Perang Bubat yang juga disebut Pasunda Bubat adalah pertempuran antara bala sentana Raja Sunda dan angkatan perang Majapahit yang berlangsung di alun-alun Bubat, kawasan utara Trowulan, ibu kota Majapahit, pada tahun 1279 Saka atau 1357 Masehi.[1]

Perang Bubat
Tanggal1357
LokasiAlun-alun Bubat, kawasan utara Trowulan, Majapahit, Jawa
Hasil Kemenangan mutlak pihak Majapahit, gugurnya bala sentana Raja Sunda, dan rusaknya hubungan baik di antara kedua kerajaan
Pihak terlibat
Kemaharajaan Majapahit Kerajaan Sunda
Tokoh dan pemimpin
Gajah Mada
(Mahapatih Majapahit)
Maharaja Linggabuana 
(Raja Sunda)
Kekuatan
Pasukan-pasukan Majapahit yang ditempatkan di ibu kota, jumlah pastinya tidak diketahui Sentana Raja Sunda, pejabat-pejabat Kerajaan Sunda, hamba-sahaya, prajurit pengawal, dan prajurit laut, jumlah pastinya tidak diketahui
Sekurang-kurangnya 2.200 kapal (tidak semua penumpang turun ke medan perang).
Korban
Tidak diketahui Hampir semua anggota rombongan Kerajaan Sunda gugur, termasuk Raja Sunda dan Putri Pitaloka

Catatan sejarah

"Manak deui Prebu Maharaja. Lawasniya ratu tujuh tahun. Kena kabawa ku kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda, pan prangrang di Majapahit."

"Berputra seorang, Sang Prěbu Maharaja. Tujuh tahun lamanya meraja. Terseret oleh ulah khianat, celaka lantaran anak dipersunting, bernama Tohaan. Besar nian tuntut pintanya. Ramai orang berangkat ke Jawa, sebab dia enggan berlaki Sunda, sampai-sampai orang berperang di Majapahit."

Carita Parahyangan[2]:391

Insiden Pasunda Bubat disinggung di dalam Carita Parahyangan (abad ke-16) dan Pararaton (abad ke-15),[3] tetapi tidak terdapat di dalam Nagarakretagama (abad ke-14). Meskipun demikian, pertempuran di Bubat menjadi tema utama Kidung Sunda, naskah Bali dari sekitar pertengahan abad ke-16.[1]

Perang Bubat disinggung di dalam salah satu pupuh Pararaton, tawarikh Jawa dari abad ke-15. Jati diri penulisnya tidak diketahui. Pararaton disusun dalam bentuk catatan peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1474–1486, sementara bagian sastrawinya disusun sebagai uraian sejarah antara tahun 1500–1613. Naskah ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1896 oleh J.L.A. Brandes, seorang filolog Belanda, lengkap dengan terjemahan, keterangan, dan ulasan.[3]

Meskipun berlangsung pada pertengahan abad ke-14, peristiwa Perang Bubat baru mengemuka pada abad ke-16 di dalam karya sastra Sunda yang berjudul Carita Parahyangan, kendati hanya berupa sepotong informasi singkat mengenai insiden itu. Di dalam Carita Parahyangan, putri Raja Sunda disebut Tohaan,[i] artinya "yang dituakan atau yang dimuliakan".[1] Carita Parahyangan memuat bait "pan prangrang di Majapahit" yang diterjemahkan menjadi "orang berperang di Majapahit."[4]

 
Menurut Nagarakretagama, alun-alun Bubat terletak di kawasan utara Trowulan, ibu kota Majapahit, mungkin di sekitar Gapura Wringin Lawang atau candi Brahu.

Pada awal abad ke-20, CC Berg, sejarawan Belanda, menerbitkan teks Kidung Sunda berikut terjemahannya (1927). Karya sastra Bali ini menyingkap insiden Bubat, dan merupakan bentuk ringkas dari Kidung Sundayana (1928). Di bidang penulisan sejarah Jawa, Berg menyebut Kidung Sunda — yang kemungkinan besar disusun sesudah tahun 1540 di Bali — memuat fakta-fakta bersejarah karena insiden Bubat dikukuhkan oleh naskah Sunda kuno, Carita Parahyangan. Berg menyimpulkan bahwa, "di dalam Kidung Sunda haruslah kita lihat sisa-sisa sastrawi dari cerita-cerita rakyat dan dalam tema yang sama dengan fragmen Pararaton..."[1]

Beberapa ahli cukup ragu dengan beberapa teks tersebut termasuk Pararaton, sejarawan Aminuddin Kusdi menyebut bahwa Kidung Sunda merupakan sumber sekunder bahkan tersier. Beberapa fakta didalamnya tidak sesuai dengan sumber lain yang lebih kredibel seperti Prasasti. Dan periode abad ke-19 yang merupakan masa penulisan Kidung Sunda dikenal sebagai masa munculnya beberapa karya sastra kontroversial.[1] Dan menurut arkeolog Hassan Djafar, dari 30 Prasasasti Kerajaan Sunda dan 50 Prasasasti Kerajaan Majapahit tidak ada yang menyebutkan mengenai Perang Bubat, sumber hanya berasal dari naskah atau manuskrip[5].

Patut dicermati bahwa Nagarakretagama yang dikarang Mpu Prapanca pada tahun 1365, dan secara luas dipandang sebagai sumber primer sejarah Majapahit, sama sekali tidak menyinggung peristiwa ini. Oleh karena itu beberapa sejarawan mempertanyakan keaslian Pararaton, serta berpendapat bahwa Kidung Sunda hanyalah sebuah novel fiksi kuno dan Perang Bubat tidak pernah terjadi.[6] Demi merukunkan beragam kajian ini, penting untuk dipahami bahwa Nagarakretagama adalah sebuah pujasastra.[ii] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto memaparkan di dalam Sejarah Nasional Indonesia II bahwa "peristiwa ini tampaknya sengaja dikesampingkan Prapanca[iii] karena tidak berkontribusi bagi kegemilangan Majapahit, bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politis Gajah Mada untuk menundukkan orang Sunda."[3]

Pinangan

"... Tumuli Pasunda Bubat. Bhre Prabhu ayun ing Putri ring Suṇḍa. Patih Maḍu ingutus anguṇḍangeng wong Suṇḍa, ahiděp wong Suṇḍa yan awawarangana ...,"

"... Sebab Pasunda Bubat. Bhre Prabu berahikan putri di Sunda. Patih Maḍu diutus mengundang orang Sunda. Lantaran tidak keberatan menjadi besan,[iv] datanglah (Prabu Maharaja narendra) Sunda (ke Majapahit)."
"... Alih-alih dijamu dengan meriah, kedatangan mereka justru disambut tuntutan semena-mena Mahapatih Gajah Mada agar putri Raja Sunda diserahkan sebagai persembahan. Orang Sunda tidak sudi menurut, dan membulatkan tekad untuk berperang."

Pararaton[3][2]:402

Perang Bubat diawali dari rencana perkawinan politik antara Raja Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda, Prabu Linggabuana.

Hayam Wuruk, raja Majapahit memutuskan — mungkin karena alasan politik — untuk mengambil putri Citra Rashmi (juga dikenal sebagai Pitaloka) sebagai istrinya.[7] Dia adalah putri Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa dari Kerajaan Sunda. Tradisi menggambarkannya sebagai gadis dengan kecantikan luar biasa. Patih Madhu, seorang mak comblang dari Majapahit diutus ke kerajaan untuk meminangnya. Senang dengan lamaran dan melihat kesempatan untuk membina aliansi dengan Majapahit, kerajaan terkuat di wilayah itu, raja Sunda memberikan restunya dan memutuskan untuk menemani putrinya ke Majapahit untuk pernikahan.

 
Rombongan kerajaan Sunda tiba di pelabuhan Hujung Galuh dengan jong sasanga wangunan, sejenis jung Jawa, yang juga menggabungkan teknik Cina, seperti menggunakan paku besi di samping pasak kayu, pembangunan sekat kedap air, dan penambahan kemudi pusat.

Pada tahun 1357 raja Sunda dan keluarga kerajaan tiba di Majapahit setelah berlayar melintasi Laut Jawa dengan armada 200 kapal besar dan 2000 kapal kecil.[8]:16–17, 76–77 Keluarga kerajaan menaiki kapal jung (bahasa Jawa: Jong sasanga wangunan) dengan sembilan lantai,[v][11]:270 dan mendarat di pelabuhan Hujung Galuh, berlayar ke daratan melalui Sungai Brantas dan tiba di pelabuhan sungai Canggu. Rombongan kerajaan kemudian berkemah di alun-alun Bubat di bagian utara Trowulan, ibu kota Majapahit, dan menunggu upacara pernikahan.

Namun Gajah Mada, perdana menteri Majapahit melihat acara tersebut sebagai kesempatan untuk menuntut penyerahan Sunda ke kerajaan Majapahit, dan bersikeras bahwa alih-alih menjadi Ratu permaisuri dari Majapahit, sang putri harus ditampilkan sebagai tanda penyerahan dan diperlakukan sebagai selir raja Majapahit belaka. Raja Sunda marah dan terhina oleh permintaan Gajah Mada, dan memutuskan untuk pulang serta membatalkan pernikahan kerajaan. Namun, Majapahit menuntut tangan putri Sunda, dan mengepung perkemahan Sunda.

Pertempuran dan bunuh diri sang putri

"Gajah Mada melaporkan perilaku (membangkang) orang Sunda (ke istana). Bhre Prameswara dari Wengker menyatakan siap berperang. Dengan demikian, pasukan Majapahit mengepung orang Sunda. Tak mau menyerah, orang Sunda memilih mempertaruhkan nyawa. Pertempuran tidak bisa dihindari. Sorak-sorai bergemuruh atas suara reyong.[vi] Raja Sunda, Raja Maharaja, adalah orang pertama yang kehilangan nyawanya.

Bhre Prameswara datang ke Bubat, tanpa sadar masih banyak orang Sunda yang belum gugur. Tidak diragukan lagi pasukannya diserang dan dihancurkan. Namun dia langsung melakukan serangan balik.

Terpojok, para menak[vii] merangsek ke selatan. Pasukan Majapahit yang melawan serangan itu meraih kemenangan. Orang Sunda yang menyerang ke barat daya tewas. Bagai lautan darah dan segunung bangkai, tak ada lagi bahasa sunda."

Pararaton[3]

Akibatnya, terjadi pertempuran kecil di alun-alun Bubat antara tentara Majapahit dan keluarga kerajaan Sunda untuk mempertahankan kehormatan mereka. Itu tidak seimbang dan tidak seimbang karena pesta Sunda sebagian besar terdiri dari keluarga kerajaan, pejabat negara, dan bangsawan, disertai oleh pelayan dan pengawal kerajaan. Jumlah rombongan Sunda diperkirakan kurang dari seratus orang. Di sisi lain, penjaga bersenjata yang ditempatkan di ibu kota Majapahit di bawah komando Gajah Mada diperkirakan berjumlah beberapa ribu pasukan bersenjata dan terlatih. Rombongan Sunda dikepung di tengah alun-alun Bubat. Beberapa sumber menyebutkan bahwa orang Sunda berhasil mempertahankan alun-alun dan menyerang balik pengepungan Majapahit beberapa kali. Namun, seiring berjalannya hari, orang Sunda kelelahan dan kewalahan. Meski menghadapi kematian tertentu, orang Sunda menunjukkan keberanian dan kesatria yang luar biasa satu per satu, semuanya jatuh.

Raja Sunda tewas dalam duel dengan seorang jenderal Majapahit serta bangsawan Sunda lainnya dengan hampir semua pihak kerajaan Sunda dibantai dalam tragedi itu.[12] Tradisi mengatakan bahwa putri yang patah hati — bersama dengan semua wanita Sunda yang tersisa — mengambil nyawanya sendiri untuk membela kehormatan dan martabat negaranya.[13] Ritual bunuh diri oleh para wanita dari kelas kshatriya (prajurit) setelah kekalahan kaum laki-laki mereka, seharusnya untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka serta untuk melindungi kesucian mereka, daripada menghadapi kemungkinan penghinaan melalui pemerkosaan, penaklukan, atau perbudakan.

Versi Lain

Menurut Ahli Sejarah Agus Aris Munandar yang mendasarkan kepada Kisah Panji Angreni yang ditulis pada 1801, menyebut bahwa Gadjah Mada semula setuju dengan pernikahan tersebut sebagai upaya mempersatukan Majapahit dan Sunda. Namun Ayahanda Hayam Wuruk yaitu Krtawarddhana berkebaratan dengan pernikahan tersebut. Terlebih Hayam Wuruk sudah dijodohkan dengan Indudewi yang berasal dari Daha Kediri, sehingga Krtawarddhana memerintahkan Gajah Mada untuk membatalkan pernikahan tersebut[5].

Keterangan

  1. ^ Istilah Sunda kuno ini berkerabat dengan kata Tuan di dalam bahasa Melayu-Indonesia.
  2. ^ Karya sastra yang dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Hayam Wuruk, Raja Majapahit, dan untuk menggambarkan kegemilangan daulat Majapahit.
  3. ^ Kemungkinan besar insiden yang dianggap sebagai aib bagi istana Majapahit ini secara sengaja ditiadakan dan dikesampingkan Prapanca.
  4. ^ Besan adalah istilah yang menyifatkan hubungan antarorang tua kedua mempelai.
  5. ^ Istilah jong sasaηa wangunan ditafsirkan berbeda oleh sejarawan, dapat digambarkan sebagai kapal jong raksasa dengan sanga (sembilan) bangunan; sembilan kabin atau geladak. Anthony Reid salah menuliskannya sebagai jong sasana, menjadikan ṅ sebagai n bukannya η atau ng.[9]:61 Nama yang benar adalah jong sasanga wangunan.[10]:2199
  6. ^ Sebuah alat musik gamelan.
  7. ^ Bangsawan Sunda.

Rujukan

  1. ^ a b c d e "Perang Bubat dalam Memori Orang Sunda". Historia - Obrolan Perempuan Urban. 22 Mei 2015. Diakses tanggal 06 Mei 2018. 
  2. ^ a b Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman kuno. Balai Pustaka. ISBN 978-9794074084. OCLC 318053182. Diakses tanggal 3 Juni 2018. 
  3. ^ a b c d e "Tragedi Perang Bubat dan Batalnya Pernikahan Hayam Wuruk-Dyah Pitaloka". Historia - Obrolan Perempuan Urban. 22 Mei 2015. Diakses tanggal 06 Mei 2018. 
  4. ^ M.M, Drs Haris Daryono Ali Haji, S. H. (2012-05-01). Menggali Pemerintahan Negeri Doho : Dari Majapahit Menuju Pondok Pesantren: Penerbit Elmatera. Diandra Kreatif. ISBN 9786021222645. 
  5. ^ a b "Drama Bubat dan Panas-Dingin Hubungan Majapahit-Sunda". 
  6. ^ VIVA, PT. VIVA MEDIA BARU - (28 Mei 2015). "Perang Bubat, Kisah Nyata atau Rekaan? – VIVA". Diakses tanggal 06 Mei 2018. 
  7. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 279. ISBN 981-4155-67-5. 
  8. ^ Berg, C. C. (1927). Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen. BKI LXXXIII :1-161.
  9. ^ Reid, Anthony (2000). Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Silkworm Books. ISBN 9747551063. 
  10. ^ Zoetmulder, Petrus Josephus; Robson, S.O. (1982). Old Javanese-English Dictionary. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 
  11. ^ Lombard, Denys (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. An Indonesian translation of Lombard, Denys (1990). Le carrefour javanais. Essai d'histoire globale (The Javanese Crossroads: Towards a Global History) vol. 2. Paris: Éditions de l'École des Hautes Études en Sciences Sociales.
  12. ^ Drs. R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed (edisi ke-1973, 5th reprint edition in 1988). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72. 
  13. ^ Y. Achadiati S.; Soeroso M.P. (1988). Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit. Jakarta: PT Gita Karya. hlm. 13.