dengan syair-syair indahnya. Suatu ketika, Syams Tabrizi meninggalkan Rumi tanpa memberitahukan ke mana tujuan dari kepergiannya itu. Rumi bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Maka, lahirlah sebuah kitab yang berjudul Diwan Syams Tabrizi yang berisi ghazal-ghazal kerinduan Rumi kepada Sang Guru, Syams Tabrizi.[22]

Tahun 1244 M, Rumi bertemu dengan syekh spiritual lain, Syamsuddin dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah Syamsuddin wafat, Rumi kemudian bertemu dengan Husamuddin Ghalabi, dan mengilhaminya untuk menuliskan pengalaman spiritualnya dalam karya monumentalnya Matsnawi-ye Ma’nawi. Ia mendiktekan karyanya tersebut kepada Husamuddin sampai akhir hayatnya pada tahun 1273 M.[23]

Suatu hari Rumi bertanya,

Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat orang semakin pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama menimbulkan permusuhan? Mengapa orang beriman itu berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan? Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar? Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman? Apakah hanya untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas kehidupan? Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci itu gagal dalam tindakan dan muamalah?

Rumi mengkombinasikan tiga hal sekaligus, mempunyai visi spiritual yang mendalam sekelas Buddha atau Yesus, mempunyai refleksi intelektual yang luas seperti Plato atau Aristoteles dan mempunyai kemahiran dalam menemukan kata-kata indah seperti Shakesphare.[24]

Karya

Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengkritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio. Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.

Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.

Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, tetapi ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.

Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah:

Jangan tanya apa agamaku. Aku bukan Yahudi, bukan zoroaster, bukan pula Islam. Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.

Jalaluddin Rumi meninggalkan dua buah karya yang mengupas tentang sastra. Di antara kitabnya ada yang redaksinya berbentuk prosa dan ada pula yang susunannya berbentuk nazam. Karya yang redaksinya berbentuk prosa adalah:

  1. Al-Majalis as-Sab'ah, kitab ini berisi kumpulan nasihat dan khotbah yang disampaikan Rumi di atas mimbar-mimbar. Adapun isinya merupakan hasil dari pengembaraan hidup Rumi yang mempertemukan dirinya dengan sang guru, Syamsuddin al-Tabrizi;
  2. Majmu'ah min ar-Rasa'il, kitab ini berisi sekumpulan surat yang ditulis oleh Rumi kepada para sahabat dan kerabatnya, dan;
  3. Fihi Ma Fihi, kitab yang berisi penyampaian dengan bentuk prosa. Kebanyakan pembahasan dalam setiap pasal-pasalnya merupakan jawaban dan tanggapan atas bermacam pertanyaan dalam konteks dan kesempatan yang berbeda-beda. Kitab ini berisi kumpulan materi perkuliahan, refleksi dan komentar yang membahas masalah sekitar akhlak dan ilmu-ilmu Irfan yang dilengkapi dengan tafsiran atas al-Qur'an dan Hadis.[25]

Sementara karya-karya Rumi yang berupa nazam adalah:

  1. Diwan Syams Tabrizi, kitab ini berisi ghazal, seperti yang dikatakan orang-orang Iran. Diwan ini digubah dengan mengikuti bahar-bahar yang bervariasi dengan jumlah baitnya mencapai 43.000 bait. Rumi menggubah Diwan ini untuk mengungkapkan ketergantungannya kepada gurunya Syamsuddin Tabrizi. Karenanya terjalinlah persatuan antara murid dan gurunya, sampai-sampai Rumi menggubah diwan dan pada akhirnya terucap nama Syams oleh lisannya sehingga Diwan ini terkenal dengan nama Diwan Syams Tabrizi;
  2. Ruba'iyat, yang dinisbahkan kepada Rumi. Dalam kitab ini terdapat 1.659 bait yang wazan-nya berbentuk rubai (terdiri dari empat baris). Sementara keseluruhan baitnya mencapai 3.318 bait, dan;
  3. Matsnawi, nazam berbahasa Persia yang dalam bahasa Arab searti dengan kata biner. Dalam setiap bait terselit rima yang menyendiri dan rima bait-bait lainnya. Namun dua penggalan dalam satu baitnya tetaplah sama.


Referensi

  1. ^ Yalman, Suzan (7 July 2016). "Badr al-Dīn Tabrīzī". Encyclopaedia of Islam, THREE (dalam bahasa Inggris). Badr al-Dīn Tabrīzī was the architect of the original tomb built for Mawlānā Jalāl al-Dīn Rūmī (d. 672/1273, in Konya), the great Persian mystic and poet. 
  2. ^ Ritter, H.; Bausani, A. "ḎJ̲alāl al-Dīn Rūmī b. Bahāʾ al-Dīn Sulṭān al-ʿulamāʾ Walad b. Ḥusayn b. Aḥmad Ḵh̲aṭībī." Encyclopaedia of Islam. Edited by: P. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Brill, 2007. Brill Online. Excerpt: "known by the sobriquet Mewlānā, persian poet and founder of the Mewlewiyya order of dervishes"
  3. ^ Lewis, Franklin D. (2008). Rumi: Past and Present, East and West: The life, Teaching and poetry of Jalal Al-Din Rumi. Oneworld Publication. hlm. 9. How is that a Persian boy born almost eight hundred years ago in Khorasan, the northeastern province of greater Iran, in a region that we identify today as in Central Asia, but was considered in those days as part of the greater Persian cultural sphere, wound up in central Anatolia on the receding edge of the Byzantine cultural sphere, in what is now Turkey, some 1,500 miles to the west? 
  4. ^ Lewis, Franklin D. (2008). Rumi: Past and Present, East and West: The life, Teaching and poetry of Jalal Al-Din Rumi. Oneworld Publication. hlm. 9. How is that a Persian boy born almost eight hundred years ago in Khorasan, the northeastern province of greater Iran, in a region that we identify today as in Central Asia, but was considered in those days as part of the greater Persian cultural sphere, wound up in central Anatolia on the receding edge of the Byzantine cultural sphere, in what is now Turkey, some 1,500 miles to the west? 
  5. ^ Schimmel, Annemarie (7 April 1994). The Mystery of Numbers. Oxford University Press. hlm. 51. These examples are taken from the Persian mystic Rumi's work, not from Chinese, but they express the yang-yin [sic] relationship with perfect lucidity. 
  6. ^ Charles Haviland (30 September 2007). "The roar of Rumi—800 years on". BBC News. Diakses tanggal 30 September 2007. 
  7. ^ Ciabattari, Jane (21 October 2014). "Why is Rumi the best-selling poet in the US?". BBC News. Diakses tanggal 22 August 2016. 
  8. ^ Tompkins, Ptolemy (29 October 2002). "Rumi Rules!". Time. ISSN 0040-781X. Diakses tanggal 22 August 2016. 
  9. ^ Annemarie Schimmel, The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaloddin Rumi, SUNY Press, 1993, p. 193: "Rumi's mother tongue was Persian, but he had learned during his stay in Konya, enough Turkish and Greek to use it, now and then, in his verse."
  10. ^ Franklin Lewis: "On the question of Rumi's multilingualism (pp. 315–317), we may still say that he spoke and wrote in Persian as a native language, wrote and conversed in Arabic as a learned "foreign" language and could at least get by at the market in Turkish and Greek (although some wildly extravagant claims have been made about his command of Attic Greek, or his native tongue being Turkish) (Lewis 2008:xxi). (Franklin Lewis, "Rumi: Past and Present, East and West: The Life, Teachings and Poetry of Jalal al-Din Rumi," One World Publication Limited, 2008). Franklin also points out that: "Living among Turks, Rumi also picked up some colloquial Turkish."(Franklin Lewis, "Rumi: Past and Present, East and West: The Life, Teachings and Poetry of Jalal al-Din Rumi," One World Publication Limited, 2008, p. 315). He also mentions Rumi composed thirteen lines in Greek (Franklin Lewis, Rumi: Past and Present, East and West: The Life, Teachings and Poetry of Jalal al-Din Rumi, One World Publication Limited, 2008, p. 316). On Rumi's son, Sultan Walad, Franklin mentions: "Sultan Walad elsewhere admits that he has little knowledge of Turkish" (Sultan Walad): Franklin Lewis, Rumi, "Past and Present, East and West: The Life, Teachings and Poetry of Jalal al-Din Rumi, One World Publication Limited, 2008, p. 239) and "Sultan Valad did not feel confident about his command of Turkish" (Franklin Lewis, Rumi: Past and Present, East and West, Oneworld Publications, 2000, p. 240)
  11. ^ Δέδες, Δ. 1993. Ποιήματα του Μαυλανά Ρουμή. Τα Ιστορικά 10.18–19: 3–22.
  12. ^ Meyer, G. 1895. Die griechischen Verse in Rabâbnâma. Byzantinische Zeitschrift 4: 401–411.
  13. ^ "Greek Verses of Rumi & Sultan Walad". uci.edu. 22 April 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 August 2012. 
  14. ^ Gardet, Louis (1977). "Religion and Culture". Dalam Holt, P.M.; Lambton, Ann K.S.; Lewis, Bernard. The Cambridge History of Islam, Part VIII: Islamic Society and Civilization. Cambridge University Press. hlm. 586. It is sufficient to mention 'Aziz al-Din Nasafi, Farid al-Din 'Attar and Sa'adi, and above all Jalal al-Din Rumi, whose Mathnawi remains one of the purest literary glories of Persia 
  15. ^ C.E. Bosworth, "Turkmen Expansion towards the west" in UNESCO History of Humanity, Volume IV, titled "From the Seventh to the Sixteenth Century", UNESCO Publishing / Routledge, p. 391: "While the Arabic language retained its primacy in such spheres as law, theology and science, the culture of the Seljuk court and secular literature within the sultanate became largely Persianized; this is seen in the early adoption of Persian epic names by the Seljuk rulers (Qubād, Kay Khusraw and so on) and in the use of Persian as a literary language (Turkmen must have been essentially a vehicle for everyday speech at this time). The process of Persianization accelerated in the 13th century with the presence in Konya of two of the most distinguished refugees fleeing before the Mongols, Bahā' al-Dīn Walad and his son Mawlānā Jalāl al-Dīn Rūmī, whose Mathnawī, composed in Konya, constitutes one of the crowning glories of classical Persian literature."
  16. ^ Jawid Mojaddedi (2004). "Introduction". Rumi, Jalal al-Din. The Masnavi, Book One. Oxford University Press (Kindle Edition). hlm. xix. 
  17. ^ "Interview: 'Many Americans Love Rumi...But They Prefer He Not Be Muslim'". RadioFreeEurope/RadioLiberty (dalam bahasa Inggris). 9 August 2010. Diakses tanggal 22 August 2016. 
  18. ^ "Interview: A mystical journey with Rumi". Asia Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 August 2010. Diakses tanggal 22 August 2016. 
  19. ^ "Dîvân-i Kebîr Jalāl al-Dīn Rūmī". OMI – Old Manuscripts & Incunabula. Diakses tanggal 22 August 2016. 
  20. ^ Rahman, Aziz (27 August 2015). "Nazrul: The rebel and the romantic". The Daily Sun. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 April 2017. Diakses tanggal 12 July 2016. 
  21. ^ Khan, Mahmudur Rahman (30 September 2018). "A tribute to Jalaluddin Rumi". The Daily Sun. 
  22. ^ Annemarie Schimmel, Matahari Diwan Syams Tabrizi, Yogyakarta: Relasi Inti Media, 2018, 1.
  23. ^ Syekh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muh. Hasyim Assagaf (Jakarta: Lentera, 2001), h. 132
  24. ^ Andrew Harvey, Samudra Rubaiyat: Menyelami Pesan Magis dan Rindu, Yogyakarta: Relasi Inti Media, 2018, 1.
  25. ^ Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Yogyakarta, Relasi Inti Media, 2016. h. 17

Pranala luar