Nusantara

istilah bahasa Jawa Kuno untuk teritori Majapahit yang berbentuk kepulauan
Revisi sejak 20 Agustus 2022 00.48 oleh Verosaurus (bicara | kontrib) (Mengembalikan teks yang dihapus tanpa alasan.)

Nusantara ialah sebuah istilah yang berasal dari perkataan dalam bahasa Kawi (sebuah bentuk bahasa Jawa Kuno yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta), yaitu ꦤꦸꦱ (nusa) terj. har. "pulau" dan ꦲꦤ꧀ꦠꦫ (antara) terj. har. "luar". Istilah "Nusantara" secara spesifik merujuk kepada Indonesia (kepulauan Indonesia),[1][2][3]:3[4]:230 kata ini tercatat pertama kali dalam kitab Negarakertagama untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit; yang kawasannya mencakup sebagian besar Asia Tenggara, terutama pada wilayah kepulauan.

Peta kepulauan Nusantara berlapis emas melambangkan tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia di Ruang Kemerdekaan Monas, Jakarta

Pada tahun 1900-an istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara[5] sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka selain Hindia Belanda. Sekalipun nama "Indonesia" (terj. 'Kepulauan Hindia') disetujui untuk digunakan sebagai nama resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia, kata Nusantara tetap diabadikan sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Penggunaan istilah ini pada zaman kuno dipakai untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia (termasuk Semenanjung Malaysia).

Nusantara dalam konsep kenegaraan Jawa Majapahit

 
Wilayah Majapahit pada puncak terluasnya.

Dalam konsep kenegaraan Jawa pada abad ke-13 hingga ke-15, raja adalah "Raja-Dewa": Raja yang memerintah adalah juga penjelmaan dewa. Karena itu daerah kekuasaannya memancarkan konsep kekuasaan seorang dewa. Kerajaan Majapahit dapat dipakai sebagai teladan. Negara dibagi menjadi tiga bagian wilayah:

  1. Negara Agung merupakan daerah sekeliling ibu kota kerajaan tempat raja memerintah.
  2. Mancanegara adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitar yang budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di "daerah perbatasan". Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Bali adalah daerah "mancanegara". Lampung dan juga Palembang juga dianggap daerah "mancanegara".
  3. Nusantara, yang berarti "pulau lain" (di luar Jawa)[6] adalah daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan: para penguasanya harus membayar upeti.

Gajah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapa: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.

Terjemahannya adalah: "Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan pulau-pulau lain, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".

Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah-wilayah "Nusantara", yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuno nusa ("pulau") dan antara (lain/seberang).

Kata Nusantara tidak hanya digunakan oleh orang Jawa dan tidak hilang setelah runtuhnya Majapahit. Kata ini dapat ditemui di Sejarah Melayu, sebuah sastra Melayu klasik yang ditulis paling awal pada tahun 1612, tetapi kata ini tetap dikenal hingga manuskrip tahun 1808:[7][8]

Terlalu sekali besar kerajaan Baginda (Majapahit) pada zaman itu, segala seluruh Jawa semuanya dalam hukum Baginda, dan segala raja-raja Nusantarapun setengah sudah ta-luk kepada Baginda.[9]

Dwipantara

Kebanyakan sejarawan Indonesia percaya bahwa konsep kesatuan Nusantara bukanlah pertama kali dicetuskan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa pada tahun 1336, melainkan dicetuskan lebih dari setengah abad lebih awal oleh Kertanegara pada tahun 1275. Sebelumnya dikenal konsep Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Kertanegara, raja Singhasari.[10] Dwipantara adalah kata dalam bahasa Sanskerta untuk "kepulauan antara", yang maknanya sama persis dengan Nusantara, karena "dwipa" adalah sinonim "nusa" yang bermakna "pulau". Kertanegara memiliki wawasan suatu persatuan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di bawah kewibawaan Singhasari dalam menghadapi kemungkinan ancaman serangan Mongol yang membangun Dinasti Yuan di Tiongkok. Karena alasan itulah Kertanegara meluncurkan Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin persatuan dan persekutuan politik dengan kerajaan Malayu Dharmasraya di Jambi. Pada awalnya ekspedisi ini dianggap penakhlukan militer, akan tetapi belakangan ini diduga ekspedisi ini lebih bersifat upaya diplomatik berupa unjuk kekuatan dan kewibawaan untuk menjalin persahabatan dan persekutuan dengan kerajaan Malayu Dharmasraya. Buktinya adalah Kertanegara justru mempersembahkan Arca Amoghapasa sebagai hadiah untuk menyenangkan hati penguasa dan rakyat Malayu. Sebagai balasannya raja Melayu mengirimkan putrinya; Dara Jingga dan Dara Petak ke Jawa untuk dinikahkan dengan penguasa Jawa.

Penggunaan modern

Pada tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara mengusulkan penggunaan kembali istilah "Nusantara" untuk menyebut wilayah Hindia Belanda. Nama ini dipakai sebagai salah satu alternatif karena tidak memiliki unsur bahasa asing. Dan juga, alasan lain dikemukakan karena Belanda, sebagai penjajah, lebih suka menggunakan istilah Indie (terj. "Hindia"), yang menimbulkan banyak keracuan dengan literatur berbahasa lain yang dapat menunjukan identitas bangsa lain, yakni India. Istilah ini juga memiliki beberapa alternatif lainnya, seperti "Indonesië" (Indonesia) dan "Insulinde" (berarti "Kepulauan Hindia"). Istilah yang terakhir ini diperkenalkan oleh Eduard Douwes Dekker.[5]

Ketika akhirnya "Indonesia" ditetapkan sebagai nama kebangsaan bagi negara independen pelanjut Hindia Belanda pada Kongres Pemuda II (1928), istilah Nusantara tidak serta-merta surut penggunaannya. Istilah ini kemudian tetap lestari dipakai sebagai sinonim bagi "Indonesia", dan dipakai dalam berbagai hal yang utamanya berkaitan dengan kebangsaan, contohnya yakni baik dalam pengertian kebudayaan, antropogeografik, maupun politik (misalnya dalam konsep Wawasan Nusantara).

=Kompas.com|language=id}}</ref>

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Nusantara". Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-3). Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2016. 
  2. ^ Rais, Mohamed Amien; Ng, Taryn; Irwan, Omar; Najib, Muhammad (2004). Putra Nusantara: Son of the Indonesian Archipelago [Putra Nusantara: Putra Kepulauan Indonesia] (dalam bahasa Inggris). Singapore: Stamford Press. ISBN 9810499078. 
  3. ^ Bowring, Philip (2018). Empire of the Winds: the Global Role of Asia's Great Archipelago (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury. hlm. 3. 'Nusantara' was defined the region of islands and coasts over which Majapahit rule, ... Nusantara in Malay today has narrower meaning: 'archipelago', specifically the Indonesian archipelago. 
  4. ^ Avé, J. (1989). "'Indonesia', 'Insulinde' and 'Nusantara': Dotting the I's and Crossing the T". Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde (dalam bahasa Inggris). Leiden, the Netherlands. 145 (2/3): 230. 'Nusantara' has been understood and used to refer to the whole, that is, the mosaic of 'nusas' which constitutes an archipelago, specifically the Indonesian archipelago. Berg's interpretation, however, appears to have been generally accepted...  line feed character di |quote= pada posisi 57 (bantuan)
  5. ^ a b Justus M. van der Kroef (1951). "The Term Indonesia: Its Origin and Usage". Journal of the American Oriental Society. 71 (3): 166–171. doi:10.2307/595186. 
  6. ^ Jerry H. Bentley, Renate Bridenthal, Kären E. Wigen (éds.), Seascapes: Maritime Histories, Littoral Cultures, and Transoceanic Exchanges, 2007, University of Hawai'i Press, Honolulu, hal. 61
  7. ^ Ismail, Abdul Rahman Haji (1998). "Malay Annals". Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society: 93. ISBN 9789679948134. 
  8. ^ Samad, A. Ahmad (1979). Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. hlm. 43. 
  9. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2009). Meluruskan Sejarah Majapahit. Ragam Media. hlm. 227. 
  10. ^ Indonesia Negara Maritim (in Indonesian)

Pranala luar