La Patau Matanna Tikka, Matinroe ri Nagauleng

La Patau Matanna Tikka (lahir pada tanggal 03 November 1672 dan wafat pada tanggal 16 September 1714) adalah Sultan Bone XVI yang menjabat pada tahun 1696-1714. menggantikan Arung Palakka. Gelaran nama panjang La Patau adalah La Patau Matanna Tikka, Sultan Alimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali Malae Sanrang, Matinroe ri Nagauleng. La Patau juga adalah Raja (Datu) Soppeng XVIII dan Ranreng Tuwa (Wajo) XVIII.

Riwayat Keluarga

La Patau adalah anak dari pasangan La PakokoE To Angkone Arung Timurung, Paddanreng Tuwa XVI, Putra Sultan Bone XIII La Maddaremmeng dan We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka yang merupakan adik dari Arung Palakka Arung Palakka menikahkan La Patau Matanna Tikka dengan We Ummung Datu Larompong anak dari La Settia Raja, PajungngE ri Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang kemudian melahirkan We Batari Toja Daeng Talaga. Pada tahun 1687 Masehi, La Patau Matanna Tikka dinikahkan lagi oleh pamannya Arung Palakka di Makassar yaitu We Mariama Karaeng Pattukangan, anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Tumenanga ri Lakiung atau cucu yang juga merupakan cucu dari Sultan Hasanuddin. Dari perkawinannya itu lahirlah empat anak, yaitu We Yanebana I Dapattola La Pareppa To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi. Diriwayatkan bahwa selain kedua permaisuri La Patau di atas, tercatat 18 (delapan belas) orang istri lainnya dalam Lontaraq antara lain adalah Sitti Maemuna (Dala Maru'), I Akiya (Datu Baringeng), We Rakiya (Dala Bantaeng), We Biba To Unynyi', We Maisa To Lemo Ape', We Leta To BaloE, We Sangi To BikuE, We SIa, We Sitti To Palakka, We Najang To Soga, We Caiya To BaloE, We Cimpau To UciE, We Baya To Bukaka, We Sitti, We Saira Karobang, We Sanra To Soppeng, We Ati, dan We Rupi.

Riwayat Pemerintahan

La Patau dikenal sebagai raja yang sangat menghargai hukum adat istiadat dan syariat agama. Ia sangat konservatif dan juga sangat tegas kepada para pemadat atau pecandu dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan masyarakat sehingga dalam masa pemerintahannya semua adat istiadat berjalan dengan baik. Baginda tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti dihukum termasuk keluarganya sendiri. Pada masa kekuasaannya, Tercatat dua kali nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa termasuk perang melawan mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang. Pertama, yaitu pada tahun 1700 Masehi ketika Sulle DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Namun Belanda segera turu tangan untuk menengahi kedua pihak sehingga peperangan tidak berlanjut.Perang kedua yaitu pada tahun 1709 Masehi ketika La Padangsajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahandanya sendiri maka melarikan diri ke Gowa untuk minta perlindungan kepada kakeknya. Oleh Karena permintaan Arumpone bersama Adat Tujuh Bone agar La Padangsajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa, maka Bone menyatakan perang dengan Gowa. Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum. Sebelum perang dimulai, Raja Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La Padangsajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau menggantikan kakeknya sebagai Somba ri Gowa. La Pareppai To Sappewali juga bersikap sama dengan tetap menolak untuk menyerahkan saudaranya ke Bone. Konflik ini juga ditengahi oleh Belanda, sehingga perang perang antara anak dengan ayah menjadi terhindarkan. La Patau adalah raja yang pertama mengangkat Matowa sebagai pemimpin orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dengan tujuan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dapat diawasi keadaan sehari-harinya karena mengingat pada waktu itu La Patau mempunyai tugas sebagai Raja Bone, dan sekaligus juga sebagai Ranreng Tuwa di Wajo. La Patelleng Amanna Gappa adalah orang yang pertama diangkat sebagai Matowa Wajo.

La Patau juga menjabat sebagai Ranreng Tuwa di Wajo yang diwarisi dari ayahandanya, dan juga sebagai Arung Ugi'. Pada mulanya La Patau diminta menjadi Datu Soppeng namun menolak karena menurutnya masih adanyang lebih pantas dan dituakan yaitu We Ada, namun setelah We Ada wafat maka datanglah kembali orang Soppeng meminta memegang Soppeng dan Bone sekaligus sehingga barulah La Patau bersedia. Selain mewarisi Arung Timurung dari ayahandanya, La Patau juga mewarisi Arung Palakka dari ibundanya yaang maddanreng di Palakka.

Referensi

  • A. Palloge (1990) Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Yayasan Al Muallim, Makassar.
  • M. Hadrawi, et al. (2020) Lontara Sakke, Attoriolong Bone. Inninawa, Makassar.
  • M. Pamulu (2018) Sejarah Kerajaan & Silsilah Raja-Raja Bone

Pranala luar