Petrus Kaseke
Petrus Kaseke (lahir 2 Oktober 1942) adalah pelestari alat musik kolintang berkebangsaan Indonesia. Pada umur 10 tahun (1952), ia sudah mampu menciptakan kolintang 2,5 oktaf nada diatonis dengan petunjuk sejumlah orang tua yang pernah mendengar bunyi alat musik kolintang. Ia terus belajar dan mengembangkan instrumen ini hingga dapat menciptakan tangga nada sampai tiga setengah oktaf dalam satu kruis, natural, serta satu mol, pada tahun 1960.[1]
Petrus Kaseke | |
---|---|
Lahir | Petrus Kaseke 1942 Minahasa, Sulawesi Utara |
Tahun aktif | 1952 |
Suami/istri | Tjio Kioe Giok |
Anak | Leufrand Kaseke Adeline Kaseke (22) |
Situs web | http://www.kolintang.co.id |
Riwayat Hidup
Kolintang yang merupakan alat musik tradisional rakyat Minahasa sempat dilarang dimainkan pada masa penjajahan Belanda. Pasalnya, kolintang pada awalnya digunakan untuk mengiringi upacara ritual pemujaan arwah leluhur oleh masyarakat setempat.[2] Selama seabad lebih, eksistensi kolintang semakin terdesak dan hampir punah. Baru setelah Perang Dunia II, sekitar tahun 1952, seorang tunanetra bernama Nelwan Katuuk menghadirkan kembali instrumen musik ini lewat pagelaran musik yang disiarkan RRI Minahasa.
Permainan kolintang dari Nelwan Katuuk ternyata menginspirasi seorang bocah laki-laki berumur 10 tahun dari Ratahan, Minahasa Utara, untuk membuat alat musik kolintang. Cita rasa bermusik dari lingkungan keluarganya yang membentuk kepekaannya terhadap nada berpadu dengan keterampilan menukang kayu yang diperolehnya dari sang kakek.
Hasilnya, pada tahun 1954 sang bocah berhasil membuat kolintang dengan dua setengah oktaf nada diatonis. Dengan petunjuk sejumlah orang tua yang pernah mendengar bunyi alat musik kolintang, ia terus belajar dan mengembangkan instrumen ini hingga bisa menciptakan tangga nada sampai tiga setengah oktaf dalam satu kruis, naturel, serta satu mol pada tahun 1960.[3]
Dialah Petrus Kaseke, putra tunggal Pendeta Yohanes Kaseke dan Adelina Komalig. Korelasi tingginya kepekaan terhadap nada dengan tingginya tingkat kecerdasan tampaknya terbukti pada diri Petrus Kaseke. Meski hidup dari keluarga kurang mampu, di usianya ke-20, Petrus meraih predikat pelajar berprestasi dan memperoleh beasiswa dari Bupati Minahasa untuk melanjutkan kuliah di Jurusan Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada. Namun setelah adanya penurunan jumlah beasiswa dari Bupati Minahasa, Petrus terpaksa bertahan hidup dengan main musik kolintang di Yogyakarta.
Pasang-surut
Beban hidup semakin berat, merantau seorang diri di tanah Jawa, sementara beasiswa dari bupati juga diputus. Setelah enam tahun dan baru meraih sarjana muda, Petrus terpaksa tak melanjutkan kuliahnya. Kondisi ini justru membuat Petrus semakin berketetapan hati menggeluti alat musik kolintang.
Kala itu kolintang belum banyak dikenal di Pulau Jawa. Di luar dugaan, sambutan publik terhadap kehadiran kolintang yang diiringi gitar, ukulele, dan string bas ini ternyata luar biasa. Bahkan, kolintang saat itu sempat menjadi salah satu media kampanye Partai Kristen Indonesia (Parkindo) sehingga ia dan rekan-rekannya menerima banyak job bermain musik kolintang.
Waktu terus berlalu, usaha Petrus semakin berkembang. Ia juga memiliki kelompok musik yang sudah pentas melanglang ke berbagai kota dan luar negeri. Kemudian ia memutuskan pindah ke Kota Salatiga, Jawa Tengah dan membangun usahanya di sana, bersama sang istri, Tjio Kioe Giok.
Salatiga merupakan kota pilihan paling tepat karena bahan baku kolintang berupa kayu waru mudah didapatkan, yaitu di sekitar telaga Rawapening.
Di era 1989 sampai 1990-an, alat musik kolintang sangat populer bagi masyarakat di dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan akan kolintang pun semakin meningkat. Dalam sebulan, bengkelnya yang berlokasi di Jalan Osamaliki 4 Salatiga, ini bisa melayani pembuatan alat musik kolintang hingga 10 set. Kala itu ia bisa mempekerjakan sekitar 20 tukang kayu.
Pemesanan dari luar negeri terus mengalir, antara lain dari Australia, China, Korea, Hongkong, Swiss, Kanada, Jerman, Belanda, dan Amerika Serikat. Hampir semua kedutaan besar Indonesia di dunia mengoleksi alat musik kolintang buatannya. Twilite Orchestra pimpinan Addie MS pun mempercayakan pembuatannya kepada Petrus.
Era krisis moneter akhir tahun 1990 menandai jatuhnya industri alat musik kolintang. Satu per satu perusahaan alat musik kolintang rontok, bangkrut. Namun Petrus menjadi salah satu dari sekian pengrajin alat musik kolintang yang masih bertahan meski pemesanan menurun, hanya berkisar 1-2 set per bulan.[4]
Kepiawaian Petrus membuat alat musik tradisional Minahasa yang hampir punah ini memang belum pernah mendapat penghargaan yang sebanding dengan sepak terjangnya selama ini. Ia memang bukan satu-satunya pengrajin alat musik kolintang yang masih bertahan. Namun, di tangan dia, alat musik ini mulai merebak ke Pulau Jawa dan bahkan merambah ke seantero dunia.
Pertunjukan ke luar negeri
- Tahun 1970 tampil di Singapura selama tiga hari.
- Tahun 1971 tampil di Australia selama kira-kira tiga bulan. Lebih dari 50 kota disinggahi, termasuk Canberra, bersama Duta Besar Indonesia untuk Australia, Sujitno Sukirno.
- Tahun 1972 tampil di beberapa kota di New York dan Los Angeles, Amerika Serikat.
- Tahun 1973 tampil di benua Eropa antara lain Swiss, Jerman, Denmark, dan Belanda (bersama Duta Besar Indonesia untuk Belanda, Sutopo Yuwono).
Lihat pula
Referensi