Hukum perdata

Revisi sejak 23 September 2022 04.37 oleh Deanfebacid (bicara | kontrib) (Menyunting ringkasan ketentuan alat bukti)

Hukum Perdata (Belanda: Burgerlijk Wetboek) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat[1]. Hukum merupakan alat atau seperangkat kaidah, Perdata merupakan pengaturan hak, harta benda dan sesuatu yang berkaitan antara individu dengan badan hukum[1]. Pengertian Hukum Perdata dan contoh Hukum Perdata ialah Manusia merupakan makhluk sosial, mahluk yang selalu berhubungan dengan manusia lainnya[1]. Tentunya dalam menjalani kehidupan sosial, menimbulkan suatu hukum untuk mengatiur kehidupan itu[1]. Jenis hukum tersebut disebut hukum perdata dengan sebutan lain hukum sipil[1]. Hukum perdata di Indonesia terdiri dari Hukum Perdata Adat, Hukum Perdata Eropa, dan Hukum Perdata Nasional, selain itu pula terdapat pula Hukum Perdata Internasional[2].

First page of the 1804 original edition of the Napoleonic code

Pernyataan Dr. (H.C.) Ir. H. Soekarno Hukum islam dan Hukum Adat masuk kedalam hukum Indonesia. Sedangkan untuk agama-agama agar leter-leter agama yang lainnya menjadi hukum Indonesia, berjuanglah agar kursi-kursi kepemimpinan dan lembaga perwakilan diduduki oleh orang-orang non Islam, namun tidak bisa melampawi Hukum Islam[3].

Hukum Pembuktian dan Pengaturan Alat Bukti, Berdasarkan Pasal 1866 BW dan Pasal 164 HIR, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri dari bukti tulisan resmi yang ditandatangani secara resmi dan bukan bukti tulisan screenshot dari media sosial, bukti saksi minimal 4 (empat) saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan/tertulis/1 (satu) dokumen, surat resmi, ditempatkan dalam posisi urutan pertama dan terpenting. Hal ini bersesuaian dengan kenyataan bahwa dalam perkara perdata Surat/Dokumen/Akta pernikahan atau Sertifikat kursus. Dengan berlakunya e-litigation dan e-court pada perkembangan teknologi saat ini, dapat juga dijadikan bukti namun apabila telah dilakukan verifikasi kepada yang bersangkutan dan yang bersangkutan mengakuinya, tidak berlaku apabila yang bersangkutan telah memberikan klarifikasi dengan dokumen yang lengkap dan akurat kepada peradilan/pengadilan[4].

Prakata

Hukum perdata ciptaan Belanda ini me-rujuk dari hukum perdata Prancis yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Prancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Prancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda dan masih terus dipergunakan hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Prancis (1813)[1].

Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia[1].

Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1830 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu:

  • BW (atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
  • WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)

Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil me-rujuk jiplakan yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa nasional Belanda[1].

 
Surat permohonan perubahan nama keluarga Kwee Surabaya, tertanggal 27 Januari 1968. Berdasarkan keputusan presidium no. 127 tahun 1966, orang Indonesia Tionghoa dihimbau untuk mengganti nama Tionghoa mereka menjadi terdengar Indonesia. Banyak yang memilih nama yang mirip dengan nama keluarga Tionghoa asli mereka. Kwee Hwae Swie dan putrinya Kwee Kiong Nio mengambil nama keluarga Suito, Sedangkan istri Kwee, Ang Hiem Nio, biasa dipanggi Wati. Sangat sedikit orang Indonesia Tionghoa saat ini yang menggunakan nama Tionghoa mereka untuk tujuan resmi

Pada awalnya, KUH Perdata hanya berlaku bagi orang belanda, namun apabila kenyataanya diberlakukan hingga sekarang makan akan terjadi politik pecah belah di dalam bubungan masyarakat baik masyarakat adat maupun masyarakat lainnya, sehingga kontra menimbulkan kegaduhan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)[1]. Apabila KUH Perdata ini dikaitkan dengan perceraian maka tingkat perceraian di Indonesia akan terus meningkat di setiap tahunnya[1].

Seperti yang terjadi sekarang .... mungkin dengan mudah merubah status perkawinan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Janda atau Duda dan pula dengan mudahnya membuat domisili yang tidak benar pada saat membuat gugatan, tidak sesuai dengan KTP, Kartu Keluarga yang asli dan terbaru sehingga pihak tergugat dan pengugat memiliki sudut pandang hasil yang berbeda sehingga terjadilah perpisahan akibat perbuatan Oknum[5].

Sejarah Hukum Perdata

Sejarah mencatat bahwa hukum perdata pangkal permulaan berasal dari bangsa Romawi, pada masa pemerintahan Julius Caesar, 50 SM. Hukum perdata ini pula di berlakukan di Perancis dan bercampur dengan hukum Perancis yang asli. Keadaan ini terus berlangsung hingga masa pemerintahan Louis XV. Pada masa pemerintahan louis XV, diadakan usaha untuk menyatukan kedua hukum tersebut yang diberi nama Code Civil Des Francais pada tahun 1804 Masehi. Pada tahun 1807 diundangkan kembali menjadi Code Napoleon.

Setelah itu diubah lagi menjadi Code Civil yang mencampurkan hukum gereja, yang didukung oleh gereja Roma Katolik. Pada tahun 1811, Belanda dijajah oleh Perancis dan Code Civil diberlakukan di negeri Belanda. Karena setelah itu Belanda menjajah Indonesia, Code Civil yang dahulunya berlaku di Belanda juga diterapkan di Indonesia sejak Januari 1848.

Berlakunya hukum perdata dari Belanda tersebut berhubungan dengan Politik hukum Hindia Belanda yang membagi pendukungnya menjadi tiga golongan yaitu; golongan Eropa, semua orang Belanda, orang yang berasal dari Eropa dan Jepang, orang yang hukum keluarganya bedasarkan hukum Belanda serta keturunan mereka; Tionghoa dan Timur Asing Bukan Tionghoa orang India, Pakistan dan Dunia Arab; orang-orang yang menyesuaikan hidupnya dengan golongan Timur Asing.

Berdasarkan pasal 2 aturan peradilan Undang-undang Dasar 1945 hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan diatur dalam pasal 131 IS, yang berisi bahwasanya golongan Eropa berlaku hukum perdata dan hukum Dagang atas asas konkordansi.

Bagi golongan orang golongan Bumiputera yaitu semua orang asli dari Hindia Belanda berlaku hukum perdata yang diatur dalam BW (Burgerlijk Wetboek) dan hukum dagang dengan beberapa pengecualian. Bagi golongan Timur Asing berlaku Perdata Hukum Adat, hukum yang tidak tertulis namun hidup dalam perilaku masyarakat sehari-hari.

Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan bukan golongan Bumiputera. Golongan Timur asing yaitu Tionghoa, India, Bangsa Arab, Afrika, Indonesia dan sebagainya[1].

Pengertian Hukum Perdata Menurut Para Ahli

  • Prof. Subekti

Menurut Prof. Subekti, hukum perdata merupakan semua hukum private materiil berupa segala hukum pokok mengatur kepentingan perseorangan.

  • Sri Sudewi Masjchoen Sofwan

Sedangkan Sri Sudewi Masjchoen Sofwan mengartikan hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dan perorangan lainnya.

  • Prof. Sudikno Mertokusumo

Hukum perdata yakni keseluruhan peraturan mempelajari tentang hubungan antara orang yang satu dengan orang lainnya. Baik meliputi hubungan keluarga dan pergaulan masyarakat.

  • C.S.T Kansil

Menurut Kansil, hukum perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan antar orang yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Kasus Hukum Perdata

Kasus hukum perdata yang mengandung unsur-unsur pidana yaitu pemalsuan dokumen terprodusi tampa dasar yang benar dan juga rekaman pembicaraan sebagai barang bukti, pemaksaan dengan unsur kepentingan, penghasut, camput tangan, gugatan tanpa dapat dibuktikan dengan sebenarnya, mempasilitasi memisahkan suami dan istri (penyekapan) dan lain sebagainya. Semua itu akan diperoses secara hukum pidana di pengadilan. Kasus hukum Perdata antara lain yaitu:

  1. Masalah Warisan
  2. Utang Piutang
  3. Wanprestasi
  4. Sengketa Kepemilikan Barang
  5. Pelanggaran Hak Paten
  6. Perebutan Hak Asuh Anak
  7. Pencemaran Nama Baik
  8. Perceraian

Ketentuan Kekuatan Alat Bukti Dalam Perkara Perceraian

Pembuktian terhadap alat bukti oleh pengugat dengan sebutan lainnya penggugat berupa data elektronik juga menyangkut aspek validitas yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti non-elektronik, karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik, rekaman, video dapat dengan mudah direkayasa sehingga diragukan validitasnya[6].

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU ITE. Penggunaan dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti yang dianggap sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU ITE Nomor 11 tahun 2008, yang menentukan bahwa dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung jawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan[7].

Prinsip Praduga Otentisitas (Presumption of Authenticity) bahwa hukum pembuktian beranggapan bahwa suatu dokumen/data, rekaman, video digital atau tanda tangan digital dianggap asli, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh tergugat. Yang dilakukan dalam hal ini suatu pembalikan beban bukti (omkering van bewijslast), artinya barang siapa yang menyatakan bahwa alat bukti tersebut palsu dan tidak benar, dialah yang harus membuktikannya dan apabila terbukti maka kasus perdata tersebut ditingkatkan menjadi hukum pidana[8].

Dengan Prinsip Praduga Otentisitas sebagaimana tersebut diatas, maka untuk menilai secara materiil suatu bukti elektronik, hakim cukup menyatakan kepada pihak lawan dalam hal ini adalah Tergugat apakan bukti tersebut benar ataukah tidak? jika pihak lawan menyangkal, maka pihak lawan yang dibebani bukti untuk menguatkan dalil sanggahannya, namun apabila didalam bukti tersebut pihak lawan menyangkal secara tertulis untuk menghindari pungguh keributan maka tergugat harus memaparkan kejadian yang sebenarnya secara tertulis serta melampirkan beberapa bukti elektronik berupa gambar atau foto screenshot[8].

Selanjutnya bagaimana hakim menilai kekuatan bukti elektronik dalam kasus perceraian? perkara perceraian merupakan kasus yang spsifik, oleh karena itu tata aturan persidangan dan pembuktiannya juga ada yang diatur secara husus, diantaranya mengenai kewajiban menghadirkan saksi[8].

Lihat pula

Pranala luar

Referensi