Teuku Ben Mahmud
Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja atau Teuku Ben Mahmud adalah uleebalang Blangpidie yang memimpin perang gerilya melawan Belanda di pesisir barat selatan Aceh hingga tanah Batak pada awal abad ke-20.[1]
Kehidupan Awal
Teuku Ben Mahmud lahir di Kuta Batee (Blangpidie) pada tahun 1860. Ayahnya bernama Teuku Bentara Abbas bin Teuku Bentara Agam yang berasal dari Pidie.
Sebelum menjadi uleebalang, Teuku Mahmud dikenal dengan sebutan Panglima Gumbak. Setelah mendapatkan sarakata Cap Sikeurueng dari Sultan Aceh pada tahun 1885, Teuku Ben Mahmud diangkat menjadi uleebalang Blangpidie dengan gelar Setia Raja. Sebelumnya, Uleebalang Pulau Kayu-Blangpidie atau Besluit Belanda di Blangpidie adalah Teuku Raja Sawang yang menandatangani Koorte Verklaring dengan Belanda di Pulau Kayu pada tanggal 9 Maret 1874 (sejak saat itu nama Kuta Batee resmi menjadi Blangpidie).
Setelah kematian Teuku Raja Cut bin Teuku Raja Sawang, keturunan dari Teuku Ben Mahmud yang dianggap sebagai penguasa sah di Blangpidie. Sepeninggal Teuku Ben Mahmud, kenegerian Blangpidie dipimpin oleh Teuku Banta Sulaiman bin Teuku Ben Mahmud. Seterusnya dipimpin Teuku Sabi bin Teuku Banta Sulaiman hingga menjelang kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan
Pada tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang Teuku Larat uleebalang Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama dengan Belanda.
Dalam penyerangan itu ditawan juga puteri Teuku Larat yang bernama Cut Intan Suadat, yang kemudian dinikahkan dengan Teuku Banta Sulaiman putra Teuku Ben Mahmud.
Penyerangan itu dikenal dengan nama Perang Jambo Awe, dikarenakan penyerang itu dipimpin panglima Teuku Ben Mahmud bernama Teungku Jambo Awe yang berasal dari Seunagan, Nagan Raya.
Tahun 1900, pasukan marsose Belanda memasuki Kota Blangpidie setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi bagi marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK).
Setelah Belanda merebut wilayah Blangpidie pada tahun 1900, Teuku Ben Mahmud melakukan gerilya. Bahkan ia sempat membantu perlawanan Sisingamangaraja XII di daerah Dairi.
Pada tahun 1901, Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang memporak-porandakan pasukan marsose Belanda di bawah pimpinan Letnan Helb.
Pada tahun 1905, tangsi Blangpidie kembali diserang oleh pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang dengan senjata api dan kelewang. Penyerbuan fase kedua ini ke dalam tangsi Belanda itu telah menewaskan 47 orang dari pasukan Teuku Ben Mahmud. Hal itu terjadi karena kurangnya persiapan dan taktik serta ketidakseimbangan kekuatan antara pasukan Teuku Ben Mahmud dengan pasukan Belanda.
Setelah diasingkan ke Ambon, perlawanan terhadap Belanda di negeri Blangpidie dipegang oleh anaknya Teuku Banta Sulaiman. Dia pun dicurigai oleh pihak Belanda dan akhirnya diasingkan ke Aceh Timur pada tahun 1919 dan terakhir dipindahkan ke Kutaraja hingga masuk Jepang ke Aceh. Putera Teuku Ben Mahmud lainnya yaitu Teuku Karim meneruskan perlawanan hingga tahun 1942.[2]
Rujukan
- ^ "Teuku Ben Mahmud dan Perjuangan Melawan Belanda Salah satu tokoh perlawanan terhadap kolonial Belanda,". 123dok.com. Diakses tanggal 2022-10-12.
- ^ "Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)". Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (dalam bahasa Inggris). 2015-02-06. Diakses tanggal 2022-10-12.