Masjid Saka Tunggal Banyumas

masjid di Indonesia

Masjid Saka Tunggal dan Taman Kera

Saka Tunggal

Menyendiri dan penuh kesyahduan. Tiada yang bisa memastikan, sejak kapan Masjid Saka Tunggal tegak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas. Namun demikian, masjid yang keluar dari kewajaran arsistektur masjid di Jawa itu diperkirakan dibangun antara tahun 1522 - 1871 Masehi.

Masjid tak hanya terus bertahan sebagai pusat peradaban dan peribadatan Islam di Banyumas hingga saat ini. Bahkan kini ratusan kera Jawa mengandalkan kelangsungan generasinya pada masjid yang menurut legenda dibangun oleh Kiai Mustolih. Anak keturunan lelaki penegak tradisi Islam di Banyumas itu kini menjadi juru kunci yang merawat dan melindungi keberlangsungan masjid. Pada dasawarsa pertama millennium ketiga, para penjaga dan juru kunci merupakan turunan ketujuh dari Kiai Mustolih.

Sesuai namanya, masjid tegak dengan hanya mengandalkan satu tiang penyangga (saka). Tiang memiliki hiasan ukiran dengan motif yang terinspirasi dunia tetumbuhan. Kehadiran motif yang lantas diberi berbagai sentuhan warna membuat saka tunggal menjadi tampak mencolok dan menempatkannya sebagai elemen utama dari arsistektur masjid.

Saka Tunggal ini merupakan penerjemahan simbolis atas ayat suci Al Quran yang berbunyi, ‘’Tiada Tuhan selain Allah’’. Ketunggalan tiang penyangga menegaskan keyakinan monoteis Islam.

Bangunan masjid terus mempertahankan pemakaian bahan-bahan alami, seperti saat dibangun pertama kalinya. Penambahan unsur beton dimaksudkan untuk melindungi struktur asli. Dinding-dinding pembatas ruang diperindah menggunakan anyaman bambu dengan motif asli. Bedug untuk memberi tahu saat shalat tiba, kentongan untuk mengundang umat, lentera sebagai penerangan malam hari, serta mimbar tempat kotbah, seluruhnya masih asli. Udara dan cahaya mengalir keluar masuk lingkungan masjid secara alamiah berkat tata ventilasi dan perhitungan pencahayaan yang merupakan warisan teknik arsistektur asli Jawa.

Makam Kiai Mustolih berada 100 meter di belakang masjid. Warga mengadakan doa di hadapan makamnya sebagai bentuk penghormatan. Setiap bulan Rajab pada penanggalan Arab, tepatnya tanggal 26 Rojab pada penanggalan Jawa, digelar upacara Jaro Rojab. Upacara ini merupakan rangkaian penggantian pagar bambu di lingkungan masjid dan makam Kiai Mustolih. Warga desa secara sukarela memanen bambu dari kebun mereka, membersihkannya di sungai, dan menjadikannya pagar baru. Mereka akan mengadakan doa dan pesta syukur apabila seluruh pagar bambu telah rampung diperbaharui.

Taman Kera

Lokasi masjid sejauh 30 kilometer arah barat daya Kota Purwokerto, masih merupakan tempat dengan kepadatan penduduk yang rendah. Kehadiran hutan lindung di sekitar masjid menyisaakan fauna, terutama kera Jawa. Mereka hidup bebas di hutan belantara, dan mulai melakukan kontak dengan manusia seiring kian banyaknya jumlah wisatawan yang memasuki Desa Cikakak. Kera-kera mulai berani bergaul ketika sejumlah wisatawan satu per satu memberi mereka beragam makanan, mulai pisang hingga kacang rebus.

Foto: Gading Satrio Pinandito

Namun demikian, para kera membentuk kehidupan sosial sendiri yang terpisah dengan perkampungan penduduk. Mereka kadang mengalami paceklik makanan terutama pada musim kemarau, dan mencapai kelimpahan makanan ketika musim buah tiba. Bila ada wisatawan, mereka akan turun dari gunung untuk melihat apakah ada derma makanan bagi mereka. Mereka berada di Masjid Saka Tunggal pada pukul 09.00 – 12.00 WIB.

Sepanjang mereka tak diganggu, kera-kera mampu berinteraksi dalam jarak dekat dengan wisatawan. Sangat disarankan untuk menyimpan dahulu barang bawaan yang berwarna mencolok. Benda semacam itu dapat menimbulkan hasrat kera untuk memilikinya, dan merebutnya secara paksa.

Insiden antara kera dan wisatawan belum pernah terjadi. Namun berdasarkan penuturan para juru kunci pelindung masjid, seorang warga yang pernah mengganggu seekor kera, dikeroyok oleh ratusan kera lainnya. Sehingga sangat disarankan untuk mengadakan kontak dengan keinginan untuk berbagi rasa cinta, dan bukan justru menciptakan gangguan.

Para peneliti dari sejumlah universitas di Indonesia dan Jepang pernah menangkap 13 ekor kera. Mereka diberi stempel setelah diambil darahnya. Namun para juru kunci bersedih karena ternyata, 13 ekor kera itu tidak diterima lagi ditengah komunitasnya. Mereka harus kehilangan keluarga besarnya. Sejak saat itu, para pelindung Masjid Saka Tunggal tak mengijinkan seekorpun kera dibawa ke luar lingkungan masjid, atau diambil sampel darahnya untuk kepentingan penelitian.

Kini, para pelindung Masjid Saka Tunggal, warga Desa Cikakak dan ratusan ekor kera Jawa tinggal dalam harmoni. Dan wisatawan, menikmati keterpesonaan pada harmoni antara manusia dan alam yang kian jarang ada di berbagai belahan bumi.

Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak kecamatan Wangon dibangun pada tahun 1522 M, masjid ini berjarak ± 30 km dari kota Purwokerto. Disebut Saka Tunggal karena tiang penyangga bangunan dulunya hanya berbentuk satu tiang (tunggal). Di sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang di huni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.