Baju rantai

Zirah rantai dari Indonesia
Revisi sejak 19 September 2022 03.19 oleh Surijeal (bicara | kontrib) (Nama penyunting)

Baju rantai (juga dikenal sebagai badjoe-rante, baju besi, baju rante, wadjoe-rante, and waju rante) adalah salah satu jenis zirah (baju pelindung) dari kepulauan Nusantara (Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Filipina).

Sebuah baju rantai atau baju besi.

Etimologi

Namanya berakar dari kata Jawa kuno, baju berasal dari kata waju yang berarti jaket, baju, atau pakaian,[1]:2174 sementara rantai berasal dari kata rante, rantay, atau ranti, yang berarti rantai, tali, atau karangan.[1]:1504

Deskripsi

Baju rantai adalah zirah rantai yang dikerjakan menjadi bentuk baju. Ia terdiri dari cincin besi kecil, tidak memiliki kerah dan lengan yang mencapai siku. Ujung bawah kira-kira setinggi paha. Zirah jenis ini digunakan oleh berbagai kelompok etnis di Indonesia.[2]

Sejarah

 
Sebuah sketsa waju ronte, dari daerah Bone di Sulawesi Selatan

Salah satu yang paling awal menyebutkan baju rantai adalah dalam Kidung Ranggalawe, sebuah naskah kidung Jawa yang menceritakan tentang pemberontakan Ranggalawe terhadap Majapahit pada 1295 masehi. Namanya di naskah itu adalah waju rante, yang berarti baju yang terdiri atas rantai-rantai besi. Zoetmulder mencatat penggunaan pakaian khusus untuk prajurit: Dalam penelitiannya tentang orang Jawa kuno ia menemukan pasukan yang dipanggil bala winaju gangsa ranti,[3]:1370 yang berarti tentara berbaju gangsa ranti. Gangsa (dari kata sanskerta: kangśa) merujuk pada semacam logam campuran tembaga dan timah,[3]:275 sedangkan ranti berarti rantai.[3]:919

 
Baju rantai Bugis.

Hikayat Banjar mencatat perlengkapan Bhayangkara di istana Majapahit, diantaranya:

Maka kaluar dangan parhiasannya orang barbaju-rantai ampat puluh sarta padangnya barkupiah taranggos sakhlat merah, orang mambawa astenggar [senapan sundut] ampat puluh, orang mambawa parisai sarta padangnya ampat puluh, orang mambawa dadap [sejenis perisai][Catatan 1] sarta sodoknya [senjata mirip tombak dengan mata lebar][Catatan 2] sapuluh, orang mambawa panah sarta anaknya sapuluh, yang mambawa tumbak parampukan[Catatan 3] barsulam amas ampat puluh, yang mambawa tameng Bali bartulis air mas ampat puluh.
— Hikayat Banjar, 6.3[4]:Baris 1209–1214[5]:204–205

Dua komunitas etnis terkait di Sulawesi Selatan, suku Bugis dan Makassar, juga mengadopsi baju besi rantai yang mereka sebut sebagai waju rante atau waju ronte. Zirah ini dibuat oleh untaian cincin besi yang diikatkan satu sama lain, yang membuatnya mirip dengan rajutan.[6]:39 Selama bertahun-tahun peperangan, tentara Bugis dan Makassar, mengenakan zirah rantai dan membawa senapan lontak yang mereka buat sendiri, mendapatkan reputasi yang hebat untuk keganasan dan keberanian mereka.[7]:431

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Dadap memiliki 2 arti: Dalam bahasa Indonesia, ia merujuk pada perisai bulat yang terbuat dari kulit atau rotan (Departemen Pendidikan Nasional (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dapat diakses secara daring di https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/dadap), sedangkan dalam bahasa Jawa kuno ia merujuk pada pada perisai penangkis panjang dan sempit (lihat Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. hlm. 345). Dadap di Jawa sepertinya merujuk pada perisai panjang yang cukup berat, mungkin dengan ujung menonjol (Jákl, Jiří (2014). Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry (PhD thesis). The University of Queensland. h. 77–78.)
  2. ^ Untuk arti sodok, lihat Gardner, Gerald Brosseau (1936). Keris and Other Malay Weapons Singapore: Progressive Publishing Company. hlm. 85.
  3. ^ Rampuk kemungkinan berasal dari bahasa Jawa Kuno rampog dan ngrampog, yang artinya “menyerang dalam jumlah besar”. Watang parampogan dalam bahasa Jawa kuno berarti tombak yang digunakan dalam parampogan, yaitu penombakan harimau (rampokan macan). Lihat Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. h. 1499.

Referensi

  1. ^ a b Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 9024761786. 
  2. ^ Albert G. van Zonneveld: Traditional weapons of the Indonesian archipelago. C. Zwartenkot Art Books, Leiden 2001, ISBN 90-5450-004-2, hlm. 28.
  3. ^ a b c Zoetmulder, Petrus Josephus (1995). Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 
  4. ^ Ras, Johannes Jacobus, 1968, Hikayat Bandjar. A Study in Malay Historiography. The Hague (Bibliotheca Indonesica, 1)
  5. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8. 
  6. ^ Hamid, Pananrangi (1990). Senjata Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  7. ^ Tarling, Nicholas, ed. (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume One, From Early Times to c. 1800. Cambridge University Press. ISBN 0521355052. 

Bacaan lanjut

  • William G. Shellabear: An English–Malay Dictionary. Methodist Publishing House, Singapore 1916 (Arsip digital).