Katholieke Kweekschool
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Katholieke Kweekschool adalah sekolah guru yang didirikan oleh Gereja Katolik, dengan maksud untuk memenuhi guru agama Katolik. Pada tahun 1911 sebagai jawaban terhadap Politik Etis Hindia Belanda (1901), maka didirikan sekolah calon imam di Muntilan untuk memenuhi kebutuhan bagi kegiatan agama Katolik di Indonesia.
1. Zaman Belanda (1911-1941)
a. Tempat pendidikan calon imam di Kolese Xaverius Muntilan (1911-1926)
(1) Seminari Menengah Mertoyudan telah menempuh perjalanan sejarah cukup panjang. Awal berdirinya tidak dapat dilepaskan dari dua pemuda pribumi lulusan Kweekschool di Muntilan yang berkeinginan menjadi imam. Nama pemuda itu adalah Petrus Darmaseputra dan Fransiskus Xaverius Satiman. Pada bulan November 1911 mereka menghadap Romo F. van Lith SJ dan Romo Y. Mertens SJ, dan mohon agar diperkenankan belajar untuk menyiapkan diri menjadi imam. Niat kedua pemuda itu dan kebutuhan imam di Indonesia mendorong munculnya gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi para calon imam. Untuk itu, proses perizinan dari Roma segera diurus. Pada tanggal 30 Mei 1912, keluarlah izin resmi dari Roma untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Kemudian, kursus pendidikan calon imam diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan.
(2) Antara tahun 1916-1920, sudah ada sepuluh siswa Muntilan yang dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan oleh para pater Ordo Salib Suci di Uden, Eropa. Karena dua siswa meninggal di sana dan seorang lagi terganggu kesehatannya, diambil kebijaksanaan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut di Indonesia. Kursus di Muntilan disempurnakan.
(3) Pada tanggal 7 September 1922, dua seminaris menjadi novis pertama pada novisiat Serikat Yesus yang baru dibuka di Yogyakarta dengan Rektor dan sekaligus pimpinan novisiatnya yaitu Romo Strater SJ.
b. Seminari Kecil Santo Petrus Canisius Yogyakarta (1925-1941)
(1) Pada bulan Mei 1925, dimulailah Seminari Kecil (Klein Seminarie). Gedungnya dibangun di sebelah barat Kolese Santo Ignasius, Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1927, dan diberkati oleh Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen SJ. Kursus diadakan bagi mereka yang baru tamat dari Sekolah Dasar Hollands Inlandse School (HIS) dan Europese Lagere School (ELS).
(2) Sementara itu, kursus di Muntilan bagi mereka yang telah memperoleh ijazah guru tetap berlangsung, dan baru pada tahun 1927 digabungkan dengan Seminari Kecil di Yogyakarta.
(3) Pada tahun 1941, karena jumlah siswa Seminari Kecil di Yogyakarta meningkat sampai lebih dari seratus siswa, Seminari dipindahkan ke Mertoyudan. Pelajaran pertama dimulai pada tanggal 13 Januari 1941.
(4) Dua peristiwa lain yang kiranya pantas dicatat di sini adalah:
(a) Pada tanggal 15 Agustus 1936, Seminari Tinggi Santo Paulus didirikan di Muntilan oleh Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. Petrus Johannes Willekens SJ, dengan lima mahasiswa pertama sebagai calon imam. Enam tahun kemudian, yaitu pada tanggal 28 Juli 1942, empat dari lima mahasiswa itu ditahbiskan menjadi imam praja pertama.
(b) Pada tanggal 1 Agustus 1940, didirikan Vikariat Apostolik Semarang dengan vikaris Apostolik Romo Albertus Soegijapranata SJ, uskup asli Indonesia pertama yang diangkat oleh Paus Pius XII.
2. Zaman Jepang - Seminari "in diaspora" (1942-1945)
a. Pada tanggal 8 Maret 1942 tentara Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Asia Raya berada di bawah kekuasaan Jepang. Semua sekolah yang menggunakan bahasa Belanda ditutup. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang, dan digunakan untuk Sekolah Pertanian Nogako.
b. Pada tanggal 5 April 1942, para seminaris terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Namun, pendidikan calon imam tetap dilangsungkan di berbagai pastoran: Boro, Yogyakarta, Ganjuran, Muntilan, Girisonta, Ungaran, Semarang, dan Solo. Di tempat-tempat ini, pelajaran diberikan secara sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, Seminari lazim disebut Seminari "in diaspora". Situasi ini berlangsung sampai tahun 1945.
3. Zaman Indonesia Merdeka (1945 - sekarang...)
a. Masa perjuangan (1945 - 1949)
(1) Pada tahun 1945, Jepang mengalami kekalahan dalam melawan Sekutu. Bangsa Indonesia mengambil kesempatan itu untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tahun itu, gedung Seminari Mertoyudan ditempati oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1946, 49 seminaris yang tersebar di berbagai tempat dikumpulkan di kompleks Sekolah Guru Ambarawa. Mereka diasuh oleh Romo C. Soetapanitra SJ (imam yang masuk Seminari Kecil tahun 1927). Pada bulan September 1947, Ambarawa menjadi medan palagan (Clash I); karena itu sebagian seminaris dipindahkan ke Ganjuran. Di sana, mereka diasuh oleh Romo J. Darmojuwono Pr. Sebagian yang lain dipindahkan ke Muntilan pada bulan Oktober 1947, dan diasuh oleh Romo Th. van der Putten SJ. Sejak tgl. 21 Juli 1948, para seminaris yang ada di Ganjuran pun dipindahkan ke Muntilan, dan diasuh oleh Romo Th. van der Putten SJ dan Romo R. Sandjaja Pr. Hadirnya karya misi di Muntilan dan kembalinya Seminari ke Muntilan ini menimbulkan perasaan tidak suka pada tentara Hisbullah terhadap pihak Katolik.
(2) Dari tanggal 17 Juni 1946 sampai 18 Desember 1948, pada waktu revolusi fisik atau perang kemerdekaan, gedung Seminari Mertoyudan digunakan untuk tempat pendidikan Kepolisian RI.
(3) Pada tanggal 19 Desember 1948 Yogyakarta diduduki oleh Belanda (Clash II). Setelah orang-orang pemerintahan mengundurkan diri dari Muntilan, pada tanggal 20 Desember 1948, gedung-gedung Bruderan FIC dibumihanguskan agar tidak jatuh ke tangan Belanda. Seminari Muntilan pun hendak dibakar oleh pasukan Hisbullah, tetapi berhasil diselamatkan oleh Romo Th. van der Putten SJ yang pada waktu itu menjadi Rektor. Bahkan, dia berhasil memperoleh surat resmi dari Pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa Seminari tidak boleh dibakar. Namun, di tengah usaha keras Romo van der Putten tersebut, terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Romo R. Sandjaja Pr. dan Frater Bouwens SJ dibunuh oleh laskar Hisbullah pada tanggal 20 Desember 1948. Dalam situasi kacau ini, warga Seminari dipaksa mengungsi ke desa Dukun selama dua hari.
(4) Sekembali dari pengungsian di Dukun, warga Seminari mendapati gedung mereka di Muntilan dalam keadaan rusak berat. Perabot dan perlengkapan sudah terampas. Oleh karena itu, dalam waktu singkat, pada awal Januari 1949, Romo van der Putten SJ memindahkan Seminari ke Jalan Code Yogyakarta.
b. Masa pembangunan (1949-1952)
Dalam masa perjuangan, gedung Seminari Mertoyudan sempat dibumihanguskan, sedang sisa-sisa bangunan menjadi jarahan banyak orang. Setelah situasi tenang, Seminari dibangun kembali oleh Vikariat Semarang. Akhirnya, pada bulan Agustus 1952, pembangunan selesai dilaksanakan. Bangunan ini sekarang merupakan bagian dari Domus Patrum dan Medan Madya.
c. Masa perkembangan Seminari Mertoyudan (1952 - sekarang)
(1) Setelah pembangunan selesai, selama liburan, para seminaris pindah ke Mertoyudan. Pada tanggal 3 Desember 1952, gedung Seminari Mertoyudan diberkati oleh Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Gedung tambahan dibangun lima tahun kemudian; dipergunakan seminaris Medan Utama dan Medan Pratama. Sejak itu, semakin banyak, murid tamatan SD diterima di Seminari Mertoyudan.
(2) Berdasarkan pelbagai pertimbangan, mulai tahun 1968, siswa tamatan SD tidak diterima lagi, dan yang diterima hanya para siswa tamatan SLTP dan SLTA.
(3) Pada tahun 1971, siswa Seminari lulusan SLTA bertempat tinggal di Yogyakarta, dan mengikuti kuliah di IKIP Sanata Dharma sampai menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda. Kemudian, pada tahun 1972, siswa tamatan SLTA ditampung di Seminari Mertoyudan. Karena pelbagai alasan, pada tahun 1974, didirikan cabang Seminari di Yogyakarta yang bertempat di Wisma Realino untuk menampung siswa tamatan SLTA. Sementara itu, di Mertoyudan, dilaksanakan penambahan gedung. Pada tahun 1976, gedung itu diresmikan, dan mulai dihuni oleh seminaris Medan Utama. Pada tahun itu juga, Seminari cabang Yogyakarta digabung lagi dengan Seminari Mertoyudan hingga sekarang.
(4) Mulai 27 April 1987, dibangun satu unit perpustakaan (dua lantai) untuk mendukung pembinaan dan pendidikan di Seminari Mertoyudan.