I Gusti Ngurah Rai

pahlawan nasional Indonesia

Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai (30 Januari 1917 – 20 November 1946) adalah seorang tokoh militer Indonesia, yang berjasa dalam Perang Kemerdekaan. Ia merupakan pendiri dan panglima pertama satuan angkatan bersenjata Republik Indonesia di Kepulauan Sunda Kecil, yang memimpin langsung perlawanan bersenjata anti-Belanda di Bali. Ia gugur pada bulan November 1946 dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di dekat desa Marga, Bali tengah.

I Gusti Ngurah Rai
Lukisan Ngurah Rai
Nama lahirI Gusti Ngurah Rai
Lahir(1917-01-30)30 Januari 1917
Badung, Bali, Hindia Belanda
Meninggal20 November 1946(1946-11-20) (umur 29)
Tabanan, Bali, Indonesia
Pengabdian Indonesia
Dinas/cabang Tentara Nasional Indonesia
Lama dinas1938-1946
PangkatLetnan Kolonel
Perang/pertempuranPertempuran Margarana
PenghargaanPahlawan Nasional Indonesia
PasanganDesak Putu Kari
AnakI Gusti Ngurah Gede Yudana

I Gusti Ngurah Tantra

I Gusti Ngurah Alit Yudha

Sebagai pahlawan nasional Indonesia, ia secara anumerta dianugerahi salah satu penghargaan militer tertinggi negara itu dan dipromosikan menjadi brigadir jenderal (ia meninggal dalam pangkat letnan kolonel). Dia adalah salah satu tokoh yang paling dihormati dalam sejarah Bali modern. Bandara Internasional Denpasar, universitas terbesar dan stadion terbesar di pulau itu, kapal Angkatan Laut Indonesia, jalan-jalan di banyak pemukiman Bali, serta di sejumlah kota di bagian lain Indonesia, dinamai I Gusti Ngurah Rai.

Kehidupan awal dan pendidikan

 
Kota Denpasar selama hari-hari sekolah Ngurah Rai

I Gusti Ngurah Rai lahir pada 30 Januari 1917 di desa Carangsari, kecamatan Petang, Kabupaten Badung di Bali selatan. Ia berasal dari sebuah keluarga yang cukup makmur berdarah bangsawan. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan I Gusti Ngurah Palung dan I Gusti Ayu Kompyang. Pada saat Rai lahir, ayahnya menjabat sebagai camat Kecamatan Petang.[1]

Kerabat dan warga desa mengenal Ngurah Rai sebagai anak yang ramah dan energik yang menyukai permainan luar ruangan dan berbagai seni bela diri seperti pencak silat, gulat dan lain sebagainya.[2]

Kedudukan resmi dan kekayaan materi sang ayah memungkinkan untuk mengirimkannya untuk belajar di Denpasar, di sekolah dasar Belanda untuk pribumi (bahasa Belanda: Hollandsch-Inlandsche School), dan kemudian ke kota Malang, Jawa Timur untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah Belanda (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Namun, Ngurah Rai tak merampungkan pendidikan terakhirnya setelah kematian ayahnya pada tahun 1935. Peristiwa tersebut membuat Ngurah Rai harus kembali ke Bali.[1][3]

Sesampai di kampung halaman, Ngurah Rai tidak menempuh pendidikan selama lebih dari dua tahun dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Pada tahun 1938, ia masuk sekolah perwira Korps Prajoda (pasukan paramiliter yang dibuat oleh pemerintah kolonial di Bali tak lama sebelumnya pada tahun 1936). Prajoda bukan bagian dari struktur Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan berstatus sebagai unit pembantu setingkat batalion, yang diserahi tugas menjaga ketertiban di pulau itu dan menjalankan pengawalan kehormatan pada berbagai dinas dan acara-acara penting. Prajurit dan sersan direkrut dari penduduk setempat — kebanyakan pria muda dari keluarga bangsawan Bali, sedangkan militer Belanda diangkat ke posisi perwira senior, dan perwira junior direkrut dari kedua golongan tersebut.[4]

Di sekolah perwira yang terletak di Kabupaten Gianyar di tenggara pulau itu, Ngurah Rai mencetak prestasi akademik yang baik, secara mandiri menguasai beberapa mata pelajaran tambahan, khususnya bahasa Inggris. Meskipun bertubuh kecil, bahkan dibandingkan dengan rata-rata orang Bali pada paruh pertama abad ke-20 (tinggi Ngurah Rai hanya 154 sentimeter, dan beratnya bahkan pada usia yang lebih dewasa tidak melebihi 45 kilogram), ia berhasil menjalani aktivitas fisik yang dibutuhkan pelatihan militer.[2][4]

Setelah lulus dari sekolah militer dengan pangkat letnan dua pada tahun 1940, Ngurah Rai dikirim ke kursus perwira jangka pendek di Magelang. Ia kemudian dipindahkan pada tahun yang sama untuk pelatihan ulang cepat di sekolah artileri di Malang, yang sudah akrab dengannya dari sekolah studi.[1][3]

Kegiatan selama Perang Dunia II

 
Asrama Korps Prajoda pada tahun 1949

Pada akhir tahun 1941, setelah pecahnya permusuhan di teater Pasifik, Ngurah Rai dipanggil kembali dari Malang untuk mengabdi di Korps Prajoda. Pada saat invasi Jepang ke Hindia Belanda pada Januari 1942, korps tambahan yang terdiri dari sekitar 600 pejuang ini tetap menjadi satu-satunya formasi bersenjata yang ditempatkan di Bali dan tidak ada unit KNIL reguler di pulau itu. Secara formal, komando korps dipercayakan kepada Mayor Jenderal G.A. Ilgen, komandan divisi infanteri ketiga KNIL, yang bertanggung jawab untuk pertahanan bagian timur Jawa, Bali, dan Madura dengan markasnya di Surabaya, tetapi komandan sebenarnya adalah Letnan Kolonel W.P. Roodenburg yang berlokasi di Denpasar.[5]

Meskipun langkah-langkah mobilisasi telah diambil, Korps Prajoda tidak mampu melakukan perlawanan sepenuhnya terhadap Jepang, yang melakukan pendaratan mendadak di Bali pada 19 Februari 1942. Satuan korps menghindari bentrokan dengan musuh, pembelotan massal dimulai, dan perintah komando untuk menghancurkan infrastruktur lapangan terbang Denpasar agar tidak digunakan oleh musuh ternyata tidak terpenuhi. Dengan kondisi tersebut, Rodenburg terpaksa menarik mundur para pejuang Prajoda yang tersisa di barisan dari daerah pendaratan Jepang dan secara resmi membubarkan korps itu. Para perwira dan prajurit yang berasal dari Bali pulang kampung sedangkan perwira Belanda melarikan diri ke wilayah tetangga Jawa, yang saat itu masih di bawah kendali KNIL. Diketahui bahwa Ngurah Rai membantu dua rekannya yang berkebangsaan Belanda untuk pindah ke Jawa.[4]

Setelah Jepang menguasai Bali, seperti seluruh Kepulauan Sunda Kecil, pulau tersebut ditempatkan pada zona pendudukan Armada Kedua. Seperti banyak orang Indonesia, Ngurah Rai awalnya cukup setia kepada Jepang oleh karena harapan bahwa invasinya, yang mengganggu pemerintahan kolonial Belanda, akan memberi peluang untuk pembangunan negara yang lebih makmur dan menentukan nasib sendiri secara politik. Ia bergabung dengan cabang perusahaan transportasi Jepang Mitsui Busan Kaisa, yang dibuka di Bali. Di sana, ia mengatur pasokan beras dan barang-barang lainnya ke Jepang.[1][3][6]

Namun lama kelamaan, Ngurah Rai semakin yakin bahwa pendudukan Jepang hanya memperburuk keadaan penduduk Bali. Pada tahun 1944, Ngurah Rai makin mengecam penjajah. Ia bergabung dengan gerakan bawah tanah anti-Jepang yang mulai terbentuk di Bali selama periode ini dan mulai bekerja sama dengan dinas intelijen Sekutu, yang masih punya sejumlah agen rahasia di Hindia Belanda yang diduduki oleh Jepang. Sebagai kepala sel yang menyamar, yang sebagian besar terdiri dari temannya dan mantan bawahannya dari Korps Prajoda, banyak di antaranya juga bekerja di cabang lokal Mitsui Busan Kaisa, Ngurah Rai menyuplai sekutu dengan informasi tentang jadwal dan sifat muatan kapal transportasi Jepang. Pada titik tertentu, dia dicurigai dan ditahan oleh polisi angkatan laut Jepang, tetapi karena kurangnya bukti, dia dibebaskan setelah tiga hari ditahan.[6][7]

Berpihak pada Pemerintah Republik Indonesia

Setelah pengumuman resmi oleh Kaisar Jepang Hirohito tentang penerimaan syarat penyerahan diri pada tanggal 15 Agustus 1945 dan disusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada dua hari kemudian, pada tanggal 17 Agustus, para pendukung kemerdekaan di Bali langsung memulai aktivitasnya. Sampai akhir bulan Agustus, pulau tersebut sudah terbentuk sejumlah kelompok politik pro-kemerdekaan, khususnya kelompok pemuda. Datang ke Bali pada 1 Januari 1946, I Gusti Ketut Pudja diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi gubernur Kepulauan Sunda Kecil dengan ibu kota di Singaraja. Otoritas Republik secara bertahap mulai terbentuk disini. Sebagian besar bangsawan Bali mengambil sikap menunggu dan memantau selama periode ini, karena takut penjajah Hindia Belanda segera kembali ke pulau itu. Ngurah Rai segera mendukung kemerdekaan secara terbuka. Setelah menjalin kerjasama yang erat dengan Ketut Pudja, ia mulai membentuk angkatan militer dan polisi di pulau itu, yang dirancang untuk melawan kekuasaan Belanda yang kembali.[8][9]

Pada saat yang sama, Ngurah Rai memperingatkan para pendukungnya, diantaranya banyak dari lapisan bawah masyarakat Bali, dari konflik dengan elit bangsawan: dia berkeyakinan bahwa segala bentuk konfrontasi sosial akan melemahkan potensi negara dalam perjuangan kemerdekaan. Pada saat yang sama, dia giat bergaul dengan para bangsawan Bali, termasuk banyak penguasa dinasti pangeran setempat, dan meminta mereka untuk setia kepada otoritas Republik.[8]

 
Kepulauan Sunda Kecil, Indonesia - wilayah tanggung jawab angkatan bersenjata Ngurah Rai.

Setelah dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat oleh Presiden Soekarno pada bulan Oktober 1945, yang menjadi pendahulu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, milisi yang dibentuk oleh Ngurah Rai di Bali sudah terdiri dari 13 kompi. Dengan keputusan Gubernur I Ketut Pudja, milisi tersebut dinyatakan sebagai subbagian struktural TKR.[10] Pada rapat khusus dengan partisipasi gubernur serta kepala semua kelompok politik utama dan perwakilan dari sebagian besar pangeran Bali, Ngurah Rai dengan suara bulat terpilih sebagai komandan "pasukan TKR di Kepulauan Sunda Kecil", yang markas besarnya berada di Denpasar. Pada bulan November 1945, wewenang Ngurah Rai dikonfirmasikan resmi oleh delegasi komando militer tertinggi republik yang mengunjungi Bali dan ia dianugerahi pangkat mayor TKR. Untuk memastikan komunikasi antara struktur militer provinsi dan pusat, seorang perwira dari Staf Umum TKR diperbantukan di markas besat Rai, dan salah satu perwira bawahan Rai, pada gilirannya, dikirim ke Staf Umum. Pada saat itu, walau sebagian besar kelompok bersenjata pendukung kemerdekaan yang ada di Bali telah dikonsentrasikan di bawah komando Ngurah Rai, tapi tetap ada sejumlah regu tempur pemuda relatif kecil yang tidak dikendalikan olehnya.[9][11][12]

Pasukan Jepang yang masih bertahan di Bali pada masa itu, yang jumlah personelnya saat itu berjumlah 3.136 orang (meliputi 1.900 personel militer angkatan darat dan 1.146 pelaut)[13], pada awalnya tidak mengganggu aktivitas Ngurah Rai dan pasukannya. Selain itu, sebagian besar orang Jepang bersimpati dengan orang Bali yang anti-Belanda: ada kasus pemindahan senjata dan aset material secara sukarela oleh militer Jepang kepada pendukung kemerdekaan setempat, dan bahkan pemindahan mereka dengan senjata di tangan ke pihak Jepang.[14] Pada akhir November 1945, komando pasukan Jepang di Bali mengadakan negosiasi dengan utusan pemerintah Soekarno mengenai pengalihan sebagian besar senjata mereka kepada yang terakhir.[15]

Namun, pada awal Desember 1945, di bawah tekanan komando Pasukan Ekspedisi Inggris, yang mulai melucuti senjata dan menarik unit-unit Jepang dari Indonesia, Jepang menuntut agar pimpinan republik Bali mengembalikan aset-aset keuangan yang disita. Gubernur Ketut Pudja menilai tuntutan itu provokatif dan tidak dapat diterima. Pada saat yang sama, pimpinan kelompok pemuda setempat, yang mengetahui jalannya perundingan antara perwakilan pemerintah pusat dan Jepang, mendukung penyitaan senjata Jepang agar senjata itu tetap berada di Bali dan tidak diangkut ke Pulau Jawa.[14][15]

Pada tanggal 13 Desember, sebuah detasemen Republik menyerang garnisun Jepang di Denpasar. Namun dalam bentrokan singkat, mereka menderita kerugian dan dibubarkan. Peran Ngurah Rai dalam peristiwa tersebut masih menjadi bahan perdebatan. Umpamanya, sejarawan Kanada Geoffrey Robinson, penulis studi fundamental tentang periode ini dalam sejarah Bali, percaya bahwa operasi militer ini dilakukan atas arahan gubernur Ketut Pudja dan oleh karena itu Ngurah Rai tidak bisa tidak berpartisipasi dalam persiapannya.[14] Sementara itu, wartawan Indonesia, Iwan Santosa dan Wenri Wanhar berdasarkan memoar pihak yang terlibat, sampai pada kesimpulan bahwa serangan terhadap garnisun Jepang di Denpasar adalah sikap sewenang-wenang yang dilakukan oleh aktivis gerakan pemuda yang bukan anggota pasukan Ngurah Rai.[16]

Bagaimanapun, setelah peristiwa 13 Desember, sikap Jepang terhadap para pejuang Bali dan secara pribadi terhadap Ngurah Rai berubah secara dramatis menjadi bermusuhan. Mereka menangkap gubernur Ketut Pudja serta beberapa aktivis republik, dan juga melanjutkan patroli di wilayah, yang dulu dihentikan setelah pengumuman tindakan penyerahan Jepang. Negosiasi tentang transfer senjata ke utusan Jakarta terganggu.[14]

Peristiwa Denpasar meyakinkan Ngurah Rai akan kontraproduktifnya konfrontasi kuat dengan Jepang. Dia memerintahkan penarikan pasukan milisinya dari Denpasar dan pemukiman besar lainnya di Bali untuk menghindari bentrokan lebih lanjut dengan pasukan Jepang. Selain itu, ia berhasil mencegah salah satu pangeran Bali untuk menyatakan perang terhadap Jepang. Seperti pendukung kemerdekaan lainnya, Rai mendesaknya untuk mempersiapkan pasukan untuk melawan Belanda, yang pada saat itu telah mengumumkan niat mereka untuk mengembalikan Bali menjadi koloni di bawah kendali mereka. Setelah itu, Ngurah Rai memutuskan untuk pergi ke Pulau Jawa untuk bertemu Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat yang berlokasi di Yogyakarta, untuk meminta pasokan senjata kepada milisinya serta instruksi tentang cara melanjutkan kegiatannya. Bersama sekelompok kecil rekannya yang berpangkat perwira TKR seperti dirinya, ia meninggalkan Pulau Bali pada 1 Januari 1946.[14]

Kedatangan ke Pulau Jawa

Pada saat Ngurah Rai tiba di Yogyakarta pada tanggal 13 Januari 1946, kota ini dinyatakan sebagai ibu kota sementara Republik Indonesia, karena penguasa republik telah kehilangan kendali atas Jakarta. Atas dukungan pasukan Inggris, pemerintah kolonial Belanda dapat dipulihkan. Pimpinan Staf Umum dan pimpinannya Oerip Soemohardjo sangat mengapresiasi antusiasme dan semangat juang perwira Bali tersebut. Di Yogyakarta, Ngurah Rai diperkenalkan kepada Presiden Soekarno, yang pada saat itu sudah mendengar tentang pekerjaan aktifnya. Menurut saksi mata, pemimpin Indonesia tersebut tersentuh oleh tampilnya komandan formasi militer Bali yang badannya begitu kecil.[17]

Milisi yang dibentuk oleh Ngurah Rai akhirnya diintegrasikan ke dalam struktur angkatan bersenjata nasional. Pada tanggal 1 Februari, milisi tersebut secara resmi dimasukkan dalam status resimen di divisi VII pasukan darat Republik Indonesia, yang dibentuk selama periode itu di Jawa Timur. Pembiayaan resimen Kepulauan Sunda Kecil dilakukan melalui anggaran militer nasional sebesar 70 ribu rupiah per bulan dan status otonomi unit militer ini juga ditentukan secara khusus. Ngurah Rai sendiri dipromosikan menjadi letnan kolonel.[12][17]

Pada saat yang sama permintaan pasokan senjata oleh Ngurah Rai ditolak oleh pimpinan Staf Umum, dengan alasan bahwa semua senjata dan amunisi yang dimilikinya telah ditugaskan ke unit militer lain pada saat itu. Sebaliknya, telah diputuskan untuk mengirim beberapa unit yang sudah lengkap dan bersenjata dari Jawa ke Bali untuk mendukung resimen Ngurah Rai. Persiapan bala bantuan tersebut dipercayakan kepada komando angkatan laut nasional, dan tulang punggungnya pada waktu itu dibentuk pasukan khusus "Pasukan M" dibawah komando Kapten Markadi. Ngurah Rai sendiri diperintahkan untuk mengambil bagian dalam pelatihan unit ini, khususnya memperkenalkan para pejuangnya dengan taktik-taktik operasi Bali. Sehingga, ia bermukim di Jawa hingga awal April 1946.[18]

Sebuah film dokumenter durasi 3 menit yang menunjukkan pendaratan unit Hindia Belanda di Bali pada tanggal 1 Maret 1946

Sementara itu, selama perjalanan Rai di Pulau Jawa, situasi di Bali berubah dengan cepat. Pada bulan Januari saja, perwakilan dari otoritas kolonial Belanda mulai tiba di pulau Bali, ditemani oleh militer Inggris. Dibawah tekanan dari Inggris dan golongan pro-Belanda dari elit lokal, Gubernur Ketut Pudja terpaksa menyerahkan sebagian besar kekuasaannya kepada Dewan Pangeran. Pada awal Maret 1946, pasukan ekspedisi berkekuatan 2.000 orang mendarat di pulau Bali, sebagian besar terdiri dari prajurit KNIL yang dibebaskan dari penangkaran Jepang, yang disebut "Gajah Merah". Dalam seminggu kemudian, pemerintahan kolonial didirikan kembali di Bali dan otoritas republik setempat digulingkan.[19]

Awalnya, keberadaan Belanda dengan pendukung kemerdekaan di Bali terbebas dari konflik. Para pemimpin republik secara resmi meninggalkan kegiatan subversif, berkat itu mereka lolos dari penganiayaan oleh penjajah. Resimen Ngurah Rai, dibiarkan tanpa komandan, tidak dibubarkan secara resmi, tetapi unit-unitnya terpaksa meninggalkan pemukiman dan para pejuang mendirikan sejumlah kamp di hutan serta sebagian lagi pulang. Namun, pada pertengahan bulan Maret, mulai terjadi bentrokan reguler antara militer Belanda dan penduduk setempat di pulau itu. Bahkan Komandan Gajah Merah, Letnan Kolonel Frederik Hendrik ter Meulen, mengakui bahwa dalam banyak kasus penyebab kekerasan adalah kecurigaan yang berlebihan dari personel militer pasukan Belanda dan kelebihan pejabat mereka. Jadi dalam laporannya kepada komando yang lebih tinggi, dicatat bahwa pada minggu pertama bulan April saja, lebih dari 50 penduduk pulau Bali dibunuh oleh pejuang korpsnya, sebagian besarnya ternyata orang sipil tidak bersalah, diantaranya termasuk seorang wanita dan seorang anak di bawah umur. Meskipun ada larangan tegas dari komando sekutu Inggris-Belanda pada penggunaan penerbangan militer di Bali dan Lombok yang berdekatan, ada banyak kasus penggunaan yang tidak sah dari pesawat B-25 dan Piper Cub oleh jajaran junior "Gajah Merah" untuk menembak dan mengebom kelompok orang dan desa yang mencurigakan.[20]

Dengan kondisi tersebut, pimpinan ABRI mempercepat penyiapan satuan-satuan untuk diterjunkan ke Bali. Pada awal April, pembentukan "Pasukan M" selesai dan Ngurah Rai ditugaskan untuk memimpin pendaratan unit depan. Pada malam 4 April, tiga rombongan pejuang dengan jumlah seluruhnya sekitar 160 orang di kapal tunda dan kapal nelayan keluar dari pelabuhan Banyuwangi menuju Bali. Dua rombongan, termasuk yang dipimpin langsung oleh Ngurah Rai, berhasil mendarat tanpa hambatan di pantai barat laut Bali keesokan paginya.[21] Rombongan ketiga yang dipimpin oleh Komandan Pasukan M yaitu Kapten Markadi, dicegat di Selat Bali oleh kapal pendarat Belanda tipe LCM-6 dan mengalami pertempuran, yang tercatat dalam sejarah sebagai pertempuran laut pertama Indonesia. Pada akhirnya, kelompok Kapten Markadi yang menderita kerugian juga mendarat di Bali.[22]

Secara keseluruhan, selama operasi yang berlangsung beberapa hari itu, 290 pejuang Pasukan M dikerahkan ke Bali dari Jawa Timur. Selain itu, sejumlah rombongan kecil personel militer dari unit lain, serta relawan dari Jawa, Madura, dan daerah lain di Indonesia, mendarat di pulau itu. Menurut intelijen Belanda, pada paruh pertama April 1946, setidaknya 400 pendukung kemerdekaan bersenjata tiba di Bali dari Jawa Timur.[23]

Partisipasi dalam perjuangan melawan Belanda

Konsolidasi pasukan anti-Belanda

 
Daerah di wilayah Munduk, Buleleng yang menjadi markas utama milisi Ngurah Rai pada bulan April-Mei 1946

Pada saat Ngurah Rai kembali ke Bali, sebagian besar pejuang resimennya yang tersisa berkemah di daerah pegunungan dekat desa Munduk, Buleleng yang terletak di tengah pulau atau berbatasan dengan kabupaten Tabanan dan Gianyar. Dia pergi ke sana setelah turun, ditemani oleh sebagian kecil dari Pasukan M. Dari sisa pejuang "Pasukan M", terbentuk beberapa kelompok yang pindah ke daerah lain di pulau itu untuk melakukan pengintaian dan mengorganisir gerakan gerilya.[24]

Pergerakan Rai dan pasukannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dengan sangat hati-hati, sehingga perjalanan ke Munduk memakan waktu hampir 2 minggu. Selama ini situasi di pulau itu semakin mencekam, terjadi serangkaian bentrokan antara pendukung kemerdekaan dengan militer Belanda. Bentrokan paling signifikan terjadi pada 10 April di Denpasar dekat barak garnisun Belanda dan pada 15 April di desa Penebel di Kabupaten Tabanan. Di sana, sekelompok republikan menyerang sebuah pos polisi.[25]

Setibanya di desa Munduk pada 16 April, Ngurah Rai memerintahkan para pejuangnya untuk menahan diri dari bentrokan dengan Belanda. Mengikuti arahan dari komando tinggi, ia memusatkan upayanya untuk menyatukan kekuatan pendukung kemerdekaan. Pada hari pertama setibanya, ia bertemu dengan para pemimpin dua kelompok republik utama yang beroperasi di pulau itu, yang tiba disana - cabang-cabang lokal Pemuda Republik Indonesia dan Pemuda Sosialis Indonesia, yang masing-masing memiliki regu tempurnya sendiri. Sebagai hasil dari pertemuan Ngurah Rai dengan para pemimpin kelompok pemuda, suatu struktur politik tunggal "Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil" dibentuk yang juga dikenal di Bali dengan kependekan "Dewan Perjuangan". Markas Besar Umum dibentuk sebagai badan kontrol militer di bawah Dewan itu. Ngurah Rai terpilih sebagai Ketua Dewan dan pada saat yang sama menjabat sebagai Kepala Staf Umum. Kombinasi jabatan seperti itu memungkinkannya untuk berkonsentrasi dalam memimpin semua formasi militer dan sipil Provinsi Bali.[26]

Mengambil keuntungan dari kekuatan yang diperluas, Ngurah Rai memerintahkan untuk menarik hampir semua kekuatan di bawah kendalinya ke Munduk. Di sisa pulau, diputuskan untuk meninggalkan hanya 6 pasukan yang sangat kecil. Selain itu, sebagian besar pejuang "Pasukan M" yang datang dari Jawa terus beroperasi di luar markas utama. Pada akhir Mei 1946, Ngurah Rai berhasil mengumpulkan sekitar satu setengah ribu orang di kamp dekat Munduk, beberapa di antaranya adalah perempuan dan remaja. Sebagian besar tidak memiliki pengalaman tempur atau pelatihan militer; tidak lebih dari setengah dari para pejuang dilengkapi dengan senjata api. Ada beberapa mortir Jepang dan senapan mesin berat, tetapi amunisinya kecil. Tidak semua anggota Staf Umum mendukung gagasan Ngurah Rai untuk menciptakan formasi partisan satu-satunya yang jumlahnya begitu besar: ada banyak yang menyarankan untuk membagi pasukan menjadi sejumlah regu kecil yang dapat beroperasi secara diam-diam dalam kondisi perjuangan partisan. Namun, tidak ada yang bertentangan, karena kekuasaan pemerintahan Ngurah Rai diakui tanpa syarat dan perintahnya dilaksanakan secara teratur.[27][28]

Secara paralel, Ngurah Rai terus menjalin kontak aktif dengan para bangsawan Bali, berkoordinasi dengan mereka tentang taktik aksi melawan Belanda. Diketahui bahwa ia membujuk beberapa kenalannya yang bersimpati dengan gerakan republik untuk menerima posisi dalam struktur administrasi yang dibuat oleh penjajah untuk kemudian memberikan bantuan rahasia kepada para pejuang kemerdekaan.[29]

Pawai ke Gunung Agung

Belanda memantau kegiatan mobilisasi Ngurah Rai dan mendirikan beberapa pos militer di pangkalannya di Munduk Buleleng, tetapi juga menahan diri dari aksi militer. Selain itu, komando "Gajah Merah", yang mencakup banyak perwira yang secara pribadi mengenal Rai dari dinas di Korps Prajoda, termasuk komandan kontingen, Letnan Kolonel ter Meulen, berharap dapat meyakinkan komandan pasukan Republik untuk meninggalkan konfrontasi. Pada tanggal 13 Mei 1946, perwira markas "Gajah Merah" yaitu Kapten J. B. T. Konig, salah satu dari dua perwira yang dibantu Ngurah Rai untuk menyeberang dari Bali ke Jawa pada Februari 1942, mengirimkan pesannya sendiri, secara pribadi serta atas nama komandan kontingen, memakai nada yang agak sopan dan penuh hormat dengan panggilan untuk melakukan negosiasi.[30]

Ejaan Van Ophuijsen

Denpasar, 13 Mei 1946 Rai Jang Budiman,

Kami, Letnan Kolonel Termeulen dan saya (kamu tentu masih ingat kepada kami), mengetahui betul atas dorongan apa kamu terpaksa mau memimpin TKR. Kami ingin sekali berbicara padamu. Cobalah mencari hubungan dengan Kapten Cassa di sekitar desa Plaga, kemudian di sana kita bisa bicara. Apapun keputusanmu setelah pembicaraan itu, kamu dengan penuh kebebasan dapat menentukannya kepada kamu suka.

J. B. T. Konig

Kapten Infanteri[30]

Ejaan yang Disempurnakan

Denpasar, 13 Mei 1946 Rai Yang Budiman,

Kami, Letnan Kolonel Termeulen dan saya (kamu tentu masih ingat kepada kami), mengetahui betul atas dorongan apa kamu terpaksa mau memimpin TKR. Kami ingin sekali berbicara padamu. Cobalah mencari hubungan dengan Kapten Cassa di sekitar desa Plaga, kemudian di sana kita bisa bicara. Apapun keputusanmu setelah pembicaraan itu, kamu dengan penuh kebebasan dapat menentukannya kepada kamu suka.

J. B. T. Konig

Kapten Infanteri

Balasan Ngurah Rai, yang segera sampai ke Belanda, ditujukan khusus kepada ter Meulen. Pesan panglima gerilya itu memasuki catatan sejarah Indonesia dengan judul “Surat Suci” dan dipopulerkan secara luas sebagai wujud keberanian dan patriotisme.[1][31]

Ejaan Van Ophuijsen

18 Mei 1946 Kepada Jth.Toean Overste Termeulen

di Denpasar

M E R D E K A !

Soerat telah kami terima dengan selamat. Dengan singkat kami sampaikan djawaban sebagai berikoet:

Tentang keamanan di Bali adalah oeroesan kami. Semendjak pendaratan tentera toean, poelau mendjadi tidak aman. Boekti telah njata, tidak dapat dipoengkiri lagi. Lihatlah, penderitaan rakjat menghebat. Mengantjam keselamatan rakjat bersama. Tambah2 kekatjauan ekonomi mendjirat leher rakjat.

Keamanan terganggoe, karena toean memperkosa kehendak rakjat jang telah menjatakan kemerdekaannja.

Soal peroendingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin2 kita di Djawa. Bali boekan tempatnja peroendingan diplomatic. Dan saja boekan kompromis. Saja atas nama rakjat hanja menghendaki lenjapnja Belanda dari poelau Bali atau kami sanggoep dan berdjandji bertempoer teroes sampai tjita2 kita tertjapai.

Selama Toean tinggal di Bali, poelau Bali tetap mendjadi belanga pertoempahan darah, antara kita dan pihak toean.Sekian, harap mendjadikan makloem adanja.

Sekali merdeka, tetap merdeka

a/n. DEWAN PERJOANGAN BALI. Pemimpin:

( I Goesti Ngoerah Rai)[31]

Ejaan yang Disempurnakan

18 Mei 1946 Kepada Yth.Tuan Overste Termeulen

di Denpasar

M E R D E K A !

Surat telah kami terima dengan selamat. Dengan singkat kami sampaikan jawaban sebagai berikut:

Tentang keamanan di Bali adalah urusan kami. Semenjak pendaratan tentara tuan, pulau menjadi tidak aman. Bukti telah nyata, tidak dapat dipungkiri lagi. Lihatlah, penderitaan rakyat menghebat. Mengancam keselamatan rakyat bersama. Tambah-tambah kekacauan ekonomi menjerat leher rakyat.

Keamanan terganggu, karena tuan memperkosa kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya.

Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin kita di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomatik. Dan saya bukan kompromis. Saya atas nama rakyat hanya menghendaki lenyapnya Belanda dari pulau Bali atau kami sanggup dan berjanji bertempur terus sampai cita-cita kita tercapai.

Selama Tuan tinggal di Bali, pulau Bali tetap menjadi belanga pertumpahan darah, antara kita dan pihak tuan. Sekian, harap menjadikan maklum adanya.

Sekali merdeka, tetap merdeka

a/n. DEWAN PERJUANGAN BALI. Pemimpin:

( I Gusti Ngurah Rai)

 
Lereng barat Gunung Agung - tempat pemindahan milisi Ngurah Rai

Pada akhir Mei, Komandan Pasukan M, Kapten Markadi tiba di Munduk, Buleleng dengan sekelompok 25 pejuangnya dan berdasarkan laporan terbaru dari Staf Umum memberitahu Ngurah Rai tentang pendaratan skala besar yang akan datang pasukan Indonesia di pantai barat Bali. Pada 1 Juni 1946, Ngurah Rai memerintahkan seluruh unit yang dibentuknya untuk pindah ke bagian timur Bali tepatnya di wilayah Gunung Agung. Motivasi untuk keputusan ini masih belum sepenuhnya jelas dikarenakan Ngurah Rai tak mengumumkan rencana tindakan lebih lanjut, berjanji untuk memandu rekan-rekan seperjuangannya di sepanjang jalan. Yang paling umum adalah asumsi bahwa dengan bergerak ke timur, ia berharap untuk mengalihkan perhatian Belanda dari bagian barat pulau untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pendaratan pasukan republik dari Pulau Jawa yang diumumkan oleh Kapten Markadi.[32][33]

Pawai sejauh 200 kilometer dari pasukan berkekuatan 1.500 orang melintasi hutan dan pegunungan, yang memakan waktu lebih dari sebulan dan disebut “Longmarch ke Gunung Agung” atau “Pawai Panjang ke Gunung Agung” dalam historiografi Indonesia, ternyata sangat sulit dilihat dari segi logistik dan organisasi. Selain itu, pawai tersebut dibarengi dengan rentetan bentrokan dengan pasukan Belanda yang intensitasnya semakin meningkat. Di kaki Gunung Agung, pasukan Ngurah Rai menjadi sasaran mortir dan serangan udara selama beberapa hari dari pesawat pengebom B-25 yang digunakan oleh Belanda. Setelah mencapai desa Tanah Aron di lereng barat gunung pada tanggal 7 Juni, mereka memasuki pertempuran dengan unit musuh yang berjumlah sekitar 200 orang.[34]

Usai pertempuran, Ngurah Rai mengadakan pertemuan dengan anggota markasnya. Posisi partisan dianggap kritis. Sebagai akibat dari korban jiwa dan terluka, serta desersi, jumlah pasukan berkurang hampir tiga kali lipat, amunisi dan makanan habis, para pejuang yang tersisa di barisan berada di ambang kelelahan fisik. Pendekatan ke gunung dari sisi barat diblokir oleh pasukan Belanda. Beberapa rekan Ngurah Rai menyarankan untuk melawan balik ke Bali tengah, tetapi Ngurah Rai menganggap kemungkinan kerugian yang tidak dapat diterima. Dalam keadaan demikian, ia memutuskan untuk membagi pasukan menjadi kelompok-kelompok kecil yang dapat turun di sepanjang jalur pegunungan, melewati lokasi unit-unit Belanda dan lalu menyebar ke seluruh pulau. Pembagian pasukan ini dilakukan dua hari kemudian di lereng utara gunung berapi. Sebagian besar partisan dikelompokkan menurut prinsip "rekan wilayah" dan maju menuju tempat asalnya. Dengan persetujuan Ngurah Rai, Kapten Markadi memutuskan untuk mengangkut "Pasukan M", yang telah menderita kerugian besar, kembali ke Jawa. Dengan Kapten Markadi, Ngurah Rai mengirimkan laporan kepada Staf Umum yang menjelaskan keadaan buruk gerakan partisan dan memberikan data rinci tentang disposisi, jumlah dan persenjataan pasukan Belanda di Bali.[35]

Setelah "Pawai Panjang" rampung, di bawah komando Ngurah Rai tinggal hanya sekitar 90 orang — kebanyakan terdiri dari pejuang yang paling berpengalaman dan andal, hampir semuanya adalah anggota gerakan partisan Bali yang memiliki pendidikan militer Belanda serta sekelompok personel militer Jepang. Dalam berbagai sumber, jumlah personel Jepang yang memihak Ngurah Rai diperkirakan antara enam dan sepuluh orang serta setidaknya dua di antaranya adalah perwira. Unit sebesar 90 orang ini diberi nama "Ciung Wanara" yang diambil dari nama tokoh mitologi Sunda.[35][36]

"Ciung Wanara" dipersenjatai dengan tidak lebih dari 50 senjata ringan, 5 mortir, satu senapan mesin berat, dan 3 senapan mesin ringan dengan amunisi minimum. Karena kelangkaan persenjataan, Ngurah Rai lebih suka menghindari bentrokan dengan Belanda sampai ia menerima instruksi dari Staf Umum. Korps Belanda juga menahan diri dari tindakan militer, akibatnya, pada awal Agustus 1946, situasi di Bali menjadi cukup tenang. Pada bulan Oktober, faktor penstabil tambahan adalah gencatan senjata antara pasukan Indonesia dan Belanda, diumumkan di seluruh teater operasi. Setelah itu perwakilan pemerintah kedua negara mengadakan negosiasi dengan mediasi Inggris yang bertujuan untuk penyelesaian konflik secara damai.[27]

Pada tanggal 15 November 1946, Perjanjian Linggarjati ditandatangani di Cirebon, saat Belanda secara de facto mengakui kedaulatan Republik Indonesia di Jawa, Sumatra dan Madura. Di sisa wilayah bekas jajahan itu, direncanakan sejumlah negara semi-berdaulat yang bersama-sama dengan Republik Indonesia, akan membentuk Republik Indonesia Serikat — sebuah entitas federal yang berada dalam semacam persatuan dengan Belanda. Pada saat yang sama, Bali termasuk dalam salah satu negara semi-berdaulat yaitu Negara Indonesia Timur.[37][38]

Pertempuran terakhir dan kematian

Kecewa dengan syarat-syarat perjanjian Linggarjati, Ngurah Rai atas inisiatifnya sendiri memutuskan untuk melanjutkan tindakan partisan, dengan harapan dapat mengusir Belanda dari Bali dan mencaplok pulau itu ke Republik Indonesia. Dia berseru kepada para pejuang "Ciung Wanara":

Jangan gentar, Sunda kecil harus mampu berdiri sendiri. Lanjutkan perjuangan dengan apa yang ada walaupun perhatian dari pusat kurang...[39]

Menyadari bahwa persenjataan yang dimilikinya tak cukup untuk melakukan perjuangan gerilya yang aktif dan berkepanjangan, Ngurah Rai memutuskan untuk merebut sejumlah senjata dan amunisi dari musuh. Barak polisi kolonial di kabupaten Tabanan dianggap sebagai target yang paling nyaman dalam hal ini: banyak senjata disimpan disana dan kepala polisi bernama Wagimin adalah pendukung rahasia dan informan dari gerilyawan. Selain 95 pejuang "Ciung Wanara", Ngurah Rai memobilisasi sedikitnya 300 orang dari kalangan petani desa sekitar yang bersimpati dengan para partisan untuk operasi tersebut. Para petani itu, yang sebagian besar memiliki senjata tajam, ditugaskan sebagai peran pembantu dan mereka harus menciptakan kesan untuk sejumlah besar penyerang serta memastikan lingkungan yang lebih padat pada barak yang diserang. Diketahui bahwa sebelum penyerangan, Ngurah Rai dan para pejuang mengunjungi pura Hindu setempat. Di sana, mereka berdoa untuk keberuntungan. Pada tanggal 18 November 1946, pasukan Ngurah Rai menyerang barak Tabanan dan dengan perlawanan minimal dari polisi, menyita senjata dan amunisi yang disimpan disana: 36 karabin, 2 senapan mesin Bren, 2 senapan mesin ringan dan 8 ribu butir amunisi. Wagimin, yang memainkan peran penting dalam keberhasilan operasi, bergabung dengan "Ciung Wanara".[40][41]

Setelah melengkapi persenjataan mereka dan membubarkan milisi petani pembantu, para gerilyawan mundur ke kamp yang telah disiapkan sebelumnya di dekat desa Marga, yang terletak di daerah pegunungan sekitar 40 kilometer sebelah utara Denpasar. Keesokan harinya, kamp "Ciung Wanara" ditemukan oleh Belanda dan sehari kemudian, pada tanggal 20 November, diserang dengan melibatkan pesawat yang diterbangkan dari Makassar, serta unit infanteri tambahan yang segera dikerahkan dari pulau Lombok.[1][3][36]

 
Makam Ngurah Rai dan rekan-rekannya di kompleks peringatan dekat desa Marga

Setelah bentrokan pertama yang terjadi sekitar pukul 10.00, para partisan yang berusaha menghindari pengepungan berusaha mundur dari medan pertempuran dalam kelompok-kelompok kecil melalui ladang jagung yang mengelilingi desa Marga. Namun, upaya ini gagal, pasukan menderita kerugian besar dan terpojok di dekat ngarai gunung. Tawaran Belanda untuk menyerah ditolak dan dalam pertempuran berikutnya, yang berlangsung sekitar pukul 14:00 hingga 17:00, semua pejuang Ciung Wanara, termasuk Ngurah Rai, tewas.[1][36][42]

Peristiwa kematian Ngurah Rai tidak diketahui secara pasti. Beberapa sumber ada yang mengatakan dia jatuh dari tebing. Pada tahun 2008, dalam sebuah wawancara dengan media lokal, salah satu veteran gerakan gerilya Bali mengatakan bahwa jasad Ngurah Rai, yang dikirim oleh Belanda setelah pertempuran ke Denpasar, dipenuhi dengan luka bakar. Atas dasar ini, terdapat asumsi bahwa kematian komandan "Ciung Wanara" tersebut akibat ledakan sebuah bom pembakar.[43]

Terlepas dari kurangnya bukti yang dapat diandalkan tentang pertempuran terakhir Ngurah Rai, historiografi Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa pemimpin partisan Bali meminta rekan-rekannya untuk melakukan perlawanan puputan — perlawanan habis-habisan yang berakhir dengan kematian di tangan musuh atau bunuh diri (tindakan perlawanan "bunuh diri" semacam itu sebelumnya dilakukan oleh penguasa Bali selama invasi Belanda ke Bali pada awal abad ke-20).[1][3][36][44][45]

Jenazah Ngurah Rai diserahkan kepada keluarganya dan dimakamkan di desa asalnya Carangsari.[46][47]

Dampak militer dan politik

Pertempuran pasukan Ngurah Rai terakhir, yang kemudian diberi nama Puputan Margarana, menjadi bentrokan terbesar selama perang kemerdekaan di Bali. Hasilnya memiliki dampak besar pada perjalanan selanjutnya dari gerakan pembebasan nasional di pulau itu. Kematian Rai dan rekan-rekan terdekatnya berkontribusi pada peningkatan sentimen anti-Belanda di kalangan orang Bali. Pada saat yang sama, potensi militer para pendukung kemerdekaan dirusak secara serempak: setelah kehilangan "Ciung Wanara", hampir tidak ada orang dengan pelatihan militer profesional yang tersisa di barisan para partisan dan gudang senjata para pejuang kemerdekaan hancur.[44][45]

Pada rapat darurat Dewan Perjuangan yang diadakan pada hari kedua setelah kematian Ngurah Rai, pemimpin kelompok Pemuda Republik Indonesia berusia 23 tahun, I Made Widja Kusuma, yang tidak memiliki pendidikan militer terpilih sebagai penggantinya. Posisi kepemimpinan lain yang menjadi kosong setelah kematian rekan Ngurah Rai juga digantikan oleh warga sipil terutama perwakilan organisasi pemuda. Karena tidak memiliki kekuatan, sarana dan keterampilan yang diperlukan untuk melanjutkan konfrontasi militer dengan Belanda, kepemimpinan baru perlawanan anti-kolonial mengumumkan transisi ke "metode perjuangan politik", yang mengutamakan agitasi dan propaganda, serta pengumpulan informasi intelijen. Hingga musim gugur 1949, ketika pasukan Belanda meninggalkan wilayah pulau Bali, bentrokan hanya terjadi secara singkat dan skalanya sangat kecil.[48][49]

Dampak lain dari kematian Ngurah Rai adalah perubahan nyata dalam komposisi sosial di puncak perlawanan anti-Belanda dan pedoman ideologisnya. Pada awalnya, sebagian besar pasukan terdiri dari perwakilan masyarakat Bali kasta atas. Setelah kematian Ngurah Rai dan rekan-rekan terdekatnya, sebagian besar peran penting dalam gerakan anti-kolonial dipegang orang-orang yang berasal dari golongan rakyat biasa, selain juga dari golongan bangsawan. Sehingga, hal ini menyebabkan peningkatan popularitas paham-paham sayap kiri di kalangan pejuang, dan juga menjauhkan keterkaitannya dari elit feodal Bali.[48]

Keluarga

Pada tahun 1938, saat belajar di sekolah militer, Ngurah Rai menikah dengan penduduk Gianyar, Desak Putu Kari, seorang gadis dari rakyat biasa yang lahir pada tahun 1922 dan mempunyai 3 orang anak diantaranya I Gusti Ngurah Yudana yang lahir tahun 1942, I Gusti Ngurah Tantra yang lahir tahun 1944, dan I Gusti Ngurah Alit Yudha yang lahir tahun 1946. Ngurah Rai tidak pernah bertemu dengan I Gusti Ngurah Alit Yudha, karena ia lahir setelah Ngurah Rai gugur pada kampanye terakhir.[50][51] Ngurah Rai sendiri menyadari bahaya konfrontasi militer dengan Belanda dan memperingatkan istrinya terlebih dahulu tentang kemungkinan besar kematiannya. Ketika berpisah, dia berkata:

Anggaplah aku telah mati, kapan pulang jangan dipikir...[52]

Setelah Ngurah Rai pergi sebagai kepala pasukan partisan di hutan, istri dan anak-anaknya sangat membutuhkan. Menurut Putu Kari, sebagian besar penduduk desa bersimpati padanya, tetapi takut membantu karena takut pada Belanda. Belanda menahan keluarga komandan partisan untuk beberapa waktu dan menginterogasi Putu Kari, saat sedang mengandung putra ketiganya.[51][53]

Beberapa tahun setelah kematian Ngurah Rai, istrinya menikah dengan salah satu rekannya dalam gerakan partisan, yaitu Made Setia Budi. Dari pernikahan keduanya, ia melahirkan 4 anak lainnya. Pada akhir hayatnya, ia memiliki 20 cucu.[54][55] Desak Putu Kari meninggal dunia pada 10 Desember 2017. Hingga hari-hari terakhir, dia menyimpan ingatan yang kuat, sering berpartisipasi dalam berbagai acara yang diadakan untuk mengenang Ngurah Rai, dia terus-menerus dikunjungi oleh perwakilan media, otoritas lokal, dan pimpinan militer.[50][56][57]

Putra bungsu Rai, Ngurah Alit Yudha menjadi pejabat tinggi Golkar, memimpin cabang partai Bali selama bertahun-tahun, dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 1999-2004. Dia juga aktif terlibat dalam acara yang didedikasikan untuk mengenang Ngurah Rai.[50][56]

Peninggalan

 
Monumen Ngurah Rai di pintu masuk bandara yang diambil dari namanya

Kegiatan Ngurah Rai sebagai pemimpin gerakan partisan Bali dan kematiannya sejak akhir 1940-an mulai dipahlawankan oleh propaganda Indonesia sebagai contoh keberanian, tidak mementingkan diri sendiri, kesetiaan pada tugas militer dan cita-cita perjuangan kemerdekaan negara. Dari sudut pandang ilmu militer dan pengaruh politik, ini sama sekali tidak terhalang oleh fakta bahwa baik kampanye ke Gunung Agung maupun operasi terakhir Ngurah Rai dinilai cukup kritis.[58] Maka, rekan terdekat Rai dan penerusnya sebagai Ketua Dewan Perjuangan, Vija Kusuma, bertahun-tahun kemudian mengakui bahwa "Pawai Panjang" ternyata menjadi salah satu kegagalan terbesar bangsa Indonesia selama perang kemerdekaan.[58]

Abdul Haris Nasution, salah satu tokoh militer terkemuka Indonesia, yang selama bertahun-tahun memegang posisi tertinggi dalam struktur angkatan bersenjata dan mengembangkan konsep perang gerilya, yang mendapat pengakuan internasional, mengajukan pertanyaan retoris dalam memoarnya:

Apakah tidak sebaiknya Letnan Kolonel Ngurah Rai melaksanakan prinsip perang gerilya: hit and run?[59]

Langkah-langkah memperingati Ngurah Rai mulai dilakukan di tingkat nasional tak lama setelah berakhirnya perang kemerdekaan. Pada tahun 1947, Resimen Ngurah Rai dibentuk sebagai bagian dari angkatan bersenjata.[60] Pada bulan November 1954, pada peringatan ketujuh pertempuran di dekat desa Marga, sebuah kompleks peringatan dibangun di lokasi kematian Rai dan para pejuangnya. Kemudian, semua anggota gerakan gerilya Bali yang meninggal selama perang kemerdekaan juga dikuburkan di kompleks pemakaman yang luasnya lebih dari 25 hektar tersebut. Elemen sentral dari tugu peringatan itu adalah sebuah monumen yang dibuat dengan gaya candi Hindu Jawa: menara delapan tingkat dengan alas segi lima setinggi 17 meter (tinggi, jumlah sudut dan tingkatan melambangkan tanggal proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia - 17.08.1945). Di lima sisi dasar menara ada lempengan marmer berisi ukiran teks surat Ngurah Rai kepada letnan kolonel ter Meulen.[61]

Pada tanggal 30 September 1962, jenazah Ngurah Rai digali dan dikremasi dengan khidmat sesuai dengan adat Hindu. Upacara tersebut menjadi upacara sosial-politik berskala besar. Panitia penyelenggara untuk persiapannya yang terdiri dari perwakilan pemerintah pusat dan daerah dibentuk. Upacara kremasi dihadiri oleh anggota pemerintah Indonesia dan pimpinan militer senior. Sebagian abu jenazah dilarung ke laut di kawasan Sanur, sebagian lagi dikubur di kompleks tugu dekat desa Marga.[46][47]

 
Uang kertas 50 ribu Rupiah dengan potret Ngurah Rai

Total ada 1372 kuburan di wilayah kompleks monumen. Di sana, 1371 orang dimakamkan, yang meliputi 64 prajurit reguler TNI, 1296 sukarelawan sipil dalam gerakan gerilya dan 11 militer Jepang yang memihak Republik Indonesia dan ikut serta dalam perlawanan anti-Belanda. Satu batu nisan didirikan untuk mengenang seorang prajurit yang tidak dikenal. Semua batu nisan memiliki jenis yang sama, namun batu nisan Ngurah Rai lebih besar dan diletakkan di depan yang lain, tersusun berjajar. Nama-nama pasukan yang gugur diukir di dinding marmer di sebelah kuburan. Selain pemakaman dan monumen, kompleks ini juga memiliki museum sejarah gerakan partisan Bali.[61]

Pada tahun 1954, Ngurah Rai secara anumerta dipromosikan menjadi kolonel. Pada tahun 1975, dengan keputusan Presiden Soeharto Nomor 06 tanggal 9 Agustus 1975, ia dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Pada dekrit yang sama, ia sekali lagi secara anumerta dipromosikan ke pangkat brigadir jenderal, dan juga dianugerahi salah satu bintang militer tertinggi yaitu Bintang Mahaputra, tingkat ke-4.[1][3]

 
Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar

Bandara Internasional Bali, Universitas dan Stadion yang berada di Denpasar dinamai dengan nama Ngurah Rai, yang masing-masing merupakan universitas terbesar dan fasilitas olahraga terbesar di Bali. Namanya dijadikan nama-nama jalan di Denpasar dan banyak daerah Bali lainnya, serta di beberapa kota di luar Bali, termasuk di ibukota Indonesia Jakarta. Potret Ngurah Rai juga ditampilkan pada uang kertas Indonesia dalam dua desain, masing-masing diterbitkan pada tahun 2005-2011 dan 2011-2016.[62][63]

Puluhan monumen telah didirikan untuk Ngurah Rai di berbagai bagian pulau. Sebuah museum Markas Bersama Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Kepulauan Sunda Kecil didirikan di Munduk Malang. Pada saat yang sama, tak ada monumen besar atau museum negara di Carangsari, desa kelahiran Ngurah Rai. Hanya ada monumen kecil yang didirikan dan dilestarikan dengan biaya keluarga komandan partisan.[28][62]

Hari peringatan pertempuran di dekat desa Marga, serta hari ulang tahun Ngurah Rai dirayakan secara khidmat di Bali.[1][3] Pada Januari 2017, peringatan 100 tahun pahlawan Bali dirayakan secara istimewa.[64] Bagian integral dari upacara peringatan adalah pembacaan umum surat Rai kepada letnan kolonel ter Meulen, yang dianggap sebagai salah satu peninggalan sejarah terpenting di Bali.[1][3] Kadang-kadang surat asli dipindahkan dalam peti khusus selama prosesi khidmat dari satu pemukiman ke pemukiman lainnya. Pembacaan teksnya di depan umum juga dilakukan pada acara-acara resmi lainnya: misalnya pada Maret 2014, surat itu diumumkan dalam pertemuan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dengan para veteran gerakan partisan Bali.[31]

Pada tahun 2013, dengan dukungan dari otoritas sipil dan militer provinsi Bali, sebuah film biografi dokumenter fitur I Gusti Ngurah Rai diproduksi. Penayangan perdananya berlangsung pada 11 Juli 2013 di markas distrik militer setempat.[65][66]

Pada tanggal 10 Januari 2018, bertepatan dengan peringatan 101 tahun kelahiran Rai di Teluk Benoa di Bali selatan, kapal dengan nama Ngurah Rai secara resmi diperkenalkan ke Angkatan Laut Indonesia. Kapal ini dibangun bersama-sama dengan bantuan organisasi perkapalan Belanda yaitu Damen Schelde Naval Shipbuilding.[67][68]

Lihat pula

Kutipan

  1. ^ a b c d e f g h i j k "I Gusti Ngurah Rai". Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-12. Diakses tanggal 2013-12-09. 
  2. ^ a b "Mengenal Lebih Jauh Sosok I Gusti Ngurah Rai". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-06. Diakses tanggal 2014-09-18. 
  3. ^ a b c d e f g h "Biografi I Gusti Ngurah Rai - Pahlawan Nasional Dari Bali". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-12. Diakses tanggal 2013-12-09. 
  4. ^ a b c Petrik Matanasi. "Atasan dan Bawahan yang Saling Berhadapan dalam Puputan Margarana". Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-22. Diakses tanggal 2017-12-18. 
  5. ^ "The capture of Bali Island, February 1942" (dalam bahasa Inggris). Dutch East Indies 1941-1942 Website. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-15. Diakses tanggal 2017-12-15. 
  6. ^ a b Robinson 1998, hlm. 90.
  7. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 34—35.
  8. ^ a b Robinson 1998, hlm. 121.
  9. ^ a b Sejarah Kebangkitan Nasional 1984, hlm. 155.
  10. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 35.
  11. ^ Дёмин 1964, hlm. 69.
  12. ^ a b Robinson 1998, hlm. 116.
  13. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 42.
  14. ^ a b c d e Robinson 1998, hlm. 118.
  15. ^ a b Santosa et al. 2012, hlm. 43—45.
  16. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 48.
  17. ^ a b Santosa et al. 2012, hlm. 38.
  18. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 49—50.
  19. ^ Robinson 1998, hlm. 133—134.
  20. ^ Robinson 1998, hlm. 135—136.
  21. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 104.
  22. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 110—112.
  23. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 115.
  24. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 135.
  25. ^ Agung 1996, hlm. 9.
  26. ^ Sejarah Kebangkitan Nasional 1984, hlm. 157.
  27. ^ a b Robinson 1998, hlm. 148—149.
  28. ^ a b "Munduk Malang Markas Pak Rai yang Patut Dikenang" (dalam bahasa Inggris). Bali Pos. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-19. Diakses tanggal 2013-12-19. 
  29. ^ Robinson 1998, hlm. 102.
  30. ^ a b Nyoman 1979, hlm. 212.
  31. ^ a b c Moksa Hutasoit. "Begini Isi Surat Heroik I Gusti Ngurah Rai Melawan Belanda". Detik. Diakses tanggal 2013-12-09. 
  32. ^ Robinson 1998, hlm. 148.
  33. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 156.
  34. ^ Santosa et al. 2012, hlm. 181.
  35. ^ a b Santosa et al. 2012, hlm. 182.
  36. ^ a b c d Robinson 1998, hlm. 149.
  37. ^ Бандиленко и др. 1992—1993, ч. 2.
  38. ^ Robinson 1998, hlm. 147.
  39. ^ "Kolonel.TNI. ANM. I Gusti Ngurah Rai". Pusat Pahlawan Nasional Kementerian Sosial Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-28. Diakses tanggal 2014-09-18. 
  40. ^ Made Sutaba et al. 1983, hlm. 148.
  41. ^ Petrik Matanasi. "Masyarakat Desa Ole Bangun Monumen Perjuangan". Antara. Diakses tanggal 2017-12-22. 
  42. ^ Made Sutaba et al. 1983, hlm. 151.
  43. ^ "Made Dhama, Saksi Hidup Perang Puputan". Liputan6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-07. Diakses tanggal 2017-12-07. 
  44. ^ a b Дёмин 1964, hlm. 73—74.
  45. ^ a b Agung 1996, hlm. 85—86.
  46. ^ a b Ensiklopedi Umum 1973, hlm. 747.
  47. ^ a b "Ziarah ke Tmp Dalam rangka peringatan HUT TNI AU ke-64". Diakses tanggal 2014-09-25. 
  48. ^ a b Robinson 1998, hlm. 150.
  49. ^ Made Sutaba et al. 1983, hlm. 155—157.
  50. ^ a b c "Anjang Sana ke Istri (Keluarga) Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai". TNI AU. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-20. Diakses tanggal 2013-12-19. 
  51. ^ a b "Alit Yudha Soal Pengalaman di Penjara" (dalam bahasa Inggris). Bali Pos. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-19. Diakses tanggal 2013-12-19. 
  52. ^ "Merangkai Perasaan Janda I Gusti Ngurah Rai". Diakses tanggal 2014-09-18.  Templat:Недоступная ссылка
  53. ^ "Kisah I Gusti Ngurah Rai, Terungkap Suasana Batinnya Saat Tinggalkan Istri ke Medan Perang". Banjarmasin Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-28. Diakses tanggal 2017-12-27. 
  54. ^ "Istri Pahlawan i Gusti Ngurah Rai Wafat Dalam Usia 94 Tahun". Tribun News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-15. Diakses tanggal 2017-12-15. 
  55. ^ "Janda I Gusti Ngurah Rai akan Dimakamkan 28 Desember". Bali Pos. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-16. Diakses tanggal 2017-12-18. 
  56. ^ a b "Peresmian Patung I Gusti Ngurah Rai Sekaligus Pencanangan Komitmen Pengembangan Bandara" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-19. Diakses tanggal 2013-12-19. 
  57. ^ "Keseharian Desak Putu Kari, Janda Petran Ngurah Rai" (dalam bahasa Inggris). Pos Bali. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-19. Diakses tanggal 2013-12-19. 
  58. ^ a b Robinson 1998, hlm. 149—149.
  59. ^ Endarmoko 1993, hlm. 173.
  60. ^ Made Sutaba et al. 1983, hlm. 158.
  61. ^ a b "Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana Sejumlah Makna di Balik Monumen". Bali Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-31. Diakses tanggal 2014-09-25. 
  62. ^ a b "Checking out Ngurah Rai's trails in Marga village" (dalam bahasa Inggris). Jakarta Post Travel. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-19. Diakses tanggal 2013-12-19. 
  63. ^ "I Gusti Ngurah Rai, a Balinese Hero" (dalam bahasa Inggris). Bali Dayly. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-19. Diakses tanggal 2013-12-19. 
  64. ^ I Ketut Sutika. "Peringatan 100 Tahun Pahlawan Nasional Ngurah Rai". Antara. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-15. Diakses tanggal 2018-01-15. 
  65. ^ "Launching Film "I Gusti Ngurah Rai" di Makodam IX/Udayana". TNI RI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-09. Diakses tanggal 2014-01-09. 
  66. ^ "Трейлер фильма «И Густи Нгурах Рай» на". YouTube. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-06-23. Diakses tanggal 2014-01-09. 
  67. ^ Prins David Saut. "KRI I Gusti Ngurah Rai, Kapal Perang TNI AL yang Bisa Mode Siluman". Detik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-16. Diakses tanggal 2018-01-15. 
  68. ^ "PT Pal Delivers 2nd SIGMA 10514 PKR Frigate to Indonesia (TNI AL) KRI I Gusti Ngurah Rai". Navy Recognition. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-25. Diakses tanggal 2018-01-15. 

Daftar pustaka

  • Бандиленко Г. Г., Гневушева Е. И., Деопик Д. В., Цыганов В. А. (1992—1993). История Индонезии: В 2 ч. М. 
  • Дёмин, Лев Михайлович. (1964). Остров Бали. М.: Наука. 
  • Ricklefs, Merle Calvin. (2002). A History of Modern Indonesia since c. 1200 (edisi ke-3). Stanford University Press. ISBN 978-0804744805. 
  • Robinson, Geoffrey. (1998). The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali. Ithaca, NY: Cornell University Press. ISBN 978-0801481727. 
  • Ide Anak Agung Gde Agung. (1996). From the Formation of the State of East Indonesia Towards the Establishment of the United States of Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-216-2. 
  • Ag. Pringgodigdo. (1973). Ensiklopedi Umum. Jakarta. ISBN 978-979-413-5228. 
  • Nyoman Pendit. (1979). Bali Berjuang. Denpasar: Gunung Agung. ISBN 978-979-995-4114. 
  • Eko Endarmoko. (1993). M.E.M.O.A.R senarai kiprah sejarah: Roeslan Abdulgani, Zulkifli Lubis, M. Natsir, J. Darmojuwono Asrul Sani, Sutan Takdir Alisjahbana, S.K. Trimurti, Sri Paku Alam VIII, Rosihan Anwar. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. ISBN 978-979-444-2722. 
  • Iwan Santosa & Wenri Wanhar. (2012). Pasukan-M: Menang Tak Dibilang, Gugur Tak Dikenang. Jakarta: R & W Publishing. ISBN 978-979-1008-57-0. 
  • Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1984. 
  • Made Sutaba, M. Soenyata Kartadarmadja, I Gusti Bagus Arthanegara, Anak Agung Gede Putra Agung, FX. Soenaryo. (1983). Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.