Sapta Darma adalah sebuah kepercayaan dengan status satu-satunya kerohanian di Indonesia, yang mewajibkan warganya menyembah Allah Yang Maha Kuasa dan menjalankan hidupnya berdasarkan tujuh kewajiban suci (darma), agar selamat hidup dunia dan akhirat. Wahyu Kerohanian Sapta Darma diterima oleh Bapak Hardjosapoero di Pare, Kediri Jawa Timur pada 27 Desember 1952.

Ajaran

Ajaran Sapta Darma dianggap oleh para warganya memiliki makna yang sederhana, walaupun tidak akan ada selesainya jika ingin dijadikan bahan perbincangan. Intisari dari ajaran ini bersumber pada; Sujud dan pelaksanaan Wewarah Tujuh di dalam keseharian para warga Sapta Darma.


Cita-Cita Ajaran

Kerohanian Sapta Darma bertujuan untuk kebahagiaan pengikut-pengikutnya baik di dunia maupun di akhirat. Walaupun demikian, tidak ditanamkan doktrin tentang keberadaan surga dan neraka setelah kematian, sehingga percaya atau tidaknya diserahkan sepenuhnya kepada penghayat untuk membuktikannya. Lebih jauh ajaran surga-neraka ini diterangkan secara sederhana sebagai ; segala dampak yang ditimbulkan dari perilaku manusia yang baik dan bermanfaat bagi sesamanya dianalogikan sebagai surga, sementara bila perilaku manusia tersebut jahat dan berdampak pada kerusakan bagi manusia dan sekitarnya, maka dampak buruk itulah yang diumpamakan sebagai neraka.

Bagi kehidupan manusia di dunia, Sapta Darma mencita-citakan bahagianya dunia serta semesta alam (menghayu-hayu bagyaning bawana). Perilaku penghayat yang diharapkan dapat diuraikan sebagai :

  • Menanamkan tebalnya kepercayaan melalui bukti-bukti dan persaksian bahwa sesungguhnya Allah itu ada, serta memiliki lima sila (perwujudan kehendak), yang mutlak yaitu ; Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, dan Maha Langgeng.
  • Melatih kesempurnaan Sujud yang bermakna berbaktinya Hyang Maha Suci kepada Tuhan Yang Maha Esa (Hyang Maha Kuasa).
  • Mendidik manusia untuk selalu bertindak suci dan jujur untuk mencapai keluhuran nafsu, budi dan pekerti yang berujung pada menjadi Ksatria Utama yang sikapnya selalu dilandasi kesusilaan, bertindak pengasih dan penyayang, dan suka menolong.
  • Mengajar para warganya untuk dapat mengatur keseimbangan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah.
  • Menjalani wewarah tujuh yang dilandasi dengan kesempurnaan sujud
  • Memberantas kepercayaan akan tahayul, sehingga dilarang keras bagi warganya untuk; melandasi segala macam pekerjaan atas perhitungan hari, bulan, dan tahun (pernujuman), mempergunakan segala bentuk jimat dan benda-benda bertuah yang merupakan buatan manusia, dan meminta pertolongan kepada setan, jin, dan makhluk halus.


Wewarah Tujuh

Wewarah tujuh merupakan pedoman hidup yang harus dijalankan warga Sapta Darma. Isi dari Wewarah Tujuh adalah :

  • Setia kepada Allah Hyang ; Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, dan Maha Langgeng
  • Dengan jujur dan suci hati melaksanakan perundang-undangan negaranya
  • Turut serta menyingsingkan lengan baju demi mempertahankan nusa dan bangsanya
  • Bersikap suka menolong kepada siapa saja tanpa mengharapkan balasan apapun, melainkan hanya berdasarkan pada rasa cinta dan kasih
  • Berani hidup berdasarkan pada kepercayaan atas kekuatan diri sendiri
  • Sikap dalam hidup bermasyarakat selalu bersikap kekeluargaan yang senantiasa memperhatikan kesusilaan serta halusnya budi pekerti, selalu menjadi penunjuk jalan yang mengandung jasa serta mamuaskan
  • Meyakini bahwa keadaan dunia itu tidak abadi dan selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan - Jawa), sehingga sikap warga dalam hidup bermasyarakat tidak boleh bersifat statis dogmatis, tetapi harus selalu penuh dinamika.


Sesanti

Sesanti atau semboyan warga sapta darma berbunyi "Ing ngendi bae, marang sapa bae warga sapta darma kudu suminar pindha baskara"(bahasa jawa).[1] Makna dari semboyan ini adalah kewajiban bagi warganya untuk selalu bersikap tolong-menolong kepada semua manusia.


Toleransi Antar Umat Beragama

Toleransi antara umat beragama merupakan salah satu aspek yang sudah diajarkan dalam Sapta Darma. Hal ini mengacu pada nasihat Tuntunan Agung Sapta Darma, Ibu Sri Pawenang yang menyatakan bahwa warga Sapta Darma dilarang keras memaksakan orang lain dalam hal melaksanakan sujud maupun untuk menjadi warga Sapta Darma <ref>Wewarah Kerohanian Sapta Darma , edisi Bahasa Indonesia hal.41 </refrences>.


Ibadah

Pemeluk Sapta Darma mendasarkan apa saja yang dilakukan sebagai suatu ibadah, baik makan, tidur, dsb. Tetapi ibadah utama yang wajib dilakukan adalah Sujud, Racut, Ening dan Olah Rasa.

  • Sujud, adalah ibadah menyembah Tuhan; sekurang-kurangnya dilakukan sekali sehari.
  • Racut, adalah ibadah menghadapnya Hyang Maha Suci/Roh Suci manusia ke Hyang Maha Kuwasa. Dalam ibadah ini, Roh Suci terlepas dari raga manusia untuk menghadap di alam langgeng/surga. Ibadah ini sebagai bekal perjalanan Roh setelah kematian.
  • Ening, adalah semadi, atau mengosongkan pikiran dengan berpasrah atau mengikhlaskan diri kepada Sang Pencipta
  • Olah Rasa, adalah proses relaksasi untuk mendapatkan kesegaran jasmani setelah bekerja keras/olah raga

Warga Sapta Darma tidak membicarakan surga dan neraka, tetapi mempersilahkan warga Sapta Darma untuk melihat sendiri adanya surga dan neraka tersebut dengan cara racut. Kejahatan, kesemena-menaan, dan sebagainya mencerminkan neraka dengan segenap reaksi yang ditimbulkannya. Begitu juga dengan kebaikan seperti bersedekah, mengajarkan ilmu, menolong sesama mencerminkan surga.


Sanggar

Tempat ibadah warga Sapta Darma disebut "Sanggar" dengan seorang Tuntunan yang ditunjuk sebagai pemimpin dan bertanggungjawab dalam membina spiritual warga di sanggar tersebut. Warga Sapta Darma mengenal dua nama sanggar yaitu "Sanggar Candi Sapto Renggo" dan "Sanggar Candi Busono". Sanggar Candi Sapto Renggo hanya ada satu di Jogjakarta, adalah pusat kegiatan kerohanian Sapta Darma. Sanggar Candi Busono adalah sanggar yang tersebar didaerah-daerah

Lihat pula

  1. ^ Dalam bahasa Indonesia berarti ; di mana saja dan kapan saja warga Sapta Darma haruslah senantiasa bersinar laksana surya Semboyan