Mangkunegara VII

Adipati dari Mangkunagaran (1916-1944)
Revisi sejak 17 September 2022 05.58 oleh Maulana.AN (bicara | kontrib) (Perbaikan halaman dan penambahan referensi)

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII adalah Adipati ketujuh Mangkunegaran yang memerintah dari tahun 1916 hingga tahun 1944. Mangkunegara VII adalah seorang penguasa yang dianggap berpandangan modern pada zamannya. Ia berhasil meningkatkan kesejahteraan di wilayah Praja Mangkunegaran melalui usaha perkebunan (onderneming), terutama komoditas gula. Mangkunegara VII juga seorang pencinta seni dan budaya Jawa, dan terutama mendukung berkembangnya musik dan drama tradisional.

Mangkunegara VII
ꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫ꧇꧗꧇
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Adipati Mangkunegaran ke-7
Berkuasa1916–1944
PendahuluMangkunegara VI
PenerusMangkunegara VIII
Informasi pribadi
KelahiranB.R.M. Soerjo Soeparto
(1885-11-12)12 November 1885
Kematian19 Juli 1944(1944-07-19) (umur 58)
AyahGRM Sunita.Mangkunegara V
PermaisuriGRA .Mursudarijah/GKR Timur
AnakB.R.M. Hamidjojo Saroso Notosuparto Sri KGPAA Mangkunegara VIII GRA .Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani}}

Keluarga

Mangkunegara VII terlahir dengan nama Raden Mas Soerjosoeparto. Ia adalah anak ketujuh atau anak lelaki ketiga dari 28 bersaudara anak-anak dari Mangkunegara V.[1]

Anak putri tertua Mangkunegara VII, yaitu BRAy. Partini, menikah dengan P.A. Husein Djajadiningrat, seorang sejarawan dan ningrat dari pihak Kesultanan Banten, yang pada saat itu telah dilikuidasi oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda.

 
KGPAA. Mangkunegara VII beserta permaisuri GKR. Timur.

Biografi

Mangkunegara VII, dikenal pada zamannya sebagai bangsawan modern yang berkontribusi banyak terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa dan gerakan kebangkitan nasional Indonesia. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Leiden di Belanda selama tiga tahun, sebelum pulang ke Indonesia untuk menggantikan pamannya, Mangkunegara VI yang mengundurkan diri tahun 1916.

Semangat Mangkunegara VII untuk mencari ilmu pengetahuan sudah tampak sejak muda, ketika pamannya Mangkunegara VI melarangnya untuk masuk HBS, ia memilih untuk berkelana dan menjalani hidup di luar keraton; menjadi penerjemah bahasa Belanda-Jawa dan mantri di tingkat kabupaten. Sedangkan kecintaannya terhadap budaya Jawa ditunjukkan melalui peranannya yang aktif dalam mendirikan lembaga studi Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Filosofi-Budaya) dan lembaga kebudayaan Jawa Java-Instituut, tidak luput juga karya ilmiahnya tentang simbolisme wayang Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920).

Ia adalah tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan penasihat di organisasi pelajar Jong Java. Pada tahun 1933, ia memprakarsai didirikannya radio pribumi pertama di Indonesia yaitu SRV (Solosche Radio Vereniging) yang memancarkan program-program dalam bahasa Jawa.

Selain itu ia juga seorang perwira KNIL dengan jabatan Kolonel pada masa hidupnya, dengan jabatan ini ia juga merangkap sebagai komandan Legiun Mangkunegaran, sebuah tentara kecil yang terdiri dari prajurit Mangkunegaran.

Atas jasa-jasanya dalam memajukan kebudayaan Jawa, khususnya di kawasan eks-ūMangkunegaran, Mangkunegara VII dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma secara anumerta oleh Pemerintah RI melalui Keppres RI nomor 66/TK/ Tahun 2016 yang diserahkan oleh Presiden Joko Widodo kepada perwakilan kerabatnya (Retno Satoeti Yamin, yang adalah cucunya) pada tanggal 15 Agustus 2016.[2]

Pemerintahan

Mangkenagara VII dikenal sebagai raja yang menerapkan kebijakan reboisasi hutan-hutan milik Mangkunegaran. Kebijakan ini diambil terkait dampak eksploitasi besar-besaran hutan milik Mangkunegaran untuk berbagai keperluan, seperti industri perkebunan dan infrastruktur. Ekspolitasi ini berdampak buruk bagi wilayah Mangkunegaran, khususnya bagi wilayah Surakarta dan Wonogiri. Surakarta yang secara geografis berada di wilayah cekungan menjadi wilayah rawan banjir sementara Wonogiri menjadi wilyah yang rawan kekeringan pada musim kemarau karena hutan yang rusak tidak dapat menampung air ketika musim penghujan tiba.[3]

Pada 21 Februari 1917 Praja Mangkunegaran menyatakan reboisasi sebagai program untuk kepentingan umum. Menanggapi hal tersebut, Praja membentuk jawatan khusus yang diberi nama Opperhoutvester. Praja juga melibatkan rakyat dalam kegiatan reboisasi dengan cara memberikan tanah kepada rakyat untuk dijadikan tegalan dengan kewajiban untuk menyemai bibit pohon yang nantinya ditanam di hutan.[3]

Mangkunegara VII juga mengeluarkan aturan mengenai pengelolaan hutan. Aturan ini tercantum dalam Lembaran Kerajaan (Rijkblad) Tahun 1920 No. 22 dan Rijkblad No. 6 Tahun 1923. Melalui aturan ini Praja Mangkunegaran mengupayakan reboisasi secara lebih terstruktur, antara lain dengan menetapkan wilayah yang digunakan sebagai hutan produksi, hutan lindung dan hutan cadangan reboisasi. Praja Mangkunegaran juga memerintahkan rakyat di wilyahanya untuk menanam pohon jati di pekarangan masing-masing untuk mencegah pencurian jati di hutan-hutan milik Praja. Upaya ini berhasil memulihkan keseimbangan ekologis di wilayah Praja Mangkungeran. Selain itu, luas hutan juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1917 luas hutan tercatat 23.567 hektar, pada tahun 1923 tercatat 24.561 hektar dan pada tahun 1940 tercatat 26.002 hektar.[3]

Wafat

 
Mangkunegara VII, menerima laporan dari korps perwira Legiun Mangkunegaran di pendopo Pura Mangkunegaran.

Mangkunegara VII wafat pada tahun 1944 dan dimakamkan di Astana Girilayu, Kabupaten Karanganyar.

Referensi

  1. ^ Bastomi S. 1996. Karya budaya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara I-VIII, IKIP Semarang Press. Semarang.
  2. ^ Iman Pujiono. Presiden Berikan Penghargaan Bintang Maha Putra Diarsipkan 2016-10-23 di Wayback Machine. pojokpitu.com Edisi Senin, 15-08-2016
  3. ^ a b c Witasari, Nina (2017-11-22). "Antara Kemanfaatan dan Keseimbangan: Mangkunegara VII dan Pengelolaan Hutan Mangkunegaran". Jurnal Sejarah Citra Lekha. 2 (2): 84. doi:10.14710/jscl.v2i2.15398. ISSN 2443-0110. 
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Mangkunegara VI
Raja Mangkunegaran
1916—1944
Diteruskan oleh:
Mangkunegara VIII